Sebagai gadis yang biasa hidup di luar negeri, sebenarnya ia cukup cuek. Karla tak terlalu peduli dengan sekitar, tetapi demi melihat pria yang begitu cekatan mengimbangi dua bocah aktif, mau tak mau beberapa kali gadis itu mencuri pandang pada ketiganya.
Karla bukan memperhatikan seperti orang tidak memiliki pekerjaan, itu tak lebih seperti kebetulan, karena tempat duduk mereka berada tepat di depannya. Hingga celotehan dua anak kecil menggemaskan itu terdengar jelas di telinganya.
Pemuda gondrong itu memiliki pembawaan tenang dengan tatapan setajam elang. Rambutnya gondrong dengan hidung lumayan mancung dibandingkan penduduk negeri ini pada umumnya. Ia duduk berhadapan dengan sepasang bocah awalnya. Namun, segera pindah di tengah-tengah dua bocah aktif itu. Karena keduanya baru saja melakukan atraksi cakar-cakaran, membuat penampilan yang tadinya rapi menjadi berantakan.
Ah, tak bisa dibayangkan membawa dua bocah ke restoran sendirian. Itu membuat Karla sekali lagi yakin akan pentingnya kerjasama dalam mendidik dan menjaga anak-anak. Sayangnya banyak pria bangga mendelegasikan semuanya pada para wanita. Seakan itu pekerjaan khusus bagi perempuan. Seakan sudah cukup dengan memberikan segepok materi. Inilah yang membuat Karla putus dengan tunangannya, pemuda yang telah menghabiskan banyak waktu bersama. Ia hampir saja menikah dengan Gery, teman satu kampus dengannya di Eropa.
Nyatanya cinta saja tak cukup. Terlebih kini, sebagai wanita yang mendekati kepala tiga, Karla makin realistis. Ada banyak pertimbangan sebelum memutuskan menikah.
Mata Karla kembali menyaksikan meja di depannya. Dua bocah berusia tiga tahunan tak habis bahasan untuk terus berceloteh riang. Menyenangkan melihat tingkah keduanya. Sementara pria di tengah-tengah keduanya adalah sosok ayah yang mengagumkan. Perhatian dan cekatan.
Pemuda itu lumayan tampan, meski kulitnya cenderung gelap. Berbeda dengan dua bocah di depannya yang berkulit terang, terlihat begitu menggemaskan.
"Kakak mau pipis," ujar bocah perempuan. Kuncirnya yang tadi rapi kini berantakan setelah adengan sebelum makan dimulai tadi.
Pemuda yang baru akan menyuapkan makanan pada bocah laki-laki tersenyum lembut. "Baiklah. Bang, mau tunggu di sini atau ikut? Babah mau antar kakak ke toilet sebentar."
"Tunggu di sini aja, Bah." Bocah lelaki menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari piring.
Pemuda itu terlihat menimbang sebentar, tak lama tentu saja, karena gadis kecil itu mulai merengek. "Kakak mau pipissssss, udah gak tahan."
"Bang, ayo ikut." Pria itu menyentuh tangan kanan bocah laki-laki, sedangkan tangan kanannya sudah menggendong anak perempuan.
Sepertinya ia tak yakin meninggalkan bocah itu sendirian, sepertinya ia benar-benar paham apa yang bisa dilakukan makhluk kecil itu..
Saat mereka kembali ke meja, tampak wajah segar dua bocah. Bekas makanan yang tadi berantakan di dekat bibirnya sudah di cuci, rambut tipis bocah perempuan pun sudah kembali terikat rapi.
"Ayo kita lanjutkan!" Pria gondrong kembali menyuapi dua bocah. Melanjutkan apa yang sempat terjeda.
Entah apa yang lucu ketiganya kini mengunyah sambil tertawa. Pria yang pandai menjaga anak-anaknya. Itulah yang ada dipikiran Karla demi melihat ketiganya.* * *
(Andai saja ia belum menikah.) Karla mengirim pesan.
(Ha ha ha ha, wanita realistis ini terbawa drama sekarang?) Balasan datang dengan cepat.
