Hari Minggu pagi, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Tante Jenna dengan menaiki sepedanya. Sepeda memang alat transportasi yang sangat umum di Berlin. Selain ramah lingkungan, jalur sepeda juga dibuat khusus, sehingga bersepeda sangatlah aman dan nyaman di kota ini.
Alva mengajak Alena untuk berziarah ke makam Papanya. Alena meminjam sepeda Tante Jenna, lalu mereka berdua bersepeda dengan santai menyusuri jalan. Mereka masing-masing menyandang ransel, berisi perlengkapan pakaian hangat. Seperti kata Alva, cuaca menjelang musim dingin seperti sekarang ini tak bisa diprediksi, lebih baik berjaga-jaga. Pagi ini suhunya tidak terlalu dingin, sehingga mereka tidak memakai mantel, hanya jaket yang agak tebal.Hampir sebulan sekali, Alva mengajak Alena berziarah ke makam Papanya, ini sudah ketiga kalinya bagi Alena. Pemakaman itu terletak di perbatasan kota, sekitar tiga puluh menit naik sepeda. Jalan yang tidak ramai dan cuaca yang sejuk membuat perjalanan bersepeda terasa menyenangkan. Pemakaman itu tidak luas, hanya berisi sekitar 50 sampai 60 makam, tapi terawat dengan baik. Di sekitar pemakaman, tak ada pemukiman penduduk, hanya dataran luas, dengan pepohonan dan rumput sejauh mata memandang. Mereka berdiri di depan sebuah makam batu berwarna hitam. Tulisan di atas nisannya 'Josef Alberick Hoffman', nama Papanya Alva. Alva pernah memperlihatkan foto sang ayah kepada Alena, dan Alva memang sangat mirip Papanya, tinggi, gagah, dan tampan. Kecuali rambut Alva yang hitam tebal, yang diturunkan dari Tante Clara.Tiap kali berkunjung ke makam Papanya Alva, mereka berdua akan membersihkan makam dari rumput liar, berdoa bersama, lalu Alva akan berdiam diri di depan makam selama beberapa saat. Alena merasa, Alva mungkin sedang berbicara atau bercerita dengan sang ayah. Alena berdiam diri, membiarkan suasana tetap tenang bagi Alva. Tapi Alva tidak terlihat sedih lagi, ia sudah jauh lebih dewasa dan tenang sekarang. Alena bersyukur bahwa Alva akhirnya bisa mengikhlaskan kepergian sang ayah. Sepertinya belum satu jam berada di sana, mendadak cuaca berubah dengan drastis. Awan tebal nan gelap mulai menutupi langit, angin berhembus kencang. Udara yang tadinya sejuk mulai menjadi dingin. Alva cepat-cepat mengajak Alena mengambil sepeda, dan mencari tempat berteduh, ia sepertinya lebih tahu bahwa hujan akan segera turun.Mereka menaiki sepeda, berusaha mencapai rumah atau toko terdekat. Tapi hujan seolah mengejar dengan cepat, dan turun dengan derasnya. Alena bisa merasakan air yang menerpa tubuhnya, rasa dingin menembus sampai ke dalam pakaiannya, walaupun ia sudah memakai jaket tebal. Angin berhembus sangat kencang, membuat gerakan sepeda tidak stabil.
