Share

-3-

Kereta membelok ke kediaman bupati, bukan ke landraad yang sekaligus menjadi kediaman Residen Bojonegoro. Endaru dan Suro terperangah saat melihat kerumunan orang-orang di sana.

Para pria berudeng itu hampir tak ada yang mengenakan kemeja hanya bercawat sarung yang dibebatkan ke tubuh bagian bawah. Para perempuannya berkemben dan berkain jarik dengan selendang menudungi kepala. Sedangkan anak-anak yang turut serta, lebih banyak yang telanjang daripada yang berpakaian. Mereka semua duduk dan berjongkok di tanah berumput rendah dari jalan depan hingga ke halaman rumah sang bupati.

Para perempuan dan laki-laki itu—dari yang tua hingga muda—begitu terkagum-kagum pada sosok Endaru yang mereka kenal sebagai pemuda yang tak bisa dimiliki karena tak sedikit para gadis yang dibuat patah hati. Setiap musim panen tiba Endaru bersama-sama dengan rombongannya akan berkeliling dari dusun ke dusun untuk melakukan pertunjukan reog gebyog. Kepiawaiannya memainkan dadak merak dengan segera menyedot perhatian warga. Tak sedikit juga yang meyakini pemuda itu memiliki kesaktian dan kebal. Oleh karena itu, mereka sengaja datang ke persidangan untuk menyaksikan dan membuktikan rumor tersebut.

Endaru sendiri tak pernah menduga, jika kabar berita pembunuhan sang kontrolir segera menyebar hingga ke penjuru Karesidenan Bojonegoro yang meliputi sejumlah wilayah kabupaten seperti Tuban, Lamongan, Blora, dan Bojonegoro sendiri.

“Kita akan dikenang sampai ke anak cucu mereka sebagai pemberontak yang membunuh totok,” kata Suro sambil tertawa berderak-derak seakan menggenapi pedalaman benak Endaru yang tak terkatakan.

“Ya, seorang picak[1] dan pria tua bangka yang kebal senjata!” Endaru mencebik dan benar-benar merasa jika ini adalah hari terakhirnya menghirup dan menghela udara di dunia.

“Kau mengolok-olokku, Anak Muda?”

Endaru hanya mengendik, “Setidaknya olokan itu diyakini oleh banyak mata yang hadir di sini. Kau akan membuat bangga Rukmini.”

Tatapan Suro meredup. Endaru merasa bersalah karena telah menyebut-nyebut nama Rukmini—putri semata wayang Suro—yang mungkin akan menjadi yatim.

Kereta berhenti diringi suara ringkikan kuda akibat tali kekang yang menegang. Salah satu opas yang mengiringi mereka segera membuka pintu kerangkeng. Endaru dan Suro enggan turun dengan iringan puluhan pasang mata yang memenuhi halaman rumah bupati.

Opas yang pada pinggangnya terselit parang itu naik ke atas kereta dan menarik paksa kemeja Endaru yang tak berkancing. Otot-otot perut pemuda itu menegang. Kemarahannya menggelegak. Dia melesakkan siku ke ulu hati sang opas.

“Aku iso mudun dewe, Jongos Londo!”[2] Dia benci jika tubunya disentuh oleh orang lain.

Tak! Ujung tongkat opas yang lain seketika mendarat di punggung Endaru, membuatnya melenting dan terhuyung.

Kerumunan warga yang menunggu kedatangan Endaru seketika bangkit dan mendekati kereta ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Para opas menghalau mereka dengan ancaman bedil dan parang. Endaru turun dan dipaksa berjongkok di tanah oleh salah satu opas menggunakan ujung tongkatnya.

Di dalam kereta sang opas yang disikut oleh Endaru meringkuk di pojok sambil menahan ulu hati yang berdenyut-denyut. Suro berbisik pada opas kesakitan itu sebelum dipaksa turun dari kereta, “Jangan pernah jamahkan tangan kotormu pada pemuda itu!”

Mereka berdua ditarik dan didorong di bawah ancaman tongkat sepanjang setengah meter hingga berhenti di depan undakan pendopo. Seluruh tatapan yang hadir di sana tertuju pada mereka—pada tatapan dingin Endaru dan pada dada telanjang Suro yang dipenuhi dengan bekas luka akibat sabetan senjata tajam. Rambut sebahu Endaru terikat ke belakang dengan anak-anak rambut yang saling berjatuhan, sedangkan rambut ikal Suro terlihat awut-awutan sehingga menambah kesan liar di wajah mereka.

Bisik-bisik menggelombang.

“Pria sakti dari Ponorogo!”

“Warok yang kebal senjata!”

Ora iso mati!”[3]

Salah satu opas mendorong bahu Endaru agar segera berlutut dan berjalan sambil jongkok menuju ke hadapan sang Bupati dan Residen Bojonegoro. Suro mengikuti selangkah di belakang Endaru. Kedua tangan mereka terbelenggu besi dan masih harus mengapurancang. Tatapan mereka harus tertunduk ke lantai.

