Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang
Tidak ada yang tahu pasti siapa psikopat yang membuat aturan OSPEK harus kejam dan menyedihkan. Anggiana Praba mungkin menjadi salah satu korban kekejaman aturan ini. Gia, begitu dia biasa dipanggil, sedang sibuk merapikan rambut panjangnya yang baru saja selesai dikuncir dua. Dia bergegas menggunakan flat shoes warna hitam dan mengambil tas ransel hitamnya dari atas meja. Sebentar dia kembali mematut penampilannya yang mirip sales sedang masa training, lalu bergegas keluar kamar. Dia berlari menuju garasi. Wajahnya panik bukan main. "Gia sarapan dulu!" panggil Bunda dari ruang makan, saat melihat anak gadisnya itu berlari seperti dikejar utang yang tidak mampu dia bayar. "Nggak sempet, Bun," tolak Gia masih sambil berlari. "Gia berangkat. Assalamualaikum," pamitnya buru-buru tanpa menoleh sedikit pun. Segera dinyalakan mobil Honda Jazz putihnya dan memacunya secepat yang dia mampu. Hari ini adalah hari pertama Gia resmi menyandang status mahasiswi Fakultas Hukum di Universitas Mer
Rumah adalah tempat paling nyaman. Setelah seharian Gia merasakan siksaan, akhirnya lenyap setelah berada di rumah. Hanya sekadar rebahan sambil nonton tv saja sudah menjadi surga dunia bagi Gia. Sayangnya, hari ini dia tidak bisa menikmati surga dunianya. Gia baru tiba di rumah saat matahari baru saja tenggelam. Dia langsung mandi, membasuh tubuhnya yang lengket karena keringatnya terlalu banyak seharian. Aroma matahari, keringat, dan sisa parfum diskonan di tubuhnya bercampur sangat memuakkan. Gia sendiri nyaris muntah saat mengecek aroma ketiaknya. "Baunya mirip sisa janji manismu yang nggak pernah ditepati, busuk banget," celetuk Gia sebelum masuk ke kamar mandi. Dia menghabiskan waktu lumayan lama di dalam kamar mandi. Mungkin di dalam kamar mandi dia sekaligus membangun peradaban baru dunia. Selesai mandi, perut Gia berontak minta jatah preman. "Bunda masak apa?" tanya Gia yang sudah berada di samping Bunda. Dia membuka kulkas, lalu meraih sekotak susu cokelat. Dengan cepat Gi
"Ayah, gimana, nih? Anak ayah yang paling cantik mobilnya mogok, nggak bisa nyala sama sekali. Mana dari tadi Gia dimaki-maki sama orang. Mereka bukannya bantuin malah ngomel-ngomel. Sungguh krisis simpati dan empati, ya, sekarang ini," keluh Gia panjang lebar begitu panggilannya dijawab oleh Ayah. "Ini Ayah disuruh sedih apa ketawa dulu, Gi?" tanya Ayah menahan tawa. Dia paham sekali kalau sekarang tertawa, Gia akan meledak. Dia akan puasa bicara, sampai benar-benar butuh bantuan Ayah. Biasanya Gia hanya bertahan paling lama lima jam. Tapi, itu sudah bisa membuat Ayah menderita. "Ih, Ayah kenapa malah ngetawain Gia, sih?" sungut Gia kesal. "Ya, kamu kenapa cuma laporan mobil mogok aja harus bikin novel dulu, panjang banget?" omel Ayah gemas dengan tingkah putrinya. Gia mencebik. "Terus ini Gia gimana, dong? Gia udah diomelin mulu sama orang, nih." Gia semakin panik. Suara klakson mobil di belakangnya terus terdengar. Jalanan semakin ramai. Mobil Gia yang mogok menambah macet dan r
Gia berharap bertemu kuntilanak daripada harus berurusan dengan senior galak ini lagi. Setidaknya, kuntilanak masih bisa diajak tertawa bersama sambil nongkrong di atas pohon. Senior bermulut cabe ini sama sekali tidak berniat tersenyum pada Gia. Wajahnya kaku, tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana. "Eh, hai, Bang," sapa Gia mencoba ramah sambil melambaikan tangan dan senyuman tiga jari. "Mana otak manusianya?" tanya lelaki yang paling dihindari Gia hari ini. Suara beratnya terasa menusuk telinga Gia. "Ini ada di dalem sini, Bang," jawab Gia sambil menunjuk kepalanya. "Gue nggak segan-segan bikin gule otak manusia," seru si senior galak. Dia bersuara perlahan dan tajam, tepat di telinga kiri Gia. Gia kaget dan seketika mundur menjauh. Sayangnya, ada dinding yang menghadangnya. Muka Gia sudah nyaris seputih dinding di belakangnya. "Kenapa lo telat?" tanya si senior galak. Tangannya dilipat di depan dada. Kaki kirinya bergeser memperlebar jarak dengan kaki kanannya, membuat aur
Ini hari ketiga Gia sebagai mahasiswi dan sekaligus hari terakhir OSPEK. Sejak kemarin Gia terus merengek kepada Ayah agar mau mengantarnya ke kampus, dengan risiko Ayah harus melewati jalan yang berlawanan arah dari kantornya. Ayah yang memang selalu memanjakan anak gadisnya itu pun mengiakan. Pagi ini Gia sudah duduk di mobil Ayah. Di bangku kemudi Ayah sedang fokus mengendarai mobil Toyota Camry hitamnya, berusaha secepat mungkin sampai di kampus putrinya. "Ayah tegang banget, sih? Ini cuma nganterin Gia ngampus, bukan bawa Gia ke pelaminan kali," komentar Gia yang gemas dengan wajah serius ayahnya. "Iya, tapi kalau Ayah sampai telat hari ini, kamu bisa-bisa nggak akan sampai ke pelaminan juga, Gi," sahut Ayah masih fokus memandang jalanan di depannya. "Apa hubungannya Ayah telat sama Gia kawin?" tanya Gia bingung. "Ayah ada rapat penting pagi ini. Kalau telat, bisa digantung sama Pak Direktur nanti." Ayah mulai cemas memandang barisan mobil yang mengular di depannya. "Eh, en
Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi. Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi,
Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal