"Ayah, gimana, nih? Anak ayah yang paling cantik mobilnya mogok, nggak bisa nyala sama sekali. Mana dari tadi Gia dimaki-maki sama orang. Mereka bukannya bantuin malah ngomel-ngomel. Sungguh krisis simpati dan empati, ya, sekarang ini," keluh Gia panjang lebar begitu panggilannya dijawab oleh Ayah.
"Ini Ayah disuruh sedih apa ketawa dulu, Gi?" tanya Ayah menahan tawa. Dia paham sekali kalau sekarang tertawa, Gia akan meledak. Dia akan puasa bicara, sampai benar-benar butuh bantuan Ayah. Biasanya Gia hanya bertahan paling lama lima jam. Tapi, itu sudah bisa membuat Ayah menderita.
"Ih, Ayah kenapa malah ngetawain Gia, sih?" sungut Gia kesal.
"Ya, kamu kenapa cuma laporan mobil mogok aja harus bikin novel dulu, panjang banget?" omel Ayah gemas dengan tingkah putrinya.
Gia mencebik. "Terus ini Gia gimana, dong? Gia udah diomelin mulu sama orang, nih." Gia semakin panik. Suara klakson mobil di belakangnya terus terdengar. Jalanan semakin ramai. Mobil Gia yang mogok menambah macet dan ruwet jalan raya ini.
"Ayah bentar lagi sampai kantor. Nanti Ayah telepon bengkel aja, ya, buat ambil mobil kamu," jawab Ayah memberikan saran.
"Terus Gia ngampusnya gimana, dong?"
"Naik ojek online aja, ya? Ayah nggak akan keburu kalau harus jemput kamu. Pagi ini ada rapat sama direksi. Ayah nggak boleh telat, Gi."
"Oke siap," Gia mengakhiri panggilan. Gia paham kondisi ayahnya. Dia tidak mau karena sikap egoisnya, Ayah jadi kehilangan pekerjaan. Uang jajannya akan terancam lenyap.
Gia segera menyalakan lampu hazard, sebagai penanda mobilnya sedang bermasalah. Dia lalu mengambil tas ransel hitamnya. Gia keluar dan menuju bagian belakang mobil, membuka bagasi mobilnya untuk mengambil segitiga pengaman. Setelah menutup kembali pintu bagasi, Gia melangkah ke bagian belakang mobil dan memasang segitiga pengaman di sana.
"Safety first. Jangan sampai gue ditilang karena nggak menjalani protokol keselamatan. Mending uang jajannya dipakai beli cilok daripada bayar polisi," gerutu Gia pada dirinya sendiri.
Gia berlari kecil menuju trotoar di sisi kiri, menjauhi mobilnya dan berhenti di bawah pohon akasia yang rimbun. Dia mengambil ponselnya dari kantung kemeja, lalu membuka aplikasi ojek online. Segera dia membuat pesanan menuju kampusnya.
Lima menit berlalu. Belum ada satu pun driver ojek online yang menerima pesanannya. Gia melirik ponselnya, membuatnya semakin panik. Lima belas menit lagi kalau belum sampai kampus, dia bisa terkena omelan si senior mulut cabe lagi. Wajah merah bertanduk milik senior galak itu masih menempel jelas di kepalanya. Gia menggelengkan kepalanya, menghapus bayangan si senior galak.
"Jangan telat, dong," ucap Gia, berharap semua berjalan sesuai rencananya.
Gia memandang sekeliling. Mobilnya masih diam lima meter darinya dengan lampu hazard yang berkedip-kedip. Montir panggilan Ayah belum juga tiba. Jalanan sekitar lumayan ramai. Tapi, Gia tidak menemukan taksi kosong yang lewat. Gia menghela napas, menggelar matras, dan melakukan yoga untuk menenangkan diri.
"Neng, mau ke mana?" tanya seorang sopir angkot, yang berhenti di depan Gia.
"Ke kampus Merva, Pak," jawab Gia. Matanya memandang angkot warna kuning yang sudah hampir penuh di hadapannya.
