Share

MAAF

"Hey, tunggu." Dinda meraih ujung kaus Rayyan bagian bawah. Karena tangan pemuda itu tak ada yang kosong. Baik kiri atau kanan sedang menggendong keponakan kembarnya.

Pemuda gondrong berhenti, tetapi tak menoleh.

"Maaf," pinta Dinda.

Tak ada jawaban.

"Yan, maaf." Gadis itu kembali berucap lirih.

Bu Rina segera mengambi alih dua cucunya yang diturunkan dari gendongan Rayyan. Ia memapah 'Affiyah dan 'Affa mendahului putranya. Membiarkan dua anak manusia menyelesaikan urusannya.

Rayyan mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik.

"Ok, sudah."

"Sudah?" Dinda mengerutkan dahi tak paham. Ia melepaskan tangannya dari ujung kaus Rayyan.

"Sudah kumaafkan."

"Sekarang bagaimana?" Gadis itu memeriksa reaksi pemuda gondrong.

"Sekarang pulanglah." Rayyan bicara pelan.

"Kau sungguh memaafkanku?" Dinda tak yakin melihat wajah tak bersahabat pria di depannya.

"Aku memaafkanmu, tapi semuanya tak lagi sama sekarang. Sayang sekali, aku tidak lagi muda untuk punya waktu bermain-main. Aku ingin menjalin hubungan yang serius. Dan itulah perbedaan yang paling mendasar antara kita. Bukan tentang hobi atau kebiasaan."

Usai bicara Rayyan meninggalkan Dinda, menyusul ibunya yang sudah menunggu di mobil.

Sementara Dinda terdiam di tempatnya berdiri. Ia tak punya keberanian untuk mengejar. Pria yang tadi bersamanya hanya mematung dari jarak puluhan langkah, Serba salah.

Sepanjang perjalanan Rayyan hanya fokus menyetir. Celotehan 'Affa dan 'Affiyah seperti suara jauh terdengar di telinganya.

Bu Rina juga tak berniat mengusik putranya. Jika sudah waktunya nanti, anak itu akan bicara sendiri. Begitulah Rayyan yang ia kenal.

.

(Maaaaaaaaf)

(Aku sungguh menyesal)

(Dia temanku, aku butuh seseorang untuk bertukar pikiran mengenai pernikahan dan banyaknya perbedaan antara kita. Jadi kupikir tak apa jika keluar sebentar untuk menenangkan diri.

(Yan, sudah tidur?)

(Aku ke rumahmu besok, ya?)

(Setidaknya kita perlu bicara dengan kepala dingin.)

Pesan dari Dinda terus datang bak peluru musuh, tanpa jeda. Tak ada pilihan bagi Rayyan kecuali mematikan ponselnya.

Keesokan harinya.

(Nomor ini udah gak dipake, Yan? Lama gak ada kabar? Kapan kita ngumpul lagi?) Pemuda berambut sebahu membaca pesan dari Aldo sahabatnya. 

Mereka sangat dekat waktu sama-sama di luar negeri. Aldo lebih tua darinya beberapa tahun. Hubungan mereka unik. Jika Aldo menganggapnya guru karena Rayyan yang rajin salat di padatnya jadwal kerja. Maka bagi Rayyan, Aldo adalah kakak. Berada di negeri asing saat baru usai sekolah menengah, membuatnya belum banyak mengenal dunia luar dan segala problemnya. Berbeda dengan Aldo yang telah merantau sejak SMP.

(Masih, semalam sengaja dimatiin.)

(Lha, ngapa? Kek lagi kerja aja.) Rayyan tersenyum membaca pesan tersebut, itu mengingat ketatnya masa kerja dulu. Jepang sebagai negara yang sangat disiplin tak mentolerir saat bekerja sibuk dengan HP.

(Bukan gitu, tapi buat menghemat baterai. Aku malas ngecas.)

Tak lama panggilan video masuk. Rayyan menggeser layar.

"Ceritakan tentang masalah malas ngecas?" Aldo bicara tanpa basa-basi, bahkan saat di layar baru kelihatan ujung jempolnya.

"Main ke sini, Do." Rayyan mengalihkan pembicaraan.

"Ntar aku kabari lagi, ya. Apa kegiatan sekarang?"

"Biasalah nemanin ibu ngurus tanaman bunganya."

"Anak mami."

"Lha iya, masa anak batu."

Keduanya tertawa lepas. Teman akrab Cakra dapat dihitung dengan jari. Namun, sekali sudah menjadi teman, ia akan memperlakukan mereka bak saudara. Begitulah, ia tak mudah dekat dengan seseorang. Mungkin itu adalah salah satu kekurangannya andai boleh disebut begitu.

