Share

3. Manusia Aneh Bagian Kedua

"Bagiku, menghindarimu adalah sebuah keharusan dan tidak ada kompromi tentang hal itu. Berlarilah, menjauh pergi. Jangan pernah mendekat  atau berniat menetap."

🌼🌼🌼🌼

"Mega ..."

Aku berdecak pelan, mendengar namaku dipanggil lagi. Lagi? Kenapa lagi? Karena sejak tadi Langit berusaha memanggilku yang entah keberapa kalinya dan tak ada satupun dari panggilannya yang aku respons. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan sapaan yang ramah itu, seharusnya. Tapi, aku tetap tidak terbiasa dan karena aku tahu kenapa dia mengejarku seperti ini. Apalagi kalau bukan karena aku bilang kita tidak pernah jadian dan aku memintanya untuk mengakhiri aksi konyolnya ini. Kalian pasti bisa menebaknya sendiri reaksi Langit seperti apa. Ya, tepat seperti yang kalian duga, Langit tidak menyetujuinya! Langit tidak mau hubungan aneh ini berakhir dan Langit malah merengek dan mengejarku seperti ini. 

Dasar bocil!

Maka dari itu aku memilih untuk kabur. Mendengar namaku dipanggil saja aku langsung terburu-buru menutup telinga. Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun darinya. Bagiku menghindarinya adalah sebuah keharusan. Tidak ada kompromi. Semuanya harus selesai hari ini. Tidak. Dia tidak boleh mendekat apalagi menetap. Cukup. Semua harus sampai di sini. Tidak boleh lebih jauh lagi. Hal yang aku lakukan ini sudah benar. Ya, ini sudah benar.

Aku mendengkus kasar menyadari aksi Langit yang masih menyerukan namaku di sepanjang koridor sekolah dengan seruan keras. Tak berhenti sampai situ, Langit juga terus mengejar diriku yang sedang melarikan diri karena tidak ingin mendengar pernyataannya lebih jauh, Langit benar-benar tidak membiarkan diriku lolos.

Kalau kalian bisa melihat aku sekarang, aku sedang menutupi telinga dengan tangan sambil berlari sekencang mungkin. Berharap Langit tidak mengejar dan menerima semua yang aku jelaskan. Ternyata aku salah karena dari sepanjang koridor sampai gerbang sekolah Langit tetap bersikukuh untuk terus mengejarku. Tak peduli meski aku tidak meresponsnya sama sekali.

Aku tidak habis pikir dengan Langit, dari pertama kali dia datang masuk ke dalam kehidupanku rasanya dia menorehkan kesan yang amat buruk; langsung teriak-teriak, memanggil nama. Seolah kenal. Memekik namaku di sepanjang koridor. Lalu membuat pernyataan secara tiba-tiba jika aku dengannya sudah jadian yang dalam sekejap langsung menghancurkan kehidupanku.

"Mega, tunggu!"

Aku berhenti melangkah. Bukan karena ingin merespons ucapannya. Melainkan, karena sudah sampai di halte. Tapi, tepat setelah aku tiba di sana, bus belum juga datang. Mungkin, agak telat sedikit dari biasanya. Padahal Langit sudah hampir sampai ke tempat di mana aku berada.

Apa ini yang namanya sedang sial, ya? Huft!

Langkahnya cepat-cepat. Keringat membasahi dahinya. Tidak heran karena memang cuaca sedang panas. Jadi, wajar saja jika dia sampai berpeluh begitu.

Penampilannya Langit sekarang sama sekali tidak membuatku terpesona. Napasnya yang tersengal-sengal ditambah lagi  dengan peluh di dahinya yang bercucuran. Penampilannya juga berantakan. Aku menatapnya dengan tatapan ngeri. Ada, ya, laki-laki yang mendekati seorang perempuan dengan penampilan begini? 

"Meg, aku nyerah," katanya tiba-tiba lalu duduk tidak jauh dariku sambil meluruskan kaki.

