Share

TERLATIH PATAH HATI
TERLATIH PATAH HATI
Author: Syaroir Pratyasa

PENCURI PERHATIAN

Karla yang baru untuk pertama kalinya mendatangi restoran ini terus mengawasi tiga orang di depannya. Ia memutuskan menikmati lebih lama suasana malam di luar rumah, meski aktivitas makannya sudah usai dari tadi. Ia mengedarkan pandangannya pada sebuah restoran dengan dekorasi elegan.

Sebagai gadis yang biasa hidup di luar negeri, sebenarnya ia cukup cuek. Karla tak terlalu peduli dengan sekitar, tetapi demi melihat pria yang begitu cekatan mengimbangi dua bocah aktif, mau tak mau beberapa kali gadis itu mencuri pandang pada ketiganya. 

Karla bukan memperhatikan seperti orang tidak memiliki pekerjaan, itu tak lebih seperti kebetulan, karena tempat duduk mereka berada tepat di depannya. Hingga celotehan dua anak kecil menggemaskan itu terdengar jelas di telinganya.

Pemuda gondrong itu memiliki pembawaan tenang dengan tatapan setajam elang. Rambutnya gondrong dengan hidung lumayan mancung dibandingkan penduduk negeri ini pada umumnya. Ia duduk berhadapan dengan sepasang bocah awalnya. Namun, segera pindah di tengah-tengah dua bocah aktif itu. Karena keduanya baru saja melakukan atraksi cakar-cakaran, membuat penampilan yang tadinya rapi menjadi berantakan. 

Ah, tak bisa dibayangkan membawa dua bocah ke restoran sendirian. Itu membuat Karla sekali lagi yakin akan pentingnya kerjasama dalam mendidik dan menjaga anak-anak. Sayangnya banyak pria bangga mendelegasikan semuanya pada para wanita. Seakan itu pekerjaan khusus bagi perempuan. Seakan sudah cukup dengan memberikan segepok materi. Inilah yang membuat Karla putus dengan tunangannya, pemuda yang telah menghabiskan banyak waktu bersama. Ia hampir saja menikah dengan Gery, teman satu kampus dengannya di Eropa.

Nyatanya cinta saja tak cukup. Terlebih kini, sebagai wanita yang mendekati kepala tiga, Karla makin realistis. Ada banyak pertimbangan sebelum memutuskan menikah. 

Mata Karla kembali menyaksikan meja di depannya. Dua bocah berusia tiga tahunan tak habis bahasan untuk terus berceloteh riang. Menyenangkan melihat tingkah keduanya. Sementara pria di tengah-tengah keduanya adalah sosok ayah yang mengagumkan. Perhatian dan cekatan.

Pemuda itu lumayan tampan, meski kulitnya cenderung gelap. Berbeda dengan dua bocah di depannya yang berkulit terang, terlihat begitu menggemaskan.

"Kakak mau pipis," ujar bocah perempuan. Kuncirnya yang tadi rapi kini berantakan setelah adengan sebelum makan dimulai tadi.

Pemuda yang baru akan menyuapkan makanan pada bocah laki-laki tersenyum lembut. "Baiklah. Bang, mau tunggu di sini atau ikut? Babah mau antar kakak ke toilet sebentar."

"Tunggu di sini aja, Bah." Bocah lelaki menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari piring. 

Pemuda itu terlihat menimbang sebentar, tak lama tentu saja, karena gadis kecil itu mulai merengek. "Kakak mau pipissssss, udah gak tahan."

"Bang, ayo ikut." Pria itu menyentuh tangan kanan bocah laki-laki, sedangkan tangan kanannya sudah menggendong anak perempuan. 

Sepertinya ia tak yakin meninggalkan bocah itu sendirian, sepertinya ia benar-benar paham apa yang bisa dilakukan makhluk kecil itu.

.

Saat mereka kembali ke meja, tampak wajah segar dua bocah. Bekas makanan yang tadi berantakan di dekat bibirnya sudah di cuci, rambut tipis bocah perempuan pun sudah kembali terikat rapi.

"Ayo kita lanjutkan!" Pria gondrong kembali menyuapi dua bocah. Melanjutkan apa yang sempat terjeda.

Entah apa yang lucu ketiganya kini mengunyah sambil tertawa. Pria yang pandai menjaga anak-anaknya. Itulah yang ada dipikiran Karla demi melihat ketiganya.

* * *

(Andai saja ia belum menikah.) Karla mengirim pesan.

(Ha ha ha ha, wanita realistis ini terbawa drama sekarang?) Balasan datang dengan cepat.

(Ha ha ha. Tidak, aku hanya bicara spontan. Kau taulah bagaimana aku. Sejauh ini masih tak berpikir untuk menikahi pria lokal.)

(Ya, ya, ya, tentu aku masih ingat. Bukankah karena kebanyakan pemuda Indonesia egois? Ingin yang perawan ia sendiri tak perjaka begitu? Kau terus saja memandang sebelah mata pada pria dari negaramu sendiri, sementara itu di saat bersamaan kau terus melengket padaku seakan lupa aku juga pemuda lokal.)

(Ha ha ha ha, karena kau berbeda, Kawan!)

(Berbeda moyangmu.)

(Moyangmu!)

(Ya, sudah, sampai ketemu besok.)

(Eh, da kelar ni, di mana? Biar gua jemput.)

(Jemput apaan, gua bawa mobil.)

.

Gadis bertubuh semampai meletakkan HP. Ia adalah Karla Anulika, wanita muda yang baru beberapa bulan tinggal di kota ini. Saat baru saja menuntaskan makan malamnya di salah satu restoran di pusat kota. Mata berbulu lentik yang dari tadi menatap layar ponselnya kini teralih. Berpindah pada keributan yang terjadi di meja di depannya. Meja yang dihuni pemuda gondrong dan sepasang bocah kembar tadi. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.

"Kau di sini? Yang benar saja! Mengapa ada pria seperti ini di bumi? Sampai kapan aku harus terus memaklumi karena mencintaimu? Tidak! Ini membosankan. Aku tak bisa hidup dengan terus mengalah dan bersabar. Kau menjengkelkan!"

Tiba-tiba saja gadis muda berwajah jelita datang dan langsung marah-marah. Entah kapan ia tiba, yang jelas suaranya memiliki kecepatan tak biasa. Sepertinya ia tak peduli meski dua bocah terlihat tak nyaman. 

Saat pemuda dengan rambut lebih panjang dari pria kebanyakan belum sempat menjawab apa-apa, kembali gadis yang baru tiba bersuara.

"Aku pulang! Jangan mencariku! Teruskan saja hidupmu. Aku akan berhenti menyukaimu." Gadis itu kemudian berlalu dengan wajah cemberut, kekesalan tergambar jelas di wajah cantiknya.

Sementara pemuda gondrong tak berusaha membela diri. Ia juga tak berusaha mengejar. Mengabaikan beberapa pasang mata penghuni restoran yang menatap ke arah mereka. Ia sepertinya hanya peduli pada perasaan dua bocah. Sepasang tangan kokohnya meraih dua kepala kecil. Membawanya ke dalam pelukan.

"Tak apa, sungguh tak apa-apa, Anak-anak," bisiknya lirih, tetapi bisa terdengar di telinga Karla.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status