Share

Bab 4 Penghakiman Seorang Alana

Kata orang hujan Kota Malang itu romantis. Namun, menurutku itu tak sepenuhnya benar. Hujan di kota ini juga tragis. Membuat penghakiman seorang Alana makin menyedihkan hingga membuatku menangis. Sesekali aku mematut wajahku yang katanya mirip Indah Kusuma di meja kaca. Wajahku terlihat menyedihkan seperti pesakitan yang akan kena hukuman cambuk.

Sesampainya di rumah, bukannya disuruh mandi, aku malah didudukkan di teras depan. Dengan ayah yang masih berseragam lengkap dengan wajah merah padam menyala menahan amarah. Lengkap dengan bunda yang berwajah kalem, tapi menusuk pandangan. Beserta Bang Ranu yang masih berseragam polisi dan Om Paupau yang berbaju safari hitam sebagai saksi. Dan aku yang lengkap dengan baju kuliah basah kuyup siap menerima hukuman berat.

“Beraninya kamu matikan HP sampai setengah jam, Lana!” teriak bunda dengan tanda seru semua. Hiks, tembakan pertamaku.

“Gimana kalau kamu diculik sama cowok tengil itu. Terus dibawa ke kebon, diperkosa. Iya kalau beneran cinta, ditanggung malumu. Kalau kamu dibunuh! Pikir dong, apa kamu rela bunda kehilangan anak!” lanjut bunda penuh amarah. Sudah kubilang kan, bunda sosok yang garang dibalik kelembutan wajahnya.

Aku memberanikan diri bersuara walau lirih, “Dika nggak sebejat itu, Bunda.”

“Nggak bejat apa? Dia mau aja nuruti perbuatan salahmu!” lanjut Bang Ranu tak kalah galak. Iya sih, mereka sebelas dua belas.

Lain halnya dengan ayah yang malah merendahkan suaranya, “sikap protektif kami karena sayang padamu, Savannah. Apa sih yang kamu harapkan dari laki-laki seperti itu? Nggak punya prinsip.”

“Tapi Yah, dia hobinya sama seperti ayah. Suka naik gunung juga,” aku berusaha membujuk ayah dengan cara yang aneh.

Alana gaje.

Ayah menyentuh pundakku yang basah, “Savannah, tapi dia beda dengan ayah. Ayah bertanggungjawab pada diri sendiri. Ayah suka naik gunung tapi sukses dalam karier dan pendidikan. Sedangkan dia, hobi naik gunung tapi skripsi nggak kelar. Apa yang mau kamu contoh darinya? Pokoknya ayah nggak suka sama dia, titik! Mau wajahnya sama dengan ayah kek, ayah tetap nggak suka!” Analogi yang cukup aneh, Ayah.

“Ah, ayah ini terlalu lembek,” potong bunda keras, “pokoknya kalau kamu masih berani hubungan sama bocah tengil itu, bunda akan ambil langkah serius. Bunda nggak segan-segan kirim kamu ke Jakarta lagi. Biar sekalian kamu diurus Oma Dian!” aku bergidik, tentu saja karena membayangkan betapa mengerikannya Oma Dian. Seribu kali lebih parah dari ayah dan bunda.

“Tapi Alana sayang sama dia, Bunda!” tolakku sedikit melawan.

“Sayang kok merusak! Sayang itu menjaga, Alana! Sayang kok mau-maunya diajak kabur. Bukannya mengarahkan yang baik. Bukannya menghargai orang tua, dia malah mendukung kegilaanmu. Pokoknya bunda akan ambil langkah serius kalau kamu masih jalan sama dia!” tekan bunda tanpa ampun.

Bunda lantas memandang Bang Ranu, “Bang, amankan adikmu!”

“Beres Bunda,” jawab Bang Ranu tanpa pikir panjang. Dia kan sekutunya Bunda.

“Andaikan saja anak lelakiku punya dasar pengintaian seperti tentara. Pasti kita nggak kecolongan seperti ini, Bun!” celetuk ayah yang membuat wajah Bang Ranu masam. Sindiran di tengah penghakimanku.

Bang Ranu tersenyum sedikit sinis, “polisi juga punya dasar seperti itu kok.”

“Eh, memangnya ayah sedang bahas polisi dan tentara ya? Nggak kok,” ya elah ayah malah ingin membuat masalah baru.

“Lalu apa maksud ayah berbicara seperti itu tadi?” Bang Ranu malah menimpali.

Ini sebenarnya sedang bahas masalah siapa ya? Halooo, Lana is here please!

Akhirnya, bunda menengahi itu dengan menarikku masuk ke dalam rumah, “masuk kamar. Mandi ganti baju, merenung! Awas kalau tidak berubah!” ancam bunda menyeramkan.

Okay, Alana menghilang sekarang. Menghilang tolong. Hiks, kenapa tidak bisa ya? Kenapa sih aku tak bisa sejenak tersisih dari keluarga ini? Aku sudah bosan, sungguh bosan. Aku sesak dan sumpek. Rasanya aku ingin segera lulus kuliah dan terlempar ke kota lain, kalau perlu ke dimensi lain deh. Ingin menemukan kedamaian sendiri, dimana hanya aku dan kesendirianku. Ditambah hujan dan jus mangga boleh deh.

