Wajah Gia kusut dan sedikit berminyak, mirip kertas koran bekas gorengan. Ditendanginya daun-daun kering yang berjatuhan di depannya. Dia meratapi kebodohannya sendiri, yang terus terulang. 'Harusnya gue paham kalau Bang Hugo bukan pacar gue. Dia bebas mau pelukan, bahkan ciuman sama cicak sekali pun. Gue yang salah udah cemburu sama dia. Gue ini cuma juniornya, nggak lebih bisa kurang kalau ada diskon akhir tahun.' Gia terus menghujat dirinya sendiri dalam hati. Baginya ini memang kesalahannya sendiri. Langkah kaki Gia terhenti saat melihat sepatu kulit coklat yang mengilat di depannya. Gia mengangkat kepalanya, memastikan sosok yang ada di hadapannya saat ini. Restu tersenyum memandang Gia. Dia mengangkat tangan kanannya yang memegang jas warna silver, lalu meletakkannya di pundak. Dengan kaus hitam polos dan celana jins hitam yang dihiasi sabuk kulit coklat, sulit untuk menyatakan kalau Restu ini buruk rupa. Kalau tidak mengetahui sikap menyebalkan Restu, Gia berani bertaruh bisa
Restu berusaha mengendurkan uratnya yang tegang. Dia mengusap wajahnya, lalu melepaskan sabuk pengamannya. Dia keluar dari mobil masih dengan sedikit keraguan. Restu memandang jijik saat melihat apa yang ada di depannya. Pemandangan di sini terlalu kasar. Beberapa pria bertampang sangar dan bertubuh kekar berhasil mampir di mata Restu. Di sisi lain, perempuan dengan pakaian minimalis mencoba tersenyum menggoda dengan bibir merah menyala. Restu berusaha mencoba setenang mungkin. Gia bisa murka lagi kalau mengetahui dia tidak nyaman dengan ini semua. Dia berlari ke arah pintu penumpang untuk membukakan pintu. Gia memamerkan senyum terbaiknya, lalu turun dari mobil. Segera dia melangkahkan kaki menuju ke arah hotel asmara. Tepat di depan pintu Gia berhenti, memandang Restu yang berjalan perlahan di belakangnya. "Buruan, Om!" pinta Gia tidak sabar. Tangannya melambai, meminta Restu mempercepat langkah. Restu menurut, mempercepat langkahnya. Saat dirinya sudah berdiri di samping Gia, G
Dress putih dengan motif polkadot membungkus tubuh langsingnya. Sneaker shoes putih menghiasi kakinya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, menjuntai sebagian di depan dadanya. Tangannya menggenggam buku catatan yang terlalu besar untuk bisa masuk ke dalam tas.Matanya cerah saat menemukan Gia duduk di pojok kelas. Kakinya melangkah cepat menghampiri Gia. "Pagi," sapanya ceria lengkap dengan bibir merah yang menyunggingkan senyum terbaik.Jessica mengempaskan pantat di samping Gia. Dipandanginya Gia yang menatap ke luar jendela. Jessica ikut memandang ke luar, memastikan apa yang Gia lihat, sampai wajahnya kusut dan tidak membalas sapaan. Sayangnya, Jessica tidak menemukan sesuatu yang bisa membuat Gia sampai seperti ini. Hanya ada daun mahoni yang menutupi hampir seluruh jendela yang terbuka. Jessica mengayunkan tangan kanannya di depan wajah Gia. Gia akhirnya mengalihkan pandangannya. Dia terempas kembali ke dunia nyata."Kenapa lo?" tanya Jessica penasaran.Gia memandang Jessica. Wa
Mencintai tidak bisa dipaksakan. Seharusnya cinta datang tanpa permisi, mendobrak hati, lalu bersemayam di dalam sana sesukanya. Gia bingung harus memulai dari mana untuk memberikan kesempatan bagi Restu membuatnya jatuh cinta. Perasaannya masih tetap sama. Ada Hugo yang lebih dulu mengusiknya, belum berubah walau pelakunya terus menyakiti.Untuk kesekian kalinya, Gia mencoba menilai Restu dari penampilan. Tubuh jangkung pria tua itu menjulang menghalangi panas matahari, membelakangi Gia. Matanya awas mengamati Gavin yang menggiring bola di tengah jalan di depan rumahnya. Lagi-lagi Gia terlalu nyaman memandang punggung itu. Walau tegap dan bidang, Gia menangkap kepedihan dari punggung itu.'Rambutnya selalu rapi, licin dikasih minyak jelantah bekas goreng ikan asin. Ah, nggak. Om Restu nggak mungkin doyan ikan asin. Lidahnya terlalu terhormat buat nyobain makanan kasta bawah itu. Kalau gitu, pasti rambutnya dikasih oli bekas, makanya hitam mengilat gitu.' Gia berdialog dengan dirinya s
