Share

Bab 2. Selalu

I Love You.

Are you listening? Only you.

_Always_

Aku menatap rumah di depanku dengan heran, tidak biasanya rumah yang kutempati terlihat sesepi ini. Kemana semua orang? Kurasa ada cukup banyak orang yang tinggal didalamnya, tapi kenapa mereka semua tidak memberi kabar apapun kepadaku? Lalu apa gunanya ponsel canggih yang mereka miliki?

“Pak.. yang lain kemana?” Tanyaku pada Pak Harto, selaku satpam yang bekerja di rumah. Dia yang membukakan gerbang untukku tadi.

“Ibu sama Bapak pergi, Ra. Mereka bilang mau ke Bogor, Eyang sakit.” Jelas pria berusia setengah abad itu.

Ahh.. pantas saja tidak ada mobil di garasi. Eyang sakit? Aku tidak peduli, toh aku juga bukan cucu kesayangan untuknya.

Jujur saja, aku kurang dekat dengan keluarga dari Ayah. Mereka memang berlimpah untuk harta, namun minim fungsi hati nurani. Kebanyakan dari mereka jenis manusia yang paling kuhindari. Sombong dan tidak beretika. Huh.. aku tidak menyukainya.

Aku mengangguk, “Makasih infonya, Pak.”

“Iya, Ra.. sama-sama.”

Aku lebih memilih berjalan masuk kedalam rumah lewat pintu garasi. Aku tidak mau membuat lantai rumah kotor karena ulahku yang berjalan dengan baju basah.

Hujan yang turun ternyata benar-benar awet hingga malam hari. Aku terjebak di dalam cafe selama seharian penuh. Sebenarnya bisa saja aku memesan taksi online, namun menunggu hujan reda dengan laki-laki asing yang baru kukenal ternyata menyenangkan.

Aldo, ahh.. laki-laki itu, apa dia sudah sampai di rumahnya sekarang?

Sebenarnya, ide gila untuk pulang dengan menerobos hujan menggunakan sepeda motor milik laki-laki humoris itu. Dan aku lebih gila lagi karena menerima idenya. Aku tertawa kecil mengingat betapa anehnya aku hari ini. Memperkenalkan diri kepada orang asing, mengobrol dan tertawa dengan orang yang baru dikenal, serta menghabiskan hampir sebagian besar waktu liburku di luar rumah.

Apa ada yang tahu kalimat selain aneh?

“Kenapa ketawa sendiri kayak gitu?”

Aku tersentak ketika mendengar suara laki-laki yang amat kukenal. Alvin, pria yang menjadi tunanganku selama 2 tahun itu menatapku yang tengah mengeringkan rambut dengan penuh selidik. Tangannya menyilang didepan dada, wajahnya menuntut meminta jawaban atas pertanyaannya.

“Kamu disini? Gak ada mobil di depan.” Ucapku keheranan. Biasanya jika laki-laki itu datang, mobil bercat hitam jelas terparkir di depan rumahku.

“Aku naik taksi. Kamu dari mana aja seharian?”

“Rumah temen. Ada urusan.” Lebih baik berbohong demi kebaikan daripada mendengarnya marah. Aku sungguh lelah hari ini, mendengarkan Alvin yang marah tentu bukan termasuk daftar hal yang akan kulakukan setelah sampai di rumah.

“Sekali lagi aku tanya, kamu dimana seharian ini?”

Pertanyaan yang sama terulang kembali dari dirinya. Jika sudah seperti ini, aku yakin sebenarnya dia tahu kemana perginya aku selama seharian ini. Dia hanya menuntutku untuk berbicara jujur padanya.

Aku menghela nafas lalu menjemur kembali handuk yang sebelumnya kupakai pada tempatnya semula.

“Cafe.” Singkatku. Sungguh, aku lelah untuk berdebat dengannya. Aku mendelik saat Alvin yang sengaja menghalangi pintu hingga aku tetap terjebak di ruangan yang sama.

“Siapa laki-laki itu? Kalian keliatan akrab.” Tanyanya sinis. Tatapannya menyiratkan peringatan jika aku memang harus menjawab dengan jujur pertanyaan ini.

Aku tidak terkejut mendengar pertanyaannya. Sikap Alvin memang terkadang kelewat gila jika berkaitan denganku.

“Cuma kenalan doang.” Sahutku malas.

“Kenalan sampai tukeran nomer telepon gitu?”

Aku menatapnya jengah. Apa dia tidak merasa lelah setelah seharian bekerja dan sekarang malah mengajak ribut seperti ini?

Aku yakin, dia langsung ke rumahku selepasnya pulang kerja, buktinya kemeja lengkap dengan celana bahan masih menjadi pakaian yang digunakannya.

“Aku capek Al, jangan ngajak ribut. Aku sama dia gak ada apa-apa, murni cuma temenan.” Jelasku mencoba bersabar. Aku bukan orang yang sabar, tapi laki-laki ini selalu menguji batas kesabaranku. Laki-laki menjengkelkan yang membuatku rela melakukan hal-hal bodoh yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.

