Share

Kenyataan Pilu

Hati ini membeku dan terkikis rasa benci. Terlambat untuk 

rasa yang telah hadir.

Aila kini kelas 12 SMA dan sebentar lagi, dia akan lulus. 

Niat hati dirinya menginginkan masuk ke universitas di Bandung 

atau Jakarta, mengikuti Aisyah dan Hamzah yang sudah sejak 

empat tahun lalu di tugaskan di Jakarta.

Sejak meninggalnya sang ibu, Aila memilih tinggal sendiri 

di Bandung, menempati rumah kedua orang tuanya. Sedangkan 

Akhtar di tugaskan di Surabaya bersama Raya, istri keduanya. 

Mereka menikah secara sah setelah satu tahun meninggalnya Inara. 

Aila diurus oleh Aisyah dan Hamzah. Tapi Aila bersikukuh untuk 

tetap tinggal di Bandung. Dia tidak ingin meninggalkan kenangan-

kenangannya bersama sang ibu.

Aila menjadi sosok yang pendiam dan tomboi walaupun dia 

memakai jilbab Aila meneruskan hobinya menjadi atlet pencak 

silat. Berbagai kejuaraan sering dia ikuti, dia bahkan pernah 

mengikuti Asean games walau hanya sekali dan itu satu tahun

setelah meninggalnya Inara.

Aila memasuki kawasan pemakaman. Hari ini Aila 

membawa dua kuntum mawar merah. Dia duduk di pusara Inara. 

Inara Varisha binti Abdul Aziz. Kedua orang tua Inara sudah 

berpulang ke Rahmatullah saat Inara mengandung Aila. Begitupula 

dengan ibunda Akhtar yang telah berpulang sesaat setelah Inara 

meninggal, karena syok mengetahui bahwa Akhtar menikah siri, 

karena kesalahannya dengan Raya.

"Assalamualaikum Ma, Nek. Ai, kangen kalian. Ai tahu 

kalian sudah bahagia di sana. Ai bentar lagi lulus Ma, Nek. Ai, 

dapat beasiswa di universitas Surabaya. Tapi ... Ai benci harus 

bertemu dengan Papa dan perempuan itu. Ai benci mereka. Ai tahu 

Ma, kejadian itu sudah enam tahun yang lalu. Maaf Ma, Nek, Ai 

belum bisa maafin papa." Aila menangis dalam diam, dia 

membekap mulutnya agar tak mengeluarkan isakannya.

"Ai." Suara tegas dan berat itu memanggilnya. Aila tahu 

dan mengenali suara itu, Akhtar, papanya. Aila menghapus air 

matanya dan berdiri. 

"Ai pulang dulu ya, Ma, Nek. Assalamualaikum."

Aila berbalik badan dan berhadapan dengan Akhtar yang 

datang bersama Raya. Aila memasang wajah datarnya dan 

menerobos di antara mereka.

"Aila masih marah sama aku, Mas?” tanya Raya. Akhtar 

memilih diam. Dia memandang nanar ke arah pusara, kedua 

wanita yang dia cintai. Kedua wanita itu meninggal karena kabar 

mengejutkan dari dirinya. Dia masih menyimpan luka dalam 

hatinya.

❤❤❤

Aila berdiri dengan memasang wajah datarnya. Di ruang 

tamu yang pintunya terbuka, kini duduklah Akhtar, Raya dan ke 

luarga kecil mereka yang nampak bahagia. Raya adalah janda yang 

mempunyai dua anak, anak perempuan yang berbeda dua tahun 

dengan Aila bernama Vebby dan anak laki-laki yang berumur enam 

tahun, bernama Ramzan. Anak dari Raya dan mantan suaminya, 

sekarang tidur di dalam mobil.

"Mau apa?” tanyanya dengan nada dingin. Akhtar tahu, 

berkali-kali pun dia datang, baik sendiri maupun bersama Raya, 

Aila tetap tidak akan pernah bisa hangat dengannya. Ini 

kesalahannya yang sangat fatal.

"Aila sayang, tante datang nih, sambut dong," teriak Aisyah 

yang baru saja datang menggandeng anak laki-laki bernama Azka 

berumur sepuluh tahun, anak keduanya, sedangkan Anak Pertamanya yang sekarang kelas 11 SMA bernama Alka, berlari 

menghampiri Aila.

"Cuek banget? Senyum dong Kak." Alka mencubit pipi 

Aila. Alka dan Aila sangat dekat, bahkan mereka dikira kembar 

tapi tak identik. Kadang juga dikira sepasang kekasih.

