Airlangga Sakha Handojo POV
"Tuh 'kan, kita jadi dilihatin satu mal. Malas ah ...."
Kudengar keluhan imut itu berulangkali terucap. Kutahu dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini. Dilihatin sebagian besar pengunjung pusat perbelanjaan karena sedang jalan dengan seorang taruna berseragam. Itulah kenapa dia tidak suka jika aku berseragam. Memang sih, siapa yang suka jadi pusat perhatian.
"Mau gimana lagi, seragam ini nggak boleh dilepas!" ucapku datar.
"'Kan bisa pakai jaket," keluhnya lagi.
"Panas, ogah. Biar aja kenapa sih. Angkat dagu dan busungkan dada ajalah. Bangga gitu jalan sama calon perwira, ganteng pula."
"Idih narsis. Bangga itu cukup dalam hati Mas. Nggak perlu publikasi. Berlebihan namanya." Gadis kesayanganku ini tetap menggerutu, semakin gemas.
Aku menatapnya lurus, "ya udah aku lepas baju aja, shirtless. Biar heboh satu mal. Gimana?"
Dia bergidik ngeri sambil mengangkat bahunya, "yang ada aku dikira bawa orang gila."
"Woo asem!" umpatku pada Kania yang berjalan lebih cepat. Anak satu ini tidak berhenti membuatku gemas.
"Kita mau ke mana sih Mas?" tanyanya bingung karena kami cuma berputar-putar dari lantai satu dan dua. Gitu aja terus.
"Mau cari sesuatu dulu, sabar kenapa!" kataku agak keras.
Dia menurut saja mengikuti gandengan tanganku. Wajahnya yang imut khas anak SMA terlihat agak lelah. Lucu, ya? Bikin aku kangen terus. Namun, suka sekali menggodanya.
"Mas Angga, aku lapar," keluhnya pelan.
Aku berhenti dan menatap wajahnya, "emang kamu belum makan?"
Dia menggeleng pelan, "lupa tadi karena buru-buru."
"Iya deh. Cepetan dong cari sesuatunya!" Anak ini kembali mendesakku.
Aku menurut dan akhirnya bergegas mencari sesuatu itu. Sebenarnya aku sedang mencari sebuah studio foto. Aku ingin mengabadikan potret kami dalam selembar foto. Walau kisah kami tersembunyi pada khalayak, tapi biarlah foto jadi saksinya.
Akhirnya kami menemukan sebuah studio foto di lantai dua. Gegas kami bersiap mengambil gambar dengan seorang pengarah gaya. Namun, kami kembali terlibat kebingungan saat memilih gaya foto macam apa.
"Kita gaya apa ini?" tanyaku bingung yang membuatnya makin cemberut.
"Gimana sih ngajak foto tapi nggak tahu apa gayanya. Capek deh!" keluhnya imut.
"Ya udah gaya lurus ke depan aja, ya?" kataku kaku. Ya aku memang old school alias kuno.
"Nggak sekalian bawa papan kayak tahanan." Anak ini merajuk lagi, sangat lucu.
Aku hanya tertawa gemas sampai dia memukul bahuku, "kok ketawa sih, Mas. Seriuslah, aku udah lapar!"
"Ssiaap." Akhirnya aku memegang pundaknya lalu menghadapkan wajahnya pada kamera.
"Sudah siap Mbak dan Mas?" tanya fotografer.
"Iya Mbak udah. Maaf, ya!" ucap Kania malu.
Aku lantas memepetkan bahunya pada bahuku dan dengan cepat kukecup pipi ranumnya, "cup!" Sebuah suara tercipta.
Dia kaget dan menatapku lurus lalu ada sebuah lampu kilat. Tanda potret kami telah ditangkap. Akhirnya aku bisa sedikit nakal pada gadis kecil kesayanganku ini. Tak apalah aku nekat mengecup pipinya. Aku juga sudah sangat memberanikan diri. Bahkan menahan diri sejak SMA. Tidak mungkin aku mencium anak SD waktu itu, bukan? Aku memang pertama kali melihatnya saat dia masih SD.
