Share

Bab 8 Menata Hidup yang Acak Kadul

Hidupku yang sempat acak kadul sebulan yang lalu mulai tertata sedikit demi sedikit. Perlahan aku mulai menata hidup menjadi lebih normal daripada biasanya. Biasanya dalam artian saat aku masih berhubungan dengan Dika dan sesudah putus. Kuakui, hidupku nggak teratur, acak seperti acar timun di dalam mangkok.

Sebulan yang lalu, sesampainya aku di Banyuwangi, para pasukan ayah dan beberapa petugas polisi langsung memeriksa semua bus dan menemukanku. Aku dikawal menuju mobil dengan iringan penjagaan ketat. Kira-kira 3 mobil berisi tentara dan polisi berseragam lengkap dan bebas deh. Tentu saja membuat gaduh.

Semua karena apalagi kalau bukan karena permintaan ayah. Ayah menghubungi semua rekannya di wilayah Banyuwangi dan meminta back-up. Jadinya, penemuanku membuat kehebohan bak penemuan sebuah fosil langka. Namun, sekali lagi aku tak mau lagi melawan kuasa ayah. Sudah cukup kapok.

Lalu aku dibawa ke kamar hotel yang sudah terisi oleh bunda, Bang Ranu, dan dokter Rini, dokter pribadi keluarga. Aku divisum dadakan atas suruhan bunda. Aku diperiksa dokter Rini setelah bunda memandikanku sambil memukuli punggungku. Tentu saja aku menangis. Bukan karena sakit kena pukulan bunda, tapi karena aku menyesal telah melanggar aturannya. Setelah mandi, kupeluk bunda sambil terisak. Kami saling bertangisan.

Bunda kembali memelukku, ketika dokter Rini selesai memeriksa. Hasilnya, aku baik saja hanya menderita lecet di tangan dan pundak. Sisanya, termasuk hal penting ‘itu’ masih aman. Aku masih perawan, dan itu penting sekali. Iyalah, aku juga sempat bimbang apa benar Dika tak menyentuhku? Kalau pas aku dibius itu dia sudah menciumku bagaimana? Hiks, sudahlah aku tak mau memikirkan itu. Sumpek!

Setelah selesai di Banyuwangi, aku dibawa ke Malang. Sesampainya di Malang, ayah dan bunda tak banyak bicara. Mereka langsung menyuruhku istirahat. Ditambah, pengamanan makin diperketat di depan rumah. Sebab kabarnya Dika masih buron. Bahkan, hingga kini kabarnya belum jelas gimana. Ah masa bodoh deh!

Buron? Benar sekali, ayah dan bunda melaporkan Dika ke polisi atas dugaan penculikan, pembiusan, dan penganiayaan. Hasil visum dan lain sebagainya menjadi bukti. Aku pasrah dan menyerahkan semua pada ayah dan bunda. Aku tak melawan apapun lagi, tak membela orang yang tak pantas kubela. Mendingan aku fokus pada penyembuhan fisik dan mental. Tentu, aku drop.

Dua hari aku dirawat di rumah, lengan dimasuki infus karena aku tak bisa makan apapun. Kata dokter, aku trauma dan stres, kelelahan berat juga. Sudah mati rasa ketika lengan ditusuk untuk diambil darah. Pemeriksaan darah lengkap bahkan sampai harus mencelupkan testpack

Ya sudahlah, aku menyerah. Sebulan yang lalu aku tak berdaya apapun. Aku banyak diam ketika Bang Ranu mulai usil dengan mengejekku ini dan itu. Aku hanya diam ketika ia memberiku sebuket besar bunga mawar dan krisan putih favorit yang ia dapatkan dari para fans fanatiknya. Kediamanku karena malas bicara. Malas klarifikasi apapun perihal semrawutnya hidupku. Untung saja mereka mengerti.

