Share

Jakarta menjauh

Menata hati untuk sesuatu yang membingungkan, akan 

menjadikan hati ini bingung.

Akhtar berlari di lorong rumah sakit bersama dengan 

ajudannya. Pekerjaan di Solo sudah dia selesaikan lebih awal walau 

secara terpaksa. Akhtar kemarin mendapatkan telepon ancaman 

dari Hasan, kakak pertamanya, bahwa dia akan membawa Aila 

bersamanya saat ini juga, kalau sampai dia tidak datang ke rumah 

sakit dan melihat keadaan Aila saat ini.

"Kamu tahu, Aila masuk rumah sakit dengan keadaan telah 

dianiaya. Kemana istrimu?" geram Hasan saat di telepon.

"Aku sudah bercerai dengannya Bang."

"Aku akan bawa Aila pergi ke Jakarta sekarang juga dan 

membatalkan perjodohan gila yang kamu inginkan. Dan jangan 

pernah kamu temui Aila, kalau sampai kamu belum bisa 

menemukan siapa pelaku penganiayaan Aila dan memberikan 

hukuman setimpal pada mereka, ucapkan selamat tinggal," ancam 

Hasan.

Akhtar sudah ketar-ketir dibuatnya. Dia baru saja dekat 

dengan Aila beberapa bulan ini karena Raya dan Akhtar bercerai. 

Aila juga akan tinggal bersama Akhtar sepenuhnya sebelum dia 

menikah dengan Azlan.

Setelah mendapatkan kabar dari Hasan dan hasil visum 

yang di berikanyan ke Akhtar. Akhtar langsung menyewa Intel 

untuk menyelidiki kasus penganiayaan Aila. Hasan menduga, itu

kelakuan Raya dan Vebby. Karena saat dia berangkat tugas, Raya 

dan Vebby tengah bersiap meninggalkan rumah. Akhtar juga 

sependapat dengannya.

Awas saja kalau mereka yang menganiaya anakku. Batin 

Akhtar

Akhtar sudah sampai di depan ruang perawatan Aila. Saat 

Akhtar membuka pintu, langsung diberi Bogeman mentah oleh 

Hasan, sehingga membuatnya jatuh tersungkur di lantai ruang inap 

Aila.

Akhtar terpental ke belakang karena tak siap. "Bangun 

kamu! Kamu sudah mencelakakan anakmu sendiri." Hasan menarik 

kerah kemeja Akhtar.

Tanpa dikomando lagi, kedua lelaki yang baru saja datang 

itu langsung berlari ke arah Hasan yang sudah menghajar Akhtar 

sampai babak belur. Habib memegang Hasan, sedangkan Hafizh 

memegang Akhtar, membantunya untuk bangun. Aila yang baru 

saja sadar langsung terduduk saat mendengar suara menggelegar 

dari Hasan.

"Papah!" Aila hendak turun namun dicegah oleh Azlan.

"Jangan Ai, kamu masih harus istirahat." Azlan menyekal 

tangan Aila yang tidak terpasang infus.

"Lepasin aku, kamu siapa?”Azlan diam membisu. “ Ai 

mohon Pa, jangan pukul Papa Ai lagi, please Pa!" mohon Aila

menangis sesenggukan. Hasan melepaskan diri dari Habib dan 

berjalan ke arah Aila, memeluknya. "Ai mohon Pa, jangan pukul 

Papa Ai lagi." Aila menangis di pelukan Hasan.

"Baiklah. Tapi kamu harus ikut Papa Nak, sebagai gantinya. 

Kita ke Jakarta dan batalkan pernikahan kalian." Azlan menegang 

saat Aila mengangguk sebagai jawabannya.

Gue nggak jadi nikah?

Tentu saja dia tidak mau membatalkannya. Sedikit demi 

sedikit dia bisa menerima kehadiran Aila, bahkan es yang ada di 

dalam dirinya sedikit menghangat, ingat ya, sedikit belum banyak.

"Jangan Bang, aku mohon jangan bawa Aila. Aila akan 

tinggal denganku Bang, aku mohon!" pinta Akhtar pada Hasan, 

bahkan dia sudah berjongkok di depan Hasan. Hasan menatap Aila 

sendu. “Ai sudah janjikan untuk tinggal sama Papa?”

Aila menangis saat melihat Akhtar berjongkok di depannya 

untuk yang kedua kalinya. Yang pertama saat kematian mamanya. 

