Share

Fantastic Ex-Girlfriend

Aku putus dengan Nona. Aku kecewa dengannya yang tidak terbuka kepadaku. Sebulan sebelum aku mendaftar di Superhero Inc., ternyata Nona pernah kesana dan mendapatkan kekuatan supernya. Tapi Nona tidak memberi tahuku. Dia menutupi hal besar itu dariku.

Beda denganku yang selalu memberikan kabar kecil maupun besar kepadanya. Sewaktu aku mengalami kebangkrutan karena selisih tigajuta di hari pertama cash count sebagai kasir di minimarket, aku beri tahu dia. Karena aku memang mau hutang kepadanya.

Walaupun aku dilarang menunjukkan kekuatan ke orang lain, aku berani mengambil resiko terburuk. Aku tunjukkan kepada Nona bahwa aku superhero sekarang. Sebab Nona bukanlah orang lain. Nona adalah orang spesial bagiku. Nyatanya, dia tidak kaget sebab dia sendiri punya kekuatan super.

"Kekuatan superku mampu mengendalikan cuaca sesuka hatiku. Kadang aku tidak bisa mengendalikannya, sehingga mood-ku yang mengendalikan cuaca di sekitarku," aku Nona membuatku tercengang.

Aku memandangi tanganku sendiri yang tampak menjadi biasa-biasa saja setelah mengetahui Nona juga superhero.

"Jika aku tidak bisa mengendalikan emosiku, maka emosikulah yang akan mengendalikan cuaca. Aku marah, datang petir. Aku sedih, cuaca mendung. Aku bersemangat, langit cerah," terang Nona riang.

Selama ini aku bodoh tidak menyadari kejanggalan yang terjadi di dirinya. Pantas saja, dia tidak segerak cepat dulu dalam membalas chatting dariku. Ternyata dia sibuk menumpas kejahatan.

Yang membuatku marah kepadanya bukan hanya karena dia yang sudah main rahasia-rahasiaan denganku. Dadaku terasa nyeri saat dia bercerita bahwa dia punya mentor ganteng yang sudah mengajarinya ini-itu. Aku terbakar cemburu jadinya.

"Akhir-akhir ini aku dekat dengan superhero senior. Namanya Daniel. Dia semacam mentorku," tutur Nona di hari dimana aku menunjukkan kekuatan superku.

Aku hanya diam mendengar dia bercerita. Aku memperhatikan bibirnya yang ciut mengeluarkan kata-kata.

Kami sedang duduk di kursi bambu menghadap kebon pisang pribadi keluarganya.

"Kamu pasti sudah lulus uji kelayakan. Mudah saja bagimu. Kekuatanmu termasuk kategori epik. Sementara aku? Aku payah. Kekuatanku hanyalah mengendalikan cuaca. Kategori rare," lanjut Nona.

Sambil bercerita, Nona membuat cuaca di sekitar kami menjadi berantakan. Semenit turun hujan, sedetik kemudian panas terik, lalu mendung, kemudian berawan. Sok sekali memang cewek menyebalkan satu ini.

"Di ruangan uji kelayakan, aku harus menghentikan monster. Dan kekuatanku tentunya tidak bisa digunakan indoor. Kecuali aku bisa menciptakan awan sendiri," ucap Nona.

"Lalu dia mengajarimu menciptakan awan?" Aku menyela ceritanya.

"Tidak. Daniel tidak punya kekuatan super." Nona lalu menyeruput cokelat panasnya. Halaman di depan kami kali ini dibasahi hujan.

Aku mendengus, meremehkan seseorang yang bernama Daniel itu. "Terus kenapa dia bisa jadi superhero?"

Aku mereguk es teh manis dari gelas besar di genggamanku. Bersamaan dengan cuaca panas terik yang ujug-ujug didatangkan oleh Nona. Ya, dari tadi dia melakukan pergantian cuaca seenaknya agar cocok dengan minuman yang masing-masing kami teguk.

"Singkat kata, dia seperti Batman," simpul Nona.

"Tampan, kaya dan jenius, tapi jomblo?" Aku menyebutkan ciri-ciri Bruce Wayne.

"Iron-Man tanpa baju besinya hanya orang kaya-raya biasa. Tapi Batman tanpa kostum dan gadget canggihnya, dia masih bisa bertarung dengan tangan kosong. Itulah Daniel." Ada nada bangga ketika Nona menyebutkan nama Daniel.

"Jadi begitu," aku lama-lama mendengki dalam hati.

"Dia jago beladiri," lanjut Nona. "Yang membuatku kagum dengannya, dia bisa lolos uji kelayakan sebagai superhero walaupun tanpa kekuatan super."

"Sepertinya kamu mulai suka dia." Mukaku mulai memerah karena menahan api cemburu.

