Aku sudah berada di depan ruangan supervisorku. Aku masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintu. Pak Bryan mempersilakan aku untuk duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerjanya. Aku pun menurut. Sementara itu dia sibuk mengotak atik laptopnya.
"Mana laporan hasil penjualanmu? Sini berikan kepada saya," pinta Pak Bryan sambil menjulurkan tangannya ke hadapanku.
"Baik Pak! Sebentar!" Tanganku langsung masuk ke dalam tas, mencari notebook yang berisi tulisan tulisan tentang laporan penjualanku selama seminggu belakangan.
"Ini Pak." Aku menyerahkan notebook itu kepada atasanku. Pak Bryan menerimanya. Dia lalu memeriksa notebookku dengan seksama. Ku lihat alisnya yang bak semut beriring itu naik turun membaca notebookku, lalu wajahnya tampak manggut manggut tak menentu.
"Hem, ternyata kamu pintar juga mempromosikan suatu barang ya, hasil penjualan kamu sangat baik ... dan meningkat dua kali lipat dari bulan kemarin." Pak Bryan tersenyum lebar ke arahku.
"Terima kasih, Pak!" jawabku sembari menundukkan pandangan.
Ow Em Ji ... Tolong ya Pak! Itu mata jangan terlalu memandangku dengan serius begitu! Aku jadi malu. Lihat! Mungkin saat ini wajahku sudah memerah seperti buah tomat. Itu apa lagi, tolong senyuman itu jangan terlalu memaksa seperti itu! Aku jadi canggung! Aku salah tingkah! Senyumanmu menyihir hatiku Pak! Ku mohon mengertilah!
"Hey ... Anandita!!"
"Hah! Iya Pak?!" Aku tersentak. Gelagapan.
"Melamun apa lagi kamu?"
"Ah, tidak Pak! Ma-maafkan saya! Saya sedikit kaku hari ini mungkin karena teman-teman spg tidak ada di sini!" Aku beralasan.
"Apa kamu sudah sarapan?" tanyanya seraya menaikkan satu alisnya. Dia tersenyum sinis seperti mengejekku.
"Ha ha, ya sudah dong Pak! Masa sih jam segini saya belum sarapan! Bapak bisa aja deh!" balasku cegegesan. Sungguh sebuah tawa yang sangat terpaksa aku lakukan.
Iiihh ... tolong dong Anandita! Biasa saja kenapa sih! Kenapa kamu menjadi kaku dan canggung begini!! Lihat tuh pak Bryan semakin menggoda melihat dirimu seperti ini!
Batinku berteriak seakan tidak terima dengan tatapan maut pak Bryan yang usianya kemungkinan 12 sampai 13 tahun lebih tua di atas usiaku yang saat ini berumur 18 tahun.
"Tapi, kenapa kamu seperti mobil yang belum terisi bensin begini!"
Hah!
Ledekan pak Bryan kembali membuatku tersentak. Apa sih ni supervisor, dari tadi ngeledek mulu! Membuatku semakin canggung saja! Aku jadi menyesal tidak mengikuti saran ibuku tadi. Padahal ibuku menyuruhku untuk kembali saat aku sudah berada di motor kang ojek. Biar deh di minggu ini aku absen dulu untuk ngantor. Dari pada aku harus menanggung malu begini di hadapan supervisorku karena mimik wajah yang cepat memerah ketika di tatap pria ganteng seperti dirinya.
"Ah ... em ... seperti yang saya katakan tadi Pak! Mu-mungkin karena teman teman saya tidak ada di sini Pak! Jadi saya sedikit grogi," jawabku gelagapan.
"Apa yang kamu takutkan? Saya tidak makan orang kok!" katanya sambil mengotak atik laptopnya kembali.
"He he he ... iya Pak!" Aku cegegesan.
Iya iyalah Pak! Siapa juga yang mengatakan kalau bapak itu makan orang! Pinter bener sih supervisorku ini bikin hatiku terombang ambing.