"Kak, yang sopan sama papa kamu!" peringat Aisyah. Aila 

berdecak sebal. "Kak, kenapa nggak kamu ambilkan minum sih 

papa kamu?"

"Buat apa Tan? Nggak usahlah. Punya uang kok, biar beli 

di kafe." Aisyah menggelengkan kepalanya berkali-kali. Aisyah 

menuju dapur diikuti oleh Alka. 

"Nggak sopan loh, Kak,” gerutu Alka.

“Bomat.”

"Kakak!" peringat Hamzah seperti biasa. Hamzah sudah 

menganggap Aila seperti anaknya sendiri, bahkan tak jarang pula 

Hamzah memarahi Aila layaknya anaknya sendiri. "Yang sopan 

sama Papa dan Mama kamu."

Aila mendengus geli. "Papa? Yang udah bunuh Mama dan 

Nenek? Masih bisa dipanggil Papa, Om?" Hamzah hanya diam dan 

melirik Akhtar. "Mama Aila udah meninggal Om, Om lupa ya? 

Perempuan itu bukan Mamaku, dia tuh pembunuh."

"Aila!" peringat Akhtar. 

"Wah, ada pembelanya. Kenyataan kok. Gara-gara 

perempuan ini juga, mama meninggal dan nenek juga ikut nyusul 

mama.” Aila tertawa sumbang. “ Selamat ya, sudah membuat saya 

menjadi seorang piatu. Menjadikan saya sebatang kara selama 

enam tahun. Enam tahun lho, hebat ya Anda."

Semuanya hanya diam. Raya sudah meneteskan air 

matanya. "Maafkan Mama Nak."

"Anda bukan ibu saya. Oh, saya tidak perlu air mata buaya 

Anda."

"CUKUP!" Vebby berdiri dan menghampiri Aila.

Satu tamparan lolos di pipi putih Aila, pelakunya dalah 

Vebby. Aila tersenyum smirk. Berani juga dia nyentuh gue. Batin 

Aila.

"Cukup kamu ngehina mamaku. Mamaku nggak pernah

salah. Kamu sendiri yang sudah menarik diri. Kamu munafik, 

keterla--" belum sempat Vebby meneruskan kata-katanya. Aila 

sudah beraksi membanting tubuh Vebby ke lantai.

"Auww, Ma ... sakit," ringisnya. Aila tersenyum penuh 

kemenangan.

"Lo nggak perlu ikut campur. Waktu nyokap lo datang ke

sini dengan pengakuan gilanya. Mama gue langsung terkena 

serangan jantung. Nyokap lo udah bunuh mama gue.” Aila 

membasahi bibirnya, “Dan lo, jangan sekalipun nyentuh gue. 

Berani sekali lo nampar gue. Ini tuh rumah gue, jangan Sampai gue 

patahin semua tulang lo." Tunjuk Aila ke Vebby.

Vebby diam tak berani menjawa, dia berusaha bangun dan 

berdiri. Akhtar juga tidak membelanya. "Mas, kenapa kamu diam 

saja Vebby dibanting sama Aila?” tanya Raya.

Akhtar berdiri. "Kenapa juga Vebby harus nampar anak 

saya? Kenapa juga kamu diam? Kalau kamu mau belain anak kamu 

silakan, saya juga bisa belain anak saya sendiri."

Raya dan Vebby hanya diam. Mereka merasa tertampar 

oleh kata-kata Akhtar. Baik Aisyah dan Hamzah hanya melihat saja 

tanpa berniat berbicara, mereka diam-diam tersenyum karena 

Akhtar masih membela Aila. Bagi mereka, Vebby memang pantas 

dibalas seperti itu. Siapa yang memulai dengan kejahatan, dia akan 

mendapat akibatnya.

"Papa perlu bicara sama kamu, Sayang." Akhtar memeluk 

pundak Aila menuju ke kamar Akhtar dan Inara.

Mereka berdua ada di dalam. Akhtar duduk di tepi tempat 

tidur dan membawa foto dirinya bersama dengan Inara dan Aila. 

Akhtar memeluk foto itu dan menangis.

"Mas kangen sama kamu dek. Maafkan mas." Akhtar 

menangis terisak-isak. Aila tidak setengah hati melihatnya.

Aila membelai punggung Akhtar lembut dan duduk di 

sampingnya. "Pah," lirihnya.

