Di awal kisah, sudah tersinggung sedikit tentang keluargaku. Sebenarnya aku malas membahas tentang mereka, tapi ya mau tak mau itu harus dibahas. Mau gimana lagi, ini kisah hidup Alana. Emangnya Alana langsung lahir ke dunia, tanpa kedua orang tua? Nggak mungkin, kan? Oleh karena itu, mereka harus kuceritakan dalam kisah ini.
Biasanya ayah memanggilku Savannah, dengan suara manisnya. Sumpah ya ayah ini tentara, tapi nggak ada serem-seremnya. Biasanya bunda memanggilku Al, Lana, Lan atau Alana pakai tanda seru. Panggilan itu tergantung sama suasana hatinya sih. Terus kalau abang ganteng manggil aku dengan cukup singkat, Nak! Pakai ekspresi datar dan suara sadis ala-ala polisi galak gitulah.
Sumpah ya Bang, bisa gak sih manggil aku tuh yang normal aja. Alana, pakai nada suara manis gitu bak kakak ke adiknya. Bukannya malah kayak anak-anak ke emaknya. Naaak! Nakkk! Emangnya aku ini penanak nasi? Emangnya aku sejenis kata 'enak' gitu? Ih, KZL! Padahal abangku itu ganteng loh sumpah. Suaranya juga bagus, sebelas dua belas sama Mas Afgan alias mendayu merdu gitulah. Namun, ya gitu deh, kalau udah manggil aku persis kayak tikus kejepit pintu, sengak.
Bisa dibayangkan 'kan gimana keluargaku? Gak mirip-mirip amat sama keluarga TNI pada umumnya yang kaku dan dingin, 'kan? Ayah yang melankolis dan sedikit puitis, overprotektif terutama sama aku. Lalu bunda yang galak, cerewet, judes, dan gampang luluh serta tak mau kalah overprotektif. Abang ganteng yang ngeselin, yang nggak pernah ngajak aku jalan atau beliin coklat. Aku kurang kasih sayang, atau kebanyakan kasih sayang sih?
Selain itu, aku juga berada di antara himpitan kegalauan ayah dan Bang Ranu. Benar, mereka sedang terlibat konflik dingin terselubung. Bukan jadi rahasia kalau ayah nggak suka sama profesi abangku. Padahal kurang keren apa sih dia? Berseragam karena seorang polisi muda, mapan, sudah langsung perwira lagi di usia 25 tahun, dan gantengnya mewarisi ayah banget.
Bang Ranu adalah tipikal anak yang adorable dan pamer-able banget. Ganteng iya, mapan iya, keren iya. Di usia 19 tahun masuk Akpol dengan mulus tanpa sepeser rupiahpun. Di usia 23 tahun lulus dengan meriah Adhi Makayasa. Dan sekarang ia sudah menyandang gelar Ipda alias Inspektur Polisi Dua. Balok emas di pundaknya, Bok! Beneran deh sampai sekarang halaman depan rumah dinas ayah masih sering dipenuhi buket bunga buat dia. Biasalah dari fans fanatik dia gitulah, euw.
Namun, kenapa kok ayah dan Bang Ranu masih sering terlibat perang dingin? Masih sering terlibat percakapan tak jelas? Terselubung dan hanya orang cerdas yang paham, bukan termasuk aku. Alasannya simpel, karena Bang Ranu tak bisa meneruskan jejak ayah sebagai seorang tentara. Ayah sangat ingin anak lelaki satu-satunya itu bisa jadi perwira tentara, seperti dirinya. Termasuk otoriter ayahku, ya?
Ya apapun itu, sampai sekarang masalah sepele itu masih menjadi masalah besar dalam keluargaku. Ayah dan Bang Ranu jarang terlibat percakapan lebih dari 5 menit. Kalau ayah asyik menyirami rumput di depan, Bang Ranu lebih suka ngendon depan TV sambil makan kacang goreng buatan bunda. Suka bingung deh sama mereka. Harusnya ayah bangga ya anaknya jadi pegawai, nggak jadi pengangguran. Kembali lagi pada watak ayah yang entah apa.
