Share

Bab 3 Kisah Cinta yang Nyempil di Antara Kesumpekan

"Nih, abisin!" Sebuah suara memecah lamunanku ketika asyik duduk di bangku taman kampus. Ia menyodoriku sekantong tahu sumedang goreng yang mengepul.

Aku menoleh dan mendapati seorang cowok jakun, rambut sedikit gondrong, kulit bersih tapi sedikit legam, dan bermata tajam bak elang. Bertemulah kalian dengan ia, bernama Radika Raditya. Nama yang indah tapi sedikit tak kreatif, ya? Iyalah, nama kok cuma 2 suku kata, diulang-ulang lagi. Mana mirip nama penulis kocak Indonesia pula. Benar sekali, cowok berumur 22 tahun ini akrab dipanggil Dika. Ia adalah pacarku.

Kadang aku merasa lupa kalau cowok populer, kakak tingkat yang hobi naik gunung karena seorang mapala ini adalah pacarku. Alana telah berpacaran dengan Dika selama setahun lebih 5 bulan. Iya benar, aku sudah pacaran, Guys!

Dalam setahun lebih lima bulan ini telah banyak hal yang telah kami lalui bersama. Dika adalah segalanya buatku. Dia menjadi angin segar di tengah kesumpekanku hidup di keluarga otoriter seperti itu. Dia adalah payung yang melindungiku ketika asyik menikmati hujan romantis Kota Malang. Kami berdua suka hujan, suka pemandangan, suka romantis - khusus dia suka gunung. Pokoknya dunia menjadi asyik kalau ada Dika.

Coba kalau tak ada Dika, pasti rasanya hambar sekali. Kampus yang gitu-gitu aja. Kuliah di jurusan ekonomi akuntansi yang gitu-gitu aja. Ketemu neraca, kurva jual beli, dan lain sebagainya, sumpek! Pulang ke rumah diberondong pertanyaan klasik ala ayah dan bunda otoriter ditambah harus minum jus wortel membosankan segelas besar setiap hari. Belum lagi kalau ketemu Bang Ranu yang menyebalkan dengan ulah usil sadisnya. Dika menjadi angin segarku.

Dika, memang bukan cowok dengan tipikal idamanku. Idamanku adalah seorang lelaki bukan cowok. Yaps, sejujurnya aku suka sekali dengan lelaki yang sudah mapan alias bekerja. Namun, apa daya kalau aku terpikat begitu saja dengan pesonanya. Aku lebih suka cowok rapi, wangi, dan berwibawa. Namun, Dika adalah seorang cowok yang cuek, berjiwa bebas, kadang wangi kadang apek kayak krupuk kedaluarsa. Kadang sisiran rapi, kadang acak-acakan seperti baru naik pesawat jet. Apa daya cinta membutakan prinsipku tentang lelaki idaman.

Jatuh cinta memang bisa mengubah apapun bukan? Termasuk juga pandangan hidup seorang manusia. Pandanganku yang dulu terkungkung itu-itu saja, sekarang jadi bebas. Ibarat aku bisa jadi merpati yang bebas tatkala aku dibentuk menjadi seekor burung dalam sangkar. Semua karena Dika pokoknya. Aku mencintainya walau kadang ia kasar. Padahal aku suka lelaki lembut dan baik dalam memperlakukan wanita. Namun, sekali lagi, cinta membiaskan itu semua.

"Naaaaa! Dingin entar tuh!" pecah suara itu lagi. Alamak, aku melamun.

Dia mengacak rambutku hingga berantakan, "kamu kerasukan, ya? Diam aja!"

"Eh iya, makasih Dik!" jawabku asal sambil mencomot sebuah tahu yang panas.

"Auh, panas! Panas!" keluhku yang membuatnya terbahak puas.

Dia menunjukku sambil terbahak, "kasihan deh! Makanya jangan ngelamun!"

"Puas kamu!" kutukku kesal. Dia membelakangiku. Menggosok perutnya karena terlalu keras menertawakanku. Semoga nggak keseleo tuh rahang, aamiin!

