Share

8. Pondok Kayu

Hari Minggu pagi, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Tante Jenna dengan menaiki sepedanya. Sepeda memang alat transportasi yang sangat umum di Berlin. Selain ramah lingkungan, jalur sepeda juga dibuat khusus, sehingga bersepeda sangatlah aman dan nyaman di kota ini.

Alva mengajak Alena untuk berziarah ke makam Papanya. Alena meminjam sepeda Tante Jenna, lalu mereka berdua bersepeda dengan santai menyusuri jalan. Mereka masing-masing menyandang ransel, berisi perlengkapan pakaian hangat. Seperti kata Alva, cuaca menjelang musim dingin seperti sekarang ini tak bisa diprediksi, lebih baik berjaga-jaga. Pagi ini suhunya tidak terlalu dingin, sehingga mereka tidak memakai mantel, hanya jaket yang agak tebal.

Hampir sebulan sekali, Alva mengajak Alena berziarah ke makam Papanya, ini sudah ketiga kalinya bagi Alena. Pemakaman itu terletak di perbatasan kota, sekitar tiga puluh menit naik sepeda. Jalan yang tidak ramai dan cuaca yang sejuk membuat perjalanan bersepeda terasa menyenangkan. 

Pemakaman itu tidak luas, hanya berisi sekitar 50 sampai 60 makam, tapi terawat dengan baik. Di sekitar pemakaman, tak ada pemukiman penduduk, hanya dataran luas, dengan pepohonan dan rumput sejauh mata memandang. 

Mereka berdiri di depan sebuah makam batu berwarna hitam. Tulisan di atas nisannya 'Josef Alberick Hoffman', nama Papanya Alva. Alva pernah memperlihatkan foto sang ayah kepada Alena, dan Alva memang sangat mirip Papanya, tinggi, gagah, dan tampan. Kecuali rambut Alva yang hitam tebal, yang diturunkan dari Tante Clara.

Tiap kali berkunjung ke makam Papanya Alva, mereka berdua akan membersihkan makam dari rumput liar, berdoa bersama, lalu Alva akan berdiam diri di depan makam selama beberapa saat. Alena merasa, Alva mungkin sedang berbicara atau bercerita dengan sang ayah. Alena berdiam diri, membiarkan suasana tetap tenang bagi Alva. Tapi Alva tidak terlihat sedih lagi, ia sudah jauh lebih dewasa dan tenang sekarang. Alena bersyukur bahwa Alva akhirnya bisa mengikhlaskan kepergian sang ayah. 

Sepertinya belum satu jam berada di sana, mendadak cuaca berubah dengan drastis. Awan tebal nan gelap mulai menutupi langit, angin berhembus kencang. Udara yang tadinya sejuk mulai menjadi dingin. Alva cepat-cepat mengajak Alena mengambil sepeda, dan mencari tempat berteduh, ia sepertinya lebih tahu bahwa hujan akan segera turun.

Mereka menaiki sepeda, berusaha mencapai rumah atau toko terdekat. Tapi hujan seolah mengejar dengan cepat, dan turun dengan derasnya. Alena bisa merasakan air yang menerpa tubuhnya, rasa dingin menembus sampai ke dalam pakaiannya, walaupun ia sudah memakai jaket tebal. Angin berhembus sangat kencang, membuat gerakan sepeda tidak stabil. 

Alva melihat sebuah pondok kayu kecil tidak jauh dari situ, ia memberi isyarat supaya mereka berteduh di situ. Mereka berhenti di depan pondok, tidak tampak siapa-siapa. Alva turun dari sepeda dan membuka pintu, lalu mengajak Alena masuk ke dalam pondok. Sepeda mereka diletakkan di teras, dirantai pada sebatang kayu yang terdapat di dinding pondok. 

Pondok itu hanya berupa satu ruangan, tapi terdapat semacam tungku perapian di tengah-tengahnya. Mungkin pondok itu milik penduduk lokal di sekitar situ, atau milik penjaga makam. 

Alva berlutut memeriksa perapian, ada beberapa potong kayu di dalamnya. Alva mengeluarkan korek api gas dari ranselnya, menyalakan api pada kayu. Sekejap tubuh mereka yang basah kuyub dan kedinginan menjadi lebih hangat.