Hasan bahkan memukul Akhtar membabi buta, menyalahkan 

Akhtar atas meninggalnya Inara. Hasan bahkan tidak pernah 

merestui pernikahan Akhtar dengan Raya saat itu.

"Aku bawa Aila satu Minggu ke Jakarta, besok kami akan 

berangkat. Dan kamu urus semuanya. Mereka harus menerima 

hukuman setimpal karena sudah mencelakai anak kesayanganku 

ini." Tegas Hasan. Akhtar mengangguk setuju.

Aila kembali istirahat saat Akhtar bergantian memeluknya, 

menggantikan pelukan dari Hasan. Hasan memilih keluar dari 

ruang inap Aila dan memilih duduk di kursi tunggu depan. Azlan 

yang tahu Hasan duduk di depan sendirian, dia langsung 

menghampirinya dan duduk bersama Hasan berdua saja. Akhtar 

pun ikut duduk bergabung.

"Mohon Ijin duduk, Ndan." Hasan menoleh dan 

mengangguk. "Mohon ijin kalau saya lancang Ndan. Saya ... ingin 

melanjutkan perjodohan saya dengan Aila. Saya tidak ingin kedua 

orang tua saya kecewa." Hasan tertawa sinis.

"Lalu perasaan Aila? Saya sudah bilang ‘kan tadi, saya 

hanya ingin Aila bahagia. Saya akan tetap membawa Aila untuk 

tinggal dengan saya di Jakarta, selamanya. Kalau perlu saya akan 

carikan perwira muda untuk Aila di sana."

"Saya ... saya ... saya janji akan menjaga Aila dengan baik,

Ndan. Saya akan menjaga Aila dan membahagiakannya."

"Kita lihat saja. Saya belum percaya sepenuhnya sama 

kamu Lettu Azlan, apalagi soal membahagiakan Aila, sampai 

kapanpun itu." Hasan berdiri dan meninggalkan Azlan sendirian di 

ruang tunggu depan kamar Aila.

❤❤❤

Aila menatap tak percaya pada kedua perempuan di 

sebrangnya itu. Raya dan Vebby. Entah apa yang membawa dua 

perempuan itu ada di kafetaria yang sama dengan Aila. Mereka 

berdua tersenyum mengejek. Aila merasakan hidungnya kembali 

ngilu, dia menggigit bibir bawahnya erat. Tubuhnya memiliki 

trauma pada kejadian beberapa hari yang lalu itu. 

“Aila, ayo Sayang, pesawat kita akan berangkat sebentar 

lagi.”Hanifah menarik tangan Aila lembut, membawanya menuju 

pintu keluar kafetaria.

Aila sudah berada di pesawat bersama Hasan dan Hanifah. 

Sepasang suami istri itu benar-benar membawanya ke Jakarta, ke 

rumah pribadinya sendiri. Yang membuat Aila merasa bahagia,

karena Hasan membawanya ke Jakarta, jauh dari Azlan. Tapi dia

merasa sedih, melihat ekspresi Akhtar yang melihatnya pergi 

bersama Hasan. Bahkan Akhtar memeluknya erat.

Aila merasakan usapan lembut di lengannya. "Tenang aja. 

Papamu baik-baik aja kok. Lagipula di sana ada Hafizh." Aila 

mengangguk mendengar penjelasan dari Hanifah. Aila memeluk 

Hanifah, sosok pengganti kedua dari sang mama yang telah

meninggal.

***

Aila kini sudah berada di rumah pribadi Hasan. Rumah 

bergaya minimalis bercat biru. Biru terusssss.

Aila ditarik Hasan untuk keluar rumah, Hasan 

membawanya ke kantor, karena mendapat telepon dadakan, yang 

mengharusknnya ikut dalam pertemuan dua matra. Aila disuruh 

menunggu di kafe dekat markas. Hasan berhenti di lapangan 

tembak, dia menghampiri seorang lelaki tinggi, yang bersiap untuk 

menembak.

“Aizan,” sapanya.

“Siap, Ndan.”

“Ikut saya.” Aizan berjalan di belakang Hasan. Tanpa 

bertanya sepatah kata pun, dia mengikuti langkah Hasan, hingga 

menuju kafe. Langkah Hasan berhenti di meja nomor sepuluh, 

dengan gadis muda yang sedang menikmati minumannya. Mata 

gelapnya, memandang gadis itu dengan berbinar. Gadis cantik.