Alva melihat sebuah pondok kayu kecil tidak jauh dari situ, ia memberi isyarat supaya mereka berteduh di situ. Mereka berhenti di depan pondok, tidak tampak siapa-siapa. Alva turun dari sepeda dan membuka pintu, lalu mengajak Alena masuk ke dalam pondok. Sepeda mereka diletakkan di teras, dirantai pada sebatang kayu yang terdapat di dinding pondok. Pondok itu hanya berupa satu ruangan, tapi terdapat semacam tungku perapian di tengah-tengahnya. Mungkin pondok itu milik penduduk lokal di sekitar situ, atau milik penjaga makam. Alva berlutut memeriksa perapian, ada beberapa potong kayu di dalamnya. Alva mengeluarkan korek api gas dari ranselnya, menyalakan api pada kayu. Sekejap tubuh mereka yang basah kuyub dan kedinginan menjadi lebih hangat.Alva menatap Alena. "Kamu jadi basah kuyub ya...""Kamu juga...," kata Alena, tapi ia masih menggigil. Alena duduk dekat perapian sambil memeluk kakinya, berusaha menghangatkan diri. Ia belum pernah merasakan cuaca seperti ini di Jogja. Bahkan Dieng pun masih kalah dingin. Alva pasti melihat bahwa ia menggigil kedinginan. "Kamu bawa pakaian hangat kan? Kita harus ganti baju, biar nggak kedinginan…," saran Alva, sambil mengeluarkan pakaian hangat dan mantel dari dalam ranselnya. Untunglah ransel mereka terbuat dari bahan kedap air. Alena menatap Alva dengan gugup. "Ganti baju? Di sini?" Tapi di situ hanya ada satu ruangan untuk mereka berdua.Alva menangkap keraguan Alena. Ia tersenyum. "Kamu takut sama aku?"Alena tidak tahu harus menjawab apa. Giginya masih gemeletukan karena kedinginan."Gantilah baju kamu, Sayang... Aku janji nggak bakal ngintip...," ujar Alva, ia masih tersenyum. Lalu ia berbalik, duduk menghadap perapian, punggungnya menghadap Alena.Alena sejenak bimbang. Pakaiannya memang basah kuyub, dan ia sudah sangat kedinginan. Tapi ia juga merasa malu, jika harus berganti pakaian di ruangan yang sama dengan Alva. Bukankah Alva selama ini selalu sopan dan menghargainya? Alva tidak mungkin melakukan yang macam-macam, Alena membatin. Akhirnya Alena mengambil pakaian hangat di dalam ranselnya, ia mundur ke dekat dinding pondok, lalu mulai mengganti pakaiannya yang basah. Ia melirik Alva. Alva tidak menoleh sama sekali, matanya hanya menatap perapian.Alena berganti pakaian dengan sweater warna merah, dan celana panjang wol warna abu-abu gelap. Ia juga memakai mantel kesukaannya pemberian Alva."Aku udah selesai...," Alena memberitahu, ia mengambil tempat duduk di samping Alva. "Kamu juga harus ganti baju...," sambungnya sambil memandang Alva.Alva membalas tatapannya sambil tersenyum. "Kamu boleh ngintip aku kalau mau..." Sifat usil Alva muncul lagi."Alva...!" omel Alena. Ia memalingkan wajahnya yang memerah, dan pura-pura memandangi perapian.Alva berdiri dan berganti pakaian di belakangnya. Alena merasa jantungnya berdebar-debar, padahal ia tidak melihat apa-apa. Hanya saja, membayangkan Alva sedang berganti pakaian begitu dekat dengannya membuatnya gugup.Setelah selesai, Alva duduk di sebelah Alena, tangannya merangkul bahu Alena. "Masih kedinginan?" tanyanya dengan lembut. Alva juga berganti pakaian dengan sweater tebal dan mantel."Udah lebih hangat...""Kita tunggu sampai hujan reda ya..."Mereka duduk bersandar pada dinding pondok. Alva menarik Alena dengan lembut ke dalam pelukannya, sehingga Alena bersandar di bahunya. Walaupun jantungnya berdebar-debar, tapi Alena tidak bisa menolak. Berada di dalam pelukan Alva sangat hangat, dan ia membutuhkannya saat ini. Mereka berpelukan begitu dekat."Maaf ya, harusnya aku nggak ngajak kamu pergi jauh-jauh di cuaca sekarang ini... Apalagi kamu belum terbiasa sama cuaca dingin," ucap Alva dengan suara lembut. Alena bisa merasakan hembusan nafas Alva yang hangat di dekat keningnya."Nggak, Alva... Bukan salah kamu kok...," Alena langsung menyanggah. Ia memegang pipi Alva dengan tangannya. Wajah Alva terlihat begitu menawan diterangi nyala api keemasan dari perapian."Ternyata begini ya, hujan musim dingin di Berlin... Tapi seperti lagu When I See You Smile..., and when the rain is falling..., I don't feel it…, 'cause you're here with me now...," Alena menyanyikan lagu yang pernah dimainkan Alva dengan biola untuknya di rooftop, saat perayaan setahun mereka menjalin kasih. Suaranya terdengar bergema merdu di dalam pondok kayu itu.Mata Alva berbinar. Ia menatap Alena dengan mesra. "Suara kamu bagus, Sayang...," suara Alva memelan.Ia menundukkan wajahnya dan mencium bibir Alena dengan lembut. Alena membalas ciumannya. Semuanya terasa begitu indah di sini, hanya ada mereka berdua di dalam pondok kayu ini, diterangi nyala api yang hangat dari perapian.
