Share

5. Ujian

Hari Kamis, satu hari setelah mereka pulang dari Bandung, bertepatan dengan satu tahun sejak Alva meminta Alena menjadi kekasihnya. Alena tidak yakin, apakah Alva ingat atau tidak, tapi ia tetap ingin menghabiskan waktu hari ini hanya bersama Alva.

Selesai pelajaran sekolah, ia mengajak Alva bertemu di rooftop. Setelah mandi dan makan siang, mereka berdua naik ke rooftop. Alva membawa biolanya.

"Kamu mau latihan buat komunitas musik klasik?" tanya Alena, begitu mereka sudah berada di tempat rahasia mereka berdua itu.

"Aku mau kamu dengerin satu lagu ini," jawab Alva, sambil memegang biolanya pada posisi siap bermain. 

Alena merasa jantungnya berdebar-debar, apakah Alva ingat?

Alva mulai memainkan biolanya. Sebuah lagu oldies yang juga menjadi favorit Alena. When I See You Smile, dari grup musik Bad English. Lagu yang bermakna sangat indah. Tidak seperti biasanya, Alva memainkan lagu tidak dengan mata setengah terpejam, melainkan sambil terus menatap Alena dengan penuh arti. Alena tak bisa menahan dirinya untuk tidak ikut bernyanyi dalam iringan alunan biola.


Sometimes I wonder

How I'd ever make it through

Through this world without having you

I just wouldn't have a clue


'Cause sometimes it seems

Like this world's closing in on me

And there's no way of breaking free

And then I see you reach for me


Sometimes I want to give up

I want to give in, I want to quit the fight

And then I see you, baby

And everything's alright, everything's alright


When I see you smile

I can face the world

You know I can do anything

When I see you smile

I see a ray of light

I see it shining right through the rain

When I see you smile

Baby when I see you smile at me


Baby there's nothing

In this world that could ever do

What a touch of your hand can do

It's like nothing that I ever knew


And when the rain is falling

I don't feel it, 'cause you're here with me now

And one look at you baby

Is all I'll ever need, you're all I'll ever need


When I see you smile

I can face the world,

You know I can do anything

When I see you smile

I see a ray of light

I see it shining right through the rain

When I see you smile

Baby when I see you smile at me


Alena tersenyum haru, ketika Alva selesai memainkan biolanya. Ia mendekati Alva. Alva meletakkan biolanya, matanya terus memandang Alena.

"Ini lagu buat kamu... Ingatlah, aku selalu mau buat kamu tersenyum, karena senyum kamu yang mengembalikan senyumku...," ucap Alva dengan suara lembut, tatapan matanya begitu hangat.

Alena terharu mendengarnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu ingat hari ini..."

"Pasti ingat. Tanggal 17 Januari, waktu aku minta kamu jadi kekasihku... First kiss kita di sini..."

Kata-kata Alva membangkitkan kenangan yang sangat indah bagi Alena, senyuman dan tatapan mata Alva waktu itu persis seperti saat ini. Dan rasa sayangnya pada Alva makin bertambah setiap harinya.

"Lagu itu harusnya buat kamu, Alva... Waktu aku udah mulai mau menyerah, justru senyuman kamu yang buat aku jadi kuat...," kata Alena sambil tersenyum. Ia memegang kedua lengan Alva dengan lembut. 

Alva memandangnya dengan mata bersinar. Alena sudah tahu apa yang akan terjadi. Detik berikutnya, ia sudah berada dalam pelukan hangat Alva. Alena merangkulkan tangannya ke leher Alva, menarik wajah Alva dengan lembut agar mendekat. Bibir Alva mengecup lembut bagian luar bibir Alena, kemudian membuka bibir Alena, dan memberikan ciuman yang penuh kasih. Alena membelai rambut Alva yang tebal bergelombang. Alva tampaknya makin bergelora, ia memeluk Alena dengan erat, dan terus memainkan bibirnya. Alena ingat, ini ketiga kalinya mereka berciuman di atas rooftop, tapi setiap ciuman selalu memberikan kenangan indah yang berbeda baginya.

Alva perlahan melepaskan bibir Alena, lalu mencium pipi dan keningnya dengan lembut. Mereka saling berpandangan dan tersenyum. Rasanya Alena ingin merayakan setiap hari seindah ini bersama Alva. 


*

Ujian akhir nasional tinggal beberapa bulan lagi. Alena dan Alva terus mempersiapkan diri. Mereka juga harus berusaha mendapatkan nilai ujian akhir yang baik, supaya lebih mudah diterima di Studienkolleg. Alena tidak lagi mengikuti kursus bahasa Jerman, ia hanya belajar otodidak bersama Alva, supaya kemampuan bahasanya semakin fasih. Mereka sering berlatih dengan contoh soal ujian masuk Studienkolleg.