(Ha ha ha. Tidak, aku hanya bicara spontan. Kau taulah bagaimana aku. Sejauh ini masih tak berpikir untuk menikahi pria lokal.)
(Ya, ya, ya, tentu aku masih ingat. Bukankah karena kebanyakan pemuda Indonesia egois? Ingin yang perawan ia sendiri tak perjaka begitu? Kau terus saja memandang sebelah mata pada pria dari negaramu sendiri, sementara itu di saat bersamaan kau terus melengket padaku seakan lupa aku juga pemuda lokal.)
(Ha ha ha ha, karena kau berbeda, Kawan!)
(Berbeda moyangmu.)
(Moyangmu!)
(Ya, sudah, sampai ketemu besok.)
(Eh, da kelar ni, di mana? Biar gua jemput.)
(Jemput apaan, gua bawa mobil.)
.
Gadis bertubuh semampai meletakkan HP. Ia adalah Karla Anulika, wanita muda yang baru beberapa bulan tinggal di kota ini. Saat baru saja menuntaskan makan malamnya di salah satu restoran di pusat kota. Mata berbulu lentik yang dari tadi menatap layar ponselnya kini teralih. Berpindah pada keributan yang terjadi di meja di depannya. Meja yang dihuni pemuda gondrong dan sepasang bocah kembar tadi. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
"Kau di sini? Yang benar saja! Mengapa ada pria seperti ini di bumi? Sampai kapan aku harus terus memaklumi karena mencintaimu? Tidak! Ini membosankan. Aku tak bisa hidup dengan terus mengalah dan bersabar. Kau menjengkelkan!"
Tiba-tiba saja gadis muda berwajah jelita datang dan langsung marah-marah. Entah kapan ia tiba, yang jelas suaranya memiliki kecepatan tak biasa. Sepertinya ia tak peduli meski dua bocah terlihat tak nyaman.
Saat pemuda dengan rambut lebih panjang dari pria kebanyakan belum sempat menjawab apa-apa, kembali gadis yang baru tiba bersuara.
"Aku pulang! Jangan mencariku! Teruskan saja hidupmu. Aku akan berhenti menyukaimu." Gadis itu kemudian berlalu dengan wajah cemberut, kekesalan tergambar jelas di wajah cantiknya.
Sementara pemuda gondrong tak berusaha membela diri. Ia juga tak berusaha mengejar. Mengabaikan beberapa pasang mata penghuni restoran yang menatap ke arah mereka. Ia sepertinya hanya peduli pada perasaan dua bocah. Sepasang tangan kokohnya meraih dua kepala kecil. Membawanya ke dalam pelukan.
"Tak apa, sungguh tak apa-apa, Anak-anak," bisiknya lirih, tetapi bisa terdengar di telinga Karla.
"Sejak awal ibu rasa kalian tak cocok." Wanita lima puluh tahunan meletakkan gelas kopi di depan putranya."Tapi ibu tak pernah beritahu sebelumnya." Pemuda gondrong menatap lembut pada wanita behijab warna gelap."Ibu pikir jika kau cepat menikah itu akan baik.""Tidak bu, itu tidak akan mudah. Menemukan wanita yang bisa menerimaku apa adanya kurasa sulit.""Karenanya izinkan ibumu ini turun tangan. Meski pun hanya wanita tua, aku berpengalaman mencari pasangan yang baik. Kau lupa sehebat apa ayah yang kuberikan untuk kalian.""He, he he. Nenek nenek ini! Jadi ibu sedang pamer sekarang? Hem, tapi itu benar! Beliau ayah yang luar biasa, sayang sekali kita tak punya banyak waktu bersama." Pemuda itu menghela napas berat. Untuk menutupi perasaannya ia segera meraih gelas kopi, menyesapnya pelan."Tapi, Nak. Kau juga salah. Kau terlalu banyak menghabiskan waktu bersama 'Affa dan 'Affiyah. Kau juga terus menempel pada ibumu. Mana ada gadis yang
