Share

4. Bandung

Enam bulan kemudian, setelah melalui ujian sekolah semester pertama, tiba saatnya bagi Alena dan Alva untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute. Mereka memilih mengikuti ujian di Goethe Institute di Bandung. Kebetulan Om Andre mau mengantar dan menemani mereka selama di Bandung. Om Andre memang memiliki jadwal kerja yang jauh lebih fleksibel daripada Papa dan Mama. Ia langsung menawarkan diri, begitu tahu rencana Alena dan Alva.

Mereka bertiga berangkat dengan pesawat pada hari Minggu pagi. Ujian level B2 akan diadakan pada hari Senin untuk Alena, dan ujian level C1 untuk Alva pada hari Selasa. Jadi, mereka sudah meminta izin khusus dari sekolah selama tiga hari.

Sampai di Bandung, mereka menginap di hotel, yang tidak terlalu jauh dari lokasi Goethe Institute. Om Andre sudah sering ke Bandung, ia langsung mengajak mereka untuk jalan-jalan mencari makan, begitu sampai di hotel. 

"Ayo, mumpung masih siang, kita jalan-jalan dulu. Kalian juga pasti jenuh kan, belajar terus?" usul Om Andre sambil terkekeh.

Alena dan Alva menyambut usulnya dengan gembira. Mereka berdua memang belum pernah ke Bandung. Om Andre sudah menyewa mobil dengan bantuan temannya. Jadi mereka bebas pergi ke mana saja dengan mobil itu.

Om Andre sepertinya sudah sangat hafal jalanan di Bandung. Ia membawa mereka makan mie kocok. Kemudian berkeliling kota, melewati pusat keramaian, seperti di Jalan Dago dan Cihampelas. Lanjut terus ke arah Lembang, tapi tidak sampai jauh ke atas. Kemudian malamnya, mereka menikmati nasi kalong untuk santap malam. Sepanjang jalan, Alva tidak pernah absen menjepretkan kameranya. Alena tahu, Alva pasti berniat menjual foto hasil karyanya lagi.

Malamnya, mereka kembali ke hotel sekitar jam tujuh. Om Andre mengantar mereka sampai di depan kamar. 

"Sekarang kalian istirahat. Besok Alena jam berapa ujiannya?" tanya Om Andre. 

"Jam delapan sampai jam dua belas, Om. Habis itu, lanjut lagi jam dua sampai jam tiga," jawab Alena.

 

"Oke... Alva mau ikut, atau mau tinggal di hotel?" sambung Om Andre, tapi sepertinya ia hanya mencandai Alva.

"Ikut dong, Om...," sahut Alva sambil memandang Alena. 

Om Andre tertawa. "Ya udah... Kalian masuk ke kamar masing-masing. Awas ya...jangan nakal...," ujarnya dengan nada bergurau. "Om mau ke lobby dulu, mau ketemu teman Om." Lalu ia berjalan meninggalkan mereka. 

Alva menatap Alena. "Gimana perasaan kamu hari ini?"

"Seru tadi jalan-jalannya...," jawab Alena sambil tersenyum. "Bandung asyik ya, kapan-kapan pingin liburan ke sini lagi."

"Besok selesai ujian, kita bisa jalan lagi. Ya udah, sekarang kamu istirahat aja. Besok yang tenang ujiannya, jangan lupa berdoa... Kamu pasti bisa," Alva memberi semangat.

"Makasih ya…" Alena tersenyum. "Kamu mau ngapain habis ini? Belajar lagi?" katanya setengah bercanda.

"Aku mau lihat-lihat foto. Kecuali.... kalau kamu mau minta aku temanin di kamar....," kata Alva dengan mata bersinar, ia sengaja menggoda Alena.

Wajah Alena langsung memerah. Matanya membelalak. "Ih, apaan sih Alva? Kamu usil banget sekarang..."

Alva sengaja berjalan mendekat, ada senyum di wajahnya. Alena buru-buru menghindar, membuka pintu kamarnya, lalu menutup sebagian pintu, hanya menyisakan celah untuk mengintip. Alva berdiri di depan pintu kamar, ia masih tersenyum. Sepertinya perasaan hatinya sedang gembira saat ini.

"Kamu takut sama aku sekarang?" goda Alva lagi.

