Share

Evil Factory

Aku lompat dari genteng ke genteng. Aku melesat menuju lokasi yang ditunjukkan oleh aplikasi Go-Hero. Aku harus sesegera mungkin sampai sana. Sebab ada seseorang yang butuh bantuanku.

Aku sempat melamun dalam perjalanan. Aku tak menyangka, seorang superhero geek sepertiku menjadi superhero betulan. Dulu aku sangat menyukai komik superhero. Setiap ada film superhero tayang di bioskop kesayanganku, aku selalu menyempatkan nonton. Ini seperti mimpi yang jadi kenyataan. Dalam sehari, aku berubah jadi superhero. Secara instan, aku bisa memiliki kekuatan.

Ini adalah panggilan pertamaku sebagai superhero profesional. Aku akan melakukan penyelamatan dengan sesempurna mungkin. Tanpa cacat. Zero accident. Excellent. Aku tidak akan merusak pengalaman pertamaku.

Ketika sampai di depan rumah warga yang memanggilku, aku mengucap salam. Tapi aku mendapatkan sambutan yang kurang menyenangkan. Aku disambut seorang ibu yang rambutnya masih penuh roll. Persis tokoh ibu kos galak di sitkom-sitkom.

"Wah, maaf, Mas. Tadi kayaknya kepencet panggilan. Nggak sengaja manggil. HP-nya dimainin anak saya yang masih kecil. Main Pou, biasa, balita kekinian," ucap ibu tersebut dari balik pagar.

"Oh, gitu ya. Jadi di-cancel ya, Bu," ucapku lemas sambil memegang jeruji pagar besi yang menghalangiku dengan si ibu.

"Iya, maaf ya, Mas. Lain kali saya pasti panggil Mas Ijo lagi kalau butuh bantuan," kata si ibu mencoba menghiburku.

Bukannya terhibur, yang ada aku tersinggung. Sudah pakai kostum keren begini, masa dipanggil Mas Ijo? Aku tersinggung untuk dua hal. Pertama, aku belum jadi mas-mas. Kedua, memangnya aku sehijau itu ya? Ijo banget gitu?

Ya namanya juga ibu-ibu, bebas. Mungkin penulis kenamaan Amerika Serikat seperti John Green pun kalau tinggal di Indonesia bakal dipanggil Jojon Ijo.

Dapat panggilan pertama untuk menolong warga, ketika disamperin, ternyata salah pencet. Ini pengalaman konyol di hari pertamaku sebagai superhero profesional. Jadilah aku lesu darah. Aku sudah tidak bergairah untuk petakilan dari genteng ke genteng lagi.

Aku pulang ke kosan naik angkot. Biarlah penumpang angkot lain mengira aku sedang cosplay jadi Ranger Hijau. Aku duduk di sebelah sopir angkot.

"Nggak panas siang-siang pakai baju ketat begitu?" Tanya sopir angkot sambil menyetir.

"Nggak kok. Bahannya adem. Yang jahitnya pinter," jawabku mencoba ramah.

"Oh, kok nggak bawa tape?" Tanya sopir polos.

Biar aku cerna pertanyaannya. Aku pakai kostum nyentrik dan aku ditanyai kenapa nggak bawa tape? Mungkinkah...

"Kemaren juga saya dapat penumpang sama kayak mas begini. Tapi dia pakai kostum Masha," celoteh sopir angkot santai. "Saya minta diputerin kaset dangdut di tape yang dia bawa. Saya bilang, kalau lagunya bisa bikin saya goyang, saya gratisin naik angkot sampai lampu merah depan."

Aku hanya merengut mendengarnya.

"Eh, beneran, saya goyang. Asyik aja gitu goyang sambil nyetir begini," ungkap sang sopir bangga. Dia sempat-sempatnya melakukan reka ulang adegan kemarin.

Aku makin cemberut. Nggak suka melihat gayanya.

"Tapi karena dia turunnya di lampu merah depannya lagi, ya saya minta ongkosnya." Sopir pun tertawa. Terbahak-bahak pula.

"Kiri, Bang!" seruku akhirnya. Fix, aku dikira badut pengamen. Aku sebal.

Walaupun masih jauh dari kosanku, aku terpaksa turun. Tak lupa aku membayar ongkos yang sudah lebih dulu dipotong biaya menghinaku. Lebih baik aku jalan kaki saja. Daripada naik angkot, tapi sopirnya ngomong mulu, bikin saya kesel. Keselnya bisa sampe sebulan nih. Labil sih.

Begitu sampai gang menuju kosan, barulah aku lompat ke genteng untuk menghindari kepergok warga. Aku tidak mau para tetangga tahu kalau ada superhero di kampung ini. Aku takut jika gosipnya bakal sampai ke gerobak tukang sayur. Jika sudah sampai gerobak tukang sayur, para ibu akan bersatu untuk menguak topengku. Identitasku bisa bocor. Berabe.

