Share

Gaji Saya Lebih Dari Cukup

Aku menatap Adnan dengan gaya tidurnya yang terlentang dan tangan kanannya ia luruskan ke samping hampir mengenai dinding kamar.

'Anak ini, tidur gak ada cantik-cantiknya,' batinku sambik berdecak.

Tak lama, sebuah tangan menampar pipiku dengan kasar sehingga aku sangat terkejut dengan kejadian yang begitu cepat.

"Main tabok aja," ucapku tanpa menyingkirkan tangan mungil itu dari wajahku.

Aku menarik selimut yang turun sampai pinggangnya, untuk menutupi sebagian tubuhnya sampai leher dan menutupi tangannya juga.

 Suhu di subuh ini sangat dingin. Tanganku terulur menyibakkan beberapa helai rambut ikalnya yang menutupi wajah itu dari mataku dan mengarahkan kepalanya agar menghadap ke arahku.

1 jam aku menikmati wajah damai gadis yang sudah resmi menjadi milikku. Tapi, tidak ada pergerakan darinya. Dia tidak merasa terganggu ketika aku menyentuh pipinya lalu beralih ke dagu.

Netraku terhenti tepat di bibir plumnya berwarna natural. Sebagai pria normal, ada rasa ingin menyentuh aset kecil dan mungil dari Adnan. Aku menggelengkan kepala seraya membuang pikiran kotor itu.

Aku melirik ke arah jam dinding, 2 menit lagi adzan subuh. Aku berinisiatif membangunkannya dengan pelan membuat gadis itu menggeliat sambil melenguh tak jelas.

Lucu.

Aku bahkan terkekeh pelan melihatnya dengan wajah baby face, wajah bantalnya yang lucu.

Kelopak matanya terbuka seiring netra itu munusuk indra penglihatanku. Tangan yang tadinya menyentuh pipiku, bergerak menjauh.

"Cepat bangun, salat subuh." 

Aku menyibakkan selimut lalu beranjak dari ranjang dalam keadaan yang sangat berantakan.

Aku menghidupkan kran di wastafel lalu mencuci muka sambil membaca niat. 

Setelah selesai, aku menyuruh Adnan untuk segera mengambil air wudu sebelum subuh habis. Padahal masih ada untuk 1 jam ke depan.

Kami melaksanakan salat subuh diimami olehku dan diakhiri dengan mengucapkan salam. Aku melihat Adnan merangkak di atas ranjang lalu kembali tertidur dengan posisi tengkurap. 

Sepertinya ia sangat lelah dan masih mengantuk pagi ini. Aku mengambil Al-Qur'an yang berada di nakas dan kembali duduk bersila di atas sajadah seraya membaca artinya di dalam hati.

30 menit kemudian, aku menutup Al-Qur'an itu lalu meletakkan di tempatnya semula lalu melipat sajadah.

Aku melihat ke arah ranjang di mana Adnan telah tertidur dengan pulasnya dan melihat selimut tebal itu menutupi seluruh tubuhnya hingga kepala.

"Apa tidak sesak ya, tidur dengan posisi seperti itu?" 

Aku berjalan ke arah ranjang lalu memberbaiki posisi tidur Adnan dengan terlentang lalu mengarahkan kepalanya ke kanan. 

Cukup sulit, karena aku harus membalikkan tubuhnya terlebih dahulu, lalu mengangkatnya dan meluruskan kakinya. 

Setelah di rasa cukup, aku menarik selimut tebal itu sampai batas leher.

Aku menghidupkan humidifier lalu meninggalkannya di dalam kamar. Indra penciumanku terpancing untuk berjalan menuju dapur.

***

Aku melihat mama sedang berkutat di dapur sambil memegang teflon hitam itu dengan keadaan kompor menyala.

"Masak apa, Ma?" 

Aku memeluk wanita yang melahirkanku ke dunia ini dari belakang. Aku menghiraukan keberadaan Papa sedang duduk di meja makan sambil membaca koran.

"Dendeng kesukaan kamu," jawab mama.

"Adnan mana?"

Aku melepas pelukanku dari mama lalu membalikkan tubuhku menghadap papa.

"Tidur, Pa. Dia lelah," jawabku seraya menggeser kursi lalu menjatuhkan bobot tubuhku di sana.

"Kamu mainnya kasar, brutal. Kamu gak mikir ya, Adnan itu perempuan," celoteh papa padaku. Astaga, dia berpikir bahwa aku sudah melakukannya bersama Adnan.

Aku menepuk jidatku sendiri.

"Ya, enggak lah, Pa. Mana mungkin dikasih duluan. Butuh waktu," ujarku lalu meneguk air mineral hingga tandas.

"Astaga, Reyn. Papa sama Mama butuh cucu."

Aku tersendak mendengar penuturan papa barusan. Adnan juga butuh mental, dan keberanian. Pernikahan ini hanya aku yang minta. Sedangkan Adnan, hanya terkejut dan dia menerima semuanya dengan lapang dada.