Hari ini, tepat sebulan aku jadi anak baik-baik. Tepat sebulan setelah hari nahas penculikanku itu. Sekarang aku sudah baik saja. Koplak seperti biasa. Ceria tak jelas bahkan ketika Om Paupau mengantarku ke kampus dengan penjagaan ketat. Iya katanya Dika masih buron. Hem, tak kusangka dia sepengecut itu. Memang tak bertanggungjawab banget. Untung sudah putus. Dasar ya manusia, sudah malang masih saja bilang untung, hehehe.

Okay, Alana telah jadi manusia baru sekarang. Walau aku harus tabah menghadapi pandangan aneh dari para manusia kampus. Aku tetap semangat kendati mereka asyik bergunjing tentangku. Katanya aku beruntung nggak diapa-apain. Katanya Dika itu serem, ya? Psiko ya? Hii, amit-amit. Duh, bukan aku ya yang bilang. Please Dika, namamu sudah rusak di kampus ini. Semoga kamu masih punya muka.

Nggak cuma namanya Dika doang sih yang rusak. Namaku juga rusak. Para cewek fansnya Dika nganggep aku genit. Aku dianggap perempuan murahan yang menghancurkan idolanya. Bahkan, katanya aku sengaja menjual badan supaya Dika berani berbuat seperti itu. Duh, pengen kusumpel satu-satu itu mulut. Pedes amat kayak merica. Sukanya judge orang lain. Berlagak pintar tetapi keblinger. Sabar deh sabaaaaaaaarrrrr. Maha benar manusia dengan segala nyinyirnya, fyuh!

Oke, menata hidup yang acak kadul ala Lana itu memang nggak mudah. Kesabaran tingkat Indonesia raya perlu kuterapkan saat ini. Berada di antara pro dan kontra berita penculikan yang simpang siur yang bahkan bisa membuatku diwawancarai koran lokal. Anehnya juga, aku jadi narasumber aktivis muslim kampus yang kontra pacaran. Parahnya, aku dijadikan topik utama bahasan mereka. Seolah mereka berkata, “makanya Alana jangan pacaran! Jauhin pacaran dekati yang halal. Indonesia bebas dari pacaran!” Okay fine, aku sabar kok. Sabarrr ….

Namun, aku tetap si easy going Alana. Yang selalu berusaha santai sebisa mungkin berlagak koplak kendati stres akut. Kalau kata orang Jawa, ‘aku rapopo’. Well, itulah tips ala aku. Apapun yang terjadi, lalui aja pake senyuman, walau itu harus senyum-senyum sendiri. Semua manusia pasti pernah kena badai dalam hidupnya. Tinggal kita perkuat tali-tali dan tiang-tiang itu untuk jadi topangan kuat menghadapi badai selanjutnya.

---

Mataku masih berat. Sesekali masih menguap bebas seperti kebo di sawah. Yap, di pukul 3 sore, aku baru bangun dari tidur cantik. Hujan yang mengguyur Kota Malang membuatku tidur lelap sambil mimpi peluk Mas Lee Min Ho. Sungguh romantis kamu hujan, ngerti aja kalau aku ngantuk.

Aku bangun sembari mengumpulkan nyawa, lalu keluar dari kamar rumah dinas ayah. Rumah lumayan sepi. Ayah ada kunjungan gitu ke Situbondo 2 hari. Mungkin sore ini baru pulang. Kata beliau, aku sudah dibelikan tape singkong yang buanyak dan harus dihabiskan sebagai tanda cinta anak ke bapaknya. Ih ayah apaan sih. Bomat, palingan juga tuh tape diubah jadi tape goreng sama bunda. Cemilan Malang yang terkenal dengan nama ‘Rondho Royal’.

Kalau bunda, katanya sedang sibuk bikin kerajinan dari kulit pisang bareng ibu-ibu gitu deh di kantor Persitnya. Mungkin sebentar lagi juga pulang. Nggak mungkin bunda rela meninggalkan aku sendirian di rumah. Kalau nggak keburu molor, pasti bunda sudah mengajakku. Untung aja ngantuknya cepat datang, jadi aku nggak perlu kumpul sama ibu-ibu. Males ah dicubitin mulu.