Aku masuk kamar lewat jendela. Lalu aku melepas kostumku dan melompat ke kasur. Dadaku langsung kesakitan. Ternyata aku menimpa laptop.

***

Keesokan harinya, aku mencoba mengetik paragraf pertama skripsiku di laptop yang kemarin aku tindihi. Lalu terdengar nada pemberitahuan panggilan dari smartphone yang khusus untuk menggunakan aplikasi Go-Hero.

"Marilah seluruh superhero, siapkan dirimu, dengarlah suara yang memanggilmu."

Begitu bunyi Mars Superhero Inc.

Aku kembali deg-degan.

Aku cek lokasi orang yang memanggilku. Sangat dekat dari tempatku sekarang. Selemparan batu. Batu meteor, tapi. Yang lempar juga troll gunung, kukira.

Aku buru-buru pakai kostum, lalu meluncur menuju TKP.

Sampai TKP, aku langsung mengenali orang yang memanggilku. Seorang bocah SMA yang di-bully oleh seseorang yang lebih gede badannya. Siapa lagi orang teraniaya yang butuh pertolongan, selain dia?

Mereka adu mulut di lapangan kosong yang sepi.

"Lo berani-beraninya nyerang desa gue!" kata si tukang bully.

Tukang bully tersebut menunjuk-nunjuk wajah si bocah SMA yang sudah pias. Kalau dibiarkan lama-lama, akan ada orang yang merekam pertengkaran mereka, alih-alih melerai, lalu mengunggah videonya di Facebook. Setelah viral di dunia maya, akan banyak orang yang mengeluh betapa bobroknya kelakukan anak sekolah zaman sekarang. Jangan sampai hal itu terjadi di depan mataku sendiri.

"Ampun, Bang. Saya nggak tau kalau itu desa Abang," aku si bocah cupu khas SMA. "Kalau tau bakal begini, bakal saya lewati aja tadi."

Apa yang barusan aku dengar ini sebuah lelucon? Bocah SMA cupu ini menyerang desa dari si bongsor?

"Ngomong mulu lo kayak sopir!" Bentak si bongsor tukang bully.

Aku buru-buru menengahi mereka.

"Ada apa ini, adik-adikku yang cakep?" Sapaku ramah.

"Ah, superheroku sudah datang!" Si cupu langsung bersembunyi di ketiakku.

Aku bingung. Aku memajang wajah bertanya-tanya.

"Lawan dia, superheroku! Habisi!" Seru si cupu.

"Nanti dulu. Aku perlu alasan kenapa aku harus melawannya. Ceritakan dulu kronologi permasalahannya," ucapku jengkel. "Aku ini superhero lho. Bukan algojo bayaran."

"Jadi, dia marah kepadaku. Karena aku menyerang desanya. Tapi dia tidak bisa balas menyerang desaku. Karena aku sudah memasang tameng untuk desaku," tutur si bocah cupu berapi-api.

"Kamu nyerang desa anak ini?" Tanyaku dengan nada heran.

"Iya dong. Biar aku bisa mengumpulkan modal untuk membangun desaku," kata si cupu.

"Kamu nyerang desa orang dibantu siapa?" Tanyaku dengan kepala pening.

"Sendiri juga bisa," ucapnya bangga.

"Sendirian?" Aku terheran-heran. Anak sekolah zaman sekarang begini amat. Mainnya nyerang-nyerang desa. Di sekolahnya udah nggak diajarin PPKN kali ya.

"Sekarang, kalian baikan. Dan berjanji jangan saling serang desa lagi. Pokoknya, desa siapa saja jangan kalian serang. Nanti kalian ribut lagi kayak begini," kataku coba mendamaikan dua bocah labil tersebut.

"Ya nggak bisa begitu dong, Bang. Kalau nggak nyerang, nggak asyik," sanggah si bongsor.

"Iya, nih. Aneh banget si Abang superhero," timpal si cupu.

"Emang kalian nggak dimarahin orangtua kalian kalau ketahuan nyerang-nyerang desa begitu?" Tanyaku.

"Nggak lah. Mereka juga main," jawab si cupu.

"Main? Main apaan?" Aku semakin tidak mengerti.

"Game ini," si cupu menunjukkan smartphone miliknya. Layarnya menampilkan sebuah game perang antar desa.

What the paradise! Anak-anak ini... Mungkin hanya aku di sini yang game-nya terhenti di Plants vs. Zombies.

Aku menjajal game perang tersebut. Coba nyerang sekali, ternyata seru juga. Aku ketagihan.

Si bongsor yang dari tadi diam saja, tiba-tiba meninju perutku.

Aku tidak siap dengan serangan dadakan itu. Aku langsung menyuruh si cupu menyingkir agar tidak terkena tendangan nyasar.

"Santai, Sob," ucapku menenangkannya. "Sebelum mulai, kita bacain term and condition dulu."