"Dasar cowok nggak jelas! Bukannya nolong malah ngetawain!" kutukku lagi sambil membuang tahu jahat yang panas seperti lava. Gegara ngelamun ini!

"Kamu kenapa sih, Na? Ngelamun apalagi?" tanyanya mulai serius.

Aku menatapnya lembut, "bisa nggak sih manggil aku yang bagus gitu? Alana ... pakai suara lembut gitu. Jangan kayak abangkulah!" keluhku kesal.

"Hahaha, kamu aneh. Udah tahu kalau aku itu cowok slengekan. Bukan lembut seperti maumu. Mulai bahas itu lagi?" ucapnya yang santai kemudian serius.

"Ya sesekali kek kamu lembut apa salahnya sih, Dik!" aku berusaha melunak.

"Kalau gitu kamu juga jangan panggil aku pakai nama doang. Pakai embel-embel kak atau mas gitu dong!" Yah, dia mulai lagi.

Aku tercenung, tak tahu harus berbuat apa, "ya kalau gitu aku nggak biasa. Aku risih kalau harus pakai embel-embel!"

"Nah, sama!" simpulnya yang membuatku terdiam, "aku juga nggak bisa jadi orang lain. Katanya cinta! Terima gue apa adanya dong, Na!"

Aku menghela napas berusaha sabar, "oke deh. Mendingan anterin aku pulang yuk? Sebelum ajudan ayah datang. Kita punya waktu 15 menit untuk menghilang!"

"Aku suka kegilaanmu! Oke! Yuk!" Dia langsung bergegas menarikku menuju parkiran. Untuk mengambil motor nyentrik kesayangannya.

Ya itulah Dika, kekasihku. Cowok nyentrik yang suka mengajakku menyelinap. Maksudnya, menyelipkan kisah cintaku yang normal di tengah ketidaknormalan hidupku. Dialah orang yang paling semangat ketika kuajak menggila seperti ini. Iyalah yang paling terbahak puas ketika ponsel kumatikan dan menimbulkan kegaduhan besar di rumah. Intinya, dia sangat bersemangat melihatku mengerjai ayah dan bunda.

Aku pasti jahat, sedikit durhaka pada orang tua. Abisnya aku sesak terus terhimpit di tengah keotoriteran mereka. Aku tak suka ayah dan bunda terlalu over dalam melindungiku. Aku baik dan normal saja. Sejujurnya, aku mirip Dika yang sangat suka kebebasan. Dalam berteman saja, aku tak punya teman dekat selain Dika. Aku lebih suka kemana-mana sendiri, dan itu nyaman. Kesendirian, hanya aku dan jus manggaku kadang, itu sangat menyenangkan.

Alunan lagu 'Aliens' milik Coldplay mengiringi laju motor Dika menuju kawasan kesukaan kami. Apalagi kalau bukan hutan kota yang teduh. Memandangi pepohonan yang basah dirantau hujan gerimis. Menyisihkan sejenak bayangan tentang ajudan ayah yang sekarang kebingungan. Kasihan juga sih sama Om Fauzi alias Om Paupau, nama ajudannya. Namun, sungguh aku ingin menepi. Sejenak saja.

Sejujurnya hubunganku dan Dika tak semulus pantat bayi. Kisah kami berliku seperti jalan pegunungan. Tidak mungkin ayah dan bunda tidak tahu dengan hubungan kami. Oh ayolah, kami memang tak hendak menyembunyikan itu. Sejak awal, aku sudah sering mengenalkan Dika ke rumah. Ya walaupun diikuti dengan pandangan sinis menusuk setajam pisau dapur dari ayah dan bunda. Bahkan, ayah rela bicara dengan Bang Ranu hanya demi menyewa intel untuk mengawasi hubunganku dan Dika.

Oh ayolah Ayah Bunda, anakmu ini tidak sebejat itu kok. Meski Dika selengekan dan cenderung bad boy, tapi dia sangat menghargaiku. Walau dia suka menarik tanganku kasar, tapi dia tak suka skinship manis semacam pelukan dan ciuman. Jujur selama 1,5 tahun berpacaran, hanya sekali Dika merangkulku. Itupun di tengah teman-temannya. Dia berprinsip sama sepertiku.