"Ap - apaan Mas ...," desahnya tak percaya.
Aku tersenyum sambil menggaruk jambul, "maaf, ya. Kelepasan."
Dia tersipu malu, "ekspresinya jadi jelek, 'kan, Mas?"
Sejenak kemudian kami tertawa pelan bersama. Malu pastilah. Namun, tampaknya dia telah baik saja. Dia pasti senang mendapatkan ciuman pertama kami. Walau status kami tak jelas, tapi sudah jelas aku miliknya. Dia milikku.
Tak berapa lama, foto sudah selesai dicetak. Kami duduk berdua di warung mi ayam sambil tertawa geli melihat hasil foto tadi.
"Wah, yang ini Mas Angga kelihatan jelek!" ujar Kania sambil menunjuk mukaku yang datar di foto.
Aku menjundunya, "kamu juga kelihatan gendut di sini."
"Tapi ada yang suka cium pipiku lho!" ucapnya yang membuat hatiku tersengat.
"Nyesel aku cium kamu, Cah!" sesalku yang tak serius.
"Ya udah nanti aku aja yang cium Mas Angga."
"Kapan eh?" desakku penasaran.
"Nantilah ... tunggu aja!" ucapnya sok keren, tapi berhasil membuatku hatiku berdebar keras.
"Enak lho mi ayamku, Mas." Dia lantas menyuapi sesendok mi ke arah mulutku. Kurang asem.
"Panas woey. Dodol kamu!" umpatku sambil menggosok lidah.
Dia ngakak. Dasar Unyil. Kujitak juga nih anak pakai granat.
---"Aku masih kangen Mas Angga," ucap Kania pelan sambil melingkarkan tangannya pada pinggang rampingku.Kami sedang ada di pinggir kereta di stasiun Kota Malang. Kereta itu akan membawaku ke Yogyakarta lalu ke Magelang lagi. Tentu untuk kembali berjuang di lembah itu. Sedikit lagi sebelum akhirnya lulus jadi perwira.
"Tunggu aku pulang lagi, ya, Kania?"
Dia membentuk tanda hormat di kening dengan tangannya, "siap! Selalu di sini, menunggu Mas Angga."
"Kita nggak bisa lama ngobrolnya. Bunda memaksa menungguku tadi," sesalku sambil celingukan.
Dia menggeleng, "nggak apa. Yang penting kita ketemu."
Inilah kenyataannya. Kami masih terus bersembunyi di belakang orang tuaku. Tadi Kania menunggu agak jauh sembari menanti Bunda pulang. Seperti memeluk bom waktu yang entah kapan meletusnya. Mau bagaimana lagi, harus kupatuhi perintah ayah untuk fokus pada pendidikan. Nyatanya, aku malah jatuh cinta.
"Kasih aku semangat juga dong Mas. Aku mau UAN."
"Ya udah selamat ujian semoga sukses," ucapku pendek.
"Ya udah sama-sama," tukasnya pendek.
"Kok gitu sih." Ucapanku terdengar kecewa.
"Abisnya Mas Angga juga datar," katanya jujur.
Aku maklum dan tersenyum tipis. Anak ini memang unik. Seorang Airlangga sangat sulit melawannya. Aku marahpun juga percuma. Sebab dia tak pernah takut padaku. Yang ada malah dia ketawa kesenangan karena melihatku marah. Tercipta dari apa sebenarnya dia. Mungkin matahari, kokoh bersinar kuat.
Aku menatapnya lembut, "Kania yang rajin belajar, ya? Jangan ngelamunin aku terus. Banyak makan supaya kamu tetep imut. Jangan mencontek saat ujian. Semoga Kania bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Jangan lupa pikirkan cita-citamu. Jangan hanya berpikir untuk menjadi istriku saja."