Lalu, bagaimana sikap bunda pada keduanya? Jawabannya adalah, bunda tidak peduli dan sama sekali tak mau peduli. Serius, bundaku adalah ibu paling easy going, paling nyantai sedunia. Prinsipnya, asal ayah dan Bang Ranu nggak sampai gulat-gulatan aja mah biarin. Toh nanti kalau sudah sadar ya sadar sendiri. Bunda yang ajaib.
Bunda lebih bingung kalau harga wortel naik daripada permusuhan dingin antara ayah dan Bang Ranu. Bunda lebih suka ngurusin harga sayuran, beras, telur, gula, sabun mandi, dan lain sebagainya daripada mereka berdua. Bagi bunda, permusuhan terselubung mereka sungguh kekanakan dan itu aneh. Oke, sependapat Bunda! Sungguh seorang IRT yang telah lelah dengan dinamika rumah tangganya sendiri! Salut sama kesantaian bunda.
Lantas gimana denganku? Aku sih cuma kambing congek di rumah ini. Sebagai satu-satunya anak gadis yang sedang ranum bukannya dijaga baik-baik, aku malah dijadikan samsak hidup. Bukan jadi samsak pada arti sebenarnya kok, hanya aku selalu dijadikan sasaran kegabutan mereka. Ayah dan bunda yang terlalu sayang padaku, sehingga malah jadi terlalu protektif. Dan Bang Ranu yang berada di tengah himpitan ayah dan melampiaskannya padaku dengan sikap sadistis tanpa romantis. Cara Bang Ranu melihatku bak melihat lap kumal yang siap dimusnahkan.
Pulang kuliah jam berapa? Sama siapa? Pokoknya bunda jemput! Gak usah makan di kantin kampus, nanti kamu dibius pakai narkoba. Gak usah naik angkot nanti kamu diculik. Gak usah kabur diam-diam dan nongkrong di balkot, nanti kamu dibawa orang. Mungkin itu sederet kalimat yang selalu diucapkan bunda setiap hari padaku. Hiks, hidupku bagaikan Rapunzel di dunia modern.
Please, aku sudah 20 tahun. KTP aja udah punya sejak 3 tahun yang lalu. SIM A dan C juga sudah punya dan cuma jadi penghias dompet bunda. Iyalah, bunda menyita kedua SIM-ku itu, hiks. Lebih baik bunda nggak masak daripada nggak bisa jemput aku pulang kuliah. Lebih baik bunda ketinggalan acara Persit daripada nggak bisa tahu kabarku setiap detiknya. Dan itu sebelas dua belas dengan sikap ayah.
Perpaduan ayah dan bunda telah siap untuk menghancurkan hidup Alana kapan saja. Jadinya Alana menjadi seorang anak yang berlogo kupu-kupu, kuliah pulang-kuliah pulang. Berangkat kuliah 10 menit menjelang jam masuk kuliah. Dan 10 menit sebelum jam kuliah selesai, sopir ayah sudah terpampang manis di depan gedung. Tentu saja dengan panggilan telepon menyala, terhubung langsung ke ayah atau bunda.
Why? Why always Alana, Ayah Bunda? Simpel Lana, karena kami tak mau kamu rusak. That's it! Alasan yang simpel tapi menohok, senohok-nohoknya. Mereka tak mau aku rusak dalam hal apapun, baik fisik maupun mental. Makanya mereka menjagaku sebisa mungkin. Selain ilmu agama yang diterapkan sejak dini, pelajaran PMP di rumah juga tak pernah ketinggalan. Mereka tak mau aku jadi menjelma jadi anak ibukota yang ehem, maaf, rusak. Mendingan aku kuper berat daripada jadi urakan, itu pemikiran mereka.
