“Meski kita tidak bersama, aku akan selalu mendoakan untuk kebahagiaanmu. Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu. Kelak dikaruniai anak yang soleh solehah. Anak yang cantik dan ganteng, serta lucu-lucu. Mereka pasti mewakili fisik rupawan sepertimu dan Mbak Nabilla. Semoga Mas Erlan bahagia selamanya.”
Doa macam apa yang telah kamu ucapkan, Kania? Mengapa itu terasa getir dan menusuk perasaanku berkali-kali. Doa itu sangat indah tanpa dendam mendalam. Namun, mengapa ini terasa sakit? Begini rasanya kehilangan mendalam itu? Kamu masih di dunia ini tapi bukan milikku lagi. Kita berjalan di bawah langit yang sama, namun tak bisa bergandengan tangan lagi.
“Izin Bang, Kania sudah masuk ke rumahnya.”
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan saya :)
Aku tak pernah bisa melupakanmu, Kania. Sejak masa sekolah, hatiku telah tertambat padamu. Kamu beda, selalu saja memesona dengan caramu sendiri. Kutahu kamu menempel pada kakak kelas itu. Ya, aku memang kalah populer dibanding dia. Semua orang tahu jika kalian jatuh cinta. Tapi, bodohkah aku jika selalu menyisipkan namamu dalam doaku?Masih kuingat caramu menolakku. Katamu, hanya ingin setia pada Mas Erlan. Hatiku adem mendengarnya. Baru kali aku tak emosi ditolak perempuan. Justru kagum dengan kesetiaanmu. Padahal statusmu dan dia tak jelas, tapi hatimu dijaga untuknya. Andai saja hatiku yang kamu jaga? Pasti aku jadi lelaki terberuntung di dunia.Aku menjauh, menempuh jarak demimu. Meraih cita-cita untuk masa depan. Siapa tahu kelak kita bertemu lagi. Siapa tahu kelak waktu kita sama dan bersatu. Aku akan hadir sebagai sosok dewasa,
Aku berdiri di tepi karang yang tinggi. Menatap hamparan samudera yang biru dan luas. Terlihat teduh mendinginkan hati dan mataku. Berharap mereka bisa seluas samudera ini. Menerima semua kepahitan hidup. Pikiranku kosong, sebab bingung akan memikirkan apa. Yang jelas bukan untuk membunuh diriku.Aku ingin menata hidupku yang berantakan. Mengobati hatiku yang telah tercecar tertabrak badai asmara. 10 tahun menjadi kekasihnya lalu tidak berakhir di pelaminan. Bahkan, kami mengambil keputusan untuk saling melupakan selamanya. Ini sangat menyakitkan.Tapi, tak apa. Seorang Kania masih baik-baik saja. Hingga sebulan dia menikah, aku masih bernapas dengan afiat. Apalagi setelah melihatnya bahagia mengunggah foto bersama sang istri di media sosial. Mereka terlihat bahagia sekali. Seorang Kania saja tak pernah terpajang di media sosialnya. Sen
"…kalau mau pisah saja baik. Coba dari kemarin baiknya.""Teh kalau kemanisan jadi eneg. Aku nggak mau diabetes, okay!"Sungguh, aku rela kena diabetes saat itu juga jika tahu inilah akhir kami. Kenapa aku tak memperlakukannya dengan manis sepanjang waktu? Kenapa harus judes? Kenapa harus kejam padahal aku sangat mencintainya? Kenapa aku hanya bisa manis di saat-saat terakhir, saat kami akan berpisah. Andai saja bisa kembali ke waktu indah saat sekolah, saat kami masih bersama. Sebagai sepasang anak sekolah yang kasmaran.Penyesalan selalu datang belakangan, kalau di depan itu pendaftaran. Itu kata orang, tapi memang benar. Percayalah di saat usia pernikahan konyol ini sudah seminggu, aku merasa sangat menyesal. Sebab telah memperlakukan Kania dengan sia-sia. Andai saja aku tahu jika begini akhir kami