"Pergilah, Nak. Ayahmu juga pasti bangga di sana, mengetahuinya komputer yang ia hadiahkan membawamu makin dekat pada mimpimu. "Wanita berpenampilan sederhana itu menatap layar persegi dengan lelehan bening yang tak tertahan. Air mata bahagia bercampur haru. Putranya baru saja mendapatkan undangan dari perusahaan besar Rusia. Salah satu perusahaan yang sangat diperhitungkan di bidang IT. Ini tak lain sebab kegilaan Rayyan pada bidang programmer sejak SD. Bidang yang sebenarnya berbeda dari apa yang ia pelajari di bangku sekolah."Aku tidak akan pergi, Bu. Aku sudah bosan hidup di perantauan." Anak muda berambut sebahu itu mematikan layar di meja kerjanya. Menatap lurus pada sang ibu."Anak ini! Kau tahu berapa banyak orang yang mengharapkan ini? Menyia-nyiakan kesempatan sama dengan tak bersyukur." Wanita bertatap lembut tak sepakat dengan alasan sang putra."Bu--" Pemuda itu tak melanjutkan ucapannya melihat reaksi sang ibu. Ia memilih tak berde
Di sebuah pesantren yang baru berdiri beberapa tahun belakangan. Di antara hiruk pikuk santri yang membawa mushaf dan kitab dengan aksara tanpa kumis, tampak seorang pemuda gondrong sedang membersihkan taman. Ia terlihat fokus menata bunga-bunga anaeka jenis. Bentuk fisiknya tak terlalu tinggi, tetapi juga tidak rendah. Tumbuhan hias kini telah terpangkas rapi, bekas potongan daun telah dibawa ke tempat sampah. Pemuda dengan hidung mancung masih memindahkan beberapa anak bunga. Terlihat jelas ia begitu menikmati pekerjaannya, tak peduli meski pakaiannya telah basah oleh keringat.Santri yang melewatinya menegur ramah. Sepertinya ia cukup dikenali di tempat ini. Meski secara penampilan ia harusnya tak berada di tempat ini, karena cara berpakaian yang sangat berbeda dengan tapipenghuni pesantren. Namun, mungkin dewan asatiz memiliki alasan. Alasan kenapa menerima pemuda gondrong dengan celana jeans selutut? Padahal di lingkungan pesantren semu
Pagi masih muda saat Rayyan telah berkutat di depan layar komputer, ia telah duduk di sana seusai subuh tadi. Suara salam terdengar kencang dari ruang depan."Nak, temanmu datang," panggil bunya dari luar kamar.Pasti gadis itu, lirih pemuda bermata tajam. Ia segera beranjak dari kursinya, melangkah ke pintu utama."Mau masuk?" Rayyan menyapa gadis cantik di depan pintu rumahnya.Bukannya menjawab wanita muda berkulit putih bersih mendorong pemuda di depan pintu. Ia langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu. Mulutnya cemberut membuat mata sipitnya makin kecil.Pemuda gondrong ikut duduk di kursi seberangnya. Memandang sekilas pada wanita berbusana warna lembut"Kau tak benar-benar mencintaiku, 'kan? Lihatlah kau tak terlihat berusaha mempertahankan hubungan ini. Yang benar saja. Kau tak terlihat seperti pria. Mengapa tak berbuat hal keren." Gadis itu bicara dengan wajah menyedihkan.Rayyan menuang minuman di atas meja, lalu mengan
Rayyan yang sedang memangku 'Affiyah terus menatap layar HP-nya. Panggilan pada kakak iparnya belum juga tersambung. Kecemasan susah disembunyikan dari wajah itu. Meski harusnya sebagai pria ia lebih tenang, agar wanita paruh baya di sampingnya berhenti mengalirkan air mata. Namun, keadaan sang keponakan membuatnya lupa caranya bersikap tenang.Pekerjaan membuat mama dari dua keponakan kembarnya sering keluar kota. Sialnya kakak ipar Rayyan tersebut sedang pergi ketika penyakit bocah laki-laki itu kambuh. Sebenarnya andai bisa Rayyan ingin kakaknya itu punya waktu lebih banyak untuk keponakannya. Namun, tentu saja bukan kuasanya mengatur kehidupan orang.(Kak, 'Affa kambuh lagi, Tapi jangan cemas aku dan ibu sudah membawannya ke Rumah Sakit. Jika keadaannya membaik kemungkinan kami gak nginap.) Rayyan mengirim pesan. Sebisa mungkin ia berusaha tak membuat wanita itu terlalu cemas. Sudah sulit baginya menjadi ibu tunggal di usia muda. Apalagi sebagai ibu yang