Bahkan, ayah dan bunda susah payah mengutip 'Generasi Micin', 'Kids Zaman Now' hanya demi menceramahiku. Mereka tak mau aku jadi salah satu atau salah dua dari dua istilah itu. Okay fine, hela napas, please aku nggak segampang itu. Aku bukan tipe anak yang suka ikut arus. Contohnya ketika teman-temanku demam Tik-Tok, aku nggak ikutan. Sejujurnya, aku punya dunia dan caraku sendiri dalam memandang dunia. Aku berprinsip, sumpah! Namun, apa yang mereka katakan? Mereka tak percaya itu dan menganggapku pintar bicara. Hiiii, sumpek!
Di balik kesumpekan hidupku punya orang tua seperti itu, terbesit sedikit kebanggaan di benak ini. Siapa yang tak bangga terlahir sebagai putri bungsu seorang perwira tentara dengan 3 melati di pundaknya? Walaupun sedikit melankolis romantis, otoriter, overprotective, tak kusangkal kalau ayah punya wibawa yang ehem ketika berseragam. Kolonel Infanteri Adi Haris Wibawa, usia 52 tahun. Berwajah ganteng, kulit kuning dengan mata tajam dan hidung mancung.
Punya bunda yang cantik menawan di balik daster bunga-bunganya, bernama Sekar Arum Dewayani atau yang kadang ditulis Sekar Arum Wibawa. Wanita elegan pecinta acara masak memasak yang berusia 48 tahun. Penyuka parfum bunga mawar dan anggrek yang hobinya ngomel. Namun, bisa juga elegan ketika berseragam Persit dan memandu para anggotanya. Hobi memanjakanku, atau cenderung terlalu memanjakan karena sangat ingin punya anak perempuan dulu.
Okay, itulah sekilas tentang keluargaku? Sekarang tentangku yang hidup bak badak bercula satu yang dilindungi habis-habisan. Namun, aku juga bisa hidup normal. Normal dalam artian, masih bisa jatuh cinta dan merasakan apa itu cinta. Ih, jadi malu. Namun, serius, aku telah mengenal cinta semenjak datang ke kota romantis ini. Ibaratnya suasana romantis kota ini mengubahku secara otomatis menjadi melankolis.
Ah, jadi senyum-senyum sendiri kalau mengingat tentang ia. Ia romantis untuk ukuran lelaki yang biasanya cuek, mengacu pada Bang Ranu. Bayangin cara menyatakan cintanya, lelaki itu memenuhi balkon kampus dengan daun kering yang dibentuk namaku, "Alana I Love You!" Waaah, romantis nggak sih? Ya walapun setelah itu dijewer satpam kampus sih, tetep aja romantis. Ih, penasaran kan dia siapa? Mau tahu aja apa mau tahu banget! Ikutin terus yuk petualangan Alana!
***
Bersambung...
