"Ayo."
Aku menoleh ke arah Adnan yang memakai baju kaos berwarna hitam lengan panjang serta rok kembang berwarna biru senada dengan jilbab yang ia ikat ke belakang.
Aku bangkit dari duduk lalu berjalan menuju mobil lalu Adnan masuk ke dalam dan kami berangkat menuju rumah Paman Jeehyoon.
"Kita ke swalan dulu, beli buah." Aku membelokkan mobil memasuki parkiran swalan lalu berjalan masuk beriringan dengan Adnan.
"Kamu aja yang pilih buahnya," ujarku pada Adnan.
Tangan mungilnya mulai memilih buah-buahan lalu menimbangnya yang hampir 3 kilogram. Aku menambahkan 3 piring buah anggur yang berukuran setengah kilo.
Aku menuntun Adnan berjalan ke kasir untuk membayar buah tersebut menggunakn kartu ATM dan kami kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Pama Jeehyoon.
"Ini rumahnya?"
Aku menatap Adnan yang sedang memperhatikan rumah megah berwarna biru. Mobil berhenti tepat di luar pagar rumahnya, karena halaman rumanya hanya kecil tidak bisa memuat 3 mobil di sana.
Aku dan Adnan keluar dari mobil sambil Adnan menenteng belanjaan kami, tanganku menggenggam tangannya dan berjalan masuk ke dalam halaman rumahnya.
Aku memencet bel rumah yang tak jauh dari pintu utama sambil tersenyum pada Adnan untuk mencairkan suasana. Adnan membalasnya dengan tersenyum simpul.
Ceklek!
Pintu terbuka dan terlihat Bibi Kim membukakan pintu seraya tersenyum hangat menyambut kami. Aku mencium tangannya diikuti Adnan lalu kami dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya.
Dari kejauhan, aku melihat Dara, Sarah dan Azka berlari ke arahku. Aku menyambut mereka dengan merentangkan tangan dan berpelukan hangat.
"Apa kabar kalian?" tanyaku menatap mereka.
"Baik, Om. Ini istri Om, ya?" tanya Sarah anak kedua dari Paman dan Bibi Kim ini.
Aku menganggukkan kepala sembari menatap mereka yang sudah bertambah tinggi.
"Tante cantik banget, Dara kalo udah besar nanti mau jadi perempuan cantik kayak Tante," ucap Dara dengan polosnya.
"Iya Sayang, belajar yang rajin dulu ya, biar cepat besar." Adnan menyentuh pipinya dengan lembut lalu mereka bertiga memeluk Adnan.
"Papa kalian gimana kabarnya?" Aku menatap mereka satu per satu.
"Udah mendingan kok Reyn, cuman gak mau makan bubur," jawab Bibi Kim. Beliau menuntun kami berjalan memasuki kamar sambil menggendong Azka karena ia sangat lengket denganku. Sementara Dara dan Sarah berjalan memegang tangan Adnan.
"Annyeong," sapaku saat kaki kami menginjak kamarnya.
Annyeong=> Halo
"Wah, saya kira kalian gak bakalan datang." Paman Jeehyoon tersenyum pada kami.
"Ah, Paman bisa aja," pungkasku. Kami duduk di sisi ranjang miliknya. Adnan tersenyum hangat pada beliau seraya meletakkan buah itu di nakasnya.
"Udah gak kerasa ya, kamu sekarang sudah memiliki istri. Cantik lagi."
Aku terkekeh pelan mendengar penuturan dari Paman Jeehyoon, ada-ada saja dia. Tapi, ada benarnya juga. Sekarang aku mendapatkan seorang gadis yang sederhana, apa adanya dan juga pendiam.
"Makasih, Paman," ucap Adnan seraya menundukkan kepalanya.
"Oh, iya. Bibi kupas dulu buahnya." Bibi Kim membawa buah tersebut keluar dari kamarnya, sementara kami tetap berada di kamar.
"Apa kalian sudah merencanakan bulan madu?"
Aku terdiam sambil melirik Adnan, lalu melihat anak-anak Paman Jeehyoon yang juga menatap kami.
"Paman, gak pantas membicarakan hal itu di sini. Ada anak-anak," desisku pelan.
"Kau tidak melihat paman, ya? Hei, aku sudah punya tiga, kapan kau mencetaknya?"
Paman menepuk bahuku sedikit keras sehingga aku sedikit terhuyung ke samping.