“Kamu pikir kamu doang yang capek? Kamu yang ngajak ribut kenapa nyalahin orang?!” Ucapnya mulai meninggi.

Memangnya aku menyalahkan dia? Aku rasa tidak.

Mataku memicing kearahnya. “Berhenti mata-matain aku. Aku bukan anak kecil yang harus selalu kamu awasin, Al!” Tegasku.

“Cih, diawasin aja kamu masih berani deketin laki-laki lain apalagi gak diawasin. Bisa-bisa kamu selingkuh!” Tuduhnya.

Hilang sudah batas pengendalian diriku. Aku menatapnya marah, persetan dengan leherku yang akan sakit nantinya karena terlalu lama mendongak karena perbedaan tinggi kami.

Selingkuh katanya? Bagaimana bisa aku melihat laki-laki lain sementara dirinya masih jadi penghuni abadi di hatiku?

Dia laki-laki yang berhasil membuatku terlihat bodoh selama belasan tahun hanya karena mencintainya. Seharusnya dia percaya jika aku tidak mungkin melakukan hal-hal aneh seperti itu. Seharusnya dia mengenalku seperti aku mengenalnya.

“Mau kamu apa sih, Al?! Aku nungguin kamu di cafe selama hampir 3 jam tanpa ada kejelasan dan sekarang aku pulang, kamu malah marah-marah gak jelas? Seolah-olah aku yang salah di sini! Don’t playing victim, Al!” Ucapku meninggi.

Rahangnya mengetat, dia benar-benar marah padaku. Selama hampir 2 tahun kami menjalin hubungan, aku memang lebih banyak mengalah disaat kami bertengkar. Tapi hari ini adalah pengecualian. Aku lelah dengan hubungan satu arah ini.

Playing victim, huh? Baru satu hari kenal laki-laki lain aja kamu udah berani ngejawab, Ra?!”

Aku terdiam. Dia benar-benar buta atas kesalahannya sendiri. Ya Tuhan, mencintai laki-laki ini malah terlihat seperti kutukan untukku.

“Mulai besok, aku suruh orang untuk antar jemput kamu di kampus. Kamu gak boleh pergi tanpa supir ataupun aku, Ra!” Lanjutnya tak ingin dibantah.

Aku menatapnya nyalang. “Kamu pikir kamu siapa bisa kekang aku kayak gini, Al?! Ayah sama Ibu aku aja gak kayak gini kok! Aku gak mau!” Teriakku kesal.

Alvin menaikan sebelah alisnya. “Aku? Aku tunangan kamu kalau kamu lupa. Dan aku gak terima penolakan. Suka gak suka, aku tetep suruh orang buat jagain kamu. Nggak ada bantahan!”

“Mau kamu apa sih, Al? Lebih baik kita putus aja..” Lirihku. Dia tidak bisa selamanya memaksakan keinginannya padaku. Hubungan yang sehat itu harus berjalan 2 arah. Saling menerima dan menghargai. Tapi dia tidak pernah memberikan itu kepadaku.

Ada keterkejutan yang aku tangkap di matanya ketika aku mengucapkan kalimat terakhir itu. Aura gelap semakin menguar di tubuhnya, rahangnya mengetat dengan kedua telapak tangan yang mengepal di sisi tubuhnya.

“Putus? Kamu pikir kita pacaran? Kita udah tunangan, Ra. Gak ada kata putus di dalamnya.” Ucapnya egois.

Air mata yang sejak tadi kutahan pun mengalir keluar melewati pipiku. Aku menatap sedih kearahnya. Semakin hari bersama dengannya malah semakin membuatku ragu bahwa dia juga mencintaiku. Aku tidak pernah mengerti jalan pikirannya, kadang dia bertindak seolah-olah takut kehilanganku tapi dilain waktu benar-benar acuh padaku.

“Aku capek, Al..” Lirihku.

Dia merengkuh tubuhku yang bergetar karena tangis kedalam pelukannya. Aku tidak suka jika orang lain melihatku menangis, tapi dia selalu menjadi orang pertama untuk hidupku, untuk semua hal yang kulakukan.

“Jangan ngomong kayak gitu lagi, Ra. Aku gak suka.” Ucapnya lembut namun tak ingin dibantah.

Aku mengangguk.

Katakan saja aku bodoh. Dari awal sudah kukatakan, sekalinya aku menyayangi seseorang maka aku akan benar-benar jatuh untuknya. Dan aku sadar, akan sulit bagiku untuk bangkit kembali.

“Maaf, gara-gara aku kamu harus nunggu berjam-jam di sana.” Aku mengangguk. Dia masih setia memeluk tubuhku. Tangannya bergerak untuk mengelus rambutku secara perlahan.

“Banyak pasien yang gak bisa aku tinggalin di rumah sakit, Ra. Itu juga yang buat aku lupa sama janji kita.” Jelasnya.

Apakah aku sudah memberitahu kalian bahwa Alvin adalah seorang dokter? Tidak seperti adiknya yang memutuskan untuk memimpin perusahaan keluarga, laki-laki itu lebih memilih menjadi dokter spesialis anak di salah satu rumah sakit swasta. Dia sangat menyukai anak kecil, dia juga yang membuatku peduli terhadap anak kecil.