Alva terus menciumi bibir Alena dengan lembut, lalu bibir Alva turun ke kulit lehernya, mengecup dan membelai permukaan kulit Alena yang halus.
Alena merintih pelan. "Mmm... Alva..." Tangan Alena membelai rambut Alva. Pelukan Alva terasa semakin erat. Mereka berdua sedang terbuai hasrat muda mereka. Alena merasa jantungnya berdetak tak karuan. Ia tahu mereka tidak boleh jatuh dalam godaan, tapi ia juga tidak sanggup menolak kenikmatan yang diberikan bibir Alva. Ia memejamkan matanya.Alva menghentikan ciumannya secara mendadak, ia mengangkat wajahnya. Alena membuka matanya dan menatap Alva. Nafas mereka masih saling memburu. Alva mengejap-ngejapkan matanya, seolah ingin menyadarkan dirinya sendiri. Ia menatap Alena dengan mata yang berbinar liar. Lalu ia membelai wajah Alena."Kalau aku teruskan, aku takut nggak bisa berhenti...," Alva setengah berbisik. Ia mendekap Alena dengan kedua tangannya."Maaf Sayang... Aku nggak mau nyakiti kamu..."Perkataan Alva sangat jelas, ia telah menang melawan hasratnya. Alena merasa ia semakin menyayangi dan mengagumi Alva. Alena membelai pipi Alva dengan lembut."Aku tahu... Nggak usah minta maaf, Alva..."*
Tahun berganti. Di tahun baru ini, Alena dan Alva merayakan tahun kedua mereka menjalin kasih. Anniversary mereka pada tanggal 17 Januari dirayakan dengan cara sederhana. Alena teringat mereka berjalan-jalan ke taman umum yang menjadi favorit mereka, tidak jauh dari rumah Tante Jenna. Waktu itu masih akhir musim dingin, taman tertutupi salju tipis. Lalu mereka berdua berpelukan dan berciuman di dekat danau.
Alva memberikan Alena sehelai syal tebal dari wol berwarna coklat tua, syal itu begitu bagus bahannya dan hangat. Alva berkata, dia ingin Alena selalu merasa aman dan hangat, seolah Alva sedang memeluknya. Alena tersenyum sendiri, jika mengingat perumpamaan yang dikatakan Alva itu. Kekasihnya itu memang selalu romantis.
Di bulan Februari, Alva mengikuti ujian akhir Studienkolleg atau FSP. Seperti yang sudah diyakini Alena, Alva lulus dengan baik. Kini ia bisa mendaftar ke Fakultas Musik Universitat der Kunste, Jurusan Komposisi Musik, seperti impiannya. Jurusan yang sama dengan sang ayah, yang kebetulan juga merupakan mantan dosen di fakultas tersebut, sebelum meninggal.