"Semuanya butuh proses, Paman." Aku menjawab seadanya.
"Ini buahnya, di makan, ya." Bibi Kim meletakkan 3 piring di meja berukuran 60 inchi yang bisa di geser tepat di depan Adnan.
"Makasih, Bi."
Aku mengambil 1 potong buah terlebih dahulu. Karena Adnan tidak akan mengambilnya lalu diikuti anak-anak paman dan Adnan. Sepiringnya lagi, Bibi Kim menyuapi paman, sungguh adegan romantis ini membuatku iri. Benar-benar iri, apa Adnan bisa merasakan hal itu?
"Gimana rasanya?" tanyaku pada Azka yang berada di pangkuanku.
"Manis, Om," jawabnya dengan mulut penuh.
"Om sama Tante tadi beli buah anggur yang banyak untuk kalian, dihabiskan, ya." Aku mengacak-acak rambut Sarah yang ikal dan tergerai itu membuatnya menatapku jengkel.
"Tante, Om selalu begitu," adunya pada Adnan.
Adnan menanggapinya hanya tersenyum sambil meletakkan Sarah ke pangkuannya.
"Dara gimana?"
Aku dan Adnan menatap Dara yang duduk di depanku. Aku tersenyum melihat wajahnya yang sedikit memerah.
"Ayo, di sini sama Oppa."
Azka merentangkan tangannya ke arah Dara si bungsu. Mereka selalu akur, kecuali Dara dan Sarah. Sedikit saja, masalah bertamah besar oleh dua bocah cilik perempuan ini.
Tapi, karena Azka adalah anak pertama, jadi ia jarang membuat keributan diantara adik-adik perempuannya.
"Nda, Aka pengen punya adik laki-laki," keluh Azka yang berada di pangkuanku. Bibi Kim termenung mendengar penuturan sang anaknya.
"Bukannya ini udah cukup?" tanyaku menatapnya.
"Gak ada teman Aka main bola, Om. Masa Aka main bola sendiri, papa gak bisa temanin karena kerja. Bunda masak di dapur, Sarah sama Dara main boneka," desisnya seraya menujuk mereka satu per satu.
"Kau tahu, ada anak seumuranmu yang tidak punya saudara. Tapi, dia tidak kesepian sama sekali. Sedangkan Azka punya banyak saudara, walaupun perempuan. Tapi, tanggung jawabmu sebagai laki-laki adalah menjaga mereka," terangku. Walaupun aku tahu anak umur 5 tahun tidak mungkin mencerna semua kata-kataku.
Paman Jeehyoon menatapku kagum.
"Om juga punya adik perempuan, tapi cuman satu. Sedangkan kau dua."
"Tapi, Om juga punya dia." Azka menunjuk Adnan dengan jari mungilnya.
"Om, kalau mau punya adik. Azka mau yang laki-laki."
Aku tertegun mendengar permintaannya. Apa mungkin bisa? Aku menatap Adnan lalu kembali ke Azka yang menunggu jawaban dari bibirku.
"Doakan Om ya, Sayang."
Aku memeluk Azka dan Dara yang berada di pangkuanku. Cukup lama kami bermain dengan mereka, aku bermain bersama Azka di belakang rumah karena ia membawaku bermain bola. Sementara Adnan bermain bersama Dara dan Sarah di kamar mereka.
Rumah ini cukup luas tiga kali lipat dari rumah mama. Tapi, halaman depannya kecil, sedangkan di belakang tidak terlalu luas, tapi itu tidak masalah.
Bibi Kim mengosongkan halaman belakangnya, sementara halaman depan dipenuhi dengan tanaman bunga hias.
Pukul 5 sore, kami memutuskan untuk pamit pulang. Sarah menatap Adnan sendu saat kami masuk ke dalam mobil.
"Kapan-kapan Tante main ke sini lagi, Sayang!" ucap Adnan sedikit berteriak lalu aku menjalankan mobil dengan perlahan sebelum menghilang dari pandangan mereka.
"Kayaknya mereka udah lengket sama kamu," ucapku sambil melirik sekilas ke arah Adnan.
"Iya," ucap Adnan.
Aku kembali meliriknya ternyata ia tersenyum ketika kembali mengingat kejadian di mana aku melihat Adnan bermain boneka lalu peralatan masak-masakan dengan anak Bibi Kim.
Senyuman itu membuatku terenyuh, untuk pertama kalinya ia tersenyum selebar itu. Berbeda dengan lalu. Hanya senyuman kecil, tidak semanis ini.
