Kurasa saat ini hidup seorang Alana sedang berada di titik yang rendah, tidak rendah sekali sih, rendah biasa saja. Alana sudah biasa berada dalam situasi yang abnormal. Sejak awal kan sudah kubilang kalau keluarga si koplak Alana sedikit tidak normal. Namun ketika sadar, sebenarnya keluargaku itu sangat normal. Mereka sangat normal untuk ukuran orang tua yang melindungi anak perempuan satu-satunya.
Ternyata begini ya rasanya menentang proteksi orang tua yang kuanggap aneh selama ini. Benar kata bunda, kini mata batinku sudah terbuka. Kalau sayang nggak bakal nyakitin. Kalau sayang pasti menjaga, menghargai, dan menghormati. Namun, apa yang Dika lakukan padaku? Salah semua! Kurasa dia lebih ke posesif, hii mengerikan.
Di sepanjang jalan menuju terminal bis, aku berjalan gontai. Sesekali mematut wajah di kaca toko yang ramai. Mereka memandangku aneh. Iyalah aku mirip gelandangan yang terdampar di suatu planet. Turis mah pake bikini doang tetep keren. Nah aku pake baju lengkap tapi malah terkesan aneh. Aku masih pakai baju anak kuliahan, iyalah belum ganti baju 2 hari!
Belum lagi wajahku yang sembab dan compang-camping. Mirip kayak orang hilang dan terdampar di negeri antah berantah. Tanpa sepeser uangpun, uang monopoli juga nggak ada. Dengan perut keroncongan karena lupa kapan terakhir makan. Nggak bawa satupun alat transaksi.
Aku emang gila, koplak, dan sedikit aneh, tapi sumpah ini bagian hidupku yang paling rendah dan aneh. Kemarin aku ke mana saja? Ketika fasilitas orang tua begitu lengkap, aku malah pengen melesap kemana gitu. Sekarang beneran melesap malah nggak bisa berdikari. Sumpah gue kangen Bunda! Kangen dompetnya bunda yang banyak uangnya itu. Aku pengen beli karcis bus terus pulang ke Malang, kota kesayangan yang malang itu.
Kurasa sekarang nasibku sama malangnya dengan nama kota kesayangan. Ya, malang benar nasibku. Terdampar di depan terminal bus tanpa tahu harus apa. Sampai di sini setelah dapat tumpangan dari emak motor matik yang memandangku iba. Katanya aku mirip anaknya yang hilang 20 tahun yang lalu. Apapun itu, terima kasih ya Bu!
Tuhan, bagaimana ini? Mana setengah jam lagi, statusku berubah jadi orang hilang. Dan aku nggak bisa hubungi keluarga yang sedang gonjang-ganjing. Iyalah HP malangku tewas, kehabisan daya. Aku nggak berdaya, Tuhan. Mohon peluk aku sebentar saja. Berikan kekuatan-Mu yang Maha Dahsyat. Supaya seorang Alana yang lemah ini bisa pulang ke rumah, hiks. Aamiin.
Saat ini aku malah berpikir keras. Di mana Dika yang katanya mencintaiku. Dia malah tak mengejarku, sama sekali. Ia juga tak berpikir bagaimana nasibku selanjutnya. Okelah, segengsinya aku, pinjemin uang dong! Utang deh, utang. Nanti kubayar, asal nggak balikan lagi. Aku mah ogah balikan sama dia lagi. Cukup sekali aku merasa, kegagalan cinta.
“Mau ke mana, Dek?” buyar sebuah suara yang membuatku mendongak. Ada bapak-bapak berusia 49 tahunan gitulah, berkumis dan berbaju batik rapi sedang tersenyum padaku.
Kubalas senyuman itu, “saya mau pulang ke Malang, Pak. Namun, tidak ada uang. Saya cuma punya KTP dan KTM saja.”
Maaf Pak, Alana curhat.
“Memangnya Adek sendirian?” tanyanya lagi.