"Alva, kamu usil banget ah... Nanti aku laporin Om Andre lho...," Alena mengomel dari balik pintu. Jantungnya berdebar-debar karena gurauan Alva, biarpun sebenarnya ia yakin, Alva tidak mungkin berbuat tidak sopan.

"Maaf, Sayang... Aku cuma bercanda...," ucap Alva dengan suara lembut. 

Alena merasa wajahnya makin merona karena panggilan Sayang itu. Ia membuka pintu kamarnya sedikit lebih lebar. Alva memandangnya dari balik pintu. 

"Istirahat ya... Gute Nacht, mein Schatz..." Tatapan mata Alva selembut suaranya.

Alena tersenyum manis. "Gute Nacht, mein Schatz..."

Alva ikut tersenyum. Lalu ia berjalan ke arah kamarnya di sebelah kamar Alena. Alena menutup pintu kamarnya. Ia tersenyum sendiri. Alva selalu bisa membuat hatinya bergetar hanya dengan kata-kata sederhana.

*

Esok paginya, setelah sarapan di hotel, mereka langsung berangkat ke Goethe Institute. Sudah banyak peserta lainnya yang berkumpul di lokasi. Tepat jam delapan, Alena masuk ke ruangan ujian. Om Andre dan Alva akan menunggu di sekitar Goethe Institute.

Alena mengerjakan ujian dengan semangat. Ia sudah mencanangkan target nilainya di semua keterampilan harus di atas 80. Lagipula dia merasa percaya diri, karena sudah banyak belajar dan latihan bersama Alva.

Sekitar jam dua belas, Alena keluar dari ruang ujian. Masih ada satu ujian Sprechen atau Speaking lagi setelah ini. Ia mencari Alva dan Om Andre. Mereka sedang menunggu di dekat tempat parkir. Alva membawa kameranya, sepertinya sedang asyik membidik beberapa objek. Ia langsung menoleh, begitu Alena berjalan mendekat.

"Gimana ujiannya?" tanya Alva, wajahnya terlihat cerah. 

Alena tersenyum. "Lancar kok, yah...setidaknya aku rasa lancar... Semoga aja hasilnya bagus."

"Pasti bagus," komentar Alva, ia menatap dengan lembut. "Ayo kita makan siang dulu."

Alena mengangguk. Mereka memanggil Om Andre yang sedang sibuk menelepon, lalu masuk ke dalam mobil. Om Andre membawa mereka makan siang tidak jauh dari situ. Sekitar jam satu, mereka sudah tiba kembali di Goethe Institute. Masih ada waktu satu jam sebelum ujian Sprechen dimulai.

Alva menemani Alena berjalan-jalan di sekitar gedung itu. Alena melihat ada beberapa gadis berwajah bule, mungkin sedang mengikuti ujian juga di situ, atau mungkin mereka hanya berkunjung ke perpustakaan. Mereka duduk bergerombol di area taman, dan terus melirik ke arah Alva, saat Alena dan Alva melewati mereka. Mereka juga berbisik-bisik dan tertawa. Alena mulai merasa tidak nyaman, tapi Alva tidak memperhatikan mereka. Ia hanya asyik mencari objek untuk kameranya. 

"Kamu nggak belajar lagi hari ini?" tanya Alena.

"Nggak... Mau refreshing aja," jawab Alva dengan santai.

"Kayaknya kamu santai banget. Emang nggak ada yang susah ya buat kamu...," respon Alena sambil tertawa, sengaja mencandai Alva.

Alva memandangnya. "Sejak ada kamu, semuanya jadi terasa gampang kok...," Alva balas menggoda Alena.

"Apaan sih?" Alena pura-pura kesal. Ia mencubit lengan Alva. Alva langsung menggandeng tangan Alena dengan santai, lalu terus berjalan. Giliran Alena yang merona pipinya.

"Tadi ada cewek-cewek bule lho, cantik-cantik... Kamu nggak lihat mereka lagi perhatiin kamu?" Alena sengaja menguji reaksi Alva.

"Oya?" Alva menaikkan alisnya. "Aku cuma lihat satu cewek cantik di sampingku."

"Ih, gombal lagi...," Alena menanggapi dengan nada kesal.

