Dua opas Jawa menggelandang Endaru dan Suro yang baru turun dari kereta untuk kembali ke sel mereka sampai persidangan berikutnya tiba. Setelah kedua opas tersebut menggembok terali dan pergi, diam-diam Selamet menyelinap ke sana. Pria itu berjongkok sambil bersandar pada terali besi dan berbisik pada Suro, “Eh, anu, Cak ...?”
“Panggil saja aku Suro. Ada perlu apa kowe?” bentak Suro dengan kesal karena didera kelelahan yang teramat sangat.
Jongos berbadan jangkung dengan gigi sedikit tongos itu terperanjak. Dia raba dadanya yang berdebar-debar sambil menelan ludah. Sesaat dia melirik Endaru yang sudah meringkuk membelakangi terali. “Siapa di antara kalian yang bergelar Warok?”
Endaru yang berusaha terlelap langsung siaga meski tetap dalam posisi meringkuk. Suro yang duduk paling dekat dengan terali segera menarik kerah surjan Selamet yang lusuh hingga membuat rahang pria itu memelesak menghantam terali besi d
Bagaimana menurut kalian cerbung ini? Tinggalkan komentar ya agar Author tahu reaksi kalian ^_*
Pikiran Suro melayang pada pesta yang serupa di tahun 1891. Dia baru datang dari Ngawi ketika melihat warga Ponorogo berbondong-bondong dan berdiri di sepanjang jalan dusun seakan menyambut kedatangan tamu agung. Mereka begitu antusias ingin menyaksikan iring-iringan para warok dan gemblaknya yang diarak keliling kademangan.Topeng singo barong yang dipanggul oleh para warok muda berada pada barisan paling depan. Di belakangnya beriringan para penari jathil yang terdiri dari anak-anak laki-laki pilihan berusia belasan. Wajah mereka tampan dengan warna kulit kuning langsat yang bersih terawat. Di belakang para jatil, duduk di atas kereta adalah para warok pemimpin sekaligus pemilik mereka. Sejumlah warok dari berbagai daerah di kademangan itu duduk didampingi dua sampai tiga gemblak pilihan yang paling mereka banggakan.“Semua warok menanti acara tukar pakai gemblak ini. Desas-desus mereka mengincar gemblak Warok Sastro yang matanya picak satu!&rdqu
Pemuda kencur itu kembali ke biliknya untuk bersalin pakaian mengenakan beskap dan celana gombroh hitam. Dia tak perlu membawa apa pun. Segala yang dia miliki di rumah itu adalah pemberian Warok Sastro—hasil dari menjual tubuhnya. Endaru tak ingin terikat dengan kehidupannya yang kelam selama di sana.Dia melepas kaca semprong lampu minyak di meja, meniup apinya hingga padam, dan mengusapkan jemari untuk mengambil jelaganya. Dengan keberanian dan ketakutan yang saling menggelegak, dia usapkan jelaga itu menutupi wajah.Endaru berburu dengan waktu. Beberapa saat lagi kembang fajar akan mekar. Dia berlari menuju halaman belakang, memanjat pohon asam, melompat dari batang terdekat ke pagar, lalu merayap ke bawah.“Enes, aku melihatmu! Jangan kau coba untuk kabur lagi!” teriak penjaga regol—seorang pria tua dengan satu kaki yang pincang.Tubuh Endaru terguling ke rerumputan basah karena kehilangan pijakan. “Ah, sial! Si pincang i
“Kau mencari emakmu di rumah pertanian Cornellis? Meminta pertolongan dari Londo itu?” tanya Suro yang kini duduk bersandar pada terali sel mereka setelah mendengarkan kisah Endaru.“Aku memang mencari emak tapi bukan untuk meminta pertolongannya.”Suro masih bersabar menanti kelanjutan cerita Endaru.“Aku mengajak emak untuk pergi bersama melintasi perbatasan, entah ke Ngawi atau ke Bojonegoro. Ke mana pun itu yang penting kami bisa keluar dari Panaragan.”“Dan kau gagal!” Suro tertawa meledek.“Kau tahu pasti kalau aku gagal. Dia sudah menjadi gundik Cornellis. Tak seharusnya aku mengusik kehidupannya. Aku memang sempat bertemu dengan emak. Dia menyembunyikanku di lumbung selama tiga hari tapi tidak mungkin bagiku untuk berada di sana selamanya. Pada saat itu Emak memintaku pergi ke Alas Jenangan, bukan lagi ke pesantren di Tegalsari seperti saat pertama kali. Pada hari ke tiga Demang Sastro d