“Iya Pak, saya sendirian. Saya juga tidak sadar saat dibawa ke sini.”
Duh, semoga bapak ini tak merasa aneh dengan penjelasanku.
Tampaknya wajah bapak itu aneh, “Dek, saya kernet bus itu. Saya bisa bantuin Adek balik ke Jawa, tapi cuma sampai Banyuwangi saja, ya? Tidak sampai ke Malang. Bagaimana?”
“Ha, beneran Pak?” aku terlonjak bahagia bak mendapat sebongkah emas murni.
“Iya, Dek, mari kita berangkat sekarang. Itu busnya sudah hampir berangkat,” ajak bapak baik itu sambil membantuku berdiri.
Rasanya kekuatanku kembali. Tentu saja karena Tuhan itu Maha Baik dengan segala kuasa-Nya. Tuhan mengabulkan doa dan permohonanku barusan. Terima kasih ya Tuhan karena masih ada orang baik di dunia ini. Oke Alana, jangan lupa kenalan sama bapak ini, kalau perlu tinggalin nomor HP. Biar ayah dan bunda bisa kasih hadiah atas kebaikannya. Namun, aku kan gak hapal nomor HPku, hiks.
“Dek, duduknya di bangku cadangan di depan, ya?” suruh bapak itu pelan. Aku mengangguk dan langsung duduk di bangku kecil yang menghadap langsung ke jendela bis yang besar.
“Terima kasih banyak, ya, Pak? Nama saya Alana,” celotehku begitu saja.
“Saya Pak Samiran. Biasanya bus ini mangkal di Bungurasih, Surabaya. Adek sudah makan?” aku menggeleng.
Pak Samiran yang baik hati itu lantas memberiku sebuah roti gepeng yang kurasa isi kacang hijau. Aku terbata hampir menangis, “terima kasih banyak, Pak?”
“Adek mirip anak saya yang di kampung. Cantik dan pasti sudah sebesar Adek,” ucapnya sambil tersenyum lembut. Iya deh, dimirip-miripin sama anak siapapun Alana rela. Anggap aja sebagai balas budi karena sudah menolong Alana deh.
Karena lapar aku segera melahap roti itu. Namun, aku terkesiap karena roti enak itu terjatuh akibat sebuah senggolan. Aih, siapa pula yang mengganggu ketenangan Alana sekarang? Teringat pepatah lama bahwa jangan mengganggu makhluk yang sedang makan, sekalipun itu guk-guk. Dengan cepat aku mendongak dan mendapati sebuah sosok lelaki tinggi sedang menatap lurus kepadaku. Rupa-rupanya yang tadi menyenggol tanganku itu adalah sebuah tas besar mirip ransel tentara berwarna hijau loreng.
Tak hanya itu, di tubuh tingginya terbalut sebuah seragam loreng mirip dengan milik ayah. Lelaki itu berkulit kuning cenderung kecoklatan seperti terbakar matahari gitu. Di tangan kirinya terbalut jam swiss-army warna coklat tanah. Kedua tangannya terlihat penuh dengan bawaan seperti papan surfing.
“Duh, gimana sih Pak! Hati-hati dong!” sahutku judes. Ingin kupungut roti itu tapi sudah diinjak oleh sepatu PDL bapak ini! Dobel KZL, 'kan?
“Aduh, maaf ya Dek?” jawab suara bapak itu yang, maaf, bisa diulang sekali lagi nggak?
Suara si bapak tentara teramat dingin seperti es doger.
Seketika aku mendongak dan mendapati bapak itu sedang menatapku penuh sesal. Tunggu, dia bukan bapak-bapak kali, dia mah masih mas-mas. Blink-blink seketika mata ini, juga mata batin ini. Kutahu ini bukan saat yang tepat untuk lirik cowok lain, apalagi aku baru putus cinta. Namun sumpah, suara mas-mas itu mirip seperti perpaduan suara Maruli Tampubolon dan Afgansyah Reza. Bisa dibayangkan nggak sih? Nyesssss abis, padahal baru kalimat pendek yang terucap barusan!