"Tapi sayang, dia kayaknya nggak sadar kalau dia cantik banget, sampai-sampai nggak tahu kalau banyak cowok yang noleh dua kali buat lihatin dia...," sambung Alva sambil terus menatap Alena.

Wajah Alena tambah merah. "Alva...," protesnya.

Alva tersenyum. "Aku suka lihat wajah kamu kalau lagi merah gitu."

Alena memegang pipinya. "Emang kelihatan?" tanyanya dengan polos. Dia mengira Alva tidak akan memperhatikan. 

Alva masih tersenyum-senyum. Demi melihat senyum Alva, Alena merasa semangatnya bertambah. Alva sepertinya sedang gembira dua hari ini. Dia sering bergurau dan tersenyum.

"Kamu kayaknya lagi gembira ya... Karena kita bisa ke Bandung?" tanya Alena ingin tahu.

"Karena kita makin dekat ke tujuan kita. Habis ini, fokus ujian akhir, sama kirim lamaran ke Studienkolleg," sahut Alva, kali ini ia kelihatan serius. 

"Pasti kamu udah nggak sabar pingin balik ke Berlin ya...," ujar Alena sambil tersenyum.

"Aku nggak sabar pingin ke Berlin sama kamu...," jawab Alva dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap dengan lembut. 

Alena tersenyum lagi. Ia teringat pernah mengatakan pada Alva, bahwa impiannya adalah ingin pergi ke Berlin bersama Alva. Dan Alva tidak pernah lupa apa yang dia katakan.


Ujian terakhir hanya berlangsung kurang dari setengah jam. Alena merasa dia tampil lumayan baik di ujian Speaking tadi, sekarang tinggal menunggu hasilnya seminggu lagi. Alena menghampiri mobil Om Andre, yang diparkir di bawah pohon yang teduh. Om Andre dan Alva sudah menunggu di dalam.

"Gimana, Alena?" tanya Om Andre, begitu Alena masuk ke dalam mobil.

"Lancar, Om...," jawab Alena sambil tersenyum. 

Alva juga memandangnya dengan wajah cerah.

"Bagus kalau gitu. Kita keliling sebentar aja ya, habis itu balik ke hotel. Papa Mama kamu bisa ngomel nanti, kalau tahu Om ngajak kalian jalan-jalan terus...," gurau Om Andre sambil tertawa dengan suara keras.

"Nggak kok, Om. Kan sekalian refreshing...," Alena menyanggah.

"Besok aja, habis Alva selesai ujian, kita ke Lembang," Om Andre mengusulkan.

Mereka berdua menyambut usul itu dengan semangat. Kemudian mobil melaju meninggalkan area parkir Goethe Institute.


Mereka kembali ke hotel sekitar jam empat sore. Alva mengajak Alena untuk berenang di kolam renang hotel di lantai dasar. Om Andre lagi-lagi mendapat kunjungan dari temannya di lobby, sehingga Alena dan Alva hanya berdua saja. Alena tidak memakai pakaian renang, ia memakai T-shirt yang agak panjang dan celana legging tiga perempat untuk berenang. Ia menggelung rambutnya ke atas supaya tidak berantakan. Alva juga memakai T-shirt dan celana pendek. Di kolam renang yang besar itu, hanya terdapat beberapa pengunjung lain, ada yang sedang berenang, ada juga yang duduk bersantai di pinggir kolam. 

Alva sepertinya sangat suka berenang. Ia sudah dua kali berenang bolak-balik, dari ujung kolam yang satu ke ujung lain. 

Pantas saja tubuh Alva juga terbentuk dengan bagus, pikir Alena. Alena tiba-tiba merasa wajahnya jadi hangat. Kenapa dia jadi memperhatikan tubuh Alva? Untuk mengalihkan pandangannya, ia berenang ke arah yang berlawanan dengan Alva.

Tiba-tiba, ia merasa seperti ada yang mendekatinya. Ia menoleh, di kirinya ada seorang pria bule, berumur kurang lebih tiga puluh tahunan. Dan di kanannya, ada seorang pria Indonesia, sepertinya usianya lebih tua daripada bule itu.

"Hallo, boleh kenalan?" sapa pria yang lebih tua itu sambil tersenyum. 

