Share

I Kissed You After The Sunset
I Kissed You After The Sunset
Penulis: Lele_1393

1

Jangan terlalu memaksa saat kita ingin memiliki.

Fathan Agam Byantara

Bagaimana rasanya jatuh cinta?

Indah bukan?

Pasti menyenangkan, membayangkan semua hal yang disukai dilakukan bersama-sama. Hari-hari penuh dengan kebahagiaan.

Itu semua berlaku bagi orang-orang yang bertemu dengan pasangannya di waktu yang tepat dan orang yang tepat. Mungkin sepersekian persen dari orang-orang di dunia ini tidak seberuntung itu dan aku salah satunya. Cintaku jatuh di tempat yang salah. 

Sahabat yang seharusnya menjadi tempatku berbagi cerita, nyatanya aku malah menyembunyikan segala perasaanku padanya. Apakah aku bersikap curang? Di saat dia menceritakan bagaimana kisah hidupnya dengan orang lain, aku menanam sebuah rasa cemburu di balik senyum saat mendengarkan curahan hatinya padaku setiap malam.

Bukankah itu hanya membuat keadaan di antara kami menjadi canggung?

Kata orang, kalau hanya memendam cinta, kita hanya bisa memandangi pujaan hati dari kejauhan. Mengkhayal, berandai-andai akan saling memiliki dan menyayangi. Terjebak dalam khayalan yang kita ciptakan, halusinasi.

Jangan terlalu berharap karena apa yang tidak pernah kita sentuh tidak akan pernah menjadi milik kita. Kata-kata yang selalu aku tanamkan dalam hati. Tidak maju juga tidak mundur karena aku tidak ingin kehilangan.

Dan itulah aku saat ini, jatuh cinta pada sahabatku sendiri, Haden Rafasya Ananta. Ini adalah tahun ke tigaku bersahabat dengannya. Dan ini tahun ke tigaku pula, menjadi pengagum rahasianya. Haden orang yang selalu ada di dekatku, orang yang mampu membuat perasaanku campur aduk, membuatku kepanasan saat musim penghujan dan membuatku merasa dingin saat musim kemarau.

Membuatku merasa resah, dengan segala keraguan di hatiku.

Aku baru saja sampai di kamarku. Tiga hari aku pulang ke rumah, kemarin kakakku menikah, aku ijin tidak masuk sekolah dan meninggalkan asrama. Tiga hari tidak melihat Haden saja rasanya sudah membuatku galau. Aku merindukannya. Dia sedang sibuk mempersiapkan diri, tim sepak bola sekolah yang ia ikuti akan mengikuti tournament antar sekolah. Jadwalnya sangat padat, belum lagi kalau ada kelas tambahan di mata pelajaran Kimia. Mungkin karena itu dia tidak menghubungiku sama sekali atau lebih buruknya dia lupa padaku, entahlah.

Haden Rafasya Ananta, teman sekamarku. Kami tinggal di asrama sekolah. Bukan hanya kami, tapi banyak murid lain juga yang tinggal di sini karena memang ini sudah menjadi peraturan sekolah. Aku mengenal Haden sejak duduk di bangku kelas dua SMP. Kami berdua menjadi sahabat sejak itu. Di mana ada aku pasti ada Haden, begitupun sebaliknya. Kami sudah seperti sepasang sepatu. Aku sebelah kanan dan Haden sebelah kiri, berjalan beriringan. Apapun tentangnya aku mengetahui semuanya, sama sepertiku Haden pun sangat mengenaliku luar dan dalamku. Hanya satu yang tidak ia ketahui, perasaanku padanya.

Seperti sepatu, meski kami sepasang tapi kami tidak pernah bisa bersatu. Meski kami berjalan seiring, berlari bersama, tapi kami tak bisa apa-apa. Kami berdua hanya saling melengkapi. Bagiku kami seperti itu, aku tak pernah tau apa arti diriku di mata Haden.

