Cahaya matahari terasa begitu menyengat di kota Line. Mereka yang tidak tahan dengan sengatannya, memutuskan untuk memakai pakaian terbuka dan hanya menutup bagian inti mereka saja. Apalagi jika sedang berada di luar rumah, mereka akan memakai seadanya saja agar tidak merasa kepanasan.
Namun tidak seperti orang lain, Anna, seorang gadis biasa berambut coklat panjang yang baru pindah ke kota Line, memakai baju lengan panjang disertai celana jeans yang sama panjangnya menutupi seluruh kaki. Dia memang gadis yang selalu memilih perbedaan diantara orang lain, selama perbedaan itu tidak membuatnya kesusahan. Dan kini, meski cuaca sangat panas dia tidak merasa kepanasan dan risi dengan pakaian lengan panjangnya.
Hari ini adalah hari pertama Anna Dove masuk ke sekolah baru di kota baru. Dia baru pindah kemarin ke kota Line dari kota Square, bersama kakak laki-lakinya, Robert Dove. Kedua kakak beradik ini tinggal bersama di rumah peninggalan nenek, setelah kedua orang tua mereka bercerai lima tahun yang lalu. Dan beberapa minggu yang lalu, mereka memutuskan untuk berpindah dari Square ke Line agar dapat menghapus trauma akibat perceraian orang tua mereka setelah lima tahun berusaha keras untuk melupakan kejadian mengerikan sebelum perceraian itu terjadi.
Robert membeli sebuah rumah di Line dengan menghabiskan semua tabungan yang ia miliki. Dan membawa serta adiknya, Anna, yang masih berstatus pelajar akhir di tahun terakhirnya ini dan menyekolahkan adiknya itu di sekolah baru yang ada di kota Line. Walaupun begitu, Robert menjadi lebih bersemangat dalam bekerja karena harus ada seorang adik yang ia biayai kehidupannya sampai adiknya itu menikah dengan orang yang tepat.
Robert Dove berusia 25 tahun, seorang wakil ketua polisi yang kini ditugaskan di kota terpencil, Line. Sedangkan adiknya, Anna, terpaut tujuh tahun umurnya yang kini bersekolah di salah satu sekolah menengah atas di kota Line.
Pagi tadi, sebelum berangkat menuju rutinitas baru di tempat baru, kedua kakak beradik ini lebih dahulu sarapan di sebuah restoran kecil yang berada di dekat hutan kota Line. Meskipun begitu, resto ini setiap harinya selalu penuh dengan pelanggan pria dan wanita dari berbagai umur yang tinggal di sekitaran kota Line.
Anna dan Robert masih celingukan mencari tempat untuk mereka makan, karena tempat ini sudah sangat ramai dari pukul enam pagi tadi yaitu satu jam yang lalu. Seseorang terlihat memberikan isyarat agar mereka berdua duduk di sebelahnya, “Rob, sini!” orang itu tersenyum pada Robert.
Pemuda berbadan tegap itu lantas melirik pada adiknya seraya mengangguk, bertanda bahwa mereka harus mengikuti petunjuk dari orang itu.
Anna ikut menggangguk lalu berjalan di belakang mengikuti langkah kakaknya. Mereka duduk melingkari meja bundar dengan kursi kayu yang keras.
“Hei, Anna. Apa kabar?” sapa orang yang tadi memberi isyarat. Yang kini di sebelahnya duduk Robert dan Anna di seberangnya.
Anna menoleh padanya dan tersenyum tanpa menjawab sapaan si pria muda. Orang itu bertingkah kesal, lalu melihat ke arah Rob. Sebelah alisnya terangkat, bertanda bahwa Rob harus segera memulai percapakan mereka agar pria muda itu tidak canggung dan malu ketika mengajak bicara Anna.
Robert melebarkan matanya, lalu tersenyum pada Anna. “Kau ingat dia kan, Anne? Dia Billy, teman lamaku di kepolisian yang kini juga bertugas di kota ini.”
Billy tersenyum lebar sambil terus memandangi gadis berwajah cantik itu. Anna mengernyitkan dahinya lantas menyunggingkan senyuman hangat tanpa membalas perkataan kakaknya atau melihat pada Bill. Ia hanya melihat ke segala arah kecuali pada Billy.
“Apa dia tidak bisa bicara?” bisik Bill di telinga Robert sambil menoleh pada Anna.
Robert terkejut dengan pertanyaan tak masuk akal Billy, “jangan bicara sembarangan, tentu saja dia bisa bicara!” pemuda berambut kecoklatan itu menjawab sambil sedikit menggeram pada Bill.
Billy menggerakkan tubuhnya dan sedikit menjauh dari Robert, “baiklah. Kau tidak perlu sampai marah begitu,” balasnya pelan.
Robert menghela napas, kemudian melirik adiknya yang asyik menatap kosong ke luar jendela. Ketika dia akan berbicara, seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menawari menu makanan.
“Silakan, mau pesan apa?” tanya si pelayan wanita dengan kertas dan pulpen yang siap ia gunakan untuk mencatat pesanan.
Billy mendongak pada si pelayan, “seperti biasa,” ujarnya dengan menampilkan senyum rupawan nan menggodanya.