"Maafin papa Nak, Papa belum bercerita semuanya sama 

kamu tentang kejadian itu. Kamu mau ‘kan dengerin papa cerita?" 

Aila mengangguk. Akhtar memeluk Aila sebentar dan mencium 

pucuk kepala Aila yang tertutup hijab.

❤❤❤

Saat itu, Akhtar tengah bertugas ke Semarang. Inara tidak 

dapat ikut, karena Aila harus ujian nasional, Aila saat itu kelas 6 

SD. Akhtar hanya ditugaskan selama satu tahun saja di sana.

Akhtar kala itu senang sekali mendapat telepon dari Inara, 

bahwa Aila bisa masuk ke SMP negeri sekolahnya dulu. Sampai 

dia tidak fokus menyetir mobilnya dan alhasil, dia menabrak 

sebuah mobil berlawanan arah.

Akhtar segera menolong korbannya dan dibawa ke rumah 

sakit. Seorang laki-laki seumuran dengannya dan seorang wanita 

yang diketahui adalah istrinya dan seorang anak perempuan yang 

masih SD.

Luka yang dialami seorang laki-laki cukup serius. Istri dan 

anaknya duduk di sampingnya dan memegang tangan laki-laki itu. 

Akhtar mendekat.

"Pak, maafkan kecerobohan saya. Saya akan membiayai 

semua pengobatan bapak dan ke luarga Bapak."Tapi laki-laki itu 

menggeleng lemah.

"Tolong nikahi istri saya, Anda cukup bertanggung jawab 

kepada saya dengan menikahinya." Akhtar menggelengkan 

kepalanya. 

"Maaf Pak, saya punya ke luarga, saya punya istri dan anak 

juga di Bandung. Saya tidak bisa menikahinya. Saya akan 

membiayai semua keperluan anak Bapak."

Napas laki-laki itu sudah mulai tersengal-sengal. "Tolong 

nikahi istri saya." Akhtar hanya bisa diam, dia tidak pernah mau 

berada di posisi seperti ini.

Akhirnya Akhtar menikahi Raya secara sirih dan dengan 

sangat terpaksa. Akhtar mendial nomor Inara.

"Dek, maafkan mas." Inara sempat bingung, tapi dia 

berusaha menanyakan kepada Suaminya kenapa.

"Mas, cuma sayang dan cinta sama kamu. Mas juga sayang 

Aila. Percayalah sama mas."

"..."

"Mas cinta sama kamu Inara. Mas, nitip Aila ya, mas belum 

bisa pulang hari ini. Mungkin beberapa bulan lagi Dek."

"..."

"Terima kasih sayang. I love you Dek." Akhtar mematikan 

sambungan teleponnya.

Setelah mengurus pemakaman Ardi, suami Raya. Akhtar 

hanya mengunjungi rumah mereka beberapa kali, agar tidak timbul 

fitnah di antara tetangganya. Mereka lebih sering bertemu di 

sebuah kafe dekat sekolah Vebby.

"Mas, saya hamil anak mas Ardi. Saya baru tahu kemarin 

saat saya periksa ke rumah sakit." ungkap Raya. Akhtar hanya 

diam dan mengangguk.

"Ya. Jaga anak kalian. Lusa saya akan pulang ke Bandung." 

Ada rasa tidak ingin berpisah dari Raya untuk melepaskan Akhtar 

pulang ke ke luarganya.

"Aku gimana Mas dan Vebby? Mas sekarang suami aku." 

Akhtar hanya memasang wajah datarnya. 

"Kamu cuma istri sirih, saya menikahi kamu karena amanat 

suami kamu. Tapi saya sangat mencintai istri saya. Saya 

menyayangi istri dan anak saya, saya tidak pernah sekalipun 

mencintai kamu."

"Ajak aku Mas, aku mohon. Aku ingin minta maaf sama 

istri Mas." Akhtar menggelengkan kepalanya.

"Tidak, istri saya punya lemah jantung. Saya tidak ingin 

istri saya masuk rumah sakit."

Tetapi Raya bersih kukuh untuk tetap ikut Akhtar, dia 

memang ingin sekali membuat Iatri Akhtar menderita. Akhirnya 

Akhtar menyetujui permintaan Raya. Tapi Akhtar menunggu usia 

kandungan Raya lima bulan dan itu bulan depan saat Aila berulang 

tahun.