Wait a sec, bukan cuman itu. Wajahnya juga nyess, mirip seperti es Magnum. Coklat-coklat kriuk gitu deh. Gimana nggak, mas-mas berkulit coklat kriuk ini adalah pemilik mata terindah yang pernah kutemui. Tajam seperti elang, tapi juga teduh seperti lautan. Auw, hidungnya mancung kayak perosotan TK. Bibirnya yang kecup-able.
God, fantasi liar macam apa ini Alana! Sadar hoey, elu barusan putus cintrong, Hooman!
Aku tersadar ketika mas-mas kecup-able itu mengibaskan tangannya di depan wajahku yang sudah aneh, “Dek, maaf ya nanti saya ganti rotinya.” Lalu berlalu gitu aja.
Boleh direkam gak suaranya, Mas?
Aku tak bisa menjawab apapun karena mulut ini terkunci. Mulutku yang pucat tanpa gincu ini seperti sudah dilem biru. Seperti dibius Dika kemarin, aku seperti lunglai pada satu titik dan tak bisa berkata apapun. Apakah ini yang namanya blushing akut pada pandangan pertama? Cukup aneh ya mengingat seorang Alana ini baru saja putus cinta. Namun, nggak apa deh, tandanya aku masih normal, doyan lelaki.
Mataku diam-diam mengekor langkah kaki jenjangnya. Ternyata dia duduk di bangku nomor 2 dari depan arah belakang sopir yang otomatis bisa membuatku mencuri pandang.
Siapa ya? Kok tumben pak tentara bawa papan surfing? Kok bisa dia naik bis penuh gini? Dia turun dimana ya? Batinku yang seketika lupa pada si perut yang keroncongan.
Pak Samiran menyentuh pundakku, “Dek, ini roti dari pak tentara yang barusan naik. Buat permohonan maaf."
“Eh iya, Pak. Terima kasih banyak, ya?” ucapku cepat-cepat lantas kembali duduk terpaku.
Oke kegilaan mendadak ini berakhir ketika bis berangkat. Pak Samiran dengan penuh kerelaan duduk di pintu paling belakang. Padahal pak sopirnya butuh Pak Samiran untuk memberi aba-aba. Namun, marilah nikmati momen ini Alana, di mana kamu berada di titik rendah. Dimana masih ada orang baik yang peduli padamu. Dimana Tuhan masih menjagamu dalam kasih-Nya. Dimana kamu dikasih kesempatan mencuri pandang pada Mas Tentara yang Kecup-able.
Mungkin sesampainya di Malang, aku akan berubah mood lagi. Iyalah secara setelah ini, bunda akan membabatku abis-abisan. Belum lagi ayah yang akan membuat drama melankolis dengan proteksi yang makin berlapis. Namun, mungkin Bang Ranu tidak akan usil dan cuek lagi karena sudah kecolongan.
---Pukul 10 malam, aku terbangun. Bis berhenti di pelabuhan Gilimanuk karena akan menyeberang Selat Bali untuk menuju ke Jawa. Yap, aku kembali ke tempat memorable ini. Memori buruk sih, karena di sini aku masih menangis setelah sadar dibius Dika. Sebelum turun bis dan naik ke kapal, aku celingak-celinguk. Takut saja kalau Dika membuntutiku. Jujur, aku merasa takut dan trauma padanya. Takut kalau dia nekat dan menculikku makin jauh lagi.
Gimana kalau perkataan bunda benar? Gimana kalau aku tiba-tiba diculik Dika. Dibawa ke kebon terus di … hiiii serem. Iya kalau dibiarin hidup, kalau aku di … hiii amit-amit. Ya Allah, terima kasih ya sudah sayang dan selalu sayang sama Alana. Terima kasih karena sudah membuka mata batin Lana. Sekarang Lana sudah sadar sesadar-sadarnya. Nggak mau lagi kembali ke titik itu.