Tidak butuh waktu lama bagi Alva untuk diterima. Ia akan memulai kuliahnya di awal bulan Maret. Pada saat itu, Alena juga akan memulai semester kedua Studienkolleg. Alva masih mengikuti kursus fotografi, tapi ia mengambil jadwal kelas yang lebih fleksibel, supaya tak mengganggu jadwal kuliahnya.Keberhasilan Alva masuk ke Universitat der Kunste dirayakan dengan sederhana di rumah Alva. Tante Jenna ikut datang, membuatkan kue tart Triple Chocolate kesukaan Alva. Tante Clara terlihat sangat terharu, mungkin ia teringat almarhum Papanya Alva, yang kini jejaknya diteruskan oleh sang putra. Om Hanz juga kelihatan gembira, ia terlihat tulus menyayangi Alva. Dalam hati, Alena berdoa, semoga ia juga bisa masuk ke universitas yang sama dengan Alva.
Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara.Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang t
Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus."Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri."Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan. Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat
Di hari pertama kuliah ini, cuma ada tiga mata kuliah. Setelah semua kelas berakhir, Alena dan Jill pergi ke perpustakaan untuk mencari materi.Jill seorang gadis bertubuh kurus tinggi, berambut pirang sebahu, dan bermata hijau. Orangnya selalu bicara blak-blakan, tapi bagi Alena, ia teman yang enak diajak diskusi. Mereka juga punya beberapa kesamaan, seperti senang belajar di perpustakaan. Mereka duduk di salah satu sudut bagian dalam perpustakaan, dekat jendela. Di sini, suasana lebih sepi, karena agak tersembunyi."Tadi yang duduk di samping kamu siapa sih?" Jill tiba-tiba bertanya."Itu Paula, dari Jurusan Akting. Dulu kami satu kelas, waktu di Studienkolleg," jawab Alena."Oh… Orangnya agak berisik ya...," keluh Jill terang-terangan.Alena tersenyum kecut, ternyata bukan hanya dia yang terganggu. Mereka masih terus membaca, sampai akhirnya Jill berkata, dia harus pulang lebih dulu. Alena sudah ada janji bertemu Alva
Di kampus, Alena berusaha tidak mempedulikan gangguan kecil seperti Luis dan Paula. Luis hanya mengajar di kelas Seni Akting sekali lagi, selanjutnya diteruskan oleh dosen yang seharusnya, Professor Moretti.Alena dan Jill juga sudah sepakat, setiap kali kelas Seni Akting, mereka akan menunggu agak jauh di luar kelas, sampai Paula masuk lebih dulu. Kemudian sesaat sebelum dosen masuk, barulah mereka berdua masuk ke ruangan kelas, sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang jauh dari Paula. Rencana mereka berhasil sejauh ini. Alena dan Jill tertawa berdua, mereka merasa seperti partner in crime dalam hal menjauhi Paula.Hari ini, kelas Seni Akting mengadakan kunjungan ke International Acting Academy, sebuah akademi yang mengkhususkan diri melatih akting para mahasiswanya, untuk mempersiapkan mereka menjadi aktor atau aktris. Kelas mereka akan mengikuti kuliah langsung dari para pengajar di akademi itu. Pihak kampus telah menyediakan dua buah bus besar untuk kelas m