Aku duduk di meja makan, minta dibuatkan susu hangat pada Bik Yuyun yang sedang galau. Katanya pakdhe sayur demenannya baru aja rujuk sama mantan istrinya. Si bibik nggak kayak aku nih, cepet banget move-onnya. Saking cepetnya, aku bisa terpesona akut pada mas kecup-able saat pertama kali bertemu, saat baru putus lagi!

Ew, Mas Kecup-able? You mean, Mas Tentara yang Ehem itu? Yang suaranya perpaduan Maruli Tampubolon dan Afgan? Yaps, mas yang itu. Gimana ya kabarnya? Lagi di belahan bumi mana ya dia? Nyesel banget nggak minta nomor HPnya, alamat instagramnya, atau mungkin password facebook-nya, err, nggak gitu juga sih. Abisnya kita ketemu saat waktu yang nggak tepat sama sekali. Jadi, aku nggak berpikir sejauh itu.

Iya juga sih, sebulan yang lalu 'kan aku ketemu cowok keren yang nyaris membuatku gila akut. Kok selama sebulan ini aku terlupa begitu saja? Apa karena aku terlalu sibuk menata keacak-kadulan hidupku? Hingga lupa kalau aku pernah bertemu manusia sesempurna itu? Makhluk Tuhan Paling Seksi itu? ups, sah-sah saja dong aku memikirkannya sekarang. Aku 'kan sudah lajang gitu.

Betewe, salah nggak sih aku mikirin dia? Iya kalau dia masih layak untuk dipikirkan. Maksudnya, dia masih lajang, perjaka ting-ting, dan belum punya pasangan seenggaknya gebetan gitu. Kalau dia sudah beranak cucu gimana? Iya juga sih, kalau dia laki orang gimana? Aku 'kan nggak mau mikirin laki orang, dosa ah! Takut dimarahi Tuhan. Cap pelakor itu jelek banget lho sumpah!

Namun, sejauh aku nggak tahu statusnya apa, sah-sah aja kali yes? Secara, dia ganteng amat bok! Badannya ituloh, peluk-able banget. Tinggi, kekar, dan tampak hangat. Perpaduan antara Oppa Lee Min Ho dan Mas Channing Tatum. Tinggi dan sedikit berkotak-kotak gitu kayak coklat blok. Kok tahu? Iyalah, gegara siluetnya malam itu. Ih malu ah kalau ingat. Itu auratnya kok dipamerin ke cewek koplak berfantasi liar sepertiku sih?

“Mbak Lana, bibik boleh nanyak nggak?” tanya Bik Yuyun dalam bahasa medoknya. Aku menoleh dan mengangguk.

“Tapi nggak marah, ya?” aku mengangguk sambil mengunyah roti penuh butter.

“Gini Mbak Lana,” ia berdehem kecil, “pas diculik kemarin beneran ya Mbak Lana nggak dikasih makan? Terus beneran Mbak Lana dibius juga? Ini pertanyaan dari pembokat kepo di sebelah Mbak.”

Eh buset, istilahnya maju amat sih Bik? Pembokat?

Aku menahan tawa yang hampir meledak, “iya Bik Yun. Jawab aja gitu. Iyain aja deh biar cepet. Intinya, Lana nggak dikasih makan karena minta pulang. Lana dibius pakai obat yang dimasukin ke minuman. Udah gitu aja!”

“Iya deh, kalau gitu sekarang Mbak Lana makan, ya? Makan dulu sebelum tamunya bapak datang,” suruh Bik Yuyun setengah mengatur.

Tamu? Tamu apaan lagi?

“Siapa tamunya, Bik?” tanyaku sambil menatapnya yang sedang menyiapkan nasi lengkap dengan lauk.

