Share

Bab 7 Titik Rendah Hidup Alana

Kurasa saat ini hidup seorang Alana sedang berada di titik yang rendah, tidak rendah sekali sih, rendah biasa saja. Alana sudah biasa berada dalam situasi yang abnormal. Sejak awal kan sudah kubilang kalau keluarga si koplak Alana sedikit tidak normal. Namun ketika sadar, sebenarnya keluargaku itu sangat normal. Mereka sangat normal untuk ukuran orang tua yang melindungi anak perempuan satu-satunya.

Ternyata begini ya rasanya menentang proteksi orang tua yang kuanggap aneh selama ini. Benar kata bunda, kini mata batinku sudah terbuka. Kalau sayang nggak bakal nyakitin. Kalau sayang pasti menjaga, menghargai, dan menghormati. Namun, apa yang Dika lakukan padaku? Salah semua! Kurasa dia lebih ke posesif, hii mengerikan.

Di sepanjang jalan menuju terminal bis, aku berjalan gontai. Sesekali mematut wajah di kaca toko yang ramai. Mereka memandangku aneh. Iyalah aku mirip gelandangan yang terdampar di suatu planet. Turis mah pake bikini doang tetep keren. Nah aku pake baju lengkap tapi malah terkesan aneh. Aku masih pakai baju anak kuliahan, iyalah belum ganti baju 2 hari!

Belum lagi wajahku yang sembab dan compang-camping. Mirip kayak orang hilang dan terdampar di negeri antah berantah. Tanpa sepeser uangpun, uang monopoli juga nggak ada. Dengan perut keroncongan karena lupa kapan terakhir makan. Nggak bawa satupun alat transaksi.

Aku emang gila, koplak, dan sedikit aneh, tapi sumpah ini bagian hidupku yang paling rendah dan aneh. Kemarin aku ke mana saja? Ketika fasilitas orang tua begitu lengkap, aku malah pengen melesap kemana gitu. Sekarang beneran melesap malah nggak bisa berdikari. Sumpah gue kangen Bunda! Kangen dompetnya bunda yang banyak uangnya itu. Aku pengen beli karcis bus terus pulang ke Malang, kota kesayangan yang malang itu.

Kurasa sekarang nasibku sama malangnya dengan nama kota kesayangan. Ya, malang benar nasibku. Terdampar di depan terminal bus tanpa tahu harus apa. Sampai di sini setelah dapat tumpangan dari emak motor matik yang memandangku iba. Katanya aku mirip anaknya yang hilang 20 tahun yang lalu. Apapun itu, terima kasih ya Bu!

Tuhan, bagaimana ini? Mana setengah jam lagi, statusku berubah jadi orang hilang. Dan aku nggak bisa hubungi keluarga yang sedang gonjang-ganjing. Iyalah HP malangku tewas, kehabisan daya. Aku nggak berdaya, Tuhan. Mohon peluk aku sebentar saja. Berikan kekuatan-Mu yang Maha Dahsyat. Supaya seorang Alana yang lemah ini bisa pulang ke rumah, hiks. Aamiin.

Saat ini aku malah berpikir keras. Di mana Dika yang katanya mencintaiku. Dia malah tak mengejarku, sama sekali. Ia juga tak berpikir bagaimana nasibku selanjutnya. Okelah, segengsinya aku, pinjemin uang dong! Utang deh, utang. Nanti kubayar, asal nggak balikan lagi. Aku mah ogah balikan sama dia lagi. Cukup sekali aku merasa, kegagalan cinta.

“Mau ke mana, Dek?” buyar sebuah suara yang membuatku mendongak. Ada bapak-bapak berusia 49 tahunan gitulah, berkumis dan berbaju batik rapi sedang tersenyum padaku.

Kubalas senyuman itu, “saya mau pulang ke Malang, Pak. Namun, tidak ada uang. Saya cuma punya KTP dan KTM saja.”

Maaf Pak, Alana curhat.

“Memangnya Adek sendirian?” tanyanya lagi.

“Iya Pak, saya sendirian. Saya juga tidak sadar saat dibawa ke sini.”

Duh, semoga bapak ini tak merasa aneh dengan penjelasanku.

Tampaknya wajah bapak itu aneh, “Dek, saya kernet bus itu. Saya bisa bantuin Adek balik ke Jawa, tapi cuma sampai Banyuwangi saja, ya? Tidak sampai ke Malang. Bagaimana?”

“Ha, beneran Pak?” aku terlonjak bahagia bak mendapat sebongkah emas murni.

“Iya, Dek, mari kita berangkat sekarang. Itu busnya sudah hampir berangkat,” ajak bapak baik itu sambil membantuku berdiri.

Rasanya kekuatanku kembali. Tentu saja karena Tuhan itu Maha Baik dengan segala kuasa-Nya. Tuhan mengabulkan doa dan permohonanku barusan. Terima kasih ya Tuhan karena masih ada orang baik di dunia ini. Oke Alana, jangan lupa kenalan sama bapak ini, kalau perlu tinggalin nomor HP. Biar ayah dan bunda bisa kasih hadiah atas kebaikannya. Namun, aku kan gak hapal nomor HPku, hiks.