Aku menoleh ke arahnya dengan halis terpaut, napasnya masih tersengal. Belum teratur. Wajahnya juga jadi sedikit memerah. Dia menatap ke arahku sambil tersenyum lebar.

"Lain kali jangan ajak main lari-lari kayak gini, ya." 

"Capek tahu!" keluhnya.

Siapa juga yang mengajaknya main lari-larian!

Aku hanya menatapnya sekilas. Tidak berniat merespons atau berbicara dengannya.

"Petak umpat juga jangan ya!"

"Soalnya dari dulu selalu kalah. Kan nanti tidak lucu kalau jadi kucing terus," jelas Langit padaku.

Aku menatap Langit heran sedang halis di wajahku masih sempurna terpaut.

Lagi pula siapa yang mengajaknya bermain?

"Tapi kalau kita main TTS, ular tangga, monopoli, bisa."

INI ANAK SIAPA SIH?!!

"Atau mau main ludo, kartu uno. Mmm ... apa lagi, ya, Meg?"

Mulutku mengaga. Sumpah serapah tertahan di kerongkongan tinggal bersiap di luncurkan. Aku segera mengatur emosiku agar tidak meledak-ledak.

"Tenang, tenang. Ini cuma Langit," kataku berusaha menenangkan diri.  

Aku menatapnya dengan sinis. "Lo pikir aja sendiri!" 

Mengapa menunggu bus dengan Langit  terasa lama sekali. Padahal baru beberapa menit tapi aku sudah gemas sendiri. Merasa sudah duduk berjam-jam dan waktu berubah menjadi lambat. 

Mungkin, kalau semisal sekarang aku berada di komik, sepertinya di atas kepalaku sudah mengeluarkan asap saking kesalnya dengan dia. Dan aura  di wajahku menjadi seram. Ada warna hitam di sekelilingiku dengan garis bergelombang atau mungkin juga ada tanda seperti lambang wehrmacht sambil ngeblush.

Aku mengeluarkan earphone. Berniat untuk mendengarkan lagu. Kalau sudah badmood begini memang aku lebih suka menenangkannya dengan memutar lagu favorit. Setidaknya saat alunan lagu itu terdengar, aku akan tenggelam ke dalam lagunya. Seperti kali ini, lagu yang berjudul akhir tak bahagia mulai mengalun, terdengar di telingaku dengan merdu. 

Aku mendongak, mendapati langit di atas sana yang tiba-tiba berubah warna, awan hitam mulai muncul. Lalu berkumpul dan membuat gumpalan. Membuat suasana jadi gelap. Padahal tadi cuacanya cerah namun berubah seketika menjadi mendung. Kemudian, semilir angin mulai terdengar agak riuh yang juga sesekali menerbangkan anak rambutku.

Tanganku bersidekap di dada. Suhu di sini juga berubah menjadi lebih dingin. Sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Aku berdecak pelan saat menyadari Langit masih berada di sini. 

"Kenapa Meg?" Seperti tahu bahwa aku sedang memperhatikannya, Langit langsung menoleh. Cepat-cepat aku alihkan pandangan darinya sebelum dia berpikir yang bukan-bukan.

"Lo, bisa nggak, sih, pergi dari sini?" kataku yang sudah  tidak tahan lagi berlama-lama dengannya.

"Pergi?" Langit menjenda kalimatnya, nada bicaranya menyiratkan kebingungan. "Ke mana?"

"Busnya, kan, belum sampai ke sini, Meg," sambungnya lagi sambil menggaruk tengkuk kepalanya.

Aku mendengkus sebal lantas menatapnya kesal. "Lo bego apa gimana, sih?" cemoohku padanya.

Karena maksud ucapanku bukan begitu. Walau ucapannya ada benarnya juga. Karena sampai saat ini bus masih belum sampai, entah kapan datangnya. Aku hanya berharap sebentar lagi bus segera tiba.

"Kalau dibilang pintar sekali, sih, nggak. Tapi, dibilang bego juga ... nggak terlalu. Ya, biasa aja, standar gitu."

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Dongkol setengah mati dengan ucapannya. "Gue nggak tanya soal itu!"

