Share

-4-

Ponorogo, September 1888

Cericau burung dan pekik kera menggema dari dalam hutan yang mengepung sepanjang aliran sungai. Kepala bocah laki-laki berambut hitam pekat tiba-tiba menyembul ke permukaan sungai hingga mengejutkan seekor kerbau jantan yang tengah berendam. Dia menarik tanduk sang kerbau lalu naik ke tengkuknya sambil tertawa riang. Telapak kecil bocah itu mengusap-usap kepala kerbau dengan penuh kasih sayang.

“Emak berkata bapak meninggalkanmu sebagai ganti dirinya, tidakkah itu lucu?” bisik sang bocah pada kerbaunya.

Di atas tebing seorang pria berbeskap dan bersarung batik putih berdiri di atas batu sambil mengawasi ke arah sungai. Satu tangannya berkacak pinggang, sedang yang lain menjepit cerutu.

Sececah kepergian pria itu tertangkap oleh sudut mata seorang perempuan berkemban yang tengah menggilas cucian di bibir sungai. Perempuan itu segera meraih ebor, menjejalkan pakaian basah ke dalamnya, dan berlari-lari menerjang aliran sungai ke arah sang bocah.

“Endaru, kita harus segera pulang ke rumah!”

Bocah laki-laki itu kehilangan tawanya. Dia seperti tercucuk melihat ketakutan pada mata sang ibu. Perempuan itu menarik-narik tanduk sang kerbau dengan Endaru yang masih duduk di punggungnya agar mereka segera mengentas dari sungai.

Di kejauhan mereka bisa mendengar suara tapak kaki kuda yang berjalan menjauhi tebing. Mereka berjalan beriringan dalam kelegaan melintasi jalan setapak yang sedikit gelap karena daun dan ranting pepohonan saling bersengkelit membentuk kanopi lebat hingga menyerupai lorong panjang di dalam gua.

“Mak, kapan bapak pulang?” Suara Endaru mengusik seekor anakan rusa yang tengah berdiri di sisi jalan.

“Anggap bapakmu wes mati, Gus. Karena itu dia memberimu si Buto, ‘kan?” Sang ibu melirik ke arah kerbau yang tengah digiring oleh anaknya. “Tak bersyukur kau hidup berdua saja dengan emak, Gus?”

Bocah itu menunduk. “Aku hanya tidak mau terus-menerus dipanggil ‘Enes’ oleh orang-orang, Mak, hanya karena aku tak berbapak.”

Sang ibu berhenti dan menatap mata putranya yang bening. “Kau berbapak, semua orang pun tahu kau berbapak—bukan anak jadah! Hanya saja bapakmu sudah mati lebih dulu. Bukankah nama Enes juga bagus? Bermakna sendirian. Kau akan bertahan hidup meski harus seorang diri menjalani kehidupan ini.”

Ah, Emak ... kau selalu mampu membungahkan hatiku! Bahkan, di balik olok-olokan nama itu, kau mampu menunjukkan sisi bagusnya untukku.

Sang ibu berjalan lebih cepat meninggalkan Endaru yang masih sibuk meratapi julukannya beberapa langkah di belakang. Terlihat perempuan berusia awal tiga puluhan itu menyeka wajah dengan lengan yang telanjang. Air masih menetes-netes dari jariknya yang basah. Ebor berisi pakaian basah kini dia sunggih di kepala.

Seorang penunggang kuda—pria bercerutu yang sebelumnya mengawasi dari tebing—mengadang langkah mereka. Ibu Endaru menurunkan ebor, berlutut, dan memberikan sembah. Kepalanya menunduk dengan kedua telapak tangan saling bertangkup. Ibu jari perempuan itu berada di bawah hidung sedang ke empat pasang jemari lainnya tegak ke depan menghadap sang penunggang kuda.

Dari atas kuda, pria itu menilai Endaru yang menolak berlutut dan memberikan sembah. “Anakmu bakal jadi bandit, jika tidak kau didik dengan benar!”

Ibu Endaru menyembah sekali lagi dan memerintahkan anaknya untuk melakukan hal yang sama. Tak ingin menyusahkan sang ibu, akhirnya Endaru turut berlutut di belakangnya.

“Gandari, sudah waktunya anak ini ikut denganku.” Kuda pria itu berputar ke kiri dan ke kanan dengan gelisah.

“Sahaya, Ndoro ....”

“Iya, Kamu. Aku tak akan meminta dua kali. Antarkan anakmu ke rumahku siang ini juga dan berangkatlah kau ke rumah Meneer Cornellis setelahnya!”

Kepala Endaru terangkat. Ada keterkejutan dan kemarahan di sepasang manik hitam bocah dua belas tahun itu. Lengan Gandari terentang saat Endaru ingin melawan.

“Aku sudah memberimu pilihan yang mudah dengan menjadi gundik Meneer Cornellis dan serahkan anakmu padaku untuk kudidik menjadi warok sejati. Anak itu memiliki rupa seelok bapaknya, bukan?”

“Ampuni sahaya, Demang Sastro! Pundutan[1] akan sahaya bayarkan setelah panen tiba dua minggu lagi, biarkan kami hidup seperti ini.” Gandari semakin menunduk tanpa melepas sembahnya.