Kania menatap deretan koper miliknya dan milik dokter yang lain. Mereka sedang berada di depan pintu masuk bandara Abdurrahman Saleh. Beberapa menit lagi dia akan masuk dan berangkat ke Papua. Tentu sesuai dengan perkataannya, ia ingin mengabdi di pedalaman. Untuk menimba ilmu sekaligus untuk melupakan semua kepahitan hidupnya.Sang bapak tentu saja berat hati melepasnya. Pun dengan rekan sesama dokter di rumah sakit. Kania terlalu kalem jika dibanding kerasnya alam Papua, kata mereka. Mengapa juga dokter sekompeten Kania harus pergi jauh ke Timur Indonesia. Cukup mengabdi di sini sama saja. Mereka masih membutuhkan Kania.Bagi Wirya tentu berbeda. Dia justru sedang mengurus sesuatu selain mengurus hatinya yang sakit karena Kania. Mungkin ikut ke pedalaman bertugas mengawal negara dan Kania. Mungkin juga untuk mencari penawar luka. Yang jelas keputusan Kania selalu didukungnya. Kendati lelaki itu memilih untuk mengen
Langit mulai mendung, sebentar lagi akan hujan. Air langit mulai menetes satu dua. Suasana Malang mulai lengang karena orang-orangnya malas keluar. Mendung membuat mereka malas gerak. Namun, tidak dengan si manis Kania. Selepas dari rumah sakit, dia keluar agak cepat. Siang ini dia akan bertemu dengan seseorang.Tentu saja Wirya, yang pulang agak cepat daripada biasanya. Dia turun piket dan ingin bertemu dengan Kania. Kerinduannya memuncak kendati baru dua hari mereka tak bersua. Sekota membuat Wirya leluasa mengumbar rindu. Terkadang dia menatap Kania dari kejauhan tanpa menyapanya. Agar rindunya bisa terpuaskan tanpa harus mengganggu hidup Kania terlalu banyak. Budak cinta, kata Wirya pada dirinya sendiri.Kania tersentak melihat pintu mobil di depannya telah dibuka, “lho kok dibukain?”
Airlangga Sakha POVSenja mulai merayapi langit Jakarta yang sedikit mendung. Hawanya dingin membuatku malas melakukan apapun. Sepulang dinas kupilih duduk di ruang tengah sambil menatap TV, bukan menonton. Sebab perhatianku lebih tertuju pada istri pernikahan konyol ini, Nabilla alias Abel. Abel sedang menyapu teras depan sambil sesekali melenguh kesal, karena daun yang disapunya bertebaran lagi ditiup angin. Tiap tingkahnya menggelikan.Sesekali aku tersenyum tanpa sadar sebab tingkah Abel mengingatkanku padanya. Dia ceroboh, kekanakan, ceria, dan apa yang dikerjakannya selalu tak beres. Membuatku gemas sendiri dan ikut turun langsung. Ah, aku tak sedang ingin mengingatnya. Pasti dia juga sedang tertawa lepas bersama lelaki itu.Tentang Nabilla alias Abel. D
Nasi goreng jawa sudah matang di sore yang mendung dan dingin ini. Mungkin musim hujan akan datang, hingga mendung sering berkunjung. Walau suram, tapi hatiku cerah. Sebab bunga cinta sedang tumbuh dan bersemi. Walau masih berjuang tumbuh, tapi akan terus kusirami.Bapak baru saja pulang dinas saat aku selesai memasak. Sore ini aku tak sibuk di rumah sakit hingga bisa menemani bapak makan di rumah. Sore yang langka dan aku sangat bahagia. Sebab aku merindukan bapak. Wajahnya berbinar melihat piring nasi goreng buatanku. Tak lama langsung duduk dan bersiap makan.“Tok…tok…tok!”“Siapa ya yang datang?” gumam Bapak sambil menatap pintu ruang tamu.“Biar Kania yang buka, Pak.”&
Sumpah demi apa saja kali ini aku seperti sedang bermimpi. Sebab seseorang di depanku itu benar-benar nyata. Dia adalah perempuan yang selalu jadi benang merah antara aku dan Mas Erlan, Aruni. Namun, kenapa ia sekarang tetap ada di hubunganku bersama Mas Wirya. Sebenarnya dia siapa hingga bisa masuk ke hidup siapa saja. Nama Aruni bak mengikuti hidup Kania kemana saja.Benar sekali, seseorang yang baru datang dan sedang duduk bersama kami di meja makan ini adalah Aruni. Aruni dari Jakarta, mantan kekasih Mas Erlan atau cuma kekasih pura-pura. Dia sedang tertawa penuh arti bersama kedua orang tua Mas Wirya. Entah apa artinya? Apa mungkin aku akan dipermainkan lagi kali ini? Atau mungkin Aruni akan jadi ganjalan bagiku dan Mas Wirya.Apa maksud kedatangannya ke sini? Dia kenal keluarga Mas Wirya? Lalu Mas Wirya tidak tahu apa hubungan Aruni, Mas Erlan, dan aku? Semua terasa membingungkan hingga suara Pak Hutama memecah