Hih! Bisa mati muda gue kalau begini terus.

Langit hanya tersenyum, benar-benar terlihat seperti orang bodoh di hadapanku sekarang.

Satu persatu bulir itu jatuh ke tanah. Tetes demi tetes. Hingga berubah deras. Belum lagi angin yang menderu kencang. Kesiur angin terasa dingin. Berhasil membuatku merasa sedikit menggigil. Aku menoleh ke samping, menyadari Langit yang mulai mendekat. Dia menggeser tubuhnya secara perlahan. Namun, aksinya itu tertangkap basah olehku. 

"Mau apa lo?" tanyaku galak saat memergoki aksi modusnya itu.

Aku melayangkan tatapan sinis dan malah ditepisnya habis-habisan olehnya. Karena Langit malah menghadiahi aku dengan senyuman kecil miliknya.

"Tenang, Meg," jawab Langit berusaha menenangkan.

"Apanya yang tenang?" ucapku malah semakin galak.

"Deket-deket lo aja udah bikin hidup gue nggak tenang. Apalagi sekarang di tengah hujan deras kayak gini!" jelasku mulai menggerutu.

"Awas aja kalau berani macam-macam!" kataku lagi sambil mengancam.

Aku bangkit lalu berdiri baru saja aku hendak menerobos hujan namun Langit menarik lenganku. "Jangan! Kalau mau, kamu harus pake jas hujan biar nggak sakit atau pakai payung," jelasnya lagi.

Deg!

"Ayu, kamu bisa sakit kalau kayak gini. Kalau mau pake jas hujan. Oke?" 

"Tapi kak-"

"Harus dipake, Yu. Nggak ada tapi-tapi. Saya nggak mau kamu sakit, mencegah lebih baik daripada mengobati, Ayu."

Ingatan masa lalu menyeruak begitu saja. Aku terdiam seperti tersedot ke masa lalu, di mana saat itu aku sedang bersama seseorang. Tubuhku kehilangan kendali. Mataku tiba-tiba saja terasa panas. Deru di dadaku juga bergemuruh hingga ia kembali lahirkan sesak yang menjalar ke seluruh tubuh.

Mengapa Langit selalu menarik ingatan buruk dari masa lalu?  

Lalu, apa-apaan kata-kata itu? Mengapa mirip sekali dengannya. 

Beruntung bus datang di waktu yang tepat. Menyelamatkanku dari Langit. Aku segera beranjak sambil melangkah cepat-cepat dan melengang masuk. Sebelum Langit memergoki kondisiku yang lemah seperti ini. Tanganku telurur ke wajah, aku buru-buru menghapus air mata yang ada di pelupuk mata.

Aku menghela napas lega ketika mendapati bus yang tidak penuh seperti biasa. Tempat dudukku berada di sebelah jendela dan tempatnya di barisan ketiga. Aku segera mendaratkan tubuhku di sana lantas menyandarkan wajahku ke samping, ke arah jendela. Lagu mulai mengalun lagi. Lalu tanpa sadar aku mulai memejamkan mata. Hari ini terasa lelah. Aku ingin mengistirahatkan tubuhku sebentar saja.

Barus saja aku hendak tertidur ada sesuatu menimpa tubuhku, aku membuka mata, mengerjap perlahan. Netra mataku menangkap benda yang menyelimuti badan.

Hoddie?

Aku menoleh, sebelum buka suara Langit terlebih dulu bicara. "Pake aja, biar anget."

"Nggak butuh!" tolakku sambil mengembalikan hoddie itu.

"Lagian lo kenapa sih tiba-tiba duduk di sini?" protesku pada Langit sambil menyilangkan tangan di dada.

"Lo mau nguntit gue?" tuduhku padanya.

Langit terkekeh pelan, "mulai, deh, prasangka buruknya."

"Salah sendiri bikin orang malah jadi berprasangka buruk. Lagian ngapain, sih, lo pake naik bus segala?"

"Motornya di bengkel. Nanti kalau udah bener mau pulang bareng, nggak?"

"Ogah!"

