Share

2

Kau seperti matahari, aku bisa melihatmu bahkan merasakan pancaran cahayamu tapi kau terlalu jauh untuk aku sentuh

Fathan Agam Byantara

Sejak pagi jam pelajaran di kelas sudah kosong, tidak ada guru yang mengajar ataupun guru piket yang memberikan tugas. Aku memutuskan untuk pergi ke ruang OSIS, ruangan itu sangat berantakan. Tiga bulan yang lalu aku terpilih menjadi wakil ketua OSIS. Dulu saat kelas sepuluh aku menjadi anggota OSIS dan karena keteladananku sebagai anggota, beberapa teman dan kakak kelasku meminta agar aku mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Aku tidak terlalu suka mengikuti kegiatan sekolah, hanya saja kalau sudah terlanjur mau tidak mau aku harus bertanggungjawab. Akhirnya aku terpilih menjadi wakil ketua, mendampingi seorang ketua yang begitu pintar dan ambisius. Selisih pemilihan kami hanya beberapa, aku bersyukur bukan aku yang harus ada 'di depan'. Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di ruangan OSIS, mengahadap lemari yang penuh dengan buku tulis, map dan majalah sekolah entah dari tahun berapa.

Baru saja aku memegang salah satu map, getaran ponsel di saku membuatku mengembalikan map itu ke meja. Kulihat nama Haden tertera di sana. Kelas kosong, gue balik asrama. Begitulah bunyi pesannya.

Apakah hari ini dia tidak ada latihan, setahuku pertandingannya akan dimulai sabtu besok. Aku mengabaikan pesan dari Haden. Itu bukanlah tipikal pesan hang harus dibalas, seperti pemberitahuan operator yang setiap harinya sudha pasti mengisi kotak pesan di ponsel.

Aku harus memulai dari mana, banyak sekali yang harus aku bereskan.

"Elo belom sarapan, kan?"

Suara Haden mengagetkanku, dia berdiri di ambang pintu dengan menenteng kantong plastik hitam di tangan kanannya. Soal sarapan, tadi pagi aku buru-buru karena hari ini tidak ada petugas upacara jadi anggota OSIS yang menjadi pelaksana upacara.

"Iya," jawabku sembari mengangguk dua kali.

"Nih," Haden menghampiriku, ia meletakkan kantong plastik hitam itu di atas meja, di hadapanku.

"Roti sama susu." Haden mengeluarkannya dari kantong plastik. Haden tahu sekali kesukaanku. Aku memang tidak bisa makan banyak saat di pagi hari. Tidak seperti Haden yang harus sarapan nasi ataupun mie instan. Haden membuka bungkus plastik roti itu, lalu mulai menyuapiku.

"Sini, biar aku sendiri." Aku hendak merebut roti itu dari tangannya, namun secepat kilat Haden menepisnya.

"Tangan lo kotor." Ia juga menjauhkan roti di tangannya, sampai aku tidak bisa menggapainya.

Coba bayangkan posisiku saat ini, bagaimana bisa aku tidak terbawa perasaan jika perhatian Haden padaku saja seperti ini. Meskipun menurut Haden ini biasa, tapi menurutku ini tidak biasa. Andai Haden tahu perasaanku.

"Sini deh, Den." Aku kembali mencoba merebut roti itu dari tangan Haden, aku tidak ingin salah tingkah karena sikap Haden.

"Udah elo baca aja, gue suapin." Haden kembali menepis tanganku.

Aku yang tidak ingin berdebat dengan Haden hanya karena roti memilih untuk menurut saja padanya.

"Hari ini nggak ada latihan?" Tanyaku mencoba memcairkan suasana. Haden sedari tadi menatapku tanpa henti. Suapan roti terakhir segera mendarat di mulutku. Kulihat Haden  memasukan bungkus roti yang sudah kosong itu je dalam plastik hitm di hadapannya.

"Ada tapi nanti jam dua, elo temenin gue, kan?"

Aku memang selalu menemani Haden untuk latihan. Sekedar menjaga tasnya di pinggir lapangan ataupun memberinya sebotol air mineral jika dia kehausan.

"Jam dua aku ada rapat, mungkin setelah rapat aku bisa nyusul."

Haden menunjukkan ekspresi kecewanya, "kenapa gak sekarang aja rapatnya, daripada jam kosong kayak gini." 