“Dek, duduknya di bangku cadangan di depan, ya?” suruh bapak itu pelan. Aku mengangguk dan langsung duduk di bangku kecil yang menghadap langsung ke jendela bis yang besar.

“Terima kasih banyak, ya, Pak? Nama saya Alana,” celotehku begitu saja.

“Saya Pak Samiran. Biasanya bus ini mangkal di Bungurasih, Surabaya. Adek sudah makan?” aku menggeleng.

Pak Samiran yang baik hati itu lantas memberiku sebuah roti gepeng yang kurasa isi kacang hijau. Aku terbata hampir menangis, “terima kasih banyak, Pak?”

“Adek mirip anak saya yang di kampung. Cantik dan pasti sudah sebesar Adek,” ucapnya sambil tersenyum lembut. Iya deh, dimirip-miripin sama anak siapapun Alana rela. Anggap aja sebagai balas budi karena sudah menolong Alana deh.

Karena lapar aku segera melahap roti itu. Namun, aku terkesiap karena roti enak itu terjatuh akibat sebuah senggolan. Aih, siapa pula yang mengganggu ketenangan Alana sekarang? Teringat pepatah lama bahwa jangan mengganggu makhluk yang sedang makan, sekalipun itu guk-guk. Dengan cepat aku mendongak dan mendapati sebuah sosok lelaki tinggi sedang menatap lurus kepadaku. Rupa-rupanya yang tadi menyenggol tanganku itu adalah sebuah tas besar mirip ransel tentara berwarna hijau loreng.

Tak hanya itu, di tubuh tingginya terbalut sebuah seragam loreng mirip dengan milik ayah. Lelaki itu berkulit kuning cenderung kecoklatan seperti terbakar matahari gitu. Di tangan kirinya terbalut jam swiss-army warna coklat tanah. Kedua tangannya terlihat penuh dengan bawaan seperti papan surfing.

“Duh, gimana sih Pak! Hati-hati dong!” sahutku judes. Ingin kupungut roti itu tapi sudah diinjak oleh sepatu PDL bapak ini! Dobel KZL, 'kan?

“Aduh, maaf ya Dek?” jawab suara bapak itu yang, maaf, bisa diulang sekali lagi nggak?

Suara si bapak tentara teramat dingin seperti es doger.

Seketika aku mendongak dan mendapati bapak itu sedang menatapku penuh sesal. Tunggu, dia bukan bapak-bapak kali, dia mah masih mas-mas. Blink-blink seketika mata ini, juga mata batin ini. Kutahu ini bukan saat yang tepat untuk lirik cowok lain, apalagi aku baru putus cinta. Namun sumpah, suara mas-mas itu mirip seperti perpaduan suara Maruli Tampubolon dan Afgansyah Reza. Bisa dibayangkan nggak sih? Nyesssss abis, padahal baru kalimat pendek yang terucap barusan!

Wait a sec, bukan cuman itu. Wajahnya juga nyess, mirip seperti es Magnum. Coklat-coklat kriuk gitu deh. Gimana nggak, mas-mas berkulit coklat kriuk ini adalah pemilik mata terindah yang pernah kutemui. Tajam seperti elang, tapi juga teduh seperti lautan. Auw, hidungnya mancung kayak perosotan TK. Bibirnya yang kecup-able.

God, fantasi liar macam apa ini Alana! Sadar hoey, elu barusan putus cintrong, Hooman!

Aku tersadar ketika mas-mas kecup-able itu mengibaskan tangannya di depan wajahku yang sudah aneh, “Dek, maaf ya nanti saya ganti rotinya.” Lalu berlalu gitu aja.

Boleh direkam gak suaranya, Mas?

Aku tak bisa menjawab apapun karena mulut ini terkunci. Mulutku yang pucat tanpa gincu ini seperti sudah dilem biru. Seperti dibius Dika kemarin, aku seperti lunglai pada satu titik dan tak bisa berkata apapun. Apakah ini yang namanya blushing akut pada pandangan pertama? Cukup aneh ya mengingat seorang Alana ini baru saja putus cinta. Namun, nggak apa deh, tandanya aku masih normal, doyan lelaki.

Mataku diam-diam mengekor langkah kaki jenjangnya. Ternyata dia duduk di bangku nomor 2 dari depan arah belakang sopir yang otomatis bisa membuatku mencuri pandang.

Siapa ya? Kok tumben pak tentara bawa papan surfing? Kok bisa dia naik bis penuh gini? Dia turun dimana ya? Batinku yang seketika lupa pada si perut yang keroncongan.

Pak Samiran menyentuh pundakku, “Dek, ini roti dari pak tentara yang barusan naik. Buat permohonan maaf."

“Eh iya, Pak. Terima kasih banyak, ya?” ucapku cepat-cepat lantas kembali duduk terpaku.