"Hey, tunggu." Dinda meraih ujung kaus Rayyan bagian bawah. Karena tangan pemuda itu tak ada yang kosong. Baik kiri atau kanan sedang menggendong keponakan kembarnya.Pemuda gondrong berhenti, tetapi tak menoleh."Maaf," pinta Dinda.Tak ada jawaban."Yan, maaf." Gadis itu kembali berucap lirih.Bu Rina segera mengambi alih dua cucunya yang diturunkan dari gendongan Rayyan. Ia memapah 'Affiyah dan 'Affa mendahului putranya. Membiarkan dua anak manusia menyelesaikan urusannya.Rayyan mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik. "Ok, sudah.""Sudah?" Dinda mengerutkan dahi tak paham. Ia melepaskan tangannya dari ujung kaus Rayyan."Sudah kumaafkan.""Sekarang bagaimana?" Gadis itu memeriksa reaksi pemuda gondrong."Sekarang pulanglah." Rayyan bicara pelan."Kau sungguh memaafkanku?" Dinda tak yakin melihat wajah tak bersahabat pria di depannya."Aku memaafkanmu, tapi semuanya tak lagi sama
"Kenapa tak beritahu aku tentang ini, Chiko?" Gadis menjulang menendang pintu kamar penginapan yang berada di samping kamarnya."Apa?" Terdengar suara malas dari dalam sana."Kenapa tak beritahu jika tempat ini sering mati lampu dan kehilangan sinyal," rutuk Karla."Apa masalahnya? Kita sedang menikmati hidup sekarang." Kini pria tampan bertubuh atletis membuka pintu. Kaus tipis yang menjiplak tubuhnya terlihat kusut, pasti ia baru bangun dari tidur."Yang benar saja. Aku harus mengirim beberapa email penting. Lagian kau tahu ini musim pajak." Karla kesal, bukankah sang teman tahu betul alur pekerjaannya sebagai seorang akuntan?Bagaimana bisa ia berada di tempat tanpa jaringan lancar. Meski baru menggeluti dunia kerja, Karla adalah wanita profesional. Tidak mungkin baginya menunda mengirimkan salinan akhir resmi beserta fakturnya, setelah kliennya menyetujui draf catatan akuntansi.Padahal ia telah begadang semalaman untuk menyelesaik
Jalanan masih sepi, baru jam tujuh kurang. Rayyan memacu kendaraan roda empat menuju kediaman 'Affiyah dan 'Affa. Semalam kakak iparnya memberitahu, bahwa ia harus berangkat pagi-pagi sekali, jadi tak akan sempat mengantarkan dua bocah ke play group.Untunglah Rayyan memiliki pekerjaan yang tidak mengikat, hingga saat kakak ipar dan ibunya ke kantor dan ke sekolah ia selalu ada untuk dua bocah itu. Paling biasanya pagi-pagi ia berkeliling sebentar di perkebunan. Karena ia tak bisa terus memelototi layar komputer.Ketika pemuda berambut sebahu tiba, dua bocah sudah menunggu di teras. Jadi mereka langsung berangkat setelah berpamitan dengan mamanya. Jarak sekolah dua bocah tak terlalu jauh, mungkin sekitar dua puluh lima menit.Setelah Rayyan mengantar 'Affa dan 'Affiyah pada guru di Play Group, pemuda itu bersiap kembali ke mobil. Namun tiba-tiba saja bocah leleki mengejarnya."Bah, bekal Abang ketinggalan di rumah," rengek bocah tiga tah