---

Kupatut wajahku yang pucat di kaca kamar. Bibirku yang pucat karena tak terpoles gincu apapun. Kulitku yang memang putih bersih seperti kulit bunda terlihat dingin. Aku baru saja mandi dan sekarang sedang mengeringkan rambut panjang lurus bergelombang di bagian ujung dengan handuk. Sambil berkaca, aku merenungi nasibku.

Benar, aku menuruti kata bunda yakni merenung. Bukan merenungi kesalahan, tapi merenungi nasib hidupku. Kapan aku bisa hidup bebas seperti burung di hutan? Tanpa harus diburu oleh pemburu kejam layaknya keluargaku? Serius punya orang orang tua super duper overprotektif itu gak enak. Hidup diatur, dikekang, tak bisa bebas. Aku hobi menyanyi tapi malah masuk ke jurusan ekonomi akuntansi. Kuliah ya cuma kuliah, bukannya gaul mencari teman.

Aku punya wajah cantik, tapi gak semua cowok tertarik. Sebab tahu latar belakang keluargaku. Mereka sudah keder duluan. Mungkin cuma Dika yang berani, modal nekat sih. Dia menyisihkan semua ketakutannya dan nekat memacariku. Walau harus menahan malu karena pernah diusir bunda dengan lemparan pot, tapi ia tak menyerah. Ia tak pernah sakit hati kendati ayah sering menghina prinsipnya. Bahkan, ia hanya tersenyum ketika Bang Ranu memukulnya. Itu bukan pukulan yang pertama.

Maka dari itu aku mencintainya. Walau ia tak sesuai idaman hatiku, tapi ia berani mempertaruhkan apapun demi aku. Demi senyumanku, ia rela berubah. Dari selengekan menjadi sedikit baik dan lembut. Walau kadang ia masih suka menyakitiku secara fisik, misalnya tak sengaja memukulku ketika bercanda. Ya sudahlah, Dika lebih baik daripada ayah dan bunda. Mereka terlihat sayang, tapi memupuskan kebahagiaanku.

“Lana, minum ini! Jangan melamun!” Bunda tiba-tiba masuk sambil membawa segelas besar jus wortel, errrr.

“I - iya Bunda.” Seperti biasa, aku hanya menurut karena takut durhaka. “Nggak enak, Bunda.”

“Tapi itu bermanfaat buatmu. Membuatmu matamu jadi jernih dan bisa melihat lebih jelas. Syukur-syukur kalau resolusimu jadi cerah,” sindir bunda menyakitkan, hiks.

“Abiskan!” timpal beliau lagi.

Glek-glek-glek, musnahlah jus terkutuk itu.

“Masa depan Lana tidak sesuram itu Bunda,” alihku membenarkan diri.

Bunda menatapku tajam, “yakin tidak suram? Kalau cerah kenapa masih memandang cowok tengil itu?”

“Bunda, Lana cuma jatuh cinta,” belaku lagi.

Please, hentikan sidang ini!

“Jatuh cinta? Menjatuhkan hati itu ke orang yang tepat. Pilih laki-laki yang bener dong, Lan. Bener kata ayahmu, ke pendidikan saja dia nggak tanggung jawab. Gimana dia bisa membahagiakanmu?” Bunda menarik tanganku kencang, “sampai kapan kamu terus sembunyikan lebam ini, Lana?”

Ups, aku baru ingat lebam karena Dika menghentakkan tanganku hingga terbentur tembok, hanya karena ia emosi kusuruh salat, “Dika nggak sengaja Bunda.”

“Nggak sengaja apa? Masih untung Bunda tidak perkarakan dia ke polisi karena penganiayaan. Orang tua saja tak pernah menyakitimu, enak saja dia melukai anak bunda!” ucap bunda emosi.

Aku memohon dengan menyentuh tangan bunda, “tapi Lana bahagia dengannya, Bunda.”

“Kalau begitu kamu belum tahu arti bahagia, Lana!” putus bunda, “mana ponselmu?”

“Untuk apa, Bund?” tanyaku cepat.

“Bunda rasa nomormu perlu diganti lagi! Mana!” rampas bunda sambil menarik ponselku.

Aku memasang mata melas, “jangan dong Bunda. Ponsel itu dunia Lana.”

“Tidak untuk sementara waktu, Lana. Gunakan waktumu untuk merenung. Apa definisi bahagia! Nggak usah terpengaruh sama tengil satu itu!” Bunda berhasil merampas kebahagiaanku satu-satunya, yakni ponsel dengan koneksi internet yang cepat. Hiks, nangis gulung-gulung.

Penghakiman seorang Lana hari ini telah usai. Diakhiri dengan hukuman perampasan ponsel seperti biasa. Oh iya, penggantian nomor lagi untuk keseratus kalinya. Membuatku tak hapal dengan nomor HP lagi dan lagi. Tentu saja untuk merampas kebahagiaanku dan Dika. Namun, bunda tak tahu, kalau aku sudah membeli ponsel jadul diam-diam. Okay, hapus ingus dan sedikit tersenyum Lana. Kamu masih bisa telepon Dika, yeaay! Apa itu definisi bahagia? Tauk ah gelap, nggak mau mikir keberatan! Sumpek!

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status