Oke kegilaan mendadak ini berakhir ketika bis berangkat. Pak Samiran dengan penuh kerelaan duduk di pintu paling belakang. Padahal pak sopirnya butuh Pak Samiran untuk memberi aba-aba. Namun, marilah nikmati momen ini Alana, di mana kamu berada di titik rendah. Dimana masih ada orang baik yang peduli padamu. Dimana Tuhan masih menjagamu dalam kasih-Nya. Dimana kamu dikasih kesempatan mencuri pandang pada Mas Tentara yang Kecup-able.

Mungkin sesampainya di Malang, aku akan berubah mood lagi. Iyalah secara setelah ini, bunda akan membabatku abis-abisan. Belum lagi ayah yang akan membuat drama melankolis dengan proteksi yang makin berlapis. Namun, mungkin Bang Ranu tidak akan usil dan cuek lagi karena sudah kecolongan.

---

Pukul 10 malam, aku terbangun. Bis berhenti di pelabuhan Gilimanuk karena akan menyeberang Selat Bali untuk menuju ke Jawa. Yap, aku kembali ke tempat memorable ini. Memori buruk sih, karena di sini aku masih menangis setelah sadar dibius Dika. Sebelum turun bis dan naik ke kapal, aku celingak-celinguk. Takut saja kalau Dika membuntutiku. Jujur, aku merasa takut dan trauma padanya. Takut kalau dia nekat dan menculikku makin jauh lagi.

Gimana kalau perkataan bunda benar? Gimana kalau aku tiba-tiba diculik Dika. Dibawa ke kebon terus di … hiiii serem. Iya kalau dibiarin hidup, kalau aku di … hiii amit-amit. Ya Allah, terima kasih ya sudah sayang dan selalu sayang sama Alana. Terima kasih karena sudah membuka mata batin Lana. Sekarang Lana sudah sadar sesadar-sadarnya. Nggak mau lagi kembali ke titik itu.

Sekarang Lana bertekad untuk jadi anak baik dan penurut pada orang tua. Nggak mau lagi kehilangan kepercayaan orang tua seperti kemarin. Rasanya hari-hari kemarin sudah memberiku tamparan keras. Mungkin, sekarang statusku berubah jadi orang hilang. Mungkin saja Dika sudah dihajar abis-abisan dan ditangkap polisi.

Mengerikan sekali membayangkan itu. Tak sadar membuatku menangis. Aku menangis di bagian pinggir kapal, dekat ruang kapten kapal sambil menatap air laut yang bergelombang.

“Aku ingin kembali Ya Tuhan … ,” gumamku sambil menyeka air mata.

“Aku malu Ya Tuhan. Gimana kalau bunda nggak percaya sama aku? Gimana kalau bunda nganggap aku sudah tidak perawan? Gimana kan aku pernah diculik cowok? Mana pake dibius lagi! Sebenarnya aku ini pinter apa oon sih?” gumamku lagi makin sedih. Semoga aku nggak dikira orang yang mau suicide gitu.

Serasa ada hawa yang mendekat, aku lantas pasang badan takut kalau itu Dika atau orang jahat lainnya, “apa yang kamu pikirkan ketika melihat ombak itu?”

Dengan cepat aku menoleh, si pemilik suara Maruli Tampubolon itu sedang berdiri di sebelahku. Di badannya yang tinggi kekar melekat sebuah kaos oblong warna hijau lumut, ia sudah mengganti seragamnya dengan baju yang santai. Serius itu memberi siluet ehem pada tubuhnya. Dia berdiri sambil bersandar pada pagar kapal. Tanpa menatapku yang selalu saja terpaku padanya.

“Maaf, saya tidak bicara dengan orang asing,” jawabku dingin.

Terdengar senyum pelannya, “mungkin kamu nggak tahu, kalau pada setiap perjalanan orang asing bisa jadi teman.”

Aku jadi tersindir. Malu ih. Lagian demi apaan sih kamu Lana, penampilan acak-acakan gitu harusnya makasih udah disamperin cowok keren. Diajak ngomong lagi. Dikasih kesempatan dengerin suaranya yang nyess lagi. Ih, kenapa sih aku harus jawab seperti itu. Aku merasa dia sedang mengejekku. Kupikir sudah jelas mas ini sedang menganggapku ingin bunuh diri, apalagi aku lagi nangis di pinggir kapal di atas laut gini.

Dia meletakkan sebuah apel hijau di atas besi pagar, “apel bisa mengurangi stres. Coba saja!” lantas pergi.

Tuh 'kan, seratus persen bener kalau mas ehem itu mengira aku sedang putus asa. Makanya aku disuruh makan apel supaya gak setres lagi. Kok sembarangan amat sih!

“Untung ganteng. Jadi termaafkan deh!” celetukku sambil menggigit apel hijau pemberiannya.

Seger juga kayak yang ngasih. Orang asing yang dia kira bisa jadi teman, ih. Mana ada anggapan model gituan?

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status