"Ya, sudah kalau begitu. Laporan kamu sudah saya pindahkan ke file saya. Saya harap ke depan kamu bisa semakin meningkatkan penjualan produk kita." Pak Bryan tersenyum lagi kepadaku.
"Baik Pak! Terima kasih sudah mengapresiasi saya!" balasku masih dengan kepala yang tertunduk.
Supervisorku mengangguk. Lalu, dia menutup notebookku dan menyerahkannya kembali kepadaku.
"Ini notebookmu."
Dengan tangan yang masih gemetar, aku berusaha meraih notebookku dari tangannya yang sedang terjulur di hadapanku. Aku mengangkat tanganku dengan pelan. Lalu, mengambil notebook itu. Tapi baru saja tanganku tiba di atas tangannya, dia malah memuji diriku.
"Usia kamu berapa sih? Kok wajah kamu baby face sekali."
Mendengar pujian yang diucapkannya, kepalaku yang tadinya tertunduk, kontan terdongak ke arahnya.
Trang!
Sleb!
Cangkir berisi kopi yang berada tepat di sebelah tanganku, tak sengaja aku senggol karena saking canggungnya. Kopi itu tumpah tepat di kemeja bagian dada supervisorku. Dia kaget, lebih lebih aku! Aku menyumpal mulutku yang ternganga dengan kedua tanganku. Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan.
"Hah!" pekiknya sambil mengibas-ngibas kemejanya. Mungkin pak Bryan merasa kepanasan, karena kopi itu memang baru tiba sesaat sebelum aku masuk ke ruangannya.
Melihat dia merintih karena perbuatanku, aku langsung reflek berlari mendekat ke arahnya. Aku meraih tissue yang ada di atas meja kerjanya. Lalu, dengan cepat mengusap-usap noda kopi itu dengan selembar tissue.
"Maaf Pak!"
Aduh! Mati aku! Bagaimana ini!! Kenapa bisa begini sih! Haduh ... tamatlah riwayatku! Kalau begini mulai besok aku berhenti saja dari perusahaan ini. Dari pada aku harus menatap wajah pak Bryan lagi. Aku sudah kalah malu! Ya Tuhan ... apakah ini karma karena aku telah menentang permintaan ibuku?
***
Jleb!Aku tersentak ketika tangan pak Bryan menggenggam tanganku. Aku terpaksa menghentikan aktivitas mengilap kemejanya. Aku langsung memandang wajah pak Bryan yang sudah memandang wajahku duluan. Menatapku tajam hingga seluruh tubuhku gemetaran. Tanganku yang sedang dipegangnya sampai terasa dingin dan kaku. Sumpah demi apa coba, pak Bryan menatap mataku begitu dekat. Aku menundukkan pandanganku, menghindari tatapan matanya. Aku tarik tanganku dan segera aku menjauh dari sisi supervisorku ini."Maafkan saya, Pak!"Sekali lagi, dan mungkin akan berulang kali lagi aku mengucapkan kalimat ini. Sambil terus menunduk menahan rasa malu, aku menunggu jawaban atas permintaan maafku kepadanya.Ayo dong Pak! Jangan diam saja! Katakan sesuatu yang membuat hatiku tenang. Aduh! Bagaimana ini! Apa aku harus pamit padanya? Atau aku sebaiknya mengundurkan diri saja! Jika begini terus, aku bakalan mati karena menahan malu!"Kamu tahu ini masih jam berapa?"