Lagipula kenapa sih ayah tak suka pada Dika? Padahal mereka sama-sama suka naik gunung. Sama-sama suka kegiatan alam seperti itu. Alasannya simpel, karena Dika urakan dan masih mahasiswa. Sebagai info, ayah ingin punya menantu yang sama seperti dia yakni tentara. Sebagai info juga, itu karena ayah tak punya penerus sebab Bang Ranu jadi polisi bukan tentara.

Oh halo please, ini sudah tahun berapa Ayah? Harus ya kayak gitu? Kata beliau sih, HARUS! Pakai caps lock jebol, italic, dan bold. Jawaban yang sudah jelas bahkan sebelum aku menanyakannya. Itulah syarat mutlak untuk jadi menantu ayah. Ngomong-ngomong, aku bukan cewek yang ingin segera menikah kok. Karena aku tahu kalau pasanganku belum terpikir ke arah sana. Daripada menimbulkan masalah yang rumit dan semakin sumpek, mendingan nggak usah memikirkan itu.

Padahal kalau ditanya, apa aku ingin menikah muda? Iyalah, pengen banget. Aku pengen banget punya pasangan resmi, legal di usia yang muda. Seenggaknya aku bisa punya anak pertama di umur 25 gitu. Seenggaknya aku bisa dipanggil mahmud bukan marmut gitu. Sama kayak Bunda, usia 28 sudah punya anak 2. Namun, sepertinya Dika bukan tipikal lelaki yang bisa diajak jalan cepat seperti itu. Di semester 8 saja, skripsinya masih mandeg. Ya sudahlah, daripada menimbulkan masalah yang tak perlu mendingan bahasan itu ditutup saja.

---

"Lana!" aku menoleh lesu dan menatap Dika sudah melihatku aneh.

"Kamu banyak ngelamun sekarang! Kita ke sini aja gimana?" buyar Dika sambil mengalihkan perhatianku.

Aku terkesiap bahagia, "waaaa, sejak kapan kamu bawa aku ke sini Dik!"

"Sejak kamu ngelamun dari tadi!" jawabnya cuek sambil melepas helm. Potongan rambutnya yang sedikit mirip Om Hamish Daud sedikit basah dirantau gerimis.

Aku berlari riang sambil melepas kabel headset, menikmati jalanan basah taman Tugu Balkot, "udah lama aku gak ke sini!"

"Kalau tahu lo senengnya gini, dari kemarin udah gue ajak ke sini, Na!" ucapnya cuek sambil duduk di sebuah bangku besi yang basah.

Aku menghempas badan di sebelahnya, "jangan pakai gaya bahasa gue elo dong, Dik! Aku udah berubah sejak lama."

"Kenapa harus berubah? Gue nggak suka, Na. Susah tahu membiasakan pakai 'aku' 'kamu'. Aku kan besar di Bekasi, sama kayak Elu!" alihnya tak suka sambil mengibaskan anak rambut.

Aku cemberut sok imut, "kenapa tidak? Kalau berubah lebih baik nggak apa-apa dong. Ya udah kamu boleh pakai gue elu kalau sama teman. Kalau sama aku nggak boleh!" suruhku seenaknya sendiri.

Ia menghela napasnya berat, "ya udah deh. Karena cinta gue, eh, aku berusaha deh!"

"Nah, gitu dong!" ujarku ceria, "kamu selalu tahu cara bikin aku bahagia, Dik!"

"Iyalah, aku tahu deritamu. Makanya lebih baik menghiburmu daripada ngerjain skripsi," ucapnya asal yang membuatku tercenung, lagi.

"Skripsi, ya?" suaraku tertahan, "kabarnya gimana?"

"Baik aja, tetap aja stuck di bab 2. Hahaha!" Ia terbahak bebas tanpa beban. "Abisnya Gunung Gede memanggil kalbuku, Na!"