"Hayuh masuk. Di sini jarang ada taksi lewat," ajak si supir angkot.
Gia enggan beranjak dari tempatnya. Tidak pernah terbayang dia naik angkot sebelumnya. Selama ini, Ayah dan Bunda selalu memanjakannya. Ke mana pun Gia pergi, pasti ada yang mengantar. Kalau Ayah dan Bunda berhalangan, mereka akan meminta siapa pun, entah saudara, teman, atau tetangganya, untuk menggantikan tugasnya mengantar atau menjemput Gia. Gia hanya tinggal duduk manis dan sampai di tujuan. Sementara hari ini, kejadian luar biasa yang tidak diharapkan Gia.
"Ayo yang belakang mundur, ya. Kasih tempat buat Neng cakep," perintah pak supir kepada penumpang di belakangnya. Gerombolan penumpang di dalam angkot menurut. Mereka semakin berhimpitan di dalam kotak besi kuning itu.
Gia akhirnya menerima tawaran pak supir. Semburan kata-kata pedas si senior galak masih lebih mengerikan dari pada ke kampus naik angkot berdesakan begini. Ini hanya siksaan ringan.
Dua orang bocah dengan seragam putih-biru, yang dari tadi berdiri menutup jalur masuk, turun. Bocah-bocah itu mempersilakan Gia masuk. Gia memandang ke dalam angkot. Ada delapan orang penumpang yang sudah duduk manis di dalam. Gia menemukan bagian kosong tepat di depan pintu di belakang supir, di samping seorang pria paruh baya dengan rambut dan kumis yang memutih.
"Ayo, Neng, buru! Kejar setoran, nih," perintah Pak Supir sedikit membentak. Menanti Gia yang terlalu lama berpikir membuatnya kesal. Hari semakin siang, dia harus segera menjalankan angkotnya demi memenuhi target setoran.
Gia segera masuk dan duduk di depan pintu. Seketika aroma yang menyengat menusuk hidungnya. Gia menutup mulut dan hidungnya menggunakan tangan kanan, menahan mual. Jangan sampai dia disuruh membersihkan angkot dari muntahannya sendiri.
'Ini siapa yang nggak mandi setahun, sih? Bau ketek udah mirip bau tikus mati begini. Sabar, Gi. Orang cakep kudu sabar.' Gia memaki dalam hati sambil terus menutup mulut dan hidungnya.
Angkot kuning yang dinaiki Gia baru sampai di kampus pukul 07.10. Gia telat!
Gia segera berlari menuju auditorium, tempat dilaksanakannya kegiatan pembukaan hari kedua. Pintu auditorium terbuka lebar. Dari jauh Gia bisa mendengar suara nyanyian mars fakultasnya.
Gia mempercepat larinya. Sesampainya di anak tangga auditorium, Gia berhenti. Perutnya terasa mual. Ini akibat aroma mematikan yang dihirupnya selama lebih dari dua puluh menit lalu. Ditambah Gia yang berlari dari gerbang kampus FH sampai ke auditorium yang jaraknya 200 meter sendiri. Kini ada gejolak ringan terjadi di perutnya.
Gia jongkok di samping pohon beringin kecil yang ditanam di depan auditorium. Tanpa bisa ditahan lagi, Gia memuntahkan sop jagung lengkap dengan perkedel dan nasi buatan Bunda.
"Duh, makanan kesukaan gue kebuang percuma," keluh Gia. Perutnya masih sedikit bergejolak. Kembali dia memuntahkan isi perutnya. Mulutnya sampai terasa pahit.
Mendadak Gia merasakan tubuhnya lemas. Badannya jatuh terduduk ke aspal. Segera dia mengambil botol minum dari ransel yang dari tadi digendongnya. Dia minum hingga habis seperempat botol.
Perutnya terasa sedikit membaik. Gia merasa butuh mengistirahatkan tubuhnya sebentar. Dia memandang sekeliling, lalu berjalan menaiki tangga menuju pintu auditorium. Gia meletakkan pantatnya di samping pintu kaca yang terbuka lebar dan menempelkan punggungnya ke dinding.