“Ih Mbak Lana kepo deh!” sahutnya ala anak muda.

Duh, gini amat derita punya ART gaul. Pengen nanyak dibilang kepo, giliran nggak nanyak dibilang apatis. Yaelah, manusia zaman now.

Aku berdesis kesal, “ih nggak mau makan deh! Bik Yun nggak kepikiran bikin mie goreng pedes? Pengen nih dingin-dingin.”

“Mie Samyang, ya, Mbak?” celetuknya.

“Ya … sejenis itu,” jawabku aneh.

“Mbak Alana lupa kalau dilarang makan mie sama Bunda. Say no to drugs!” ujar Bik Yuyun kepedean.

Nih si bunda nemu ART dimana sih? Ajaib amat.

Aku nyengir aneh, “junk food kali, Bik ….”

Oke-oke aku mencoba menelan bulat-bulat tingkah laku konyol Bik Yuyun. Mungkin ini alasan aku cepat sembuh, karena berada di antara orang-orang aneh. Bukan aneh pada arti sebenarnya. Namun, aneh yang lucu, penuh hiburan. Jadi nggak kebawa stres dan cepat ceria. Oke, mungkin ini salah satu tips yang bisa kalian coba ketika galau. Beradalah di antara orang-orang dengan selera humor tinggi, mungkin sedikit koplak.

Keanehan di ruang makan diakhiri dengan suara sebuah klakson mobil dari arah depan. Sepertinya itu mobil Pangeran Cendana, eh, Pangeran Wibawa alias Paduka Maha Ganteng Ranu Kumbala. Pasti barusan pulang kerja itu. Samperin ah, palakin boleh juga. Siapa tahu Bang Ranu lagi baik hati dengan mau membelikanku martabak telor di ujung gang. Mayan, jatah preman.

Aku berjalan menuju ke arahnya, Bang Ranu masih lengkap dengan seragam polisi yang keren, “Abang … baru pulang, ya? Beliin martabak dong! Lana laper.”

“Lana,” dia menekan suaranya dan menatapku lekat, “bertingkah normal dan jangan gila. Ada tamunya ayah di sini. Rapiin tuh rambut, usap mentega di pipimu, jangan bikin malu ayah bunda. Kerjakan atau kita nggak kenal!” Bang Ranu memberiku instruksi dengan runtut dan tegas.

“Ada apaan sih, Bang? Emang tamu siapa?” tanyaku setengah berbisik. Aku mengikuti Bang Ranu hingga ke ruang tengah.

“Nanti kamu juga tahu. Udah sana. Jijikin kamu!” seringai Bang Ranu enggan. Dih, punya abang satu gini amat sadisnya.

Dengan cemberut mematut bibirku yang pucat tanpa gincu, aku masuk ke dalam kamar. Menuruti petunjuk Bang Ranu barusan demi menjadi adik dan anak yang baik. Sepenting apa sih tamu itu hingga aku harus tampil rapi di depannya? Anaknya presiden, ya? Anaknya bangsawan ya? Atau mungkin sesepuhnya ayah? Atau mungkin … calon istrinya Bang Ranu, ups, makin aneh pikiranku.

“Bikin penasaran saja!” gumamku sambil keluar kamar.

Aku sudah rapi dengan terusan katun warna biru dongker. Rambut yang dikuncir satu lengkap dengan bando bunga biar manis. Bibir sudah digincu dengan liptint warna pink cherry. Oke deh, lumayan cantik mirip dokter Indah Kusuma.

“Oke, sudah normal,” nilai Bang Ranu sambil berdecak dan menarik ujung lengan bajuku seperti mengangkat lap kumal.

Lah emangnya tadi aku abnormal?

Assalamulaikum ….” Suara itu berbunyi dari daun pintu ruang tamu. Oh em ji, suara perpaduan Maruli Tampubolon dan Afgan itu … aw!

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status