"Kania akan patuh kali ini sama Mas Angga. Namun, untuk cita-cita, Kania tetap ingin jadi istrinya Mas Angga," ucap Kania lembut. Rasanya ada air hangat yang menyelip dalam hatiku. Tuhan, jadikan dia masa depanku.
"Status apapun tidak ada yang bisa menggambarkan rasaku padamu, Kania. Pacaran? Itu terlalu sederhana untuk cintaku yang begitu kompleks. Kamu selalu kusebut dalam doaku," ucapku pelan.
"Perkataan itu sangat ...," Klakson kereta berbunyi dengan keras lalu disusul dengan peluit, "manis."
"Aku harus berangkat," pamitku dan dia mengangguk.
"Berhati-hatilah di jalan. Aku selalu menunggu kedatanganmu. Doaku selalu berisi namamu. Cinta saja tak bisa mencakup rasaku padamu. Semoga Mas Erlan jadi masa depanku. Jadilah perwira yang hebat dan raihlah penghargaan bergengsi. Buat kedua orang tua Mas bangga." Aku mengangguk dalam.
Aku melambai sambil memegang telunjuk tangannya, "sampai jumpa lagi, Kania."
Dia tersenyum lembut dan masih kulihat senyum itu sampai aku duduk di dalam gerbong. Senyum lembutnya yang membuat seorang Erlan bergetar. Aroma wangi pelembut pakaian yang tak pernah terganti. Suara imutnya masih terngiang merdu. Tingkah lucunya. Rasa pipinya yang ternyata selembut kulit bayi. Dia menarikku dengan caranya sendiri.
Kania memang bisa jadi apa saja sesuai imajinasiku. Mungkin benar kami tercipta oleh surga, cocok. Saat malamku gelap dia jadi bulan purnama. Saat pagi dia jadi matahari yang hangat. Dan saat siang terik dia jadi langit yang teduh. Semoga waktu terasa cepat berjalan agar aku tak bosan menanti pertemuan-pertemuan kami.
Walau masa di depan masih gelap. Masih kuraba kemana arah cintaku setelah jadi tentara nanti. Pekerjaan sudah jelas tapi percintaanku yang masih gamang. Apalagi kedua orang tuaku tak tahu hubungan kami. Apa mungkin mereka takkan pernah tahu? Dadaku terasa sesak bila ingat ucapan ayah kemarin sore.
"Bunda, kapan kita kenalkan Erlan dengan anaknya Mas Danu? Dia akan praspa, sudah waktunya kan?"
"Nantilah, Yah. Biar dia konsentrasi pada pendidikannya dulu."
****
Bersambung...Kania Langit Amaranata POVSaat terpisah dengan Mas Angga, aku selalu banyak berpikir. Kebanyakan mengingat masa lalu kami bersama. Bagaimana kami bertemu. Bagaimana kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bagaimana perangai galak dan menyebalkannya.Kadang aku jalan ke tempat kenangan kami sambil mengingat momen itu. Ke warung mi ayam favorit sejak SMA. Selalu saja dia dilihat orang banyak karena seragamnya. Tidak selalu seragam sih, kadang wajah gantengnya saja sudah menarik orang.Mas Angga memang bak medan magnet. Bisa menarik kutub yang berlawanan dengannya. Banyak yang terpaku dengannya. Begitu pun denganku. Aku rela menjalani separuh waktu hidupku untuk mencintainya. Walau itu tanpa status, aku rela. Padahal aku sama, wanita yang butuh status.Berjauhan dengannya membuatku banyak berpikir. Bagaimana aku bisa menjalani waktu ini. Saat dulu dia masih daftar tentara, kami selalu bersama. Tentu dengan sembunyi-sembunyi. Aku se