Aila memandang Hasan dan lelaki itu bergantian, Hasan 

mengenalkannya dengan seorang pria berbadan tegap yang dengan 

sengaja dibawa oleh Hasan untuk menemani dirinya. Seorang 

Perwira Angkatan Laut berpangkat Letnan Satu bernama Aizan. 

Laki-laki yang ramah dan murah senyum, yang dilihat pertama kali 

oleh Aila.

”Jadi, dia siapanya Papa Hasan?” tanya Aila.

“Dia Aizan, yang akan menemani kamu, Nak. Papa harus 

ikut rapat dua matra, maaf ya, Nak.” Aila memilih kembali duduk

dari Hasan, dia merasa dongkol sekali.

Aila memandang Aizan yang berdiri di belakang Hasan. 

Aila tersenyum ramah. "Aizan Alfarezel." Aizan memperkenalkan 

dirinya. 

"Aila Nuha Zahira."

"Kamu ajak makan dulu ya, Aizan. Papa harus kembali." 

Aila mengerutkan bibirnya. Aizan gemas sendiri ingin mencubit.

Aizan di kode Hasan agar mengejar Aila dan mengajaknya

memutari kota Jakarta sepuasnya dengan mobilnya dan harus 

dengan utuh membawa Aila kembali pulang tanpa lecet sedikit pun. 

Luar biasa tanpa lecet.

Aila dan Aizan mengobrol dan bercanda ria untuk mengusir 

kebosanan kala menunggu Hasan selesai rapat. Bagi Aila, sosok 

Aizan sangat hangat. Tidak mudah bagi Aila untuk bercanda 

dengan lelaki lain selain saudaranya sendiri.

Sejak saat itu, mereka sering bertemu dan ngobrol bersama.

Aila nyaman dengan pertemanannya bersama Aizan. Aizan sudah 

seperti kakak dan sahabat bagi Aila. Aizan jatuh hati pada Aila, 

Aila sendiri juga ada hati dengan Aizan. Tapi Aila sadar, bahwa 

Aizan hanyalah selingan sebelum dia menikah dengan Azlan.

Jika mengetahui kenyataan, bahwa Azlanlah yang akan 

menikah dengannya setelah dia pulang untuk berlibur dari sini, 

benar-benar dia abaikan. Aila merasa mendapatkan kebahagiaan 

darinya walau sesaat bersama Aizan. Aizan mampu membuatnya 

tersenyum bahkan tertawa lebar kala Aizan melihatnya bersedih.

Atau dengan telatennya mendengarkan Aila bercerita sepanjang 

apapun, jika mereka bertemu.

Aila kini duduk di teras belakang rumah Hasan. Dia 

memejamkan matanya untuk menikmati semilir angin sore. Tak 

terasa dirinya berada di Jakarta selama dua bulan. Bersama dengan 

Aizan setiap hari membuatnya merasa tidak perlu kembali ke 

Surabaya dan menikah dengan Azlan.

Sania My BesTie

Asyik ya, lo liburan

Gue balik ke Bandung nih

Bawain gue oleh-oleh yang banyak

Wajib

Bang Hafizh Anak Darat

Om Akhtar frustasi kamu gak pulang-pulang

Azlan setiap ketemu selalu tanyain kamu sampai Abang bosan

Bang Habib Anak Laut

Jahatnya kamu tinggalin Abang dek

Abang digodain cewek nih

Bantuin Abang dek

Letnan kutub

Sampai kapan di sana?

Kita belum menghadap Danki dan Danyon, jangan lupa dengan 

pernikahan kita Aila.

Pelatih Abil

Dimana tidak ikut latihan?

Tidak ada satupun pesan dari mereka yang dibalas oleh 

Aila. Aila menaruh ponsel nya kembali. Dia memejamkan 

matanya. Kenyataan tentang dia yang akan menikah dengan Azlan 

membuatnya tersadar bahwa Aizan bukanlah jodohnya, siapa yang 

ingin melawan takdir? Tentu saja Aila ingin. Samar-samar dia 

mendengar suara Hasan memarahi seseorang di telepon.

"Kurang ajar. Bisa-bisanya dia melarikan diri ke luar negeri 

setelah apa yang dia lakukan pada putri saya. Ya sudah biarkan 

saja, saya berdoa semoga dia mendapatkan balasan yang setimpal. 

Terima kasih."

Aila tahu bahwa yang dimaksud adalah Raya dan Vebby. 