Berita baik datang dari Goethe Institute, seminggu setelah ujian Bahasa Jerman. Alena dan Alva sama-sama lulus ujian dengan nilai yang baik. Alena mendapat nilai rata-rata 85 untuk keempat keterampilan bahasa yang diujikan, sedangkan Alva mendapat nilai rata-rata 96.

"Kamu hebat banget sih, Alva... Nilai kamu di atas 90 semuanya," Alena memuji, saat mereka sudah dikirimi hasil ujian resminya. Mereka sedang belajar berdua di perpustakaan sore itu, sehabis pelajaran sekolah.

"Aku nggak pantas punya kewarganegaraan Jerman, kalau nilaiku jelek," Alva setengah bercanda. 

Alena tertawa. "Selama ini, kamu punya dua kewarganegaraan?"

"Nggak, cuma satu. Dulu Opa sempat mau ngurus pindah warga negara buat aku, waktu aku udah di Indonesia. Tapi kondisi Mama masih nggak baik. Setelah Mama pulih, Mama nggak mau aku pindah warga negara, karena Mama emang mau ngajak aku balik ke Jerman. Jadi, sampai sekarang aku masih warga Jerman," Alva bercerita panjang lebar.

"Jadi selama ini, kamu urus izin tinggal terus?"

"Aku pakai visa studi. Nanti kalau udah lulus SMA, visaku nggak berlaku lagi, aku mesti urus visa tinggal sementara. Sampai kita berangkat ke Berlin," jawab Alva sambil memandang Alena.

Alena tersenyum. Mendengar Alva menyebutkan 'kita' entah kenapa terasa sangat istimewa.


*

Ujian akhir nasional yang dinanti-nanti tiba juga. Selama persiapan, Alena sering belajar sampai larut malam. Tapi beberapa hari menjelang ujian, ia sengaja beristirahat yang cukup, untuk menyegarkan pikirannya. Ia berdoa semoga ia dan Alva mendapat hasil ujian yang baik, sehingga melancarkan pendaftaran mereka ke Studienkolleg.

Ujian berlangsung selama empat hari. Setelah itu, mereka lanjut mengikuti ujian dari sekolah, untuk mata pelajaran tertentu yang tidak ada di ujian akhir nasional. Total ujiannya menjadi tujuh hari. Alena merasa jenuh, tapi ia tak mau mengeluh.

Hari Selasa ini adalah hari terakhir ujian. Semua siswa kelas XII tampak ceria setelah ujian berakhir. Seperti atlet yang merasa lega setelah menyelesaikan suatu pertandingan, atau seperti prajurit yang baru memenangkan pertempuran. 

Para siswa berkumpul ramai-ramai dan merencanakan liburan. Pihak sekolah memang tidak mengadakan acara karya wisata atau keakraban untuk kelas XII, hanya ada acara wisuda setelah hasil ujian nasional diumumkan.

"Ayolah, Len... Masa kamu nggak ikut sih?" Karin membujuk Alena. Karin ingin mengikuti acara liburan dengan teman-teman yang lainnya, rencananya mereka akan ke Bali.

"Nggak bisa, Rin... Habis ini, kami masih persiapan ujian masuk Studienkolleg, terus mau urus visa juga ke kedutaan. Aku nggak enak sama Papa Mama, kalau minta uang buat liburan. Buat biaya ke Jerman aja udah keluar banyak banget, Rin...," Alena mencoba menjelaskan pada Karin.

Karin terlihat kecewa tapi ia mengerti. "Terus, kita nggak ada acara perpisahan gitu?" kata Karin sambil memandang Alena. 

Entah mengapa Alena mendadak merasa sedih mendengar kata perpisahan. Ya, ia harus berpisah dengan Karin dan teman-temannya yang lain. Entah kapan mereka akan bertemu lagi.

"Aku masih di Jogja kok, sampai nanti ada kepastian diterima di Berlin... Mungkin malah kamu yang duluan masuk kuliah," respon Alena.

"Janji ya Len, kita tetap kontak... Lewat chat atau apapun. Jangan lupa sama aku, kalau kamu udah di Jerman. Siapa tau nanti aku bisa liburan ke Jerman, aku bisa tinggal gratis di rumah kamu...," ujar Karin sambil terkikik.

"Rumah apa? Aku di sana juga tinggal di rumah orang, Rin... Tapi kalau kamu ke Jerman, aku pasti temanin jalan-jalan, aku jadi guide-nya...," Alena menanggapi sambil tersenyum.

Karin tampak tersenyum penuh arti. "Maksud aku itu...rumah kamu sama Alva. Kan kamu pasti nikah sama dia!" Karin berseru dengan penuh semangat.