Kedua pria dewasa itu seperti sedang berenang mengelilinginya. Alena gugup, ia berada di tengah kolam, dan Alva masih jauh jaraknya dari dia.

"What's your name, beauty?" pria bule itu malah lebih frontal lagi dalam bertanya. Ia menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih. 

"I'm sorry. I'm with my boyfriend...," Alena refleks menjawab. 

Ia mencoba berenang kembali ke pinggir, tapi mereka berdua terus berputar mengelilinginya.

"Wow… Relax, sweetheart... Let's have some fun...," sambung si bule lagi, sambil tertawa dengan kurang ajarnya. Pria yang satu lagi juga tertawa.

Alena mulai ketakutan, jantungnya berdebar-debar. Kenapa sih mereka ini? Kenapa mengganggu seorang gadis remaja seperti dia, di tempat umum? Lagipula Alena merasa tak ada yang salah dengan penampilannya, ia tidak berpakaian terbuka.

"I have to go...," kata Alena dengan suara tegas, lalu mencoba berenang menjauh lagi.

Si bule berenang menghadang di depan Alena. Jaraknya semakin dekat. Ia masih menyeringai, tapi tiba-tiba raut wajahnya berubah. Alena menoleh ke belakang. Alva sudah berada di belakang Alena, ia melingkarkan tangannya dengan protektif di pinggang Alena. Wajahnya tampak menatap marah, Alena belum pernah melihat wajah Alva seperti itu. Tapi terus terang, Alena merasa sangat lega. Ia memeluk bahu Alva, dan mendekatkan tubuhnya ke Alva.


Kedua pria itu mulai berenang menjauh, mereka masih menoleh satu kali sambil mengucapkan sesuatu, sepertinya omelan. Tapi Alena tidak peduli lagi, ia hanya memandang Alva. Alva masih memasang wajah marahnya, sampai kedua orang itu cukup jauh.

"Hei… Alva...," panggil Alena dengan suara lembut. Alena memegang wajah Alva dengan kedua tangannya sambil tersenyum. "Mereka udah pergi kok...," ia mencoba menenangkan Alva.

Alva beralih memandang Alena, tatapannya berubah.

"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Alva, suaranya terdengar tegas.

"Nggak apa-apa..." Alena menggeleng. "Kan ada kamu...," jawab Alena sambil tersenyum.

Alva masih menatap, matanya mendadak mulai berbinar. Alena baru sadar kalau wajah dan tubuh mereka sangat dekat, Alva masih memeluk pinggangnya, dan Alena masih memeluk bahu Alva. Wajah Alena mulai jadi hangat lagi, ia secara refleks menarik tangannya dengan cepat.

Alva sekilas tersenyum, tapi ia juga perlahan melepaskan pelukannya, dan beralih menggandeng tangan Alena, untuk berenang ke pinggir kolam. Alena merasa wajahnya pasti terlihat memerah, tapi ia sangat tahu sifat Alva. Alva selalu menghargainya, dan itu yang membedakan Alva dengan kedua pria yang mengganggunya tadi. 

Mereka naik dan duduk di pinggir kolam. Alena memainkan kakinya di dalam air kolam. Ia melihat kedua pria tadi masih berada di ujung kolam yang berjauhan dari mereka, ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Alva mungkin menyadarinya.

"Ayo kita naik aja...," ajaknya, sambil menggenggam tangan Alena.

"Ayo…" Alena merasa aman bersama Alva.

Setelah membilas diri, mereka berganti pakaian, lalu berjalan ke arah lobby. Om Andre terlihat di salah satu sudut, masih duduk mengobrol dengan dua orang teman prianya. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Alva mengajak Alena melihat-lihat, di samping hotel itu, ada sebuah toko yang menjual aneka pernak-pernik untuk oleh-oleh.

"Tadi dua orang cowok itu siapa sih? Kok mereka berani banget gangguin tamu hotel yang lagi berenang? Ini kan tempat umum. Lagi ada orang lain aja, mereka berani kayak gitu. Gimana kalau nggak ada orang lain?" Alena mengomel tentang kejadian di kolam tadi. Ia masih kesal, dan mencurahkan isi hatinya pada Alva.