Hoam.

Aku dan papa menoleh ke arah gadis dengan rambut yang sangat berantakan bak singa sambil menguap. Aku menatapnya jijik. Mulutnya kembali terbuka, dengan gerakan cepat aku mengambil tissue di tengah-tengah meja makan lalu memasukkan kertas putih dan lembut itu ke dalam mulutnya.

"Kak Reyn!" teriak Cinta tidak terima dengan perlakuanku padanya.

"Harusnya kamu itu keluar dari kamar udah cantik. Udah segar. Ini masih berantakan, udah ke dapur aja. Rambut kayak singa dibangga-banggain lagi," gerutuku sambil menarik beberapa helai rambut lurusnya ke belakang. 

"Ah, sakit. Kakak durhaka," ejeknya padaku.

"Oh, kalau Kakak durhaka, kamu bisa kelaparan waktu sekolah. Tahu!" ketusku sambil memelototkan mataku padanya.

"Kayak gue dong. Rapi, ganteng."

"Alah, tapi belum mandi."

"Setidaknya gak kayak kamu." 

Aku menoyor keningnya menggunakan jari telunjukku.

"Aish," sungut Cinta. Ia menuangkan air ke dalam gelasnya lalu meneguknya hingga setengah.

"Makanan sudah siap!" teriak mama dengan senyumannya. Ia meletakkan teflon itu di atas meja lalu menuangkan isinya ke dalam piring.

"Kakak ipar gue mana?" tanya Cinta sambil menyendokkan nasi ke piringnya.

"Tidur," jawabku seraya mengambil paksa sendok nasi itu darinya.

"Kakak udah melakukan kewajiban sebagai suami, ya?" terka Cinta padaku.

"Urus kuliahmu. Pikiranmu kotor sekali," geramku menatapnya.

"Hehehe, mian."

Mian=> Maaf.

Kami sarapan pagi ini dengan sepiring dendeng sapi kesukaanku dan papa. Setiap minggu, mama selalu men-stock daging sapi 500 gram di dalam kulkas. Apalagi kalau papa pulang ke Indonesia, dia pasti memesan agar mama memasakkan dendeng sapi untuknya.

"Oh, iya. Nanti kalian ke rumah Paman Jeehyoon ya, dia gak bisa datang ke acara kita kemaren. Deman kata Bibi," ucap papa sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.

"Iya, Pa. Nanti Reyn bilang kalau Adnan udah bangun," kataku lalu memberikan piring kotor ke Cinta yang menikmati sarapannya.

"Bisa gak sih, letak di wastafel aja. Nanti aku cuci kok!" teriaknya saat aku mencuci tangan di wastafel.

"Lama." 

Aku mengusap tanganku yang basah ke wajahnya sehingga ia memukul punggung tanganku dengan kasar.

Aku menaiki anak tangga lalu membuka pintu kamar. Adnan sedang berdiri di dekat jendela kamar. Ia sedang menikmati matahari pagi yang hangat itu masuk melalui kaca jendela itu.

"Gak sarapan dulu?" tanyaku seraya menutup pintu kamar lalu berjalan mendekatinya.

"Nanti."

"Mulai sekarang, kamu gak perlu kerja lagi. Urusan kamu sama keluarga itu tanggung jawab saya." 

Aku menyimpan kedua tanganku di balik punggung lalu berdiri di sampingnya.

"Ta--"

"Gaji saya lebih dari cukup." 

Aku memotong ucapannya sambil melihat wajah bantalnya khas orang baru bangun tidur.

"Kenapa?" Aku bertanya sambil menatapnya teduh. Adnan menggelengkan kepalanya lalu memutuskan netra kami yang sempat bertemu beberapa detik lalu.

"Papa nyuruh kita ke rumah Paman Jeehyoon dan Bibi Kim. Butuh 2 jam untuk sampai ke sana. Kamu siap-siap." Aku berjalan menuju kamar mandi, meninggalkannya yang berada di kamar.

Selesai mandi, aku tak melihat keberadaan Adnan di kamar. Aku membuka pintu kamar lalu terdengar suara tertawa Cinta di bawah. Mereka sedang menonton film kartun Doraemon di televisi.

"Kukira dia bakalan pergi dari sini," gumamku berjalan masuk ke dalam kamar. Setelah selesai berpakaian, aku mengancingkan kemeja berwarna hitam dan menyemprotkan parfum ke pakaianku.

"Adnan, mandilah." 

Aku berdiri di anak tangga pertama lalu Adnan menoleh ke arahku. Ia berpamitan pada Cinta dan diangguki olehnya. Langkahnya berjala. mendekatiku lalu masuk ke dalam kamar.

"Dia udah makan?" tanyaku menatap Cinta yang sedang memakan beberapa cemilan.

"Udah," jawab Cinta.

Aku berjalan keluar rumah lalu duduk di kursi teras rumah. Aku mengeluarkan ponsel sembari menunggu Adnan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status