Udara masih sedikit segar. Polusi dari asap knalpot belum terlalu meracuni oksigen. Suara air jatuh ke dalam kolam ikan mendominasi halaman rumah yang mungil ini. Rumput hijau yang sengaja ditanam di sekitar kolam sedikit basah, bekas sisa hujan kemarin sore. Sayangnya, suasana damai ini tidak mempengaruhi perasaan Restu yang berantakan.Restu memandang Gia yang berdiri tiga langkah di depannya. Penampilannya pagi ini sempurna seperti biasanya. Hanya saja perasaannya sedikit berantakan setelah melihat Gia. Mata Restu menatap tajam Gia dari ujung kepala sampai jempol kakinya. Tidak ada senyum yang biasanya selalu dipamerkan untuk Gia. Kedua tangannya berada di pinggang. Nyali Gia mendadak ciut mendapat perlakuan seperti ini dari Restu."Kamu hendak pergi ke kampus seperti ini?" tanya Restu. Dia sengaja menahan perasaannya agar tidak meledak. Suaranya jadi sedikit bergetar.Gia menangkap dengan jelas bahwa Restu tidak suka dengan penampilannya yang sekarang. Ini bukan pertama kalinya Res
Setelah menyelesaikan dua mata kuliah hari ini, Gia dan Jessica duduk berhadapan di taman kampus. Mereka mencari kedamaian untuk menikmati sebungkus cilok dan segelas es jus. Sebelumnya, mereka sudah menghabiskan seporsi bakso urat ukuran jumbo. Otak yang dipaksakan bekerja terlalu berat perlu makanan yang lebih sebagai upahnya. Jangan sampai karena kelaparan, otak jadi mogok kerja. "Tugas Ilmu Negara lo udah kelar?" tanya Jessica dengan mulut penuh cilok. "Belum. Kapan sih ngumpulinnya?" sahut Gia setelah dengan susah payah menelan cilok di mulutnya. Cilok kali ini terasa terlalu alot. Mungkin pembuatnya menginjak adonan cilok terlalu lemah, jadi gumpalan cilok belum tercampur dengan baik dan benar. "Lusa. Lo biasanya minta tolong Bang Hugo. Tumben belum kelar." Jessica heran. "Udah, ah, nggak usah bahas dia. Nanti gue jadi nggak nafsu makan cilok lagi." Jessica tersenyum mengejek. "Yakin, nih?" tanya Jessica memastikan. "Yakin apaan?" "Yakin nggak mau bahas Bang Hugo lagi?" "
Matahari bersembunyi di balik gumpalan awan besar berwarna putih mirip kapas. Siang menjelang sore ini masih sama seperti kemarin. Deretan kendaraan mengular di perempatan. Ratusan knalpot berlomba memuntahkan asap hitam yang menyesakkan. Dalam hitungan detik asap itu berbaur bersama oksigen yang kemudian dihirup ratusan manusia. Menyesakkan memang, tapi tidak ada yang benar-benar bisa mengubah busuknya udara ini. Di dalam mobil Pajero putih yang melaju di jalan, berlomba bersama dengan mobil dan motor lainnya, tidak kalah menyesakkan. Dua manusia di dalamnya nyaris tidak berkomunikasi. Tidak ada suara musik, hanya teriakan mesin dan klakson di luar yang menghalau keheningan. Sesekali cewek di bangku penumpang berusaha mencoba membuka obrolan. Tapi, selalu berakhir dengan pengabaian yang menyebalkan. 'Pria tua ini nggak mendadak jadi tuli, kan? Suara gue nggak ngilang dicolong setan, kan? Udah cukup hati gue aja yang dibawa pergi cowok nggak bertanggung jawab. Suara gue jangan.' Gia
Intuisi seorang ibu memang tidak layak diragukan. Bunda menyadari ada masalah di antara anak gadisnya dengan duda yang tinggal di depan rumahnya itu. Sebelumnya, Restu selalu mengajaknya berbincang, walau hanya sebentar. Menanyakan bagaimana dia melewati hari ini menjadi pembahasan yang paling sering ditanyakan Restu. Pria itu selalu memperhatikan calon mertua barunya dengan baik. Berbeda dengan hari ini. Restu langsung pamit begitu Bunda keluar menyambut kedatangan Gia. Senyum yang dipaksakan Restu juga terlihat jelas di mata Bunda yang sudah harus memakai kaca mata saat membaca. Bunda mulai memahami bahwa Restu termasuk orang yang tidak berbakat menyembunyikan perasaannya. Semua isi hatinya tercermin jelas di raut wajah. "Kenapa senyum-senyum sendiri, Gi? Kesambet setan mana kamu?" tanya Bunda membuyarkan lamunan Gia. "Apaan, sih, Bunda? Anak sendiri malah didoain kesambet setan," protes Gia. Gia khawatir Restu yang belum terlalu jauh melangkah bisa mendengar perkataan Bunda barus