Tepat lima bulan, Akhtar pulang ke Bandung diikuti oleh 

Raya, hanya berdua saja. Dalam hati Akhtar selalu berdoa agar 

Inara bisa memaafkan dirinya.

Inara Sayangku

Aila kemarin juara 1 pencak silatnya mas

Akhtar tersenyum bahagia karena Aila menjuarai pencak 

silat putri antar pelajar. Akhtar sangat bangga dengan putrinya. Dia 

juga sudah menyiapkan hadiah untuk Aila sesuai keinginannya.

Sepasang boneka Teddy bear yang berseragam tentara dan Persit. 

Aila sangat menyukai kostum itu, jika melihat Akhtar dan Inara 

menghadiri acara Persit.

“Cantik sekali Mamanya Aila ini, cocok banget.” Inara 

hanya tersenyum. “Pa, nanti kalau Ai dapat juara satu, dapat hadiah 

‘kan?”.

“Jelas dong, pesilatnya papa harus dapat hadiah, mau 

hadiah apa Sayang?” tanya Akhtar dengan berjongkok di depan 

Aila.

“Ai mau boneka teddy berkostum tentara seperti Papa dan 

pasangannya.”

“Siap Komandan.”

Akhtar tersenyum saat mengingatnya, dia sudah 

membayangkan wajah bahagia Aila nantinya jika dia memberikan 

hadiah yang Aila pinta ini.

"Assalamualaikum Dek, mas pulang," teriak Akhtar. Inara 

ke luar dan memeluk Akhtar erat. Akhtar menciumi wajah Inara, perempuan yang sangat dia rindukan. Inara melihat seorang 

perempuan berdiri di ambang pintu. 

"Siapa dia Mas?"

"Dia Raya, istri sirih mas." Kenyataan itu membuat Inara 

sedih. Dia memegangi dadanya. Dadanya berdenyut sakit.

"Apa?”

”Dek.”

“Ceritakan!"

Akhtar menceritakan semuanya kepada Inara. Inara sangat 

sedih. Bagaimana bisa Akhtar tidak memberitahukan kepadanya 

masalah sebesar ini. Sampai akhirnya Aila pulang dan melihat 

semuanya. Aila membawa Inara ke rumah sakit. Akhtar 

mengikutinya dari belakang dengan Raya. Perempuan itu ngotot 

untuk ikut, dalam hati, Raya tersenyum melihat Inara tersiksa 

batinnya, dia berharap Inara segera meninggal dan dia bisa 

menikah sah dengan Akhtar.

Licik, itulah sifat asli Raya.

Sampai kenyataan yang membuatnya menyesal seumur 

hidup. Inara perempuan yang dia cintai telah meninggal dunia 

karena serangan jantung. Di saat Aila ke luar bersama Aisyah dan 

Hamzah, Akhtar masuk dan memeluk Inara untuk terakhir kalinya 

dan menciumi wajah istrinya untuk terakhir kalinya.

"Nikahi dia secara sah Bang. Setelah dia melahirkan 

anaknya. Aku tahu Bang, Abang cinta mbak Inara, tapi ini mbak 

Inara sendiri yang menyuruhku. Abang nikahi Raya, untuk Aila, 

biarkan aku dan Aisyah yang menjaganya." Hamzah mengajak 

Akhtar berbicara berdua setelah pemakaman Inara.

❤❤❤

"Kamu tahu Nak, hati Papa cuma untuk mama, mama kamu 

tidak akan pernah tergantikan selama enam tahun ini. Papa 

sejujurnya tidak pernah bisa mencintai Raya. Hanya mama kamu di 

hati papa selamanya. Papa menikahi dia hanya karena mama 

kamu.”

Aila Memeluk Akhtar dan menangis terisak-isak di 

pelukannya. Aila menangis, dia merindukan pelukan hangat 

Akhtar. "Maafin Ai, Pa." Akhtar mengangguk.

"Ikut papa pindah ya, Nak ke Surabaya. Karena Om 

Hamzah juga dipindah tugaskan ke Surabaya." Dan Aila 

menyanggupinya. Akhtar menemukan kebahagiaan yang sudah 

lama hilang dalam dirinya, kini kembali lagi. Aila anak semata 

wayangnya yang dulu pernah menutup diri dari dirinya, kini 

kembali terbuka dan kembali kedalam pelukannya. Betapa 

bahagianya Akhtar saat ini.

Inara, akan aku jaga Aila kita. Akan ku bahagiakan dia. Ini 

janjiku padamu.



Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status