"Kapok naik angkot kalau begini, mah." Gia merasa tubuhnya kehabisan tenaga. Dalam hati dia berjanji tidak akan mengulang lagi naik angkot, apa pun alasannya.
Gia memejamkan mata. Tapi, baru saja matanya terpejam sesaat, kakinya yang dibiarkan terjulur ditendang dengan pelan.
"Bentar bentar. Gue butuh istirahat dulu," kata Gia tanpa membuka matanya.
Kaki Gia kembali ditendang pelan dua kali.
"Issshhh... Kasih waktu lima menit bentar. Hampir mati gue ini rasanya," bentak Gia masih enggan membuka mata.
Sayangnya, orang yang usil mengganggu istirahat Gia tidak peduli. Kaki Gia kembali ditendang dengan pelan, kali ini berkali-kali. Tendangannya memang tidak menimbulkan rasa sakit, tapi cukup berhasil mengganggu Gia. Sekarang bahkan Gia mendapatkan bonus sentilan di dahinya. Gia meringis kesakitan.
"APA-APAAN, SIH, LO? NGGAK TAU ORANG LAGI ISTIRAHAT APA? INI KEPALA DALEMNYA OTAK MANUSIA, BUKAN OTAK SAPI YANG BISA DIBIKIN GULE. KALAU OTAK GUE KELUAR GIMANA? LO MA-" Gia tidak sanggup meneruskan kata-kata makiannya saat matanya sudah terbuka sempurna dan melihat siapa yang berdiri di hadapannya sekarang. Matanya berkedip berulang kali, berharap salah melihat. Tapi, sosok itu malah semakin terlihat jelas, mengerikan.
Seketika wajah Gia memucat. Gia segera bangkit dari duduknya, bersiap menerima hukuman yang lebih berat dari kemarin.
Gia berharap bertemu kuntilanak daripada harus berurusan dengan senior galak ini lagi. Setidaknya, kuntilanak masih bisa diajak tertawa bersama sambil nongkrong di atas pohon. Senior bermulut cabe ini sama sekali tidak berniat tersenyum pada Gia. Wajahnya kaku, tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana. "Eh, hai, Bang," sapa Gia mencoba ramah sambil melambaikan tangan dan senyuman tiga jari. "Mana otak manusianya?" tanya lelaki yang paling dihindari Gia hari ini. Suara beratnya terasa menusuk telinga Gia. "Ini ada di dalem sini, Bang," jawab Gia sambil menunjuk kepalanya. "Gue nggak segan-segan bikin gule otak manusia," seru si senior galak. Dia bersuara perlahan dan tajam, tepat di telinga kiri Gia. Gia kaget dan seketika mundur menjauh. Sayangnya, ada dinding yang menghadangnya. Muka Gia sudah nyaris seputih dinding di belakangnya. "Kenapa lo telat?" tanya si senior galak. Tangannya dilipat di depan dada. Kaki kirinya bergeser memperlebar jarak dengan kaki kanannya, membuat aur
Ini hari ketiga Gia sebagai mahasiswi dan sekaligus hari terakhir OSPEK. Sejak kemarin Gia terus merengek kepada Ayah agar mau mengantarnya ke kampus, dengan risiko Ayah harus melewati jalan yang berlawanan arah dari kantornya. Ayah yang memang selalu memanjakan anak gadisnya itu pun mengiakan. Pagi ini Gia sudah duduk di mobil Ayah. Di bangku kemudi Ayah sedang fokus mengendarai mobil Toyota Camry hitamnya, berusaha secepat mungkin sampai di kampus putrinya. "Ayah tegang banget, sih? Ini cuma nganterin Gia ngampus, bukan bawa Gia ke pelaminan kali," komentar Gia yang gemas dengan wajah serius ayahnya. "Iya, tapi kalau Ayah sampai telat hari ini, kamu bisa-bisa nggak akan sampai ke pelaminan juga, Gi," sahut Ayah masih fokus memandang jalanan di depannya. "Apa hubungannya Ayah telat sama Gia kawin?" tanya Gia bingung. "Ayah ada rapat penting pagi ini. Kalau telat, bisa digantung sama Pak Direktur nanti." Ayah mulai cemas memandang barisan mobil yang mengular di depannya. "Eh, en
Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi. Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi,
Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal
Gia memasukkan mobil ke garasi rumah. Rumahnya memang tidak besar, tapi dia selalu tenang saat akhirnya tiba di rumah. Penampilan Gia sudah kacau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tapi kusut di beberapa bagian. Tidak ada kerapian sama sekali dalam diri Gia sore ini. Wajahnya yang lelah sudah kusut dan berminyak. Kemeja merah dengan motif bunga-bunga yang digunakannya sudah acak-acakan di sana-sini. Kegiatan kampusnya hari ini terasa lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ada tiga mata kuliah hari ini, yang sukses membuat otaknya lumayan panas. Berbeda dengan waktu dia masih duduk di bangku sekolah, Gia hanya perlu duduk dan semua materi pelajaran akan diberikan oleh gurunya. Sekarang, Gia harus memahami segala sesuatunya sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit gambaran tentang materi yang diberikan. Sisanya akan ada diskusi antar mahasiswa dan diakhiri dengan tugas-tugas. Jadi, baru mulai kuliah, tetapi tugas Gia sudah menumpuk. Saat Gia akan masuk ke dalam rumah, mata Gia mena
Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil. Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini. Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat. "Sendirian aja, Neng?
Hari Senin jadi hari yang sering dicaci maki oleh sebagian besar orang. Hari ini dianggap sebagai hari menyebalkan. Setelah menikmati akhir pekan yang bisa menenangkan pikiran dari kegiatan rutin, seperti kerja atau sekolah, bertemu dengan hari Senin seperti kembali bertemu monster, yang harus dikalahkan dalam waktu satu minggu ke depan. Ini juga yang dirasakan Gia. Sejak pagi Gia sudah malas untuk berangkat kuliah. Gia merasa hari libur selama dua hari itu kurang. Padahal, yang dilakukan Gia di hari Sabtu dan Minggu hanya hibernasi. Dia tidur sepanjang hari dengan alasan mengisi kembali energi yang terkuras habis. "Bundaaa," panggil Gia manja. Gia menarik kursi makan, lalu duduk. Kedua tangannya dilipat di atas meja, lalu kepalanya direbahkan di atasnya. "Kenapa, Gi? Kusut banget mukanya?" tanya Bunda yang sedang bersiap masak sarapan. "Gia bolos, ya?" rengek Gia masih dengan nada manjanya. Posisinya tidak berubah, malah sekarang matanya terpejam. "Kenapa bolos segala?" tanya Bun
Matahari mulai tenggelam. Teletubbies berpamitan, sementara Gia baru bangun dari tidur siangnya. Bisa tidur siang di hari Senin itu salah satu surga dunia. Jarang-jarang ada orang yang bisa dengan enaknya tidur di siang hari selama lebih dari tiga jam. Gia sangat bersyukur menjadi orang terpilih yang bisa menikmati surga dunia hari ini. Pagi tadi Gia mendapatkan pesan kalau dua kuliah untuk hari ini ditiadakan. Dosen pertama meminta penggantian jam dengan alasan yang tidak diberitahu. Setelah berdiskusi dengan kordinator tingkat, akhirnya diputuskan kuliah diganti besok Rabu jam tiga sore. Sementara dosen kedua ada acara keluar kota, belum ada perintah penggantian kelas. Gia merasa bagai mendapat lamaran perjaka tampan, mapan, dan kuat iman. Gia bahagia dunia akhirat. Hari liburnya bertambah satu hari lagi. Selesai sarapan, Gia kembali masuk ke kamar. Dia memandang sekeliling kamar. Di meja belajar, beberapa buku kuliah saling tumpang tindih tidak beraturan. Pulpen, pensil, dan pen