Melihat itu, Anna memutar bola matanya lalu berkata pada si pelayan, “menu sarapan saja,” sebuah senyuman kecil tersirat di wajahnya.
“Baiklah, lalu kamu?” tanya lagi si pelayan setelah menulis pesanan Anna dan Bill, seraya melihat manis ke arah Robert.
“Samakan saja dengan dia,” balas Rob dengan menunjuk adiknya.
Si pelayan mengerti lantas pergi ke tempatnya setelah mengambil kembali daftar menu yang ia berikan pada mereka bertiga. “Ditunggu sebentar ya,” ucapnya sebelum pergi dengan tersenyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi putih rapinya.
Setelah itu, Billy masih merasa penasaran dengan adik Rob yang tidak mau berbicara dengannya.
“Hei, Anna. Kenapa kau hanya diam saja?” tanya Billy kesal.
Anna masih tidak menjawabnya, ia mengacuhkan pertanyaan Billy dengan tetap memandang kosong ke luar jendela.
Pemuda yang berumur sama dengan Robert itu geram pada Anna, “hei, Rob, sejak kapan adikmu jadi pendiam begini?” tanya Bill hati-hati.
Robert melirik Bill lalu memejamkan mata sekejap, “entahlah, aku juga tidak tahu. Ngomong-ngomong, sejak kapan pelayan itu mengetahui menu pagimu, Bill?” tanya pemuda jangkung itu pada temannya.
“Hm, sejak kapan ya?” Billy terlihat mengingat sesuatu, “sejak dua bulan yang lalu. Karena aku sudah sering ke kota ini. Kau ingat bukan bahwa aku sering pergi berlibur di sini?”
“O iya, kau benar. Pantas saja dia seperti mengenalmu.”
“Tentu saja dia kenal, baru seminggu yang lalu setelah aku menetap bertugas di sini, aku berkencan dengannya dan kau tahu apa yang kami lakukan?”
Robert menggelengkan kepalanya dengan cepat, raut wajahnya penuh akan pertanyaan dan penasaran dengan yang Billy obrolkan.
“Kami tidur bersama dalam satu kamar dan satu ranjang, dan dia bilang, itu adalah pertama kalinya untuk dia!” lanjut Billy seraya mendekatkan diri pada Rob lalu berbisik dengan semangat.
Rob mendelikkan matanya, dia merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Benarkah?”
“Iya!”
“Lalu bagaimana rasanya?”
“Hmmm, cukup nikmat dan membuatku ketagihan!”
Mereka berdua terus mengobrolkan masa-masa indah Billy dengan si pelayan resto yang menurut Anna, mereka terlalu berlebihan serta memuakkan.
Anna merasa bosan dengan terus diam dan mendengarkan obrolan menyebalkan kakak dan teman kakaknya itu. Lantas dia berdiri lalu melangkah menuju meja kasir. Sementara itu, Rob dan Billy masih asyik membicarakan topik yang sama sampai tidak menyadari kepergian Anna.
“Apa pesanan meja nomor sepuluh sudah siap?” tanya Anna pada salah satu pelayan yang sedang membersihkan nampan di belakang meja kasir.
Mata pelayan itu melebar mendengar suara Anna, “tunggu sebentar,” jawabnya dengan menyimpan kain lap yang ia gunakan di atas meja. Lalu berbalik melangkah menuju dapur.Dua menit kemudian si pelayan kembali ke meja kasir dan berkata pada Anna, “pesanan meja nomor sepuluh akan siap dalam lima belas menit lagi. Mohon untuk menunggu dan bersabar.” Ujarnya seraya tersenyum manis.Anna mengerti dengan sedikit menganggukan kepalanya. Lantas dia keluar, pergi dari restoran menyesakkan itu.“Huuuhhh, panas sekali,” gumamnya dengan menyipitkan mata untuk melihat ke semua arah.Kemudian dia menggerakkan kakinya dan melangkah ke arah hutan, berharap agar dia mendapatkan kesejukan dengan berdiam di bawah pohon yang tinggi.Sementara itu, Robert masih tidak menyadari bahwa adiknya telah pergi jauh dari restoran. Dia masih berbincang dengan temannya Billy, kali ini perbincangan mereka telah melebar ke segala topik yang mereka
Di dalam resto, pemuda tampan itu tidak dibiarkan untuk merasa tenang sedikit pun.“Apa yang sudah kau lakukan pada adikku?” tanya Robert dengan penuh nafsu amarah.“Aku hanya menolongnya dari maut yang mengarah pada gadis itu,” jawab pemuda itu dengan tenang dan datar.Anna masih terpesona dengan ketampanan si pemuda. Sedikit pun tak ia alihkan pandangan mata dari wajah seseorang yang telah menyelamatkan hidupnya.Menyadari sikap Anna yang semenjak tadi tidak berubah, Billy merasa geram pada gadis berkulit putih itu.“Hei, Rob,” dia berbisik pada teman lamanya.Robert membalas dengan melirik Billy.“Apa adikmu benar baik-baik saja?”Saat itu juga Robert menoleh pada adiknya dan menatap gadis itu dalam beberapa detik. Lantas ia kembali melihat pada Bill, “tidak ada yang salah dengannya.” Ketus Rob karena kesal Billy menganggu konsentrasinya yang sedang menginterograsi