* * *

Seperti biasa, saat membutuhkan ketenangan Rayyan akan melakukan dua hal. Jika tak pergi ke pesantren untuk merapikan tanaman di taman, maka ia akan duduk berlama-lama di depan komputernya. Komputer pemberian sang ayah di tahun yang sama kepulangannya. Saat itu ia masih kelas lima SD. Ayahnya jugalah yang menularkan hobi di bidang perogrammer. Ayahnya adalah seorang dosen IT yang meninggal karena sebuah kecelakaan sepulang dari kampus. 

Dua saudara dari orang tua yang sama-sama pegawai negeri, sebenarnya perekonomian mereka cukup memadai meski tak bisa dikatakan mewah. Namun, dengan alasannya sendiri Rayyan tidak langsung melanjutkan kuliah selepas Aliyah. Ia malah memilih bekerja di negeri orang. Di sana tentu ia belajar banyak hal. Bahkan saat pulang dari bekerja di luar negeri ia mengambil jurusan pertanian, seperti aktifitas yang telah digelutinya di sana. Meski tak terlihat keren, Cakra tahu apa yang dia inginkan. Pemuda itu bahkan membeli dua hektar perkebunan durian di pinggir kota dari hasil jerih payahnya bekerja di negeri orang. Ia mengaplikasikan ilmu pertaniannya yang dikombinasikan dengan jiwa wirausaha.

Namun, kecintaannya pada dunia pertanian tak membuatnya melupakan hobi yang diwarisi dari sang ayah. Ia juga banyak menghabiskan waktu di depan komputer. Mendalami lebih jauh tentang software, bahkan beberapa kali ia meluncurkan program rancangannya. Itu bukan hanya menghasilkan kepuasan, tetapi juga materi yang lumayan. Karenanya di usia dua puluh tujuh tahun, meski tak terlihat sedang bekerja di kantor manapun tabungan Rayyan lumayan subur. Terlebih jika dibandingkan dengan anak muda seusianya.

Kecukupan di bidang materi tak lantas membuat pemuda itu menggunakan uangnya secara semena-mena. Hanya ada dua orang yang tahu berapa banyak tabungannya. Pertama tentu saja Bu Rina, yang kedua teman sejak SD, Ammar. 

Rayyan dan Ammar bahkan merancang sebuah pondok pesantren yang menyeimbangkan ilmu umum dan agama. Jika Ammar hadir sebagai pigur ustad muda dengan kealimannya, maka Rayyan adalah donatur utama pesantren tersebut.

Selain Ammar seluruh penghuni pesantren mengiranya hanya seorang tukang kebun. Pemuda gondrong yang bisa masuk ke pondok dengan celana jeans, kaos oblong tanpa peci. Seseorang yang tak ahli dalam berpenampilan rapi. Namun, bukan berarti hatinya seurakan penampilannya. Enam tahun masa gemblengan di pesantren dulu, cukup membuatnya mengenali batasan sebagai pemuda muslim. Bahkan saat kuliah di jurusan pertanian, ia menjadi tempat berkonsultasi anak-anak di jurusan agama. 

Sedangkan Ammar yang memang putra tokoh agama, lalu mengenyam pendidikan di negeri Mesir. Itu membuatnya menjelma menjadi sosok yang pas mengambil peran sebagai mudir ma'had. Sedangkan Rayyan selepas Aliyah malah bekerja dan belajar menjadi petani. Mungkin karena sejak kecil ia sering membantu ibunya di taman belakang rumah, jadi suka berurusan dengan hal terkait tanah.

(Yan, angkat teleponnya, dong!) 

Gangguan itu datang lagi. Sepertinya Dinda menyadari jika pesannya telah terkirim, karenanya ia mulai lagi.

(Siapa pun yang aku temui di luar sana, mereka tak seistimewa kamu. Jadi tak ada arti apa-apa bagiku, sungguh!)

(Rayyan, aku akan bicara pada papi sama mami malam ini. Seperti yang kau mau.)

Pemuda dengan tinggi 184 menarik napas panjang. Mengapa anak manja ini tak juga mengerti, lirihnya.

(Dinda, kau tahu aku bisa memaklumi banyak hal? Tapi tidak untuk yang kau lakukan semalam. Jadi, jangan mengirim pesan lagi, itu menggangguku. Itu akan sia-sia dan tak akan merubah keputusanku.) Rayyan menekan kirim. Ia sangat alergi dengan wanita yang tak bisa menjaga kepercayaannya.

Lalu pemuda berambut sebahu meletakkan benda pipih tersebut di samping komputer. Ia melangkah ke luar rumah, memandang deretan bunga yang terpelihara rapi. Ibunya telaten mengurus bunga aneka jenis tersebut. 

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status