"Nih, abisin!" Sebuah suara memecah lamunanku ketika asyik duduk di bangku taman kampus. Ia menyodoriku sekantong tahu sumedang goreng yang mengepul.Aku menoleh dan mendapati seorang cowok jakun, rambut sedikit gondrong, kulit bersih tapi sedikit legam, dan bermata tajam bak elang. Bertemulah kalian dengan ia, bernama Radika Raditya. Nama yang indah tapi sedikit tak kreatif, ya? Iyalah, nama kok cuma 2 suku kata, diulang-ulang lagi. Mana mirip nama penulis kocak Indonesia pula. Benar sekali, cowok berumur 22 tahun ini akrab dipanggil Dika. Ia adalah pacarku.Kadang aku merasa lupa kalau cowok populer, kakak tingkat yang hobi naik gunung karena seorang mapala ini adalah pacarku. Alana telah berpacaran dengan Dika selama setahun lebih 5 bulan. Iya benar, aku sudah pacaran, Guys!Dalam setahun lebih lima bulan ini telah banyak hal yang telah kami lalui bersama. Dika adalah segalanya buatku. Dia menjadi angin segar di tengah kesumpekanku hidup di keluarga
Kata orang hujan Kota Malang itu romantis. Namun, menurutku itu tak sepenuhnya benar. Hujan di kota ini juga tragis. Membuat penghakiman seorang Alana makin menyedihkan hingga membuatku menangis. Sesekali aku mematut wajahku yang katanya mirip Indah Kusuma di meja kaca. Wajahku terlihat menyedihkan seperti pesakitan yang akan kena hukuman cambuk.Sesampainya di rumah, bukannya disuruh mandi, aku malah didudukkan di teras depan. Dengan ayah yang masih berseragam lengkap dengan wajah merah padam menyala menahan amarah. Lengkap dengan bunda yang berwajah kalem, tapi menusuk pandangan. Beserta Bang Ranu yang masih berseragam polisi dan Om Paupau yang berbaju safari hitam sebagai saksi. Dan aku yang lengkap dengan baju kuliah basah kuyup siap menerima hukuman berat.“Beraninya kamu matikan HP sampai setengah jam, Lana!” teriak bunda dengan tanda seru semua. Hiks, tembakan pertamaku.“Gimana kalau kamu diculik sama cowok tengil itu. Terus dibawa
Di tengah ketidaknormalan, Alana tumbuh menjadi gadis yang tetap ceria, ceplas-ceplos, berusaha selalu tersenyum walau hati menangis, dan gadis yang cerdas. Cerdas dalam artian selalu mencari celah untuk bisa bahagia dengan caraku sendiri. Aku tetap tumbuh menjadi gadis yang cantik dan normal karena bisa merasakan cinta pada lawan jenis. Untung kan aku nggak frustasi amat, sampe berubah orientasi gitu.Kalau Dika menghilangkan suntuk dengan cara naik gunung, hingga mengabaikan skripsinya. Dengan artian dia lebih banyak suntuk daripada enggak. Kalau aku menghilangkan suntuk dengan menepi di balkon rumah. Rumah dinas ini tak punya lantai 2. Namun, ayah membangunnya untuk jemuran baju. Setelah bunda mengomel kalau cucian tak pernah kering.Menepi di lantai 2 sembari menikmati kesendirian. Aku dan kesendirian, ditambah segelas jus mangga dingin yang kubuat dengan diam-diam. Membiarkan paru-paruku menghisap oksigen segar sebebasnya. Seenggaknya dia tak terbelenggu seperti a
Laju motor Dika sampai di sebuah terminal antar kota di pinggiran Kota Malang. Sudah pasti aku akan dibawanya ke luar kota. Tentu saja aku tak mau, big no no! Aku tak mau memantik api makin berkorbar. Aku takut pada masalah yang makin menyala. Ingin kuakhiri saja detik ini. Tak apa, aku sudah memaafkan dia kok. Dika tak perlu melakukan semua ini demi berbaikan denganku.“Dika, ini serius aku mau dibawa ke Bali?” tegasku sekali lagi. Dika hanya diam sambil memandang gelas kopi yang mengepul. Sekedar mengusir hawa dingin di tengah ketidakpastian.Kugugah lengannya, “Dika!” dia menoleh.“Kenapa, Na? harusnya kamu berdebar dong karena sebentar lagi bertemu dengan impian,” ucap Dika santai. Wajahku mencuram.“Mana bisa santai Dika! Ini ngaco, super ngaco. Aku emang gila, tapi nggak separah ini. Dika aku masih waras. Nggak mungkin aku keluar Malang dengan kamu! Itu cari mati namanya,” aku berdiri cepat, “aku
