Share

Adnan, Masuk ke Kamar

Mobil memasuki pekarangan rumah, aku turun dari mobil sambil menenteng ponsel lalu menutup garasi. Langkahku terhenti saat mama keluar dari rumah sambil berkacak pinggang. Salahku apa sekarang?

"Dari mana aja?" tanya mama sambil menatapku tajam.

"Ada hal penting." 

Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, tapi lebih dahulu ia tahan. Sehingga aku kembali berdiri di tempat yang sama.

"Di mana?"

Terpaksa aku harus jujur sekarang.

"Dari rumah Jaya, temanin ke rumah baru. Sekaligus pesan beberapa interior rumah ke Alazka," jelasku. Mama menganggukkan kepalanya lalu menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang bagiku masuk ke dalam rumah.

'Akhirnya,' batinku sambil tersenyum.

Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan melihat Adnan yang tengah duduk di ranjang sambil memainkan ponselnya tanpa menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya.

"Ekhem."

Adnan menoleh ke arah pintu di mana aku berdiri. Ia mendengar dehemanku cukup keras sehingga ia meletakkan ponselnya di samping ranjang.

Aku berjalan mendekatinya sembari meletakkan ponsel dan kunci mobil di nakas.

"Besok saya kerja di kantor. Tak apa kalau saya tinggal, 'kan?" Aku menatapnya. Adnan menganggukkan kepala dengan wajah datar.

"Saya mandi dulu." 

Aku beranjak dari ranjang menuju kamar mandi lalu mengunci pintu dari dalam.

"Apa gue bilang aja ya, ke Adnan?" gumamku berdiri di depan wastafel. Aku memutar kran lalu memulainya dengan mencuci wajah dan menggosok gigi terlebih dahulu lalu mandi.

Aku keluar dari kamar mandi dengan telanjang dada sambil mengusap rambutku yang basah dengan handuk kecil.

Sekilas aku melirik ke arah Adnan yang sedang membaca buku sambil berbaring.

"Kalau baca buku itu duduk. Bisa-bisa rusak mata kamu," nasehatku.

 Ia menatapku tajam lalu menempelkan buku tersebut di wajahnya ketika melihat penampilanku.

Aku terkekeh pelan sambil membuka lemari lalu mengeluarkan baju kaos warna hitam pendek lengan dan celana training abu-abu lalu kembali ke kamar mandi.

****

Setelah selesai makan malam, aku masuk ke dalam kamar untuk melihat pekerjaan besok pagi dari monitor komputer. Aku meminta beberapa file dari Tio selaku sekretarisku.

Cukup banyak dan padat, ada 3 rapat yang harus kulayani dari berbagai orang penting ternama. 

Huft, aku harus menyiapkan energi untuk besok. Tapi, keberadaan Adnan membuat langkahku keluar dari kamar lalu menatap ke bawah. 

Tidak ada orang di sini. Netraku teralihkan ke kamar Cinta yang pintunya terbuka sedikit. Tanpa pikir panjang, aku mengintip dari balik pintu lalu melihat Adnan dan Cinta sedang menatap layar pipih milik Cinta.

'Apa yang mereka lihat?' batinku seraya mendorong pintu kamar Cinta sehingga membuat mereka terkejut bukan main.

"Sudah jam 10 sekarang. Apa yang kalian lihat di ponsel itu?" tanyaku menatap dua gadis yang sedang duduk di ranjang itu.

"Kepo banget sih, Kak. Ini urusan perempuan, tahu!" ketus Cinta.

"Adnan, masuk ke kamar."

Adnan beranjak dari ranjang milik Cinta lalu berjalan ke arahku sambil memegang handle pintu. Setelah Adnan masuk ke dalam kamar milik kami, aku menutup pintu sambil mengucapkan selamat tidur pada Cinta.

****

"Besok saya ke kantor pagi hari." Aku berucap seraya membaringkan tubuhku di samping Adnan.

Aku memutar kepala untuk melihatnya, dan ternyata gadis ini sudah menutup matanya. Berarti tadi aku berbicara sendiri?

Aku meletakkan tanganku di bawah tengkuknya lalu menyimpan tangan kananku di depan perutnya tanpa menyentuhnya sama sekali. Sesekali aku menghirup rambut Adnan yang harum membuat hatiku tenang.