Melihat mukaku tampak kegerahan, Nona mengubah cuaca menjadi hujan berangin. Tapi tidak memberi efek apa-apa pada dadaku yang terbakar.

"Dia panutanku di Superhero Inc. Dia yang membuatku akhirnya punya kostum superhero sendiri. Dia yang mengajariku beladiri hingga aku bisa mengalahkan monster dan lulus uji kelayakan," beber Nona tanpa tedeng aling-aling.

Bersaman dengan cerita kekagumannya, hujan mereda. Tiba-tiba ada pelangi di langit. Apa-apaan sih!

"..."

Aku cuma bisa cemberut. Aku merasa Nona sangat hiperbolis menceritakan kehebatan si Daniel itu. Sampai pakai efek cuaca segala. Boros kekuatan saja!

"Tanpa Daniel, mungkin aku sudah dikeluarkan dari Superhero Inc., lalu kekuatanku disterilkan. Aku kembali jadi mahasiswi biasa dan mengeluh seharian karena merasa salah jurusan," pungkas Nona.

"Lebih baik kamu memang kembali fokus kuliah. Berhentilah jadi superhero. Hadapi kenyataan. Bertanggung-jawablah dengan pilihan yang telah kamu buat,” saranku bijak.

"Nggak mau,” tolak Nona mentah-mentah.

"Itu saranku. Saran orang yang paling memahami kamu." Aku mengedikkan bahu.

"Hino, kamu belum benar-benar mengenalku,” kata Nona dingin.

Kata-kata Nona barusan membuatku terpaku. Aku belum benar-benar mengenalnya, dia bilang. Apakah itu tandanya cowok bernama Daniel itu yang lebih mengenalnya?

Baiklah. Aku harus menghentikan perdebatan ini sesegera mungkin. Aku tahu akar permasalahan ini.

"Biar aku saja yang jadi superhero. Kamu jadilah perempuan biasa yang menunggu kedatanganku pulang setelah menumpas kejahatan. Jadilah seperti Mary Jane," pungkasku.

"Aku nggak mau jadi Mary Jane.”

"Oke kalau kamu mau jadi Gwen Stacy."

"Aku tidak mau jadi seperti pacar-pacar Spiderman."

"Oke, jadilah seperti Lois Lane."

"Siapa dia?"

"Pacar Superman."

"Superhero juga?"

"Cuma wanita karir biasa. Kerja sebagai wartawati."

"Aku tidak mau menjadi wanita biasa. Aku ingin jadi Wonder Woman."

Nona memang cewek paling keras kepala yang pernah kutemui.

"Baiklah. Aku izinkan kamu jadi superhero, tapi ada satu syarat," kataku akhirnya.

"Apa?" tagih Nona.

"Jauhi Daniel." Aku memasang wajah insecure.

"Nggak mau," tolak Nona untuk kesekian kalinya.

"Jauhi dia atau aku yang menjauhimu?" ancamku.

"Lagi-lagi ancaman kosong." Nona meremehkan.

"Aku serius." Aku memajang wajah seserius mungkin.

"Memangnya kenapa?" tanyanya.

"Kamu harusnya tahu aku kenapa!" Aku mulai murka.

"Aku nggak tahu kamu kenapa. Tolonglah, jangan selalu memancing keributan. Aku sudah punya banyak urusan selain masalah percintaan kita yang penuh pertengkaran ini." Nona sudah lelah.

"Kamu jenuh dengan pertengkaran kita?" tanyaku.

"Bisa dibilang begitu,” jawab Nona dengan nada lelah.

"Baiklah, kita putus," tandasku.

Nona diam menatapku seakan menungguku meralat ucapanku.

Tapi setelah setengah menit berlalu, aku tidak menarik kata-kataku. Sebab aku serius. Dan keputusanku sudah bulat.

Aku berdiri dan siap-siap pergi.

Langit mendadak mendung. Awan hitam datang lagi. Cuaca seakan menahanku untuk tetap di sini.

Nona membenamkan wajahnya dalam kedua telapak tangannya. "Selalu begini akhirnya."

"Aku memutuskan kamu dan aku tidak akan mengajakmu balikan seperti yang sudah-sudah. Ini putus kita yang terakhir." Aku menghela nafas panjang.

Nona mulai menangis. Diiringi hujan deras dadakan yang dipanggilnya sendiri.

Walaupun hujan, aku tidak mau berteduh di sini. Aku tidak mau lama-lama di dekat cewek super-egois yang selalu ngeyel ini. Apa gunanya aku di hidupnya jika kata-kataku tidak pernah didengarnya?

