"Ada kabar bahagia, Kir." Chiko mendatangi sang teman yang sedang bersantai menikmati pemandangan hutan. Wajah tampan itu berbinar seakan apa yang baru saja ia ketahui adalah sebuah berita besar.
"Kau bertemu anak tupai?" Karla bicara tanpa menoleh pada Chiko.
"Kau kira aku perlu membahas anak tupai padamu?" Chiko cemberut dengan keacuhan sikap gadis cantik bermata indah.
"Lalu?" Kini Karla berbalik pada pemuda berkaus coklat.
"Asal kau tahu, si 'andai saja ia belum menikah' dia benar-benar belum menikah." Chiko memberi kabar dengan semangat.
"Kau seperti wartawan gosip sekarang. Cepat bersiap-siap kita harus pulang. Ada banyak pekerjaan menunggu." Karla beranjak dari tempat duduknya.
"Kau sungguh tak tertarik? Kita sedang berada di perkebunannya sekarang ini. Iya, kebun durian ini miliknya! Mengenai dua bocah kembar. Itu hanya keponakan, bukan anaknya. Bukankah ini kabar baik? Ternyata si akhi Rayyan Abqary atau si 'andai saja ia belum meni
Siang berada di titik teratasnya. Udara di luar sana sangat gerah. Namun, ruang ber-AC ini mampu menetralisir rasa panas. Apalagi jika ditambah dengan segelas besar minuman dingin. Rayyan tampak sedang bersama seorang pemuda. Mereka duduk di sudut kafe. Sesakali keduanya menyesap minuman di atas meja."Ayolah, sekali ini saja. Kakak harus datang pokoknya!" Pemuda dua puluh empat tahun meminta dengan sedikit memaksa pada pemuda lebih tua yang duduk di depannya."Aku belum siap untuk itu, bagaimana jika aku tunjukkan orang yang lebih tepat?" Rayyan menyesap minuman. Mata tajam pemuda tersebut menatap anak muda yang duduk di depannya."Tidak, kakak yang paling tepat menurutku. Aku kenal betul bagaimana cara kakak menjelaskan. Itu benar-benar mengena.""Itu karena kau belum mengenal yang lainnya. Ada sangat banyak referensi ustadz yang bisa kuberikan." Rayyan tersenyum pada temannya.Anak muda yang duduk di kafe bersama Rayyan adalah teman
Kenderaan berwarna hitam memasuki pekarangan luas, berhenti di depan rumah papan dengan bentuk desain unik. Rayyan turun dari mobilnya. Matanya melihat sekilas pada kenderaan asing yang terparkir lebih dulu.Langkah kaki pemuda itu terhenti sejenak melihat siapa yang sedang bersama ibunya. Seorang gadis cantik berkulit putih. Mereka yang sedang membicarakan sesuatu sambil merapikan bunga di taman."Sudah pulang?" Bu Rina menyambut kedatangan putranya.Sosok berambut sebahu mengangguk. Sekilas ia menatap pada wanita dua puluh empat tahun, Dinda. Sedangkan gadis itu acuh tak acuh dengan kehadirannya. Ia sibuk dengan kembang di tangan."Dia kenapa di sini, Bu?""Kami--" Bu Rina menoleh sebentar pada Dinda sebelum melanjutkan. "Melakukan beberapa hal bersama. Dinda bilang ia ingin belajar memasak dan mengurus taman. Katanya calon suaminya suka masakan rumahan dan berkebun, jadi ia sedang berusaha menjadi calon istri yang manis.""Ah, baiklah! La
Baru dua tahun berdiri, pesantren As-Salam mulai menggeliat memperlihatkan perkembangan yang menjanjikan. Santrinya ratusan sudah. Mengambil lokasi di tempat terasing, membuatnya jauh dari hiruk pikuk kota. Tempat yang strategis untuk berkonsentrasi untuk pendalaman keilmuan, baik ilmu agama ataupun ilmu umum.Para pengajar yang rata-rata masih muda, berada dalam puncak semangat. Bersinergi untuk membangun dan mengembangkan pondok pesantren As-Salam. Begitu juga dengan mudir Ma'had, pemuda dengan pemahaman agama yang mendalam. Ustadz Ahmad Ammar Athaya.Menjadi ciri khas tersendiri bagi pesantren tersebut, adalah nuansa hijaunya. Manusia dan tumbuhan hidup berdampingan dengan saling melengkapi. Pohon-pohon buah rindang tumbuh subur di segenap penjuru pondok pesantren. Bukan cuma sebagai peneduh, juga memberi buah segar melimpah yang menguntungkan pesantren. Kursi-kursi berjajar di bawah pohon. Tempat yang nyaman bagi para santri mengulang hafalan, atau sekadar du
"Bu, kami, maksudnya aku dan Dinda, kami tidak akan bisa bersama." Rayyan membuka percakapan dengan wanita yang sedang mencuci sayuran.Rayyan tak ingin mengikuti permainan yang dibuat Dinda. Tidak akan baik membiarkan gadis itu buang-buang waktu. Sedangkan ia yakin apa yang telah menjadi keputusannya. Lagi pula ia tak berniat merubahnya."Kenapa? Bukankah kau ingin melamarnya?" Wanita paruh baya tersenyum pada sang putra, tangannya masih sibuk dengan sayuran berwarna hijau."Tidak lagi, Bu.""Kesalahpahaman sering mengacaukan segalanya. Tapi ibu pikir dia anak baik terlepas dari sikap manjanya.""Apa ibu membelanya, karena apa yang sudah ia lakukan? Ayolah, Bu! Rayyan juga bisa belikan ibu semua itu. Tapi ibu sendiri yang menolak. Katanya mubazir, yang lama masih bagus, masih bisa digunakan.""Tidak, tentu saja. Kenyamanan putraku lebih penting. Tapi setidaknya pertimbangan sekali lagi, ibu lihat dia serius menyukaimu." Bu Rina kini menghen