Setelah noda kopi itu menghilang, aku kemudian mengibas-ngibaskan kemeja itu agar bagian yang aku basuh tadi segera mengering. Semerbak harum parfum dari kemeja yang ku pegang saat ini tiba-tiba menyapa hidungku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Ah! Benar-benar sangat memanjakan hidung dan pikiranku. Untuk beberapa saat, aku terdiam dalam lamunan. Tapi, lamunanku tiba-tiba buyar ketika seseorang masuk ke dalam toilet. Aku tersadar. Kepalaku langsung menggeleng-geleng tak menentu. Sebisa mungkin aku membuang pikiran kotor yang bersarang di kepalaku.Ku lihat wanita yang baru masuk ke dalam toilet tadi menaikkan satu alisnya ke arahku. Mungkin dia heran melihatku karena mendapati aku yang sedang menghirup udara di dalam toilet, padahal aku sedang menikmati harumnya parfum dari baju supervisorku ini. Tanpa mempedulikan tanggapan dari wanita yang juga tim leader di kantorku ini, aku langsung melangkah keluar menuju ruangan supervisorku kembali.Tok tok tok...Aku mengetuk
Eh, apa-apaan ini! Pak Bryan semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku melihat sorot matanya yang begitu memancarkan gairah kepadaku. Ketakutanku semakin menjadi-jadi saat laki-laki ini mencium bibirku. Aku meraung, segera menjerit. Tapi, jeritanku tertahan dalam mulutnya. Aku memukul-mukul dan mendorong-dorong dadanya. Tapi sepertinya itu tidak berdampak apa-apa pada dirinya. Dia tetap terpacu, mencium bibirku secara brutal."Lepaskan akuuu!!"Kata-kata itu yang terlontar dari mulutku. Tapi, sekali lagi. Suaraku tertahan di dalam mulutnya."Lepaskan aku!! Dasar bejat kau! Baj**ngan!!"Aku mulai menyadari sepenuhnya apa yang akan dia lakukan kepadaku. Terlebih saat ini dia mulai menjelajahi bagian dadaku. Saat aku ingin kembali berteriak, secepat kilat tangannya menyumpal dan menekan mulutku dengan kuat. Aku semakin memberontak. Ku tarik-tarik rambut belakangnya dan ku pukul-pukul kepalanya dengan kuat. Tapi dia tetap tidak merespon pukulan dariku.
Bryan POV~Aku belum terlalu mengenal S.P.Gku yang satu ini. Selama ini aku hanya melihat dia di kantor saat ada meeting bersama team leader dan supervisor. Itu juga saat dia sedang berbaur dengan teman-teman S.P.Gnya yang lain. Aku belum sempat visit ke store yang dia tempati karena gadis ini memang masih terbilang baru menjadi karyawan di perusahaan ini. Dan biasanya, karyawan baru seperti dirinya akan divisit oleh team leader saja.Saat aku melihatnya pagi tadi ngedumel sendirian, saat itu pula aku tiba-tiba merasa gemas pada dirinya. Entah mengapa, aku memberinya kesempatan untuk berdiskusi denganku hanya dengan empat mata. Saat dia tidak sengaja menumpahkan secangkir kopi dan kopi itu mengenai kemejaku, saat itu pula ku lihat dia menjadi kaku dan serba salah. Aku memahami apa yang ada di hatinya. Gadis ini pasti ketakutan karena tidak sengaja menumpahkan kopi itu dan mengenai pakaianku.Dengan sigap dia bangkit dari duduknya dan mengambil selembar tissue dari