Aku menembakkan tanaman rambat ke parabola di atap rumah tetangga Nona. Kemudian, aku melesat kemana tanaman rambat terikat. Aku kini bisa lompat dari atap ke atap. Melupakan Nona yang sepertinya sudah menemukan cinta baru.

***

"Mau apa kamu kesini?" Tanyaku pada Nona.

Boleh saja Nona bersembunyi di balik kostum dan topengnya. Tapi aku sudah tahu kekuatan pengendali cuaca hanyalah miliknya. Aku kenal dia. Dan ternyata dia kenal aku.

"Menyelamatkan dia dari gigitan tokek," ucap Nona santai sambil menunjuk seonggok superhero yang sedang meratapi nasib. Badannya tergeletak di atas rerumputan.

Superhero yang digigit tokek itu sudah lolos dari penderitaannya. Tokek melepaskannya saat ada petir yang dibawa Nona. Tokeknya kabur entah kemana.

Mitosnya, tokek sekali gigit orang memang nggak mau lepas-lepas. Kecuali ada petir.

"Sebagai gantinya, aku ambil peti ini ya." Nona mengambil peti yang tadi didapatkan sang superhero korban tokek tersebut. Ketika dibuka, peti itu berisi sebuah payung.

Superhero korban tokek hanya bisa merintih.

Aku diam saja melihat Nona memainkan payung berwarna biru tua itu. Senada dengan warna kostumnya.

"Aku sengaja memundurkan jadwal ujian kepemilikan gadget karena aku sudah mengincar gadget ini. Beruntunglah aku sempat merebutnya." Nona membuka payung, lalu payung itu berputar-putar seperti baling-baling helikopter.

Perlahan-lahan, kaki Nona terangkat dari bumi. Hingga akhirnya Nona benar-benar melayang di udara. Payung itu bisa membawa tubuh Nona kemana pun dia mau. Nona pun terbang menuju garis finish dengan payung ajaib itu.

Setelah melihat Nona melesat di udara, aku membulatkan tekad. Aku tidak akan kalah dari Nona. Aku akan mendapatkan gadget yang akan menunjang karirku sebagai superhero.

Aku ambil langkah seribu untuk mencari gadget yang kumau. Tapi ketika aku berlari kencang, ada tangan yang menarik kakiku. Aku pun jatuh terjerembab. Aku sukses makan rumput.

"Jangan kabur! Kembalikan payungku!" Ternyata tangan yang tadi membuatku tersandung adalah tangan si superhero korban tokek itu. Sudah sadar rupanya.

"Bukan aku yang mengambilnya, tapi mantan pacarku. Dia memang menyebalkan, makanya aku putusin," ucapku setengah curhat. Kakiku masih dicengkeram oleh tangan si superhero korban tokek. Ternyata tangannya bisa memanjang seperti karet.

"Ah! Karena kamu mantan pacarnya, kamu yang harus bertanggung-jawab!" Dia menarik kakiku hingga badanku terseret.

Aku berpikir untuk menembakkan tanaman rambat ke wajahnya. Tapi tidak ada yang keluar dari pergelangan tanganku. Aku baru sadar kelalaian Bob dalam merancang kostum superhero ini. Kostum ini menyumbat kekuatanku. Sebab tidak ada lubang di bagian pergelangan tanganku yang memungkinkan tanaman rambat keluar dari nadiku.

Aku buru-buru menggigit tangan si manusia karet.

"Aw!" Tangannya otomatis memendek lagi.

"Rasakan!" Aku bangkit, kemudian lanjut lari.

Belok kanan, belok kiri, lurus terus. Aku asal saja ambil jalan. Sampai akhirnya, aku dihadang oleh zombie yang tiba-tiba keluar dari tanah berumput. Aku lari menghindari, tapi si zombie terus mengikutiku.

Setiap langkah yang dilalui zombie, muncul zombie-zombie baru dari tanah. Satu saja belum berhasil aku buat tumbang, nongol lagi teman-temannya. Bikin repot saja!

Karena mengambil jalan buntu, aku terpojok.

Zombie-zombie terus mendekatiku. Aku menahan nafas. Ide gila terlintas di kepalaku. Aku pura-pura menjadi zombie seperti mereka. Menurut film yang aku tonton, otakku tidak akan dimakan zombie jika aku bertingkah selayaknya mereka. Sebab zombie tidak makan zombie seperti halnya jeruk tidak makan jeruk.

"Brain... Brain..." Aku mendadak memasang wajah bodoh dan berjalan gontai ke arah mereka.

Tapi ternyata usahaku tidak membuahkan hasil. Salah satu zombie berhasil meraih tanganku dan menarikku ke pelukannya. Sial. Aku buru-buru kabur dari dekapan badan busuknya.

Aku berpikir keras tentang apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status