Kania Langit POVKunci berhubungan dengan lelaki berseragam itu adalah sabar. Itu kataku, tentu pada diriku sendiri. Apalagi jika harus menjalani hubungan tersembunyi seperti ini. Harus makin sabar dong. Walau itu terasa menelan pil pahit tanpa air. Kebayang, 'kan, gimana rasanya?Sejak awal, kata sabar adalah kunciku untuk Mas Angga. Dia yang galak, dingin, tak banyak bicara, bahkan kadang sadis. Dia lebih suka mengajakku berjalan jauh demi bicara banyak. Padahal kami bisa ngobrol di kedai es atau bawah pohon ceri. Dia senang bertindak kasar untuk menunjukkan perhatian dan cintanya. Padahal halus pun sangat menyenangkan.Ya itulah Mas Angga dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Cuek selangit adalah sifat paling menyebalkan sedunia. Dia tahu, kami saling rindu. Namun, dia enggan menghubungiku. Iyalah aku nomor kesekian dalam hidupnya, tapi nggak gini juga. Aku kangen, tapi takut menghubunginya.Balas suratku lagilah atau mun
Aku menatap gadis cantik di sebelah yang sedang manyun. Sebenarnya hatiku bak ombak yang naik turun. Tak mudah mengekspresikan rasa rindu ini. Seorang Erlan bisa jadi manusia aneh jika sedang rindu macam begini. Ingin rasanya melakukan hal lain lebih dari pelukan. Namun, aku takut melakukannya. Sebab Kania perempuan pertama yang dekat denganku sejak masa puber.Ya cuma ini caraku menunjukkan betapa rindunya aku pada Kania. Setelah berbulan-bulan tak bertemu, dia makin cantik saja. Calon dokter lagi. Cita-cita yang tak pernah dia katakan padaku. Bahkan, mungkin terbesit saja tak pernah. Kesayanganku akan jadi calon dokter. Bangga punya dia."Ayo dong mulai cerita!" ujarku setelah kami berhenti di jalanan yang sepi.Seperti ada gundukan es yang runtuh, "akhirnya, disuruh cerita juga.""Iya calon Ibu Dokter, gimana sih ceritanya? Bagaimana bisa kamu mau jadi dokter? Yakin kamu bisa? Mau jadi dokter apa memangnya?" cerocosku seperti petasan rawit."Kan
Kedua insan itu bergandengan tangan di sepanjang jalan setapak lapangan Rampal. Tak banyak bicara, hanya diam sambil menikmati dinginnya Kota Malang. Kania menunduk sembari menatap kaki mungilnya. Sesekali dia melihat kaki tegas Erlan. Berbeda dengan Erlan yang sesekali mencuri wajah Kania. Tak henti dikaguminya wajah cantik itu."Kania cemong Mas?" tanya Kania tiba-tiba yang membuat Erlan kaget."Iya, jelek banget!" jawab Erlan spontan yang membuat Kania mendongak.Dia bergegas mengelap mulutnya, "aduh kenapa gak bilang dari tadi sih, Mas?""Biarin, biar kamu jelek dan gak dilirik sama siapa-siapa!" jawab Erlan sekenanya."Gak adil Mas Erlan ih!" protes Kania."Terus apa, kamu mau tebar pesona sama tamtama remaja yang lagi korve itu?" tanya Erlan setengah cemburu."Siapa juga yang tebar pesona? Mas Erlan cemburu, ya? Dari tadi aku nggak lihat kemana-mana. Aku nunduk terus karena mau jaga pandangan. Aku jaga hatinya Mas Erlan. Mas kal