***

Pagi ini, aku memakai jas hitam senada dengan celana di padukan dengan kemeja putih dengan dasi dongker. Jam tangan sudah menempel manis di pergelangan tangan kiriku. Sementara Adnan sudah hilang saat aku selesai mandi.

Aku melangkahkan kaki keluar dari kamar menuju dapur dan melihat Adnan dan mama sedang berkutat di dapur.

"Kapan kamu akan renovasi rumah menantu Mama?" tanya mama yang sudah tahu kehadiranku.

"Nanti pulang kerja, Reyn langsung ke sana, Ma. Bilang sama Ibu Mertua," ucapku menatap Adnan yang berjalan ke arahku sambil meletakkan sarapan di atas meja.

"Gak ada ucapan 'selamat pagi' ya, Sayang?" godaku pada Adnan membuat mama memicingkan matanya ke arahku.

"Nanti aja," sahut papa yang duduk di sampingku. Aku merasa malu saat itu juga.

"Cinta, sarapan, Nak!" teriak mama di ambang pintu dapur.

"Iya!" sahutnya sambil menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa sambil menenteng tas, ponsel dan lip blam di tangannya.

"Kamu mau ke mana bawa-bawa lip blam segala?" tanyaku yang berada di sampingnya.

"Ya ampun, Kak Reyn. Ke sekolah juga harus cantik kali," gerutunya sambil menyendok nasi goreng ke mulutnya tanpa minum terlebih dahulu.

"Cantik gak cantik pun, kamu di mata Kakak tetap jelek," racauku menatap sarapan hari ini.

Setelah selesai sarapan, aku berpamitan pada mama, papa dan Adnan. Aku harus mengantar bocah centil ini ke universitasnya yang lumayan jauh dari kantor. Belum lagi macet, huft, sabar Reyn. Ini juga demi kantor dan Adnan, bukan?

"Makasih, Kak. Kamu memang Kakakku paling ganteng dan pelit."

 Cinta menutup pintu mobil dengan kasar setelah ia menyalami tanganku. Begitulah, kalau ada maunya. Pasti memasang wajah yang menggemaskan lalu menjelek-jelekkan diriku. 

Aku melihatnya berlari ke arah teman-temannya lalu menuju ke kantor.

****

Pukul 17.08 WIB, aku keluar dari kantor. Hari ini, aku akan ke rumah Ibu Adnan sekaligus melihat Chaca--adik Adnan. Tapi, aku harus membawa beberapa kilo buah-buahan, kue dan perlengkapan dapur mereka seperti sabun, sampo, pasta gigi, sabun cuci piring dan sirup.

Setelah membayar barang-barang tersebut, aku meletakkannya di bagasi mobil kecuali buah dan kue brownies ukuran jumbo, aku meletaknya di kursi penumpang.

****

Sampainya di sana, aku turun dari mobil lalu membuka gerbang rumah mereka lalu kembali masuk ke dalam pekarangannya. Cukup luas, dan muat untuk 9 mobil mewah. Lahannya kosong tanpa ada tanaman, tapi bersih. Ibu mertua merawatnya dengan sangat baik.

"Assalamualaikum," ucapku dengan keras sambil mengeluarkan barangku dari bagasi mobil dan meletakkannya di teras rumah.

"Waalaikum salam. Eh, kamu Nak," sapa ibu mertua padaku. Aku mencium tangannya lalu dihadiahkan senyuman Chaca yang berjalan ke arahku.

"Hai, cantik. Nih, Kakak bawain kue sama buah."

 Aku memperlihatkan kue dan buah yang ada di tanganku. Ia meraihnya dengan sopan, aku mengacak-acak rambutnya dengan gemas.

Adnan dan Chaca berbeda. Adnan mempunyai rambut yang ikal, sedangkan Chaca mempunyai rambut yang lurus seperti aku dan Cinta.

"Kok banyak banget, Nak. Ini merepotkan," ucap ibu mertua padaku sambil memegang bahuku.

"Ah, belum Bu. Ada yang mau Reyn omongin. Tapi, di dalam ya, Bu." Aku berucap dengan sopan lalu meletakkan barang-barang itu ke dalam rumah.

Aku duduk di bangku bambu yang cantik, sembari menunggunya membuatkanku teh hangat. Aku sempat menolak, tapi melihat tatapan tajam ibu seakan tak diperbolehkan, terpaksa aku mengalah.

"Gimana sekolahnya?" 