Alva menatap Alena. "Kamu jadi basah kuyub ya..."

"Kamu juga...," kata Alena, tapi ia masih menggigil. Alena duduk dekat perapian sambil memeluk kakinya, berusaha menghangatkan diri. Ia belum pernah merasakan cuaca seperti ini di Jogja. Bahkan Dieng pun masih kalah dingin. Alva pasti melihat bahwa ia menggigil kedinginan. 

"Kamu bawa pakaian hangat kan? Kita harus ganti baju, biar nggak kedinginan…," saran Alva, sambil mengeluarkan pakaian hangat dan mantel dari dalam ranselnya. Untunglah ransel mereka terbuat dari bahan kedap air. 

Alena menatap Alva dengan gugup. "Ganti baju? Di sini?" Tapi di situ hanya ada satu ruangan untuk mereka berdua.

Alva menangkap keraguan Alena. Ia tersenyum. "Kamu takut sama aku?"

Alena tidak tahu harus menjawab apa. Giginya masih gemeletukan karena kedinginan.

"Gantilah baju kamu, Sayang... Aku janji nggak bakal ngintip...," ujar Alva, ia masih tersenyum. Lalu ia berbalik, duduk menghadap perapian, punggungnya menghadap Alena.

Alena sejenak bimbang. Pakaiannya memang basah kuyub, dan ia sudah sangat kedinginan. Tapi ia juga merasa malu, jika harus berganti pakaian di ruangan yang sama dengan Alva. Bukankah Alva selama ini selalu sopan dan menghargainya? Alva tidak mungkin melakukan yang macam-macam, Alena membatin. 

Akhirnya Alena mengambil pakaian hangat di dalam ranselnya, ia mundur ke dekat dinding pondok, lalu mulai mengganti pakaiannya yang basah. Ia melirik Alva. Alva tidak menoleh sama sekali, matanya hanya menatap perapian.

Alena berganti pakaian dengan sweater warna merah, dan celana panjang wol warna abu-abu gelap. Ia juga memakai mantel kesukaannya pemberian Alva.

"Aku udah selesai...," Alena memberitahu, ia mengambil tempat duduk di samping Alva. "Kamu juga harus ganti baju...," sambungnya sambil memandang Alva.

Alva membalas tatapannya sambil tersenyum. "Kamu boleh ngintip aku kalau mau..." Sifat usil Alva muncul lagi.

"Alva...!" omel Alena. Ia memalingkan wajahnya yang memerah, dan pura-pura memandangi perapian.

Alva berdiri dan berganti pakaian di belakangnya. Alena merasa jantungnya berdebar-debar, padahal ia tidak melihat apa-apa. Hanya saja, membayangkan Alva sedang berganti pakaian begitu dekat dengannya membuatnya gugup.

Setelah selesai, Alva duduk di sebelah Alena, tangannya merangkul bahu Alena. "Masih kedinginan?" tanyanya dengan lembut. Alva juga berganti pakaian dengan sweater tebal dan mantel.

"Udah lebih hangat..."

"Kita tunggu sampai hujan reda ya..."

Mereka duduk bersandar pada dinding pondok. Alva menarik Alena dengan lembut ke dalam pelukannya, sehingga Alena bersandar di bahunya. Walaupun jantungnya berdebar-debar, tapi Alena tidak bisa menolak. Berada di dalam pelukan Alva sangat hangat, dan ia membutuhkannya saat ini. Mereka berpelukan begitu dekat.

"Maaf ya, harusnya aku nggak ngajak kamu pergi jauh-jauh di cuaca sekarang ini... Apalagi kamu belum terbiasa sama cuaca dingin," ucap Alva dengan suara lembut. Alena bisa merasakan hembusan nafas Alva yang hangat di dekat keningnya.

"Nggak, Alva... Bukan salah kamu kok...," Alena langsung menyanggah. Ia memegang pipi Alva dengan tangannya. Wajah Alva terlihat begitu menawan diterangi nyala api keemasan dari perapian.

"Ternyata begini ya, hujan musim dingin di Berlin... Tapi seperti lagu When I See You Smile..., and when the rain is falling..., I don't feel it…, 'cause you're here with me now...," Alena menyanyikan lagu yang pernah dimainkan Alva dengan biola untuknya di rooftop, saat perayaan setahun mereka menjalin kasih. Suaranya terdengar bergema merdu di dalam pondok kayu itu.