Bukan aku tidak mau, hanya saja aku tidak ingin terlalu menuruti semua keinginannya. Semakin aku dekat dengan Haden semakin besar pula rasa cintaku padanya. Seperti bunga yang setiap hari disiram, semakin subur dan merekah.

* * *

Pukul sepuluh sekolah sudah dibubarkan. Aku melirik tempat duduk Haden yang sudah kosong sejak tadi. Tadi setelah menyusulku ke ruang OSIS dia pamit untuk ke kelas tapi ternyata dia tidak ada. Pesanku juga tidak dibalas oleh Haden. Karena rapat OSIS masih lama, aku kembali ke asrama lebih dulu.

Aku berjalan keluar dari kelas, di lorong kelas masih tampak beberapa murid yang sedang duduk ataupun saling mengobrol. Aku tidak begitu menghiraukannya, aku memang tipe pendiam berbeda dengan Haden yang banyak mengenal murid lainnya. Temanku juga hanya beberapa, bisa dihitung dengan jari. Kalau Teman Haden, banyak. Hampir semua teman-teman Haden dikenalkan padaku, setiap kali ada anak yang berkunjung ke kamar kami, Haden selalu mengajakku untuk bergabung. Meski kadang aku merasa minder dan menolak ajakan Haden.

Tiba di kamar asrama, ternyata dugaanku salah, Haden tidak ada di kamar. Tidak biasanya dia pergi tanpa pamit padaku. Atau karena penolakanku tadi dia marah, hal sepele sekali kalau dia sampai marah. Meskipun marah ia tidak pernah pergi tanpa memberi kabar padaku. Kucoba menelponnya kembali, namun tetap tidak ada jawaban. Aku segera meletakkan tasku dan berlari kembali ke sekolah. Aku berlari ke gedung olahraga mungkin saja Haden di sana. Tapi, sayang,  gedung olahraga dikunci.

Kulihat Reka yang baru saja keluar dari kelas, Reka adalah teman satu tim sepak bola dengan Haden. Aku segera menghampiri Reka.

"Re, elo lihat Haden nggak?"

"Enggak," jawabnya cepat.

"Oke, makasih kalo gitu."

"Eh, tunggu ... gue tadi sempet lihat dia sama bu Mawar. Tapi, masa belom balik dari tadi?"

"Bu Mawar? Kemana?" Bu Mawar adalah guru BK di sekolah.

"Naik ke atas sih tadi," jawaban yang tidak pasti, pikirku.

Aku mengernyitkan alisheran, tumben sekali dia mau disuruh oleh guru. Aku pamit pada Reka dan langsung menuju ke lantai dua. Di lantai dua hanya ada gedung perpustakaan dan sisanya kelas siswa. Jadi, kemungkinan besar Haden peegi ke perpustakaan. Begitu naik ke lantai dua, aku bergegas pergi ke perpustakaan. Benar saja perpustakaan masih buka dan ada beberapa anak di sana. Aku segera mencari keberadaan Haden. Ku lihat dia sedang berjongkok di antara tumpukkan buku di depan rak kosong. Aku menghembuskan nafas, lega rasanya. Aku segera menghampirinya. Sepertinya dia menyadari keberadaanku. Dia segera menoleh ke arahku belum sempat aku bertanya dia sudah berbicara lebih dulu.

"Gue dihukum gara-gara lempar sepatu si Ray ke genteng." Ujarnya enteng.

Apa yang ada di pikiran Haden, kadang aku tidak bisa menebaknya.

"Kenapa kamu lempar, kaya nggak ada kerjaan."

Haden hanya menunjukkan senyumnya padaku. Aku membalasnya dengan gelengan kepala. Aku berjongkok menyamai Haden, tanganku mulai mengambil satu persatu buku yang ada di dalam dus dan meletakkannya di atas rak buku.

"Gue gak nyuruh lo buat bantu,"

"Dari tampang kamu aja, aku udah paham."

Haden terkekeh mendengar jawabanku, "huaaah ... ngantuk gue,"

Aku hanya tersenyum mendengar keluhan Haden. Kalau tidak suka dihukum seharusnya dia tidak berulah seperti ini.