Wajah Alena langsung merona mendengarnya. "Ih, apaan sih Rin? Itu kan masih lama... Kuliah aja belum...," protes Alena, tapi ia berusaha memalingkan wajahnya yang memerah.

Karin tertawa. "Ngapain lama-lama sih? Kamu aja udah rela jauh-jauh ke Berlin ikut Alva... Kalau sampai dia nggak cepat-cepat ngelamar kamu, itu namanya kebangetan...," ia masih terus berceloteh menggoda Alena.

"Karin... Nggak lucu ah..." Alena melototkan matanya yang indah. "Kita berdua masih mau nyelesaikan kuliah dulu, habis itu kerja, baru bisa mikirin yang lebih jauh... Kalau nggak kerja, terus mau hidup dari mana?"

"Alva kan orang tuanya kaya...," sambung Karin lagi. 

Ia sepertinya mulai ngawur bicaranya, asalkan bisa meledek Alena. Ia tertawa cekikikan. Alena mencubit lengannya.

"Nggak kayak gitu, Rin... Alva sendiri aja nggak mau hidup tergantung sama orang tuanya terus. Dia mau mandiri...," Alena menanggapi, mencoba meluruskan pemikiran Karin.

"Iya, iya... Canda kok..." Karin akhirnya menyerah. "Aku tau kamu bukan cewek kayak gitu. Kamu suka Alva bukan karena dia kaya... Tapi, kayaknya nikah muda itu enak ya, Len... Jadi pas anak kita udah gede, kita juga masih muda...," mendadak Karin mulai berceloteh lagi. 

Alena hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.


*

Hasil ujian akhir nasional diumumkan sebulan kemudian. Alena dan Alva sama-sama lulus dengan nilai yang memuaskan. Nilai Alena lebih tinggi daripada Alva, tapi Alena tahu, itu karena Alva dari dulu memang tidak suka menghafal teori. Alva sudah terbiasa sejak kecil dengan sistem belajar di Jerman, yang lebih mementingkan praktek dan pemahaman materi. Alva selama ini berusaha mendapatkan nilai bagus hanya untuk memudahkan syarat melanjutkan ke Studienkolleg.

Setelah mendapatkan hasil ujian akhir nasional dan ijazah kelulusan SMA, mereka mulai melengkapi semua dokumen yang disyaratkan, untuk pendaftaran ke Studienkolleg. Kebetulan pendaftaran Studienkolleg untuk Winter Semester di Jerman sudah dibuka, ujian masuknya sekitar bulan Agustus.

Alena dan Alva mendaftar ke beberapa Studienkolleg, termasuk yang swasta, bahkan yang berada di luar kota Berlin. Pilihan pertama mereka adalah Studienkolleg FU Berlin, yang merupakan Studienkolleg milik pemerintah di kota Berlin. Namun saingannya juga sangat ketat.

Alena hanya bisa terus berdoa dan berharap, mereka bisa diterima di semester yang sama. Jika tidak, salah satu dari mereka harus mengulang pendaftaran enam bulan lagi. Bagaimana jika Alena yang gagal? Artinya, ia harus berpisah dengan Alva selama enam bulan. Ah, lebih baik berpikir yang positif, Alena membatin.


*

Kegiatan sekolah sudah berakhir, mereka menjalani wisuda seminggu setelah hasil ujian akhir nasional diumumkan. Tante Clara dan Om Hanz tidak bisa pulang ke Indonesia, sehingga Opa dan Oma Alva yang mendampingi Alva saat wisuda. Alena teringat ketika wisuda, ia dan Karin berpelukan erat lama sekali. Mereka berdua menangis penuh haru. Mereka telah bersahabat selama tiga tahun di SMA dan asrama. Tapi selalu ada pertemuan dan perpisahan. Karin selamanya akan menjadi sahabat Alena, sahabat yang berbagi suka dan duka bersamanya.

Setelah tidak ada kegiatan di sekolah lagi, Alena dan Alva harus berpisah untuk sesaat, sambil menunggu berita dari Studienkolleg di Jerman. Alva pulang kembali ke rumah Opa dan Oma di Magelang, sedangkan Alena di Jogja. Tapi Alva sepertinya tidak bisa menahan kerinduannya pada Alena. Hampir setiap hari ia datang berkunjung ke rumah Alena, dengan mengendarai motornya, menempuh jarak dari Magelang ke Jogja.

"Kamu nggak capek tiap hari bolak-balik dari Magelang ke Jogja?" tanya Alena, ketika Alva untuk kesekian kalinya datang ke rumahnya, walaupun sebenarnya Alena merasa senang, karena bisa bertemu Alva setiap hari. "Aku nggak mau kamu kecapean, Alva..."