Sekarang Lana bertekad untuk jadi anak baik dan penurut pada orang tua. Nggak mau lagi kehilangan kepercayaan orang tua seperti kemarin. Rasanya hari-hari kemarin sudah memberiku tamparan keras. Mungkin, sekarang statusku berubah jadi orang hilang. Mungkin saja Dika sudah dihajar abis-abisan dan ditangkap polisi.
Mengerikan sekali membayangkan itu. Tak sadar membuatku menangis. Aku menangis di bagian pinggir kapal, dekat ruang kapten kapal sambil menatap air laut yang bergelombang.
“Aku ingin kembali Ya Tuhan … ,” gumamku sambil menyeka air mata.
“Aku malu Ya Tuhan. Gimana kalau bunda nggak percaya sama aku? Gimana kalau bunda nganggap aku sudah tidak perawan? Gimana kan aku pernah diculik cowok? Mana pake dibius lagi! Sebenarnya aku ini pinter apa oon sih?” gumamku lagi makin sedih. Semoga aku nggak dikira orang yang mau suicide gitu.
Serasa ada hawa yang mendekat, aku lantas pasang badan takut kalau itu Dika atau orang jahat lainnya, “apa yang kamu pikirkan ketika melihat ombak itu?”
Dengan cepat aku menoleh, si pemilik suara Maruli Tampubolon itu sedang berdiri di sebelahku. Di badannya yang tinggi kekar melekat sebuah kaos oblong warna hijau lumut, ia sudah mengganti seragamnya dengan baju yang santai. Serius itu memberi siluet ehem pada tubuhnya. Dia berdiri sambil bersandar pada pagar kapal. Tanpa menatapku yang selalu saja terpaku padanya.
“Maaf, saya tidak bicara dengan orang asing,” jawabku dingin.
Terdengar senyum pelannya, “mungkin kamu nggak tahu, kalau pada setiap perjalanan orang asing bisa jadi teman.”
Aku jadi tersindir. Malu ih. Lagian demi apaan sih kamu Lana, penampilan acak-acakan gitu harusnya makasih udah disamperin cowok keren. Diajak ngomong lagi. Dikasih kesempatan dengerin suaranya yang nyess lagi. Ih, kenapa sih aku harus jawab seperti itu. Aku merasa dia sedang mengejekku. Kupikir sudah jelas mas ini sedang menganggapku ingin bunuh diri, apalagi aku lagi nangis di pinggir kapal di atas laut gini.
Dia meletakkan sebuah apel hijau di atas besi pagar, “apel bisa mengurangi stres. Coba saja!” lantas pergi.
Tuh 'kan, seratus persen bener kalau mas ehem itu mengira aku sedang putus asa. Makanya aku disuruh makan apel supaya gak setres lagi. Kok sembarangan amat sih!
“Untung ganteng. Jadi termaafkan deh!” celetukku sambil menggigit apel hijau pemberiannya.
Seger juga kayak yang ngasih. Orang asing yang dia kira bisa jadi teman, ih. Mana ada anggapan model gituan?