Satu jam sudah berlalu, aku dan Haden sudah selesai membereskan buku-buku di rak perpustakaan. Bu Mawar mengecek hasil Haden, aku yang takut ketahuan jika membantu Haden tadi, memilih duduk sembari membaca buku. Bu Mawar meng-acc apa yang dikerjakan Haden, meski ada sedikit nasihat juga. Setelah selesai dengan urusannya, Haden berjalan menghampiriku, dia mengajakku untuk pergi ke kantin.

"Sebagai rasaterimakasih gue ke lo karena udah bantuin gue tadi, gue mau traktir lo makan."

"Gak usah," aku melirik jam sebentar, sudah pukul setengah dua siang. "Habis ini aku mesti ikut rapat, kamu sendiri aja."

"Gak, lo mesti ikut gue."  Dia memegangi pergelangan tanganku, aku kemudian mengikutinya berjalan menuju kantin. Beberapa anak yang lain memperhatikan kami saat kami berjalan menuju kantin. Aku tidak menghiraukannya, yang aku perhatikan saat ini adalah Haden. Dia tidak berhenti berbicara sejak tadi dan genggaman tangannya sama sekali tidak lepas.

~

"Gue gendutan ya, Gam?" Celetuk Haden begitu saja, aku yang sedang meminum air mineral hampir saja tersedak. "Bener gue gendutan?"

"Kenapa emangnya?"

"Kata si Ray gue gendut makanya gue buang sepatu si Ray ke genteng." Sudah tahu Ray itu hanya meledek kenapa pula dia harus melayani gurauan Ray.

"Kamu timbang aja sendiri, Den." Tubuh Haden tidak terlalu kurus, tapi memang akhir-akhir ini dia tampak lebih berisi, tinggi Haden 179 cm cukup tinggi untuk ukuran pemain sepak bola. Kadang aku harus mendongak hanya untuk menatap wajahnya.

* * *

Kami berdua sudah kembali ke asrama. Aku sedang mengerjakan beberapa tugas Kimia yang harus aku kumpulkan lusa. Haden baru saja selesai mandi, aku bisa mencium wangi sabun milik Haden. Aku selalu suka aroma Haden saat setelah mandi. Kulihat Haden sedang menggosok rambutnya menggunakan handuk dan dia hanya memakai celana olahraganya. Aku benar-benar harus kuat iman.

Sesuatu yang berat tiba-tiba menimpa bahuku, kepala Haden ia tumpukan di bahuku. Jantungku benar-benar serasa mau copot. "Lagi kerjain apa?" Tanyanya, aku bahkan bisa merasakan deru nafasnya di kulitku. Aku segera bangkit dari dudukku.

"Ki-kimia." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

"Elo kenapa?"

Belum sempat aku menjawab pintu kamar sudah diketuk, untunglah aku terselamatkan. Aku segera berlari ke depan untuk membukakan pintu. Kulihat di sana petugas asrama sedang berdiri membawakan sebuah kotak yang dibungkus menggunakan kertas coklat.

"Ini ada kiriman buat mas Agam." Aku menerima kotak itu dan langsung kembali masuk ke dalam kamar. Siapa yang mengerimi paket untukku, seingatku aku tidak memesan barang di online shop.

"Apaan Gam?"

"Nggak tahu,"

"Buat siapa?"

"Atas nama Fathan Agam Byantara, tapi seingetku, aku nggak mesen barang."

Aku meletakkan kotak itu di atas meja belajarku, Haden yang mulai penasaran mengambil kotak itu dan  mengangkatnya pelan. Kemudian dia kembali meletakkannya.

Aku merobek pembungkus kotak itu, sebuah kardus bergambar kamera terpampang dibalik pembungkus cokelat itu. Siapa yang mengerimiku sebuah kamera. Dan ini terlalu mahal, aku saja tidak berani memintanya pada mamaku.

"Elo beli kamera?" Aku menoleh menatap Haden yang masih berdiri di belakangku.

"Enggak," aku menggeleng pelan.

"Terus itu punya siapa, namanya kan nama elo."

Ku ambil kartu yang ada di dalam kotak itu.

Semoga elo suka, gue tahu ini nggak bisa ngulangin semua kenangan elo dulu. Kin Larrion Ramiro.

Itulah bunyi surat di dalam kotak itu.

Kin yang mengerimiku kamera ini. Seketika seperti ada yang menghujam jantungku. Sesuatu yang teramat aku takutkan. Bagaimana dia bisa tahu alamat asramaku.

Tbc ...

Happy Reading guys

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status