Aku merengut mendengarnya. Terlalu banyak pasien yang dia tangani selalu menjadi alasan andalannya ketika dia membatalkan janji pertemuan kami. “Kamu bisa kabarin aku lebih awal.” Ucapku.

Dia melepas pelukannya. Senyum terpatri di wajah tampannya. “Maaf, kamu mau maafin aku, kan?” Tanyanya tanpa menghiraukan ucapanku sebelumnya.

“Permintaan maaf diterima.” Balasku. Alvin yang tersenyum lembut memang selalu berhasil meluluhkan rasa amarahku sebesar apapun kesalahan yang laki-laki itu perbuat. Aku tersenyum ketika dia menghapus sisa air mata di pipiku.

Selalu seperti ini akhirnya. Aku yang mengalah dan hubungan ini akan baik-baik saja seolah-olah tidak pernah terjadi pertengkaran diantara kami.

“Baju kamu basah. Ganti bajunya, nanti kamu sakit.” Perintahnya. Dia membalikkan tubuhku dan mendorongku masuk ke dalam rumah.

“Baju kamu juga basah gara-gara aku peluk.” Ucapku mengingatkannya.

Dia tersenyum. “Kamu lebih gampang sakit dibanding aku.” Dia mengambil tempat duduk di sofa ruang keluarga dengan aku yang berdiri di depannya.

“Cepet sana ganti baju!” Suruhnya lagi ketika melihatku bergeming di tempat. “Aku buatin teh hangat, ya.” Laki-laki itu kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur seolah ini adalah rumahnya sendiri, meninggalkanku sendirian di ruang keluarga.

“Eumm.. boleh kopi aja gak, Al?” Tanyaku agak keras saat Alvin sudah berada cukup jauh dari posisiku semula. Dia berbalik dan memandangku datar. Aku mengangguk kecil, mengerti penolakan yang dia berikan dan mulai berjalan menuju kamarku yang berada di lantai dua.

Love you, Rania.” Ucap Alvin agak keras.

Aku tersenyum dan berbalik kembali. “Love you too, Alvin.” Balasku.

___---___

Rania menatap bocah laki-laki di depannya dengan sebal. Sudah hampir seminggu sejak pertemuan pertama mereka berlalu, sejak itu pula bocah laki-laki yang memperkenalkan dirinya dengan nama Alvin mengikutinya.

“Ngapain sih ngikutin mulu? Rania kasih tau Ibu nih!” Ancamnya jengkel.

Rania, si gadis kecil dengan pipi gembul serta rambut berponi yang pendiam itu mendumal saat melihat Alvin malah cengengesan di depannya. Kakinya menyentak kesal lalu pergi berlalu meninggalkan Alvin.

“Iiihhh... jangan ngikutin!!” Teriaknya ketika mendapati si bocah laki-laki itu malah berdiri di belakangnya persis.

“Kita kan temenan. Kemana-mana harus barengan.” Alvin bersuara. Bocah kecil itu tidak terima jika harus diusir kembali oleh Ranianya.

“Siapa sih yang bilang kita temenan? Rania gak mau temenan sama kamu!” Ucap Rania keras kepala.

“Aku yang bilang.”

Bibir kecil Rania mengerut sebal. “Mereka aja gak mau temenan sama Rania, kenapa Alvin mau? Rania itu jahat, nakutin, sombong, aneh, pendiem. Nanti kamu ketularan lho..”

Alvin, si bocah laki-laki yang lebih tua satu tahun itu tertawa. “Mana ada. Kata Mama, kalo mau jadi anak yang pinter harus temenan sama anak yang pinter juga. Nah, Rania kan pinter, nanti Alvin ketularan pinternya Rania juga dong!” Bantahnya tak mau kalah.

Gadis itu melotot tak percaya. “Bukan ketularan itu maksudnya! Nanti kamu dijauhin juga lho, nanti kamu gak punya temen kayak Rania, nanti kamu diejek juga sama mereka, nanti__”

“Bawel! Gak usah dipikirin. Itu kan nanti, bukan sekarang.” Potong Alvin.

Rania menunduk sedih. Kedua matanya yang sipit memejam. Tak ada lagi rona kesal di raut wajahnya.

“Kamu kenapa?” Tanya Alvin yang kebingungan.

“Alvin jangan deket-deket Rania, nanti Alvin dijauhin juga.”

“Kan ada kamu, temen Alvin.”

Rania, si gadis kecil itu menatap Alvin tak mengerti. “Terus? Kita beda kelas.”

Alvin tersenyum. “Kamu ada buat aku, aku ada buat kamu. Kita main berdua aja, gak masalah kok.” Ucapnya polos.

“Beneran?”   

Alvin mengangguk mantap.

“Makasih, Al...”

“Sama-sama, Rania.”

*

*

*

Haii... Welcome to Nemoo's world..

Hmm.. ini cerita pertama Rri..

Nggak berharap banyak sih, dibaca aja udah bersyukur banget. Hehehe...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
anwar hidayat
Semangat nulisnya kakak...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status