***Bersambung...
Hidupku yang sempat acak kadul sebulan yang lalu mulai tertata sedikit demi sedikit. Perlahan aku mulai menata hidup menjadi lebih normal daripada biasanya. Biasanya dalam artian saat aku masih berhubungan dengan Dika dan sesudah putus. Kuakui, hidupku nggak teratur, acak seperti acar timun di dalam mangkok.Sebulan yang lalu, sesampainya aku di Banyuwangi, para pasukan ayah dan beberapa petugas polisi langsung memeriksa semua bus dan menemukanku. Aku dikawal menuju mobil dengan iringan penjagaan ketat. Kira-kira 3 mobil berisi tentara dan polisi berseragam lengkap dan bebas deh. Tentu saja membuat gaduh.Semua karena apalagi kalau bukan karena permintaan ayah. Ayah menghubungi semua rekannya di wilayah Banyuwangi dan memintaback-up. Jadinya, penemuanku membuat kehebohan bak penemuan sebuah fosil langka. Namun, sekali lag
Saat ini aku bak berada di mimpi indah dan malas bangun. Kenapa, sebab pemandangan di depan mata ini sungguh layak untuk dikenang dan dipertahankan. Entah takdir apa yang mempertemukanku lagi dengan Mas Kecup-able yang ternyata adalah tamu dari ayah tercinta. Tamu kehormatan yang ditunggu kedatangannya sejak pagi tadi akhirnya datang juga.Setelah kedatangannya, tak lama kemudian ayah dan bunda datang secara bersamaan. Kedua orang tuaku itu lantas menyalami dan menepuk-nepuk pundak Mas Kecup-abledengan suka cita. Bak bertemu dengan anak mereka yang telah hilang ratusan tahun. Seriusan, Bang Ranu aja jarang digituin. Makanya dia banyak diam dan cemberut aja. Cemburu ya, Bang?“Ssstt, berisik lu Lan! Gua gaplok, koplak juga lu!” ancamnya tadi.Well
“Alana, kamu jangan berisik! Selama 2 hari Mas Dru bakalan tidur bareng Bang Ranu, sekamar. Jangan ganggu kedamaiannya! Jangan bertindak gila! Yang sopan! Gak boleh celamitan! Gak boleh pake tank top atau celana gemes! Awas ya kalau pake celana gemes, Bunda remes pipimu sampai lecet!”“Savannah, kamu baru boleh bicara sama dia kalau kamu diajak ngobrol. Kalau gak, kamu gak boleh gangguin Mas Dru. Itu bikin dia gak nyaman! Awas ya kalau melanggar larangan Ayah, Ayah hentikan kuota internetmu sebulan!”Apa yang kamu rasakan ketika dapat wejangan sekaligus ancaman dari kedua orang tua saat perutmu kenyang? Pengen muntah, pup, atau apaan? Kalau aku sih gak pengen apa-apa, sebab udah kebal. Iyalah, aku mah sudah biasa diancam model gituan sama ayah dan bunda, sebagai anak yang diproteksi abis-abisan tentu saja. Tapi, baru kali ini ayah dan bunda mengesampingkanku, boneka porselennya, demi anak orang lain. Wauw, ada apakah ini?
Pagi yang ngantuk setelah semalaman aku gondok sendiri. Iyalah gara-gara sibuk menyangkal hati sendiri, aku jadi tidur jam 12 malam. Selain itu, aku sibuk memeluk dinding untuk kepo apa aktivitas Mas Dru. Apa dia ngorok pas bobok? Suka kentut juga gak kayak Bang Ranu? Hasilnya apa? Senyap Pemirsa. Dia sangat tenang seperti vampire. Mungkin suara kentut dan dengkurannya dalam modesilent,who knows?Hahaha.Walau ngantuk, aku tak boleh malas. Iyalah ini kan hari bersejarah dalam hidup Alana, dimana selama 2 hari aku akan menemaninya. Iya, si lelaki peluk-abledengan suara nyes itu. Kami bakalan menjelajah Kota Malang. Aku bakalan bisa memeluknya dari belakang dan memuaskan fantasi liarku, hiii jijay! Cewek genit amat, Lana! Ya gak mungkinlah, aku masih punya malu kali. Kabarnya Mas Dru bakalan bawa motorScoopymilik ayah.