Kurasa saat ini hidup seorang Alana sedang berada di titik yang rendah, tidak rendah sekali sih, rendah biasa saja. Alana sudah biasa berada dalam situasi yang abnormal. Sejak awal kan sudah kubilang kalau keluarga si koplak Alana sedikit tidak normal. Namun ketika sadar, sebenarnya keluargaku itu sangat normal. Mereka sangat normal untuk ukuran orang tua yang melindungi anak perempuan satu-satunya.Ternyata begini ya rasanya menentang proteksi orang tua yang kuanggap aneh selama ini. Benar kata bunda, kini mata batinku sudah terbuka. Kalau sayang nggak bakal nyakitin. Kalau sayang pasti menjaga, menghargai, dan menghormati. Namun, apa yang Dika lakukan padaku? Salah semua! Kurasa dia lebih ke posesif, hii mengerikan.Di sepanjang jalan menuju terminal bis, aku berjalan gontai. Sesekali mematut wajah di kaca toko yang ramai. Mereka mema
Hidupku yang sempat acak kadul sebulan yang lalu mulai tertata sedikit demi sedikit. Perlahan aku mulai menata hidup menjadi lebih normal daripada biasanya. Biasanya dalam artian saat aku masih berhubungan dengan Dika dan sesudah putus. Kuakui, hidupku nggak teratur, acak seperti acar timun di dalam mangkok.Sebulan yang lalu, sesampainya aku di Banyuwangi, para pasukan ayah dan beberapa petugas polisi langsung memeriksa semua bus dan menemukanku. Aku dikawal menuju mobil dengan iringan penjagaan ketat. Kira-kira 3 mobil berisi tentara dan polisi berseragam lengkap dan bebas deh. Tentu saja membuat gaduh.Semua karena apalagi kalau bukan karena permintaan ayah. Ayah menghubungi semua rekannya di wilayah Banyuwangi dan memintaback-up. Jadinya, penemuanku membuat kehebohan bak penemuan sebuah fosil langka. Namun, sekali lag
Saat ini aku bak berada di mimpi indah dan malas bangun. Kenapa, sebab pemandangan di depan mata ini sungguh layak untuk dikenang dan dipertahankan. Entah takdir apa yang mempertemukanku lagi dengan Mas Kecup-able yang ternyata adalah tamu dari ayah tercinta. Tamu kehormatan yang ditunggu kedatangannya sejak pagi tadi akhirnya datang juga.Setelah kedatangannya, tak lama kemudian ayah dan bunda datang secara bersamaan. Kedua orang tuaku itu lantas menyalami dan menepuk-nepuk pundak Mas Kecup-abledengan suka cita. Bak bertemu dengan anak mereka yang telah hilang ratusan tahun. Seriusan, Bang Ranu aja jarang digituin. Makanya dia banyak diam dan cemberut aja. Cemburu ya, Bang?“Ssstt, berisik lu Lan! Gua gaplok, koplak juga lu!” ancamnya tadi.Well
“Alana, kamu jangan berisik! Selama 2 hari Mas Dru bakalan tidur bareng Bang Ranu, sekamar. Jangan ganggu kedamaiannya! Jangan bertindak gila! Yang sopan! Gak boleh celamitan! Gak boleh pake tank top atau celana gemes! Awas ya kalau pake celana gemes, Bunda remes pipimu sampai lecet!”“Savannah, kamu baru boleh bicara sama dia kalau kamu diajak ngobrol. Kalau gak, kamu gak boleh gangguin Mas Dru. Itu bikin dia gak nyaman! Awas ya kalau melanggar larangan Ayah, Ayah hentikan kuota internetmu sebulan!”Apa yang kamu rasakan ketika dapat wejangan sekaligus ancaman dari kedua orang tua saat perutmu kenyang? Pengen muntah, pup, atau apaan? Kalau aku sih gak pengen apa-apa, sebab udah kebal. Iyalah, aku mah sudah biasa diancam model gituan sama ayah dan bunda, sebagai anak yang diproteksi abis-abisan tentu saja. Tapi, baru kali ini ayah dan bunda mengesampingkanku, boneka porselennya, demi anak orang lain. Wauw, ada apakah ini?