"Cuma dekat kok... Aku lewat jalan pintas, cuma empat puluh lima menit," sahut Alva dengan santai.

Alena tersenyum mendengar Alva menyebut jarak rumah mereka dekat. Di hari Senin sampai Jumat, Papa dan Mama baru pulang ke rumah sekitar jam empat sore, jadi mereka hanya berdua di rumah Alena pagi ini. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu berdua di ruang tamu, menonton film dari DVD player, mendengarkan musik, atau menonton video di YouTube, semuanya dalam bahasa Jerman. Tapi hari ini, Alva mengajak Alena berkeliling ke daerah Kaliurang.

"Biar nggak bosan di rumah aja...," cetus Alva. 

Alena setuju. Mereka pun berboncengan menuju ke Utara. Alena yang lebih tahu daerah situ, ia yang menunjukkan jalan. Mereka mampir di Museum Ullen Sentalu. Museum ini berisi aneka koleksi karya seni dan budaya Jawa, juga kisah mengenai sejarah peradaban Kerajaan Mataram. Ada seorang pemandu yang menemani mereka berkeliling, dan menjelaskan segala hal yang perlu mereka ketahui tentang isi museum tersebut.

Setelah kurang lebih dua jam berada di Museum Ullen Sentalu, mereka melanjutkan perjalanan ke Tlogo Putri. Alena selalu menyukai suasana pegunungan yang sejuk. Mereka berjalan-jalan menikmati pemandangan hijau nan asri, dan menghirup udara pegunungan yang segar. Alva juga membawa kameranya untuk menambah koleksi fotonya. Setelah puas berkeliling, mereka duduk-duduk di dekat air terjun Tlogo Muncar, yang berada di dalam area tersebut.

Alva tampak santai dan ceria. Alena senang karena Alva sudah menunjukkan begitu banyak perubahan, dibandingkan pertama kali ia mengenal Alva. Senyum dan canda Alva ketika mereka bersama adalah hal yang selalu dirindukannya.

"Kamu lihatin aku terus dari tadi..." Alva ternyata menyadari kalau Alena sering menatapnya.

Alena tertawa kecil. "Nggak apa-apa kan, kalau aku lihatin kamu. Salah sendiri kamu cakep...," Alena sengaja menggodanya.

"Harusnya aku yang ngomong begitu," respon Alva sambil memandang Alena dengan lembut.

Alena tersipu. Alva mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Alena.

"Di Berlin nanti, mungkin ada waktunya kita nggak bisa selalu bersama, nggak kayak kita di sekolah. Entah karena kita sibuk sama kuliah kita masing-masing, atau karena kita tinggal terpisah...," Alva mendadak berbicara dengan wajah serius. "Tapi kapan pun kamu butuh aku, bilang aja... Hidup di Berlin mungkin jauh lebih keras, orang-orangnya juga nggak seramah di Jogja. Kamu harus lebih kuat... Aku juga mau kamu tahu, hanya karena kita nggak bersama secara fisik, bukan berarti aku nggak mikirin kamu. Kamu selalu yang paling penting buat aku..."

"Alva..." Alena tidak bisa menyembunyikan rasa harunya mendengar kata-kata Alva. "Aku tahu kok... Aku harus belajar jadi lebih mandiri. Kamu nggak usah kuatir..."

"Aku mau kita saling jaga kepercayaan juga. Kamu pasti bakal ketemu banyak teman baru, dari berbagai negara. Yah.., kamu tahu sendiri, cowok-cowok di luar sana jauh lebih agresif. Lihat aja bule yang gangguin kamu di kolam renang, waktu di Bandung... Aku sebenarnya nggak tenang, karena kamu pasti banyak penggemar...," Alva berkata sambil tersenyum jenaka. 

"Tapi aku percaya sama kamu. Kita saling jaga kesetiaan. Kamu juga harus percaya sama aku, karena aku nggak akan pernah nyakiti kamu...," Alva mengakhiri sambil menatap Alena dengan penuh arti.

Alena sesaat kehilangan kata-kata. Alva memang selalu berpikiran dewasa dan bijak. Dan itu membuat Alena semakin menyayanginya.

"Iya, Alva... Aku percaya sama kamu... Kamu juga pasti banyak penggemar," balas Alena sambil tertawa. "Makanya kita saling setia dan saling percaya. Aku nggak peduli sama yang lainnya, di hati aku cuma ada satu Alva..." Alena menggenggam liontin pemberian Alva dengan tangan satunya lagi.

Alva tersenyum memandangnya, matanya bersinar. Genggaman tangannya semakin erat.

"Dan kunci hatiku cuma kamu yang pegang...," ucap Alva. Mereka saling berpandangan dan tersenyum bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status