Aku menghembuskan nafas perlahan, ditinggal tiga hari kamar ini benar-benar sudah seperti kamar anak lelaki -berantakan- apalagi bagian sisi ranjang milik Haden, aku bisa mencium bau pakain kotornya yang dia gantungkan di tepian ranjang. Aku hendak membereskan pakain kotor itu sampai tiba-tiba pintu kamar terbuka. Haden sudah berdiri di ambang pintu. Tas olahraganya tergantung di pundak sebelah kanan, peluh di dahinya masih menetes. Bisa kulihat, seragam sepak bolanya sudah basah penuh keringat. Ia berjalan masuk sembari mengelap peluh di dahinya menggunakan handuk kecil yang aku belikan untuknya.

"Kapan elo balik, Gam?" Dia meletakkan tasnya di samping rak sepatu.

"Barusan, nih." Aku menyodorkan sebotol air minum yang ada di atas meja belajarku. Tanpa berpikir panjang dia menyautnya, dan segera meneguknya penuh nafsu. Aku bisa melihat jakun milik Haden naik-turun membuatku harus menelan ludah berkali. Melihat Haden penuh dengan keringat seperti ini benar-benar membuatku harus menjaga sikap.

"Nggak usah dicuci, Gam. Nanti gur bawa ke laundry aja." Setelah meneguk air minum yang kuberikan tadi, ia segera berucap.

Aku tersenyum mendengarnya, aku tahu ini awal bulan dan kartu atm milik Haden pasti sedang penuh-penuhnya, jadi dia memakai jasa Laundry. Aku sudah sangat paham dengan kebiasaan Haden.

"Tante kirim berapa Den, pasti banyak, ya?" Ledekku padanya.

"Lumayan, bisa buat traktir elo makan di restoran ayam." Haden memainkan alisnya naik-turun, menggodaku. Itu jurus andalan Haden untuk menyogokku agar mau membantunya.

Sebenarnya tanpa sogokan pun aku ikhlas membantunya, entah itu dalam materi sekolah ataupun kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari misalnya aku membantu mencuci pakaian miliknya, menemaninya latihan sepak bola, atau sekedar membelikan makanan untuknya. Aku memang seperti seorang istri untuk Haden, tapi jujur aku menikmatinya dan Haden pun tidak pernah marah karena merasa terganggu dengan semua sikapku. Jadi bisa kusimpulkan kalau dia tidak keberatan saat aku melakukan  itu semua.

"Eh, nanti malem keluar yuk." Haden duduk di kursi belajarku, sedangkan aku masih membereskan pakaian kotor miliknya.

"Mau kemana?"

"Nonton, ada film horor baru."

Aku segera menoleh ke arah Haden, aku paling tidak suka dengan film horor. Dari dulu, Haden pun tahu kalau aku paling anti dengan film horor. "Nggak, Den. Mending aku nyuci ini." Kuangkat baju dan celana kotornya. Haden tertawa terbahak mendengar jawabanku. Dia suka sekali meledekku.

"Iya deh, kalo gitu jalan aja. Gue sumpek, capek seharian latihan." Ucapnya lagi.

"Mending tidur, Den." Dia memang tipe anak yang suka sekali hang out, apalagi jika awal bulan seperti ini. Menghabiskan uang saku yang orang tuanya kirim untuk hal-hal yang tidak perlu. Dia tipe orang yang tidak terlalu memikirkan bagaimana hari esok, "let it be" begitu prinsipnya.

"Gue kangen sama lo,"

Tanganku berhenti memunguti baju di ranjang Haden, ucapannya barusan adalah ungkapan untuk seorang sahabat. Aku mencoba berfikir positif.

"Kangen gak ada yang diledekin?" Jawabku dengan sedikit mencibirnya.

"Sepi ..." Haden beranjak dari kursi belajarku, ia menyahut handuk yang menggantung di ranjang miliknya. "Gue mandi dulu." Sembari berjalan dia menepuk punggungku. Bagi Haden itu biasa saja, bagiku luar biasa.