Ananditha POV~Isak tangisku masih belum berhenti. Jika saja rasa sakit ini tidak menerpaku, aku pasti sudah berlari ke arah pintu dan keluar dari ruangan yang di mataku sudah berubah menjadi neraka. Penyesalan selalu datang terlambat, sepertinya kalimat itu yang mewakili perasaanku saat ini. Jika saja aku mendengar dan menuruti perintah ibu untuk tidak lagi bekerja di perusaahan ini, pasti kejadian ini tidak akan terjadi padaku. Oh Tuhan, tolongkah diriku! Aku tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang! Rasanya hidupku benar-benar sudah gelap dan tidak bercahaya.Dalam keterpurukan diriku, laki-laki iblis itu terlihat sedang menerima telepon dari seseorang. Dia duduk di kursi kekuasannya sambil tersenyum mesra saat mendengar dan menjawab teleponnya. Aku dapat mendengar apa yang dia bicarakan, dia berbicara sangat mesra kepada orang yang berada di sebrang sana. Sepertinya lawan bicaranya itu adalah seorang wanita. Itu terlihat ketika dia memanggil lawan bicaranya dengan se
Ya, Tuhanku! Sekali lagi, atau bahkan akan berulang kali aku bermohon kepadamu, tolong aku agar aku bisa segera pergi dari neraka ini! Aku ingin lepas dari cengkraman iblis yang ada di sampingku ini! Aku sudah kehabisan tenaga untuk memberontak, bahkan untuk bersuara saja aku sudah tidak sanggup.Dengan tubuh yang masih bergetar, aku berusaha menahan bulir air mata agar tidak lagi jatuh dari pelupuk mataku. Seberapapun lembutnya sentuhan yang dilakukan oleh laki-laki keji ini saat ini, tidak melongsorkan kebencianku terhadap dirinya. Dia yang telah membodohiku dengan menyuruhku untuk melakukan perintahnya, dia yang telah menindih dan memperkosaku dengan sadis tanpa memikirkan kesakitan yang aku rasakan sama sekali, dan dia yang telah menyemburkan air hinanya ke dalam tubuhku tanpa izin dariku!"Anandita!" Laki-laki ini mulai bersuara lagi. "Tak peduli seberapa bencinya kau melihatku saat ini ... mulai saat ini aku akan bertanggungjawab atas perbuatanku ke
"Terima kasih, Neng!" ucap abang gojek yang telah mengantarku pulang ke rumah. Setelah menerima bayaran dariku, dia pun berlalu.Ku tolehkan pandanganku ke bangunan rumah megah orang tuaku. Aku menatapnya sangat dalam. Timbul rasa takut di diriku untuk masuk ke dalam rumah ini. Langkahku terasa berat dan ragu. Terbayang di mataku raut wajah ibu tadi pagi. Raut wajah yang menggambarkan ketidaksenangan karena aku telah membantah kata-katanya, karena aku tidak menuruti saran darinya. Jika waktu bisa diputar kembali, maka aku akan memutar waktu untuk memperbaiki kesalahanku pada ibu.Aku menelan salivaku dengan kasar. Ku bulatkan tekadku untuk masuk ke rumah. Aku mulai melangkahkan kedua kakiku. Pagar yang menjulang tinggi itu aku buka dengan perlahan, lalu aku berjalan masuk ke dalam.Sunyi dan sepi. Seperti biasa, rumahku ini terasa seperti kuburan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah megah ini. Walau ibu sedang tidak visit hari ini, tetap saja rumah ini s
Derai demi derai air mata tidak juga mau berhenti mengalir dari pelupuk mataku. Dengan mengenakan handuk kimono berwarna putih dan lilitan handuk kecil di kepalaku, aku keluar dari kamar mandi dengan langkah yang terhuyung-huyung. Langkahku terhenti ketika aku melihat pantulan diriku di cermin yang terletak di sudut kamar.Aku menatap diriku dalam-dalam. Membayangkan betapa menjijikkannya diriku. Ternoda pada pria yang sama sekali tidak aku cintai. Jujur aku memang kagum melihatnya, tapi itu hanya sebatas penilaianku sebagai karyawan yang menyukai kinerja atasannya. Bukan karena aku mencintainya. Tapi sekarang, rasa kagum itu sudah bertukar dengan rasa benci yang sangat mendalam!Aku terus memandang seluruh tubuhku di cermin itu. Nafasku mulai terasa sesak. Mataku memerah menahan segala emosi yang menghantam perasaanku. Ingin rasanya aku melempar cermin itu dengan batu hingga hancur berkeping-keping. Agar tidak ada lagi benda yang memperlihatkan sel