Alva memandang Alena. "Emang ada orang-orang kayak gitu di dunia nyata. Kamu mungkin belum pernah ngalamin aja, karena selama ini, kamu tahunya cuma seputar asrama dan rumah. Jadi kamu cuma tahu yang baik-baik aja...," respon Alva dengan nada santai.

"Maksud kamu, aku kurang gaul gitu?" Alena memprotes, tapi senyumnya mengembang.

Alva juga tersenyum. "Maksud aku, kamu jangan jauh-jauh dari aku, biar aku bisa jaga kamu..." Ia lagi-lagi menggoda Alena dan memasang wajah jenakanya. Alena pura-pura memasang wajah cemberut.

Tidak lama kemudian, Om Andre menelepon Alena, dan meminta mereka ke lobby. Om Andre sudah menyelesaikan urusan bisnis dengan temannya, dan sekarang mengajak mereka makan malam di luar. Mereka berkeliling kota, menikmati masakan Sunda sebagai makan malam. Sekitar jam setengah delapan, mereka kembali ke hotel dan beristirahat.


*

Besok paginya, giliran Alva yang mengikuti ujian level C1. Alva sebenarnya hanya ikut kursus sampai level B2, selebihnya ia belajar otodidak, tapi ia tetap bersikeras mau mengikuti ujian level C1. Alena tidak meragukan kemampuan Alva. Lagipula, ia sudah menguasai dasar bahasa Jerman sejak kecil.

Untuk mengisi waktu, Alena menunggu di perpustakaan Goethe Institute. Ia tertarik dengan aneka koleksi buku di situ. Sedangkan Om Andre lebih memilih berada di mobil, ia sepertinya selalu sibuk menerima telepon dari rekan bisnisnya. Alena meminjam sebuah novel berbahasa Jerman. Ia pun asyik membaca, sampai waktu menunjukkan jam sebelas lebih. Alva mungkin sebentar lagi selesai, sebaiknya ia kembali ke mobil.

Ternyata dugaannya benar. Alva terlihat berjalan ke arah mobil. Alena menyusul dari belakang. Alva menoleh.

"Kamu dari mana, Sayang?" tanya Alva.

"Aku tadi ke perpustakaan. Bukunya banyak, asyik banget deh... Gimana ujiannya?" Alena balik bertanya.

"Lancar...," jawab Alva dengan santai.

Alena tersenyum, memang sepertinya tidak ada yang sulit bagi Alva. Om Andre sudah menunggu di dalam mobil. Mereka mencari makan siang, lalu kembali lagi ke Goethe Institute untuk ujian terakhir Alva. Cuma lima belas menit mengikuti ujian, Alva sudah kembali lagi ke mobil. Wajahnya terlihat cerah, sehingga Alena merasa tak perlu bertanya lagi. 

"Oke, siap jalan-jalan ke Lembang?" Om Andre menawarkan. 

Alena dan Alva langsung mengiyakan dengan gembira. Om Andre memang asyik sekali kalau diajak berwisata. Ia sepertinya tahu banyak jalan pintas, sehingga mereka tak perlu terjebak macet. Tapi karena sudah agak sore, mereka hanya mampir ke satu tempat. 

Om Andre sengaja mengajak mereka ke galeri seni Imah Seniman, untuk melihat-lihat karya seni. Alva tidak lupa memotret objek-objek yang menarik dengan kameranya. Sedangkan Alena tertarik dengan aneka kerajinan tangan khas Jawa Barat yang dipajang. 

Setelah puas berkeliling dan berfoto, mereka mencari oleh-oleh. Alena membeli tahu susu Lembang yang sudah menjadi pesanan Mama. Sebelum pulang, mereka makan malam di daerah Lembang, lalu kembali lagi ke hotel.

Besoknya, mereka kembali ke Jogja, dengan pesawat jam sepuluh dari Bandung. Papa dan Mama sudah menunggu mereka di bandara. Mereka semua makan siang, dan beristirahat di rumah Alena. Alena dan Alva akan diantar kembali ke asrama sorenya. Sedangkan Om Andre masih menginap semalam di rumah Alena. Alena merasa agak kecewa, karena perjalanan sudah berakhir, mereka harus kembali ke sekolah, bersiap-siap dengan perjuangan berikutnya lagi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status