Aila kembali masuk ke rumah. Di sana sudah ada Hasan dan 

Hanifah yang sedang meminum tehnya. Bersikap biasa seolah tidak 

terjadi apa-apa.

"Papa Hasan." Aila duduk di tengah Hasan dan Hanifah. 

Aila menyandarkan kepalanya di bahu Hanifah. "Ai, kangen 

mama."

Hanifah memeluk Aila dan mengusap punggungnya pelan. 

Aila menangis sesenggukan. Hanifah menepuk-nepuk kecil 

punggungnya pelan.

"Boleh Ai pulang ke Bandung Ma? Pa?" tanyanya hati-hati. 

"Ai juga harus menghadap ke Danki dan Danyon, si kutub udah 

ngingetin Ai untuk nikah sama dia."

"Kamu serius menerima dia sebagai suami kamu, Nak?" 

tanya Hanifah hati-hati. Aila menguraikan pelukannya. ”Bukannya 

mama gak setuju, tapi mama harap kamu bahagia, Nak. Bahkan 

Aizan sepertinya suka sama kamu.” Baru kali ini perasaan Aila 

gamang.

"Ai ingin Papah bahagia Ma. Setidaknya itu yang bisa Ai 

berikan setelah sepuluh tahun ini Aila menjauhi Papah." Hanifah 

memeluknya. Keputusan Ai udah bener ‘kan Ma?

Hasan membelai rambut Aila dan mencium puncak 

kepalanya. "Besok kita ke Bandung. Lusa kamu bisa menghadap 

Danki dan Danyon kalau itu keputusanmu."

Aila memeluk Hasan erat. "Terima kasih Papa Hasan. 

Terima kasih."

***.

Malam harinya Aizan datang ke rumah Hasan, membawa 

sekotak coklat dan boneka teddy bear berwarna pink. Aizan 

memberikan hadiahnya ke Aila yang hanya diam menatapnya 

bingung. Bingung dengan perasaannya sendiri. Aizan atau Azlan 

pilihan papanya.

"Aila," sapanya seperti biasa. Aila tersenyum dan menyuruh 

Aizan Untuk duduk. "Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu." 

Aila mengangguk dan menunggu Aizan bicara.

“Apa?” tanya Aila bingung. Aizan tersenyum manis dan 

membuat kadar ketampanannya bertingkat. Ma, lihat deh betapa 

tampan dan baiknya dia.

“Untuk kamu. Saya jatuh cinta sama kamu.”Aila membeku 

dengan ungkapan hati Aizan, Aila hanya bingung bagaimana dia 

menjawabnya. Dia merasa bersalah padanya, Aizan yang selalu 

membuatnya bahagia, dan membuatnya merasakan apa itu jatuh 

cinta yang menyenangkan.

“Kak, maaf.” Aila diam, dia menarik napasnya kembali, 

menghilangkan sesak di dadanya. Berusaha menghalau air mata 

yang siap keluar, jika mengingat hati yang akan patah. “Aku ...

sudah dijodohkan dengannya, Lelaki pilihan papaku, Lettu Azlan.”

Rasanya hati Aizan remuk, bagaimana bisa dia tidak 

mengetahuinya, bagaimana bisa dia tidak memastikannya dari 

awal? Ah, rasanya hati ini semakin sesak mengetahui yang 

sebenarnya. Nyesek perasaan itu gue saat ini.

“Nggak papa. Saya paham kok, Aila,” panggilnya lembut. 

“Saya bersedia menerima kamu kembali, jika suatu saat nanti,

kamu ... benar-benar membatalkan perjodohan kamu dengan 

Letnan itu.” Nungguin gak pasti? “Saya pamit ya, Ay.”

Aila tersenyum dan mengangguk. Benar sekali, Aila 

merasakan jatuh cinta pada pesona Aizan. Aizan pamit, dia tak kuat 

menahan sesak jika dekat dengan Aila. Setelah mobil Aizan 

berlalu, dia berlari ke kamarnya.

Aila terduduk di lantai kamarnya,dia menangis, menangisi 

patah hatinya sendiri. Cinta yang baru akan berkembang itu harus 

dia pupus. Aila tidak ingin membuat Akhtar malu jika menolak 

perjodohan itu. Membayangkan Akhtar terpuruk saja Aila tidak 

tega. Tapi perasaan pada Aizan yang menjadi korban.

Ma, apa yang ai lakukan ini sudah benar? Demi 

kebahagiann Papa, Ai rela melepasnya Ma...

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status