"Lho kenapa? Padahal nggak dipasang tarif kok."

"Gratis malah," sambungnya lagi.

"Mending gue bayar sama abang ojek"

"Yaudah kalau gitu, mending bayarnya ke aku aja."

"Kok lo maksa banget sih?!"

"Kan lagi usaha supaya kamu suka," ucap Langit sambil tersenyum menampilkan deret gigitnya.

"Lo kenapa sih? Kalah taruhan? Nggak bisa move on? Atau kenapa?" cecarku pada Langit dengan geram. 

"Kamu ngomong apa, Meg?"

"Ya, lo mau apa deketin gue? Sampai bilang kita udah jadian? Lo ... gila? Apa gimana sih?" kataku to the point sambil menatapnya tajam.

"Percuma kalau lo mau manfaatin, gue bukan cewek tajir!"

"Tuh, kan, mulai lagi prasangka buruknya."

"Nggak baik tahu," imbuhnya lagi.

"Kalau ada yang tanya dijawab!" kataku yang masih ketus.

"Lo, mendingan jauh-jauh dari hidup gue. Ngerti?!" 

Langit menggaruk tengkuknya. "Biar aku jelasin alasannya kenapa," ucapnya.

Aku menatapnya dengan memutar bola mata malas, "terserah! Gue nggak peduli."

Dia terlihat menghela napas terlebih dahulu. Aku masih mengalihkan atensiku ke arah lain. Earphone di telingaku sudah dilepas sedari tadi. Percuma dipakai kalau Langit masih berada di sini. Langit mendekatkan bibirnya ke telingaku.

Seketika napasku jadi tertahan. Kaget dengan aksinya yang begitu tiba-tiba.

Ini terlalu dekat bagiku! Sekeras mungkin aku berusaha untuk bereaksi normal. Meski sulit. Karena aku tidak ingin sampai berbuat keributan di dalam bus ini.

Deru napasnya terdengar di telingaku, begitu teratur. Tubuhku mematung.

"Ily," bisiknya lembut.

Sontak membuatku menepis jauh-jauh wajahnya lantas memalingkan wajah ke arah lain. 

Aku benar-benar kesal setengah mati, kalau saja sekarang aku tidak sedang berada di bus sudahku cecar dia dengan kalimat sarkas tanpa ampun. Apa-apaan kalimat itu! Tidak hanya itu tanganku juga gatal ingin memukulnya. 

"Kok diem?"

Aku tidak menoleh. Lebih memilih untuk melihat bagaimana bus ini membelah jalanan yang digenangi air hujan. Hujan di luar masih turun, meski tidak sederas tadi. Hanya rintik kecil yang turun.

"Ily," ucapya sekali lagi dengan nada berbisik seperti tadi namun dengan intonasi yang lebih tegas.

"Kok kamu nggak baper, ya?"

Mataku mengerling ke arah Langit. "Dengernya ya! nggak usah terlalu percaya diri bisa? Lagian itu cuma kata-kata. Terus gue harus baper gitu? Yang bener aja!" 

"Oh, gitu, ya." Langit menggaruk tengkuknya sambil tersenyum malu.

"Kirain bakalan baper. Berarti kamu sukanya sama tindakan nyata?"

Aku tak memedulikannya, sudah  cukup! Aku tidak ingin mendengar pernyataan itu lagi. Pernyataan itu malah membuat dadaku sesak karena mengingatkanku pada ingatan masa lalu.

Mataku awas menatap ke arah jendela, tidak ingin melakukan kontak mata dengan Langit. Terlebih moodku sudah rusak. Aku menghela napas dalam. Ah, aku benci saat kenangan ini muncul di saat hujan turun.

"Kamu mau tahu nggak alasan aku suka kenapa?"

Aku menoleh memandangi Langit dengan kesal, "Nggak usah! Gue nggak peduli." 

Langit terkekeh lantas berbicara kembali, "oke, oke. Tapi aku tetep mau kasih tahu." Langit menatap ke arahku dengan lekat, netra kami bertubrukan. "Jadi alasannya karena ..., "   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status