Saat aku fokus memikirkan senyuman Adnan, tiba-tiba ponselku yang tergeletak di dashboard berbunyi satu kali menandakan pesan masuk.Aku meraihnya lalu melihat pesan tersebut yang ternyata dari mama, ia menyuruhku untuk pergi ke Indomaret untuk membelikan beberapa cemilan karena sudah habis."Dari siapa?"Aku menoleh ke arah Adnan yang menatapku penasaran."Dari mama, nyuruh ke Indomaret beli cemilan," jawabku sambil meletakkan ponsel di dashboard. Mobil berhenti tepat di depan swalayan kecil lalu kami keluar.Aku mengambil keranjang yang tersusun rapi lalu berjalan menuju rak yang menyediakan beberapa cemilan, sementara Adnan mengikutiku dari belakang.Tanganku mengambil cemilan kesukaan aku dan Cinta. Setelah dirasa cukup, aku membawanya ke kasir untuk dibayar."Rp 521. 600," ucap pelayan pria itu sambil membungkuskan cemilan yang kupesan.Aku mengambil dompet lalu menyerahkan karu ATM padanya dan menuntun Adnan u
Mobil memasuki pekarangan rumah, aku turun dari mobil sambil menenteng ponsel lalu menutup garasi. Langkahku terhenti saat mama keluar dari rumah sambil berkacak pinggang. Salahku apa sekarang?"Dari mana aja?" tanya mama sambil menatapku tajam."Ada hal penting."Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, tapi lebih dahulu ia tahan. Sehingga aku kembali berdiri di tempat yang sama."Di mana?"Terpaksa aku harus jujur sekarang."Dari rumah Jaya, temanin ke rumah baru. Sekaligus pesan beberapa interior rumah ke Alazka," jelasku. Mama menganggukkan kepalanya lalu menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang bagiku masuk ke dalam rumah.'Akhirnya,' batinku sambil tersenyum.Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan melihat Adnan yang tengah duduk di ranjang sambil memainkan ponselnya tanpa menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya."Ekhem."Adnan menoleh ke arah pintu di mana aku berdiri. Ia mendengar dehemank
Sampai di rumah, aku berjalan menuju dapur lalu meletakkan madu pesanan mama di dalam kabinetnya dan masuk ke dalam kamar."Maaf, ya. Saya pulang telat, tadi habis ke rumah Ibu," ucapku pada Adnan yang duduk di bibir ranjang. Mungkin dia menunggu kedatanganku."Aku juga minta izin untuk renovasi rumahnya terus kasih uang," sambungku sambil mendudukkan tubuhku di sampingnya."Makasih ya, udah mau rubah kehidupan gue."Adnan membuka suaranya. Aku mengganggukkan kepala sambil tersenyum lembut padanya."Saya mandi dulu."Aku berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti lalu masuk ke dalam kamar mandi.Setelahnya, kami melaksanakan salat magrib lalu makan malam. Aku membicarakan perihal untuk mengisi rumah baru yang akan kutempatkan bersama Adnan. Hanya berdua, lalu perihal renovasi rumah untuk sesegera mungkin.Papa mendukung niat baikku, aku tersenyum bahagia bisa menolong keluarga istriku.Malam ini,
"Kita ke rumah kamu sekarang."Adnan menoleh ke arahku yang sedang memeluk dirinya. Pagi ini, udaranya sangat dingin karena hujan semalam cukup lama."Oke."Adnan berlari masuk ke dalam rumah, mungkin bersiap-siap. Aku merengangkan otot-ototku yang kaku sehabis tidur lalu masuk ke dalam kamar.****Aku mendengar suara shower di kamar mandi, lalu membuka almari untuk memasang jaket parasut, ponsel dan headset dan lari pagi. Sudah lama aku tidak melakukan kegiatan ini.50 menit kemudian, aku selesai lari dan berjalan santai menuju rumah.Ping!Ponselku berbunyi lalu melihat pesan masuk dari Jaya bahwa ia sudah mendapatkan beberapa tukang untuk merenovasi rumah ibu Adnan."Assalamualaikum," ucapku berjalan masuk ke dalam rumah sambil menatap ponsel."Astaga, Kakak. Kami dari tadi udah nunggu. Cepatan mandi!" teriak Cinta padaku.Puk!