"Terimalah hukumanmu, Kania! Ha ha ha!"Seorang lelaki tegap cekikikan sendiri sambil tengkurap. Wajahnya terlihat sangat puas. Keringat membasahi kulit putihnya. Sementara itu, si wanita terlihat lemas dan kesal. Tangan mungilnya terasa hampir putus. Itu karena hukuman yang diberikan si lelaki alias Erlan setiap malam. Hukuman itu adalah Kania harus memijat punggung Erlan sampai lelah."Kenapa sih pacaran sama Mas Erlan gini amat," keluh Kania pelan.Erlan mendongak dan melihat Kania, "kenapa kamu mau yang lebih?""Eng ... enggak kok Mas," ucap Kania terbata. Dia takut Erlan melakukan hal yang lebih apalagi mereka sering berdua di rumah."Kok takut gitu. Gak level kali aku sama kamu, Ka," ejek Erlan seolah membaca pikiran Kania."Gak level kok cinta sih," alih Kania sambil duduk dan menyilangkan tangannya di hadapan Erlan. Wajahnya terlihat lelah namun manis."Terpaksa," sahut Erlan sekenanya."Padahal Mas Erlan bisa
"Melihatmu memperlakukan gadis itu, pasti dia sangat spesial ya?""Emangnya gue gimana?""Lo nggak bisa sembunyikan itu dari gue, Lan. Bahkan, untuk kita yang nggak terlalu dekat, kalian itu kentara banget.""Hati gue emang milik dia, Nu.""Jadi artis akademi kita ini beneran jatuh cinta?""Gue jadi elek-elekan karena dia!""Itulah cinta, Lan."Erlan mengusap mata tajamnya yang beriris coklat. Ingatan tentang percakapannya dengan Ibnu kemarin kembali terputar. Ternyata perasaannya pada Kania sangat terlihat. Padahal sebisa mungkin dia menyembunyikan itu, tapi gesture tubuhnya tak dapat dibohongi. Akankah hubungan diam-diam selama bertahun-tahun ini akan terungkap? Memikirkan saja sudah membuat Erlan berdebar.Erlan kembali merebahkan tubuhnya di kasur mess perwira di batalyonnya. Dia lelah setelah tradisi masuk satuan. Namun, matanya belum bisa terpejam kar
"Udah kamu unggah foto terbaruku?" tanyaku tegas pada seseorang di seberang telepon."Siap Abang Sayang..." balasnya kurang ajar."Heh, jangan kurang ajar kamu ya!" ancamku tak suka."Terus saya harus gimana Bang. Katanya kita pacaran, masak harus izin-izinan segala," kata perempuan tomboy itu, sebut saja dia Aruni."Iya, tahu tempatmu ya!" kataku seram.Dia berdehem kecil, "siap Bang!""Suaramu yang enak. Jangan malas kamu jawab saya!" ancamku lagi. Aku tak suka kelihatan lemah di depannya."Siap Bang. Sudah saya unggah foto terbaru Abang di Instagram saya demi pencitraan di jejaring sosial. Laporan selesai.""Oke, lanjutkan. Kita tetap pada perjanjian awal kan, aku dapat status palsu dan kamu dapat ketenaran. Jangan melanggar itu, jangan sampai bocor kemana-mana.""Siap Bang!" jawab Aruni pelan.Telepon kututup. Ya ya ya, aku memang jahat sama Aruni, hanya sama dia. Sama perempuan lain sebut saja Kania, tentu ti
Malam hari saat berjauhan dengan orang terkasih adalah saat yang berat. Gelap malam membawa kenangan tentang kebersamaan yang tak mungkin terjadi. Saat malam, ingatan tentang cinta semakin kuat dan memuakkan. Rasa rindu makin pekat seiring pekatnya langit malam.Erlan dan Kania telah melalui banyak malam menjemukan seperti itu. Cerita mereka banyak bergulir di malam hari. Sebab pagi dan siang mereka selalu sibuk, tiada sempat bicara selain hanya menyapa.Kadang malam mereka isi dengan saling merindukan. Kadang malam juga mereka isi dengan pertengkaran kecil khas hubungan jarak jauh. Namun, kali ini malam mereka isi dengan saling berpegangan tangan di dalam gerbong kereta yang membawa mereka menuju Jakarta.Hari itu datang juga. Dimana akhirnya Kania akan diperkenalkan secara resmi seba