Hari berikutnya adalah hari casting untuk drama musikal. Casting baru dimulai jam sebelas siang, setelah semua jadwal kuliah berakhir, karena casting akan memakan waktu cukup panjang. Ada sekitar lima puluh tiga orang mahasiswa dari dua jurusan, Teater dan Akting.Casting diadakan di ruangan kelas yang lebih kecil, yang biasanya disebut ruang latihan, karena ruangan ini memang digunakan untuk latihan akting oleh para mahasiswa dari angkatan yang lebih senior. Ada lebih dari sepuluh ruang latihan di gedung Fakultas Seni Pertunjukan. Semua ruang didesain sama, dengan dipasangi cermin memanjang di ketiga sisinya. Gunanya supaya para pemain bisa melihat gerakan dan akting mereka sendiri. Di luar ruang latihan, ada ruang ganti pakaian untuk pria dan wanita, serta ruang yang berisi loker untuk menyimpan barang-barang.Alena dan teman-temannya menanti giliran dipanggil di lorong panjang, di luar ruang latihan. Alena sudah pernah menjalani seleksi untuk drama
Setelah berganti pakaian, Alena berjalan keluar dari gedung fakultasnya. Alva mengirim chat, bahwa ia menunggu di bangku taman, dekat pintu masuk fakultasnya. Alena melihat Alva sedang duduk sendiri, sambil mendengarkan sesuatu dari ponselnya, headset terpasang di telinganya. Ia tampak serius.Mendadak, Alena merasa sangat merindukan Alva. Kejadian hari ini membuat pikirannya agak kacau. Rasanya ada yang harus dikatakannya secara terus terang pada Alva.Alva langsung berdiri menyambut Alena begitu melihatnya."Pasti udah lama banget ya kamu nunggunya...," sapa Alena, saat mereka sudah berdiri berhadapan.Alva merangkul pinggang Alena dan mengecup keningnya. "Nggak apa-apa, Sayang... Gimana casting-nya?" tanya Alva dengan suara lembut."Hasilnya baru diumumkan besok...," Alena menjawab singkat. "Kita cari tempat buat ngobrol yuk..."Alva memandangnya. Sepertinya Alva sudah mengerti, bahwa ada hal serius yan
Hari Rabu, hasil casting diumumkan oleh Professor Moretti di kelas. Ternyata kelas mereka akan dipisah menjadi dua kelompok, sesuai jurusan. Jurusan Teater dengan pemain mereka masing-masing, begitu pula dengan Jurusan Akting. Mungkin ini karena standard penilaian yang digunakan berbeda antara kedua jurusan.Dari Jurusan Akting, pemeran utama yang terpilih adalah Paula sebagai Putri Odette, dan Henry sebagai Pangeran Siegfried. Sedangkan dari Jurusan Teater, Alena yang akan menjadi Putri Odette, didampingi oleh Matteo sebagai sang pangeran.Matteo adalah seorang pemuda dari Italia. Alena sudah mengenalnya karena mereka sekelas, dan menurut Alena, dia cowok yang baik dan ramah. Matteo langsung menghampiri Alena begitu kelas usai. Ia berkata, ia senang karena akan berpasangan dengan Alena. Mereka semua akan memulai latihan di siang hari, setelah kuliah berakhir."Aku masih nggak percaya Paula bisa jadi Odette... Pasti itu gara-gara dia ngerayu Herr
Mereka berangkat hari Rabu pagi dengan pesawat. Penerbangan ke Nice memakan waktu dua jam lebih. Sampai di bandara, mereka lanjut menaiki trem, sejenis kereta listrik yang berjalan di jalur rel di atas jalan raya. Suasana di kota Nice cukup ramai.Nice adalah kota di pinggir Pantai Mediterania, sudah pasti pemandangannya sangat indah. Tante Jenna memang benar, cuaca di Nice tidak sedingin di Berlin saat musim dingin. Matahari masih bersinar dengan hangatnya. Rasanya seperti musim gugur di Berlin. Alena tak perlu memakai mantel musim dingin, cukup sweater dan syal untuk menjaga tubuhnya tetap hangat.Alma sudah berusia tiga tahun sekarang, ia makin lincah, dan rasa ingin tahunya sangat besar. Ia duduk dekat Alena dan Alva, terus-menerus berceloteh sepanjang jalan, bertanya dan berkomentar tentang apa pun yang dilihatnya. Alva dengan sabar meladeninya.Mereka tiba di depan sebuah rumah bergaya Italia. Dahulu, Nice memang termasuk daerah Ita