"So sweet ...." Berusaha terpukau seperti biasa walau hatiku aneh, "tapi kamu harus kerjain dong Dik! Kapan selesainya kalau nggak dikerjain! Kapan lulusnya?"

Dia mencubit pipiku gemas, "iya Cerewet ... Nanti aku kerjain! Cepet lulus supaya cepet nikahin kamu, 'kan?" Hatiku deg-degan jadinya.

"Kerja dulu kali, yes!" ceplosku begitu saja.

"Iya, maksudku itu."

Jawaban Dika tak kujawab lagi. Sebab aku memilih untuk berlarian seperti orang aneh. Berlarian kecil mengitari taman Tugu yang tenang dengan air yang kacau karena rentetan gerimis. Teratai merah mudanya bergoyang manis karena air langit. Romantis abis. Kota ini selalu memukau, bahkan cuma air hujannya doang. Sama sepertiku, lelaki cuek bernama Dika itu juga jatuh cinta pada kota ini.

"Lepaskan saja bebanmu seperti air hujan ini, Na!" teriak Dika di telingaku. Membuatku tak nyaman.

Kenapa sih dia gak memilih bisikan lembut bak film Korea? Korengan kata dia mah.

Aku menatapnya tajam, "biasa aja kali Mas ngomongnya!"

"Hahaha, kenapa? Kamu berharap yang mesra-mesra, ya? Sono pacaran sama pujangga! Jangan sama mapala! Mendaki gunung itu butuh jiwa keras, Na! Bukan yang lembek macam aktor Korea favoritmu itu!"

Ah kata siapa, ayah romantis walau hobinya daki gunung.

"Iya-iya terserah kamu deh!" ujarku pasrah.

Memang, ya, jatuh cinta itu bisa bikin kita jadi berkepribadian ganda. Alana yang di rumah sangat beda dengan Alana yang ada di kampus. Alana yang di rumah sangat suka diperlakukan seperti putri, putri kembang karena kamarku penuh kembang. Akan tetapi Alana di kampus dan bersama Dika menjadi Alana yang berjiwa bebas dan tak suka bermanis-manisan. Menerima perlakuan kasar dan tak peka seperti kesukaan Dika. Uft, sama aja terpenjara.

Bug! Sebuah suara keras mendarat di wajah basah Dika dan membuatku terkaget seketika.

Aku menatap arah yang datang dan melihat Bang Ranu sudah menatap kami dengan penuh kemarahan, "brengsek! Kamu bawa kemana adikku, hah!"

Astaga dragon, astaganaga Bang Ranu yang masih berseragam coklat beserta Om Paupau berhasil melacakku di sini. Iyalah, ini 'kan di tengah kota bukan tengah hutan. Walau ponselku diledakkan pakai bom atom, keberadaanku tetap mudah ditemukan. Okay, kembali ke masalah, baru saja Bang Ranu memukul wajah Dika dengan keras. Cukuplah untuk membuat sebuah tanda cinta di sudut bibir Dika. Dika berusaha berdiri tegak setelah sempat limbung. Kini kedua cowok tinggi itu saling bertatapan.

Dika berusaha tersenyum santai, cenderung cuek, "ini juga atas permintaan adik Abang!"

"Siapa yang kamu panggil Abang! Berani kamu, ya?" ancam Om Paupau galak. Sementara itu, Bang Ranu menatapku tajam.

"Kamu!" tekannya, "kapan berhenti bikin masalah?" letusnya tepat di depan wajahku.

"Aku cuma ingin menikmati hujan, Bang ...," jawabku sok polos.

"Pulang!" bentaknya kasar sambil memayungi tubuhku yang basah.

Aku menyerah. Tak mau menjawab lagi. Iyalah sebab Om Paupau sudah mencengkram kerah baju Dika dengan tajam. Kekasihku tak banyak bicara karena tahu itu memperburuk suasana. Aku juga menyerah karena takut Dika makin tersakiti. Akhirnya, aku memilih untuk berjalan pulang di bawah payungan Bang Ranu. Payung hanya melindungi tubuhku yang sudah basah, bukan hatiku. Hiks, gini amat kisah cintaku Tuhan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status