"Dulu, saya beragama kristen. Tapi, semenjak saya di Indonesia, saya mualaf dan dulu saya juga berpacaran. Orang Korea juga, setelah pindah ke Indonesia, wanita itu memutuskan hubungan kami sepihak. Mulai dari sanalah saya tidak mau berpacaran. Jadi, saya menikahkan kamu."Aku menatap Adnan yang sedari tadi mencuri pandang padaku."Apa dia cantik?""Iya. Putih, tinggi, tapi sayang, dia menjadi jalang di Korea. Gak tahu kalo di sini," ujarku."Itu kriteriamu?"Aku menoleh ke arah Adnan dengan kata 'mu' yang ia lontarkan padaku."Iya.""Kenapa memilihku?"Jujur, ada perasaan senang di sana, Adnan sudah mengganti kata 'lo-gue' menjadi kata 'aku-kamu'."Dia itu gak bisa membuat jantung saya berdetak tidak normal bila berdekatan dengannya. Tapi, kamu."Aku menatapnya tajam seolah memenjarakan bola mata indahnya tepat di bola mata legamku."Ah, kita pulang sekarang."Adnan membalikkan tub
Pagi ini, aku melaksanakan rutinitas sebelum berangkat ke kantor.Cinta tidak masuk kelas karena dosennya sedang berhalangan untuk hadir."Saya pergi dulu, ya."Aku mengecup keningnya saat kami berdiri di teras rumah. Aku melihat ekspresi Adnan yang kaku, membuatku gemas seraya mengacak-acak surainya."Masuk, gih. Jangan tinggalin rumah."Aku memberikan pesan padanya lalu melihat pintu rumah itu tertutup rapat dan pergi menuju kantor menggunakan mobilku.***Di perjalanan, aku menginformasikan pada orang yang mengerjakan rumah Ibu untuk segera bergerak cepat karena sebentar lagi aku akan mengisi rumahnya.Sampai di parkiran kantor, aku memakai jas seraya berjalan masuk ke dalam lobi menuju ruanganku. Ada 3 tumpuk berkas di sana."Bakalan lembur nih," gumamku seraya menaikkan suhu ruangan menggunakan remote control di meja kerja.Tok ... tok ... tok ...."Masuk!" teriakku sembari menekan tombo
PoV AuthorAdnan terlihat gelisah karena Reyndad belum juga turun untuk makan malam bersama, padahal mereka sudah menunggu kedatangannya dari tadi."Nan, coba susul suami kamu ke kamar," ucap Fina. Adnan beranjak dari kursinya lalu berjalan menuju kamar. Terlihat seorang pria berbaring di ranjang memunggunyinya.Ia berjalan mendekatinya lalu melihat mata pria itu sudah tertutup rapat dengan wajahnya yang letihnya. 'Jangan kubangunkan,' batin Adnan lalu meninggalkannya di kamar."Sudah tidur, Bu. Kita makan malam saja," ujar Adnan lalu mereka memulai makan malam bersama tanpa Reyndad.***Setelah selesai, Adnan langsung menuju kamarnya lalu berbaring menghadap sang suami.Tangannya terulur menyentuh wajah tampannya, wajahnya semakin tampan karena ada tahi lalat di bawah mata sebelah kanannya, bibirnya yang merah sedikit terbuka, bulu mata serta alisnya yang tebal, wajahnya yang berkilau dan mulus, hidungnya yang mancung.
Setelah selesai berkebun, Adnan dan Silvia masuk ke dalam rumah, sementara Fina membantu Bi Minah di dapur.Keadaan tangan Silvia dan Adnan dipenuhi dengan tanah hitam yang mereka gunakan untuk menanam beberapa bunga.Mereka membersihkannya di wastafel dapur, lalu Adnan berpamitan untuk ke kamar.Sampai di kamar, Adnan membersihkan tubuhnya lalu melaksanakan salat dzuhur lalu tidur siang di atas ranjang.Silvia membuka pintu kamar sang menantu lalu melihat pendingin ruangannya tidak ia hidupkan.Mungkin dia tidak tahu, atau Reyn tidak memberitahunya, pikir Silvia. Ia masuk secara perlahan lalu menghidupkan pendingin ruangan dan keluar dari kamar.Adnan tidak mengetahui hal tersebut karena tubuhnya sudah lelah.****Pukul 17.05 WIB, Reyndad pulang dari kantor dan mendapati seorang gadis yang sudah berbaring di ranjang dalam keadaan seprai selimut dan bantal yang berantakan.Posisi