Mata Alva berbinar. Ia menatap Alena dengan mesra. "Suara kamu bagus, Sayang...," suara Alva memelan.

Ia menundukkan wajahnya dan mencium bibir Alena dengan lembut. Alena membalas ciumannya. Semuanya terasa begitu indah di sini, hanya ada mereka berdua di dalam pondok kayu ini, diterangi nyala api yang hangat dari perapian.

Alva terus menciumi bibir Alena dengan lembut, lalu bibir Alva turun ke kulit lehernya, mengecup dan membelai permukaan kulit Alena yang halus. 

Alena merintih pelan. "Mmm... Alva..." Tangan Alena membelai rambut Alva. Pelukan Alva terasa semakin erat. Mereka berdua sedang terbuai hasrat muda mereka. Alena merasa jantungnya berdetak tak karuan. Ia tahu mereka tidak boleh jatuh dalam godaan, tapi ia juga tidak sanggup menolak kenikmatan yang diberikan bibir Alva. Ia memejamkan matanya.

Alva menghentikan ciumannya secara mendadak, ia mengangkat wajahnya. Alena membuka matanya dan menatap Alva. Nafas mereka masih saling memburu. Alva mengejap-ngejapkan matanya, seolah ingin menyadarkan dirinya sendiri. Ia menatap Alena dengan mata yang berbinar liar. Lalu ia membelai wajah Alena.

"Kalau aku teruskan, aku takut nggak bisa berhenti...," Alva setengah berbisik. Ia mendekap Alena dengan kedua tangannya.

"Maaf Sayang... Aku nggak mau nyakiti kamu..."

Perkataan Alva sangat jelas, ia telah menang melawan hasratnya. Alena merasa ia semakin menyayangi dan mengagumi Alva. Alena membelai pipi Alva dengan lembut.

"Aku tahu... Nggak usah minta maaf, Alva..."


*

Tahun berganti. Di tahun baru ini, Alena dan Alva merayakan tahun kedua mereka menjalin kasih. Anniversary mereka pada tanggal 17 Januari dirayakan dengan cara sederhana. Alena teringat mereka berjalan-jalan ke taman umum yang menjadi favorit mereka, tidak jauh dari rumah Tante Jenna. Waktu itu masih akhir musim dingin, taman tertutupi salju tipis. Lalu mereka berdua berpelukan dan berciuman di dekat danau.


Alva memberikan Alena sehelai syal tebal dari wol berwarna coklat tua, syal itu begitu bagus bahannya dan hangat. Alva berkata, dia ingin Alena selalu merasa aman dan hangat, seolah Alva sedang memeluknya. Alena tersenyum sendiri, jika mengingat perumpamaan yang dikatakan Alva itu. Kekasihnya itu memang selalu romantis. 


Di bulan Februari, Alva mengikuti ujian akhir Studienkolleg atau FSP. Seperti yang sudah diyakini Alena, Alva lulus dengan baik. Kini ia bisa mendaftar ke Fakultas Musik Universitat der Kunste, Jurusan Komposisi Musik, seperti impiannya. Jurusan yang sama dengan sang ayah, yang kebetulan juga merupakan mantan dosen di fakultas tersebut, sebelum meninggal.

Tidak butuh waktu lama bagi Alva untuk diterima. Ia akan memulai kuliahnya di awal bulan Maret. Pada saat itu, Alena juga akan memulai semester kedua Studienkolleg. Alva masih mengikuti kursus fotografi, tapi ia mengambil jadwal kelas yang lebih fleksibel, supaya tak mengganggu jadwal kuliahnya.


Keberhasilan Alva masuk ke Universitat der Kunste dirayakan dengan sederhana di rumah Alva. Tante Jenna ikut datang, membuatkan kue tart Triple Chocolate kesukaan Alva. Tante Clara terlihat sangat terharu, mungkin ia teringat almarhum Papanya Alva, yang kini jejaknya diteruskan oleh sang putra. Om Hanz juga kelihatan gembira, ia terlihat tulus menyayangi Alva. Dalam hati, Alena berdoa, semoga ia juga bisa masuk ke universitas yang sama dengan Alva.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status