* * *

Pukul setengah delapan malam, aku kembali dari kantin asrama. Aku membawa satu bungkus nasi goreng untuk Haden. Tadi sore setelah mandi Haden tidur dan sampai sekarang dia belum bangun. Benar-benar nyenyak, aku tidak tega untuk membangunkannya. Jadi aku putuskan untuk membeli sebungkus nasi goreng kesukaannya. Aku yakin dia tidak akan beranjak lagi dari ranjangnya, dia terlalu malas untuk pergi ke kantin.

Sampai di depan kamar aku perlahan memutar kenop pintu, takut kalau suara pintu yang keras akan membangunkan Haden. Ku longok sebentar ke arah dalam, Haden masih tertidur pulas dengkuran yang keluar dari mulutnya masih terdengar di telingaku. Aku meletakkan bungkusan nasi goreng di atas meja belajarku. Aku hendak mengabaikan Haden yang sedang tertidur, tapi terlalu sayang. Tidak akan ada kesempatan seperti ini lagi. Perlahan aku berjalan menghampiri Haden.

Aku berjongkok di samping ranjang Haden, tanganku terangkat dengan ragu. Jemariku meraba pipi Haden perlahan, aku takut membangunkannya. Aku sering sekali melakukan hal ini, dengan begini saja aku sudah merasa bahagia. Meski harus secara sembunyi-sembunyi. Kurapikan rambut kecil di dahi Haden, aku tersenyum sendiri entah kenapa. Aku masih terus memandangi wajahnya, sampai kulihat perlahan kelopak mata Haden bergerak. Aku segera bangun dari posisiku.

"G-gam ... jam berapa?"

Aku kaget sekali rasanya, apa kegiatanku tadi mengganggu tidurnya. "Jam setengah delapan." Suaruku tergagap sembari menatap jam di pergelangan tanganku.

"Lo udah makan?" Tangannya mengucek matanya pelan, ucapannya dibarengi dengan menguap.

"Udah, itu gue bawain nasi goreng." Aku menunjuk bungkusan yang ada di atas meja belajarnya. Aku tidak berani menoleh ke arah Haden. Aku selalu salah tingkah seperti ini. Kudengar decit ranjang berbunyi, Haden beranjak dari ranjang.

"Beli di mana? " Haden mengacak rambutku lalu berjalan menuju meja belajarnya.

Jangan terbawa suasana, jantungku kian berdegup kencang setelah perlakuan Haden barusan. Itu sudah biasa, aku sudah kebal dan cukup pandai untuk menyembunyikan perasaanku padanya.

"Di kantin, kesukaan kamu."

"Lo emang paling tau kesukaan gue, lo tadi makan apa?" Mulut Haden sudah penuh dengan nasi goreng.

"Aku tadi makan nasi goreng juga." Jawabku singkat.

"Habis ini kita jalan, ya? Gue udah janji sama lo, malah ketiduran."

Aku kembali tersenyum mendengar ajakannya barusan. Melihat Haden tidur dengan dengkuran kerasnya, aku yakin dia pasti sangat lelah. Tapi, dia masih tetap bersikukuh mengajakku untuk pergi.

"Ya udah, tapi aku yang tentuin tempatnya."

* * *

"Gue ngajak lo buat nonton film, kenapa sekarang kita malah lihatin mesin cuci muter gini?"

Kami berdua sedang duduk menunggu cucian baju di tempat laundry. Aku sengaja mengajaknya ke sini, dia sendiri yang bilang kalau pakaiannya tidak perlu aku cuci, cukup dilaundry saja.

"Daripada uang kamu habis buat nonton, mending kamu habisin buat cuci baju kamu, Den."

"Kalo udah kawin, istri lo pasti bangga banget punya suami kaya lo. Udah pinter, hemat, pinter atur duit."

Andai kamu tau Den, sedikitpun aku gak pernah mikir buat suka sama orang lain. Yang ada di pikiranku, cuma kamu. Yang aku mau cuma kamu. 

Tbc...

Happy Reading

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status