Fyuh, aku melap keringat dingin setelah seorang polisi akhirnya mendatangi mobil Mas Dru yang dipinggirkan. Polisi di kota ini juga tergolong cepat dan cekatan loh, mereka bisa datang secepat kilat kalau kita buat salah.Well, pada akhirnya Mas Dru mengikuti prosedur yang berlaku, menunjukkan identitas, surat kendaraan dan SIM-nya. Dengan tegas, ia menceritakan kronologis kejadian dengan detail hingga pak polisinya cuma angguk-angguk aja, gak pake geleng-geleng.“Baik saya mengerti. Selamat melanjutkan perjalanan dan hati-hati,” simpul pak polisi itu sambil memberikan hormat.Mas Dru juga membalasnya dengan santun dan senyum. Tuh kan, pak polisinya aja juga jatuh cinta sama Mas Dru. Ya gak gitu Alana, itu karena Mas Dru patuh sama prosedur makanya lempeng aja, duh!
Berteman adalah status baru yang tersemat di antara aku dan Mas Drupada yang ehem itu. Kami kini bukanlah orang asing lagi, yeay! Asyik sekali kan bisa berteman sama cowok model dia. Mas-mas tentara yang keren, peluk-able, disiplin, semua perilakunya tertata, baik dalam memperlakukan wanita, dan lain sebagainya. Kalau dijabarin mah, semalam suntuk gak cukup kali. Jadi, sementara itu doang aja, hehe.Paling gak sekarang aku bisa punya modusan baru, alias orang yang bisa dimodusin tanpa sadar, hwahaha. Iyalah, secara aku gak pernah deket sama orang asing, lalu kemudian sekarang punya teman. Otomatis aku bisa punya tempat curhat baru, mana dia dewasa sekali. Sesekali aku juga bisa sentil hatinya dengan manja, wkwkw. Iyalah, cara memandang Mas Dru itu beda banget. Gak tahu sih, apa emang dia baik sama semua orang atau gimana. Yang jelas dia baik banget sama aku.
Hidup seorang Alana mendadak jadi indah semenjak kedatangan manusia Tuhan paling seksi bernama Dru Sadika Djati. Namanya yang indah dan berfilosofi, wajahnya yang kueren dan terus membayangiku, serta suara nyess yang sanggup membiusku. Dia berhasil mengalihkan dunia Alana yang acak kadul hanya karena lelaki bernama Dika. Ah, sudahlah membahas Dika bikin suntuk. Gak tahu dan gak mau tahu dia lagi ada di belahan bumi mana.Rupanya kehadiran Mas Dru di bulan ini bukanlah satu-satunya kejutan dalam hidup Alana. Kehidupan Bang Ranu yang selama ini adem ayem seperti triplek mendadak jadi berwarna juga. Kukira selama ini Bang Ranu itu gak suka sama cewek, abisnya dia super sadis sama aku. Ternyata dan ternyata, tak dinyana serta disangka, Bang Ranu sudah punya pacar. Serius? Iyalah, cowok ganteng macam dia pasti banyak disukai sama cewek. Mulai dari mbok jamu sampai anak SD juga suka sama dia, asal gak tahu sifatnya aja.Da
Pernah gak sih kamu ngerasa kalau waktu makin lama pas kita nunggu? Sumpah ya, ini jam dinding lelet amat! Bukan cuma jam dinding doang sih, tapi jam tangan dan jam HP juga. Dari tadi masih bertengger di jam 13.30 siang. Lama bener ini kuliahnya Prof. Hedi. Berasa lumutan aku nunggu dari tadi. Mana materinya memusingkan lagi, bikin bosen banget. Padahal biasanya aku masih bisa ngilangin gabut pake coret-coret buku. Tapi, kali ini gak! Mungkin karena aku sedang nunggu pertemuan indah bersama Mas Dru.14.00 tet! Selesai! Akhirnyaaaaaa kuliah ini selesai, setelah aku hampir berubah jadi tanaman pakis. Yes, begitu Prof Hedi keluar kelas, aku langsung tancap gas. Menuruni anak tangga gak pake ngos-ngosan menuju lantai satu. Keluar gedung dan menyaksikan siapa yang sedang menungguku. Ihir, berasa ketemu sama siapa aja sih aku nih! Padahal yang akan kutemui adalah … OM PAUPAU! Iyalah, ajudan ayah berbaju loreng itu sudah setia