Aku menatap Chaca yang sedang memakan buah anggur yang tak jauh dariku.

"Lancar kok, Kak," ucapnya dengan mulut penuh.

"Silahkan, Nak." Ibu meletakkan teh hangat 2 gelas di depanku dan untuk anaknya.

Aku meraih gelas itu lalu menyeduhnya sedikit. 

"Gini, Bu. Reyn mau merenovasi rumah ini. Bukan apa-apa, hanya memperbaiki saja yang lebih baik dan bagus." 

Aku menatap ibu yang duduk di sampingku.

"Ini rumah kontrakkan, Nak. Gak bisa di rombak," tuturnya.

"Saya beli, Bu. Saya lunasi secepatnya dan membuat surat rumah dan tanahnya atas nama Ibu." Aku meraih tangannya agar ia merestui dan menyetujui permintaanku. Terlihat matanya memerah. Apa dia marah padaku?

"Terima kasih Sayang. Kau selalu berjasa pada kami."

"Justru saya yang berterima kasih karena Ibu sudah merestui hubunganku dengan anak Ibu." 

Kami berpelukan sambil meredakan ibu yang menangis bahagia di pundakku.

"Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu. Ini ada uang, walau sedikit. Gunakan yang baik ya, Bu." 

Aku memberikan sebuah amplop coklat yang kusisihkan dari kantor sebelum pulang senilai 72 juta.

"Untuk kamu sama Adnan saja," tolaknya.

"Ah, Ibu gimana, sih? Reyn udah asingkan buat kalian. Rezeki bisa di cari, Bu." 

Aku membuka ke dua telapak tangannya lalu meletakkan amplop tersebut padanya.

Aku mencium tangannya lalu mengecup kening Chaha sebelum akhirnya aku meninggalkan mereka. 

Aku mengeluarkan mobil dari pekarangan rumah lalu berhenti di rumah tetangga yang tak jauh dari rumah ibu mertua untuk menanyakan pemilik kontrakan itu.

"Gak jauh kok, Mas. Di depan ada rumah besar, mewah. Itu rumahnya."

Aku mengucapkan terima kasih lalu kembali masuk ke dalam mobil dan menancap gas ke arah depan yang tadi di bilang wanita paruh baya itu.

Aku keluar dari mobil sambil membawa kunci mobil, ponsel dan dompet. Langkahku berjalan memasuki ke dalam pekarangan rumahnya.

Tok ... tok ... tok ....

Aku mengetuk pintu rumahnya lalu keluarlah wanita paruh baya dengan make up yang sangat menor, gelang emas di tabgannya berjejer rapi lalu menatapku dari atas ke bawah. Sangat sinis.

"Ada apa?" tanyanya seraya melipat tangan di dada.

"Saya mau membeli rumah kontrakkan Ibunya Adnan," ucapku sambil tersenyum ramah.

"Mau bayar berapa?" tanyanya sambil tersenyum meremehkamku.

'Astaga, wanita ini. 45 hektare pun akan kulunaskan,' batinku sambil menahan emosi.

"Berapapun yang Anda mau."

"55 juta gimana?" tanyanya.

"Bisa dikurangi? Lagi pula lahannya tidak luas lebih dari 1 hektare," tolakku.

"49 juta aja, deal."

"Oke, berikan saya nomor rekening Anda. Saya akan transfer uangnya sekarang juga."

 Aku memberikan ponselku padanya. Matanya melotot melihat ponselku. Dengan tangan yang bergetar, ia mengetik nomor rekeningnya lalu aku memperlihatkan pesan masuk di ponselku padanya bahwa uang tersebut sudah sampai ke rekeningnya.

"Saya juga minta." 

Aku memasukkan dompetku di saku celana.

"2 hari lagi, surat tanah dan rumah itu harus ada di tangan saya. Saya tunggu di rumah Adnan. Permisi." 

Aku melangkahkan kakiku keluar dari pekarangannya menuju mobil.

"Sombong banget, baru aja punya kost-kostan, udah melangit," gerutuku lalu menancap gas menuju rumah.

Ting!

[Belikan Mama madu, Sayang.]

Aku segera membelokkan mobil menuju swalayan lalu membeli madu yang mama cari. Aku melihat gambar madu itu pada kasir, karena aku tak mau berlama-lama karena hari sudah gelap. Setelah selesai, aku pulang ke rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status