Aku mencoba mencairkan suasana, tapi mukanya si bongsor malah kelihatan panik parah. Selera humor dalam jiwanya telah sirna, sepertinya.

"Maaf, Bang. Aku nggak sengaja. Tanganku gerak sendiri," akunya tak masuk akal.

"Lucu lo, bocah!" Aku tertawa kering. Lawakan macam apa itu. Tangan bisa bergerak sendiri, katanya? Kalau mau bergerak sendiri itu jangan yang nyusahin orang. Lebih baik, ketika tangannya gerak sendiri, dipakai untuk menulis. Tanpa sadar, bisa jadi tujuh seri novel fantasi.

Sebelum tangan bocah ini gerak sendiri untuk kembali menonjok, buru-buru aku pasang kuda-kuda.

"Awas, Bang!" Seru si bocah cupu dan bocah bongsor hampir berbarengan.

Sekali lagi, tinju si bongsor melesat ke arahku. Tapi kali ini aku berhasil menahannya. Tangan satunya ikut beraksi, aku kunci juga. Lawan bocah SMA sih urusan kecil bagiku.

"Yang barusan juga digerakin setan?" Tanyaku sambil menahan kedua tangannya.

"Iya, Bang. Aku takut. Aku nggak bisa mengendalikan diriku lagi. Badanku bukanlah badanku." Si bocah bongsor mendadak drama.

Aku melepas tangannya. Sesaat, si bocah bongsor langsung melakukan tendangan keras ke arahku. Untungnya, aku sempat melompat ke belakang.

Kali ini aku percaya jika si bocah bongsor ini digerakkan oleh seseorang. Apa yang barusan dia lakukan kepadaku memang jahat, tapi itu tidak berasal dari niatannya sendiri. Wajahnya tampak ketakutan. Takut adalah ekspresi paling jujur.

Untuk mencegah si bocah bongsor memukulku tiba-tiba, aku tembakkan tanaman untuk melilit badannya. Badannya kini seperti mummy yang dibungkus tanaman hijau.

"Sekarang kamu bisa tenang. Nggak ada yang bakal coba menggerakkan badan kamu lagi," ucapku setelah melumpuhkan tingkah liar si bongsor.

Si bocah cupu mendekatiku dan berkata, "Bang, musuh sebenarnya memang bukan dia. Tapi orang yang sedang mendekati kita."

Terdengarlah suara tawa nyaring yang bersumber dari belakangku.

Aku menoleh dan mendapati sesosok laki-laki gondrong. Aku kira Hyde vokalis L'Arc-n-Ciel. Tapi yang ini versi kelingnya.

"Yah, udahan deh main boneka-bonekaannya," ujar si gondrong dengan raut wajah kecewa.

"Siapa kamu?" Pertanyaan standar dariku.

"Kamu nggak perlu tahu siapa aku. Yang harus kamu tahu, aku sayang kamu." Si cowok gondrong itu mengedipkan matanya genit.

"Cih." Aku merasa jijik. "Belum kenalan udah bilang sayang. Kenalan dulu dong."

"Nggak mau," tolaknya sadis.

"Oh. Ya udah," tandasku.

"Kamu udah makan?" Tanyanya mendadak perhatian.

"Sarapan udah. Tapi belum makan siang," jawabku cepat. "Eh, kamu kok nanya-nanya sih? Emang mau traktir?"

"Iya, nih, aku bawain makanan buat kamu," katanya manja.

Kemudian dari arah timur melesat sekaleng sarden menuju wajahku.

BUK!

Pipiku terhantam kaleng sarden terbang. Kaleng tersebut jatuh ke tanah setelah membuatku pipiku lecet.

"Aduh, maaf. Aku lupa kasih nasinya ya." Si cowok gondrong mengacungkan telunjuk.

Sejurus kemudian, datanglah karung beras terbang. Kali ini aku ketiban karung beras. Ampun, beratnya.

"Oh, kamu suka yang udah matang ya?" Si cowok gondrong kembali mengacungkan jarinya lagi.

Ketika jarinya bergerak ke arah kiri, bersamaan dengan itu muncul rice cooker melayang.

Aku masih berusaha bangkit dari karung beras yang menimpaku.

Sebelum kepalaku bocor terhantam rice cooker terbang, aku langsung lompat ke atas genteng rumah. Masih dengan cara mengeluarkan tanaman dari telapak tanganku.

Baru saja aku melarikan diri. Aku berdiam diri untuk menyiapkan strategi. Selanjutnya, aku akan melakukan perlawan kepada cowok misterius ini.

"Aku dari Evil Factory, by the way," ujar si cowok gondrong.

"Gawat, Bang Superhero! Evil Factory itu...!" Sebelum menyelesaikan kalimatnya, mulut si bocah cupu keburu kesumpel centong nasi yang entah dari mana asalnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status