Sejumlah polisi dengan parang dan bedil turut berjajar rapi di depan pendopo menghalau kerumunan warga yang penuh dengan rasa ingin tahu. Di tengah-tengah pendopo para pejabat tinggi Karesidenan Bojonegoro duduk melingkari meja. Di bagian tengah ada Residen Bojonegoro—Bram van der Stok—yang bertindak sebagai hakim karena peristiwa ini terjadi di wilayah administrasinya. Kepala kepolisian sekaligus Jaksa adalah seorang indo dengan wajah hampir sepenuhnya pribumi—kecuali hidung dan warna matanya yang kelabu—mengambil tempat duduk di samping Residen. Pada sisi meja sebelah kiri duduk seorang Qadi dengan sorban putih besar dari kain mori yang dililitkan di kepala menyerupai mahkota Sultan Turki. Di sampingnya duduk seorang totok yang bertugas sebagai penerjemah. Pada sisi meja sebelah kanan ada Bupati Bojonegoro didampingi seorang Demang yang juga turut hadir menyaksikan jalannya persidangan.

Jaksa mulai membacakan tuduhan kepada Endaru dan Suro dalam bahasa Belanda tanpa cela. "Jij martelde Meneer Barend Crusoe op vrijdag 7 september 1898, een controleur bij het Bojonegoro kertogdom, tot de dood."

Residen bertanya pada Endaru dan Suro dalam bahasa Melayu, “Apa kowe tahu dan jelas itu semua tuduhan?”

Suro dengan lantang tanpa berpikir panjang menjawab dalam bahasa Belanda, “Niet duidelijk, Meneer!”[4]

Palu diketuk oleh Residen. “Pribumi dilarang gunakan bahasa Belanda! Gunakan bahasa kowe sendiri!”

Residen memberikan perintah pada penerjemah yang masih duduk tenang di samping Qadi untuk melaksanakan tugasnya.

Kowe pada hari Jumat Legi tanggal 07 September 1898 melakukan penganiayaan pada Meneer Barend Crussoe, seorang kontrolir di kadipaten Bojonegoro yang sekaligus menjadi tuan tanah dan majikan kalian hingga meninggal dunia,” ucap sang penerjemah dalam bahasa Melayu dengan suara sengau hampir berdahak di pangkal tenggorokan.

Residen kembali membacakan tuduhan yang langsung diterjemahkan oleh pria berambut cokelat kemerahan itu dari tempatnya duduk. “Hasil pemeriksaan oleh dokter menyatakan, Meneer Barend Crussoe meninggal karena luka sayatan pada lehernya.”

“Ya, saya yang telah membunuh pria biadab itu!” pekik Endaru yang diikuti oleh sorak sorai di sepanjang halaman untuk memberikan dukungan.

Residen mengetuk palu agar mereka kembali tenang. Sejumlah opas yang bertugas segera mengacungkan parang untuk meredakan kegaduhan warga.

Suro begitu geram dengan kelancangan Endaru. “Bukan dia, Tuan Besar! Saya yang menggorok Londo itu sampai mati menggunakan celurit! Tuan opas sendiri yang menangkap saya bersama dengan celurit berdarah itu di rumah Crussoe.”

Sorak sorai kembali membahana dengan lebih semarak. Mereka begitu terkejut dan tidak menyangka, jika dua orang tersangka pelaku pembunuhan itu saling berebut mengakui kejahatannya. Bisik-bisik pun menggelombang.

“Kena gantung mereka!”

“Hukuman rodi seumur hidup itu pasti ....”

Di antara kerumunan orang-orang dusun dan warga yang sengaja datang dari luar kadipaten terdapat sepasang mata yang tak pernah lepas dari punggung tegak Endaru.

“Tenang semua!” Residen yang menjadi hakim berulang kali harus mengetukkan palu. Dia periksa kembali catatan yang dibuat oleh petugas kepolisian dengan teliti. “Endaru, berdasarkan catatan ini kowe bukan anak dari Suromenggolo. Kowe adalah pendatang gelap di rumah Crussoe!”

Bisik-bisik kembali membuncah.

“Bagaimana kowe bisa sampai berada di rumah keluarga Crussoe dan membunuhnya? Katakan yang sebenar-benarnya jika kowe menginginkan keadilan dan kesempatan untuk membela diri!”

“Tuan Besar,” Suro menyembah sambil merangkak lebih maju. “Anak ini tidak bersalah, dia hanya kebetulan berada di sana. Sahaya ... Sahaya yang telah membunuh Meneer Crussoe. Tuan Besar bisa menghadirkan Mevrow Crussoe sebagai saksi.”

“Suromenggolo, kowe diam dulu!” Dagu sang Residen menunjuk pada pemuda berusia 22 tahun yang masih menatapi lantai itu. “Endaru alias Enes, katakan pembelaanmu sekarang juga!”

Mendengar nama kecilnya disebut, tubuh Endaru menggigil seketika. Tatapannya terangkat dari lantai. Dia pandangi para petinggi di hadapannya dengan tatapan mengabur. Barut luka di bawah mata kanannya tiba-tiba berdenyut serasa baru saja ditorehkan di sana.

“Katakan dari mana kowe berasal dan apa tujuan kowe menyelinap ke rumah Crussoe?” bentak sang Residen.

Semua orang seketika senyap. Telinga kanan Endaru bergerak samar hampir-hampir tak ada yang melihat, kecuali Suro yang mulai gelisah melihat tanda-tanda itu.

Mereka telah membangunkan macan tidur.

[1] Buta

[2] “Aku bisa turun sendiri, Budak Belanda!”

[3] “Tidak bisa mati!”

[4] “Tidak jelas, Tuan Besar!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alfira ananda
aku wong Tuban ouyy...tata bahasanya bagus,layak di baca.keren thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status