Burung-burung itu seperti digerakkan oleh daya sihir. Pekikan dan jeritannya menggema di udara. Kepakan sayap mereka seperti guruh yang membawa badai. Orang-orang seolah berhenti bernapas. Udara tidak terasa dingin pun panas. Angin seakan pempat di bawah kendali kepakan sayap mereka. Endaru ternganga dan menggigil secara bersamaan melihat pemandangan yang aneh itu.“Mereka datang lagi!” pekik anak-anak yang berlatih kanuragan di depan dengan wajah yang pias.Suromenggolo yang duduk di amben segera bangkit dan spontan meraih parangnya. Hanya Sentikno yang masih duduk tenang di amben sambil berteleken pada tongkatnya.“Ada apa ini?” Suro memutar badan dengan kepala terus mendongak ke atas.Burung-burung itu tidak melintas tetapi berputar-putar hanya di atas bubungan rumah. Beberapa burung terlihat menukik turun dengan cepat dan menyerang beberapa anak-anak yang masih ternganga di pelataran. Mereka menjerit sambil melindungi kepala de
Endaru bangkit dengan tangan meraba-raba dinding gedek untuk mencari pegangan. Tatapannya mengabur. Di dalam kepalanya berpuar-putar wajah sang emak yang terus menari-narikan senyum tipis. Dia keluar dari rumah dengan langkah gontai dan telinga yang berdengung sampai tangan kasar Suro menarik bahunya. Endaru jatuh terduduk ke permukaan tanah yang berkerikil.“Aku harus melihat emak!” tatap pemuda tanggung itu dengan nanar dan memohon pada Suro.“Mereka memang ingin kau datang ke sana, sadarlah! Emakmu mungkin sudah mati tapi aku yakin dia tak ingin kau ikut menyusulnya,” bentak Suro.Endaru meraung-raung di tanah. Semua orang memperhatikan dengan dada yang remuk. Setelah lelah melampiaskan marah dan kecewa, Endaru bangkit dengan sedikit limbung untuk menghadap ke Sentikno yang masih duduk di amben.“Ajarkan aku segala ilmu yang Anda punya!” Endaru memelas, membujuk, hingga menghardik dengan mata merah dan bengkak.
Bojonegoro, September 1898“Jullie dieven en rebellen verdienen een zware straf!”[1]Seorang opas indo mendorong dan menendang sebaris pria berpakaian lusuh yang tangannya terikat tambang. Pada kaki mereka terdapat belenggu dari besi. Pria-pria itu digelandang dan dibariskan di halaman penjara.Mendengar keributan tak jauh dari selnya, Suro dan Endaru segera terbangun.Salah seorang tahanan itu menatap tajam pada opas yang memperlakukan mereka dengan kasar, “Kowe wong Walanda maling ing tanah kita, cuih!”[2]Pukulan dan tendangan dari para opas yang lain turut bersarang di tubuh petani kurus berambut gimbal itu.“Siapa mereka, Paman?”“Jika melihat dari cara mereka melawan, tak lain adalah Wong Sikep para pengikut Samin. Mereka menolak membayar pajak, menolak mblandang[3], dan selalu berbicara kasar
Suro terbatuk karena tersedak ludahnya sendiri saat dua orang opas menarik paksa tubuh si gimbal yang menindihnya. Mata Suro membeliak merah menahan sakit yang teramat di ulu hati. Si gimbal sempat meninjunya sebelum belati berhasil Suro tancapkan pada tenggorokan pria itu.Endaru masih dalam posisi setengah merangkak dengan lengan ditarik tahanan lainnya agar menjauh ketika tiba-tiba terdengar Suro tersedak. Napasnya pendek-pendek dan cepat. Kepanikan yang sesaat lalu menyergapnya seketika menguap. Dia melihat dua orang opas yang memanggul senapan di bahu menyeret tubuh Suro agar bangkit dan meninju perut pria itu dengan popor. Suro tersedak lagi. Opas yang lain memeriksa tubuh pria gimbal yang matanya memelotot tak bergerak. Darah terus merembas dari pangkal tenggorokannya dengan belati tertancap di sana.“Kau membunuh pria ini?” Opas itu memukul perut Suro sekali lagi.Suro menyeringai dengan mulut melelehkan sedikit darah, “Aku tak menyentu
Endaru dimasukkan ke dalam kereta polisi dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu besi. Tak lama Suro datang dalam keadaan yang memprihatinkan. Wajahnya bengkak kebiruan dengan sisa-sisa darah kering di pelipis dan bibir.“Apa yang terjadi?” Endaru mencoba mendekati Suro tetapi terhalang oleh belenggu pada kakinya.Suro didorong masuk ke dalam kereta dengan kasar. Meski dengan wajah bengkak dan lebam dia masih bisa menyeringai dan membuat Endaru kesal.“Apa yang mereka lakukan padamu semalam?”“Apa lagi menurutmu?” Suro mencoba berbaring di lantai kereta yang sempit itu, “Punggungku kaku sekali. Biarkan aku tidur sejenak.”Kemeja Suro yang tak berkancing sedikit tersingkap menampakkan perut dan pinggang yang sama mengerikan dengan wajahnya.“Pasti itu sakit sekali. Dari mana kau dapatkan kemeja itu?” Endaru berbicara seorang diri.