“Ini bukan tentang pajak, tetapi sumpah dan janji seorang warok. Apa yang sudah terucap pantang untuk kembali dicabut! Aku sudah bersumpah akan menjadikan putra Dimas seorang warok yang akan mewarisi ilmu dan padepokanku,” ucap sang demang sebelum memacu kuda meninggalkan mereka.

Sepasang mata Endaru memancarkan kemarahan dan dendam. Dia bangkit sambil menarik lengan sang ibu agar berdiri tegak. “Kita bisa pergi ke hutan, Mak. Tinggal di sana dan mencari bapak sampai ke Lampong!”

Tak berselang lama terdengar suara tapak-tapak kaki kuda mendekat menggantikan kepergian sang demang. Sejumlah pria bertubuh kekar yang wajahnya tertutup topeng merah dan berpakaian serba hitam muncul dari dalam hutan. Keenam orang itu masing-masing duduk di atas kuda tunggangan berukuran besar. Mereka mengepung ibu dan anak yang menggigil ketakutan itu.

Endaru mendesis, “Bandit Merah!”

Para warok bertopeng merah dari alas Jenangan itu ditakuti dan disegani oleh seluruh warga Panaragan. Mereka juga dikenal dengan sebutan Warok Wengker karena datang dari hutan yang angker. Kegagahan dan kehebatan ilmu kanuragan mereka tak dapat disangkalkan—membuat siapa saja yang melihat bisa hilang keberanian. Meski beberapa rumor menggambarkan kelompok Bandit Merah sebagai warok yang murah hati, tetapi tak sedikit juga yang menceritakan kebengisan dan kekejaman mereka. Para Bandit Merah terkenal tak segan membunuh lawan yang dianggap tak sejalan.

Keenam orang itu turun dari kuda tunggangannya masing-masing sambil melepas topeng. Endaru terkesima. Kesan jahat dan kasar yang dipancarkan oleh topeng bujang ganong berwarna merah yang sebelumnya mereka kenakan seketika sirna begitu terlihat wajah-wajah teduh dengan senyum ramah di baliknya.

Gandari menarik tubuh putranya ke balik punggung. Dada perempuan itu membusung siap menghadapi segala derita demi keselamatan sang putra. Bocah bermata oval yang meruncing di pangkal itu mengintip dari celah-celah lengan ibunya yang menegang.

Endaru mengamati salah seorang warok yang berwajah lebih tua dengan cambang bauk dan kumis lebat berjalan mendekat ke arah mereka. Pria itu menunduk dan memberi tabik dengan suaranya yang berat dan tenang.

“Kami dari Wengker diutus pimpinan untuk menyampaikan pesan kepada Yayu. Keelokan paras putra Yayu sudah tersiar sampai ke tempat kami. Bukankah lebih aman jika dia berada dalam perlindungan kami? Pendidikan dan kebutuhan akan disediakan, indukan kerbau dan anakannya juga akan kami berikan setiap tahun untuk Yayu.”

Tanpa sepengetahuan Endaru, ibunya memasang wajah marah dan muak di hadapan para Bandit Merah sambil mencengkeram lengannya dengan kuat. Akan tetapi, tak disangka-sangka Gandari malah jatuh berlutut dengan kedua tangan mengapurancang.

“Ampun, Ndoro! Kami hanya orang biasa yang senantiasa hidup melarat, tolong biarkanlah kami hidup seperti ini untuk selamanya!”

Salah satu warok menarik bahu Gandari agar kembali berdiri. Ada kebingungan yang melutuki Endaru. Sang ibu berlagak seakan tak mengenal mereka, tetapi para warok itu bersikap sebaliknya—berhati-hati di hadapan Gandari.

“Kami tidak membeli putra Yayu. Kerbau dan anakan itu bukan untuk mahar pinangan. Tidakkah anak ini perlu tahu kebenarannya?”

Air mata dan isakan mewarnai permohonan dan sembah perempuan bertubuh sintal itu.

“Kami bisa menjamin keselamatan kalian dari ancaman dan kesewenang-wenangan warok lain termasuk Demang Sastro,” bujuk sang Warok.

“Ampun, Ndoro ... Ampuni kami!” Gandari memeluk kepala Endaru dengan lelehan ingus dan air mata yang berderai-derai. Dia tak dapat menahan diri hingga tanpa sadar mencengkeram terlalu kuat lengan Endaru.

Bocah lelaki itu tak tahu menahu tentang apa yang sedang terjadi. Dia hanya memiliki satu pemahaman bulat, jika seorang warok sudah jatuh hati dan mendatangimu, maka kau tak akan pernah bisa lari kecuali nyawa terlepas dari raga.

Warok tua itu meraih tubuh Endaru dan memeriksa sekujur tubuhnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Kau memiliki paras dan raga yang indah, Nak. Dari matamu terpancar jiwa warok sejati. Orang-orang akan dengan sendirinya mendekat dan tunduk padamu. Akan tetapi, jika salah ditangani kemalangan bisa menimpamu di kemudian hari.”

Endaru membisu merasakan cengkeraman Gandari yang semakin menghunjam di lengannya.

“Gandari, kau harus segera membuat keputusan! Jika tidak, nasib anak ini mungkin bisa tergelincir seperti bapaknya,” kata sang Warok.

Endaru meronta berusaha melepaskan diri dari mereka. “Aku bukan bapakku! Bapak sudah mati! Mati!” teriak Endaru sambil berlari menerabas semak-semak, menuruni bukit, dan menghilang di balik susuran lindap hutan.

[1] Pajak pertanian

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status