Rayyan memandang kartu nama yang di letakkan di samping komputernya. Kiara Anarulita itulah nama yang tertera di sana dan dia adalah seorang akuntan publik. Nama yang unik dan pekerjaan yang bergengsi. Dilihat dari garis wajahnya, gadis itu memang memiliki darah campuran. Semoga saja ia baik-baik saja setelah insiden kemarin, harap Rayyan.Pemuda berkaus dengan celana santai kemudian gelang kepala dengan apa yang ia pikirkan. Apa gunanya mengingat gadis asing itu? Ia kembali fokus pada layar di depannya. Melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda, ia sedang menikmati rancang terbarunya. Masih lama untuk sampai di garis pinish, ia masih di separuh perjalanan. Membutuhkan pengujian lanjutan dan analisis program sebelum software ini siap untuk diperkenalkan pada khalayak umum.Rayyan bisa duduk di depan layar berjam-jam. Sang ayah bukan hanya berhasil menularkan hobinya. Anak itu bahkan kini telah berhasil membuat namanya dikenal di dunia maya. Karna di dunia nyata ia lebi
Rayyan memeluk erat dua bocah. Matanya berkaca-kaca, tetapi tinjunya tergenggam erat. Kemarahan menggelegak di dada bidang itu. Apa masalahnya? Kenapa menolak pernikahan baik-baik? Tidak ada yang akan mempersulit mereka, bahkan ia dan ibunya bersedia membantu sebanyak yang diperlukan. Namun, dengan pergi begitu saja meninggalkan dua bocah yang adalah anak kandungnya sendiri, takkah hati lembut sebagai wanita baik-baik saja? Apa cinta bisa semembutakan itu?Lalu kini ke mana mereka berdua akan pergi? Seindah apa dunia yang bisa membuat seorang ibu melepaskan tangan anak-anaknya? Rayyan tak habis pikir. Sangat ingin rasanya mematahkan leher pria yang merampas ibu bagi keponakannya. Akan tetapi, ada yang lebih penting untuk dilakukan sekarang, yakni menenangkan Affa dan Affiyah. Ia juga harus membuat cerita yang lebih masuk akal bagi ibunya, karena jika tidak bisa-bisa wanita berhati lembut itu pingsan."Malam ini kita nginap di rumah nenek, ya." Rayyan menyibak rambut Af
"Tapi, suami. Asal tahu aja, Afifah sahabat dinda sejak MI, kami belajar bersama. Dinda tak akan rela ia mendapatkan sembarang suami. Ia pantas untuk pria yang hebat." Wanita yang duduk bersisihan dengan Ammar bicara lembut."Rayyan juga begitu, Din. Kami bukan cuma teman, tapi sudah seperti saudara kandung. Walaupun memang di tubuh kami mengalir darah yang berbeda." Pemuda tampan yang bersandar di tempat tidur tak mau kalah.Gadis bermata jeli merengut, mengira sang suami hanya mengikut-ngikuti ucapannya."Yang kulihat dia tak begitu," ungkap Maryam."Tak begitu gimana?" Ammar menggeser tempat duduknya. Membiarkan jaraknya dan sang istri semakin dekat. Bahkan mata itu kini menatap lekat wanita berwajah bulat."Aku sedikit khawatir Abahnya Afifah syok melihat penampilan Rayyan. Bukankah keluarganya pasti berharap putri solehahnya akan berjodoh dengan pria yang--.""Yang apa coba?" tanya Ammar memotong ucapan sang istri."Setidak
Di mobil, Ammar beberapa kali memeriksa wajah istrinya dengan ekor mata. Pemuda itu serba salah sekarang. Rayyan yang berotak encer dan mudah nyerap pelajaran zaman dulu, entah kenapa sekarang bisa menjadi pikun. Apakah ini pengaruh usia? Atau sang teman sengaja tak ingin bekerja sama? Anak itu, andai saja mereka hanya berdua tadi? Ammar pasti akan mengajaknya bergulat.Lagi pula bukankah semalam ia sudah wanti-wanti agar bersiap-siaplah. Memberikan kesan baik dipertemuan pertama itu penting. Pasti Rayyan sengaja, bisik Ammar dalam hati.Lalu kini bagaimana tanggapan gadis yang duduk di kursi belakang? Ia pasti mengira mereka benar-benar datang untuk meminta bunga dari Bu Rina, seperti alasan yang diberikan Maryam."Rayyan, dia sebenarnya--" Ammar baru akan menjelaskan sesuatu, tetapi jari kaki sang istri di balik kaus telah memijaknya.Ammar hanya bisa menoleh pada Maryam, yang ditatap seolah-olah tak terjadi apa-apa."Hati-hati bawa mobilnya, Su