Share

Bab 3. Orang Asing

Not friends, not enemies.

Just strangers with his smile.

_The Strangers_

Aku menatap laju mobil Alvin yang semakin menjauh. Tadi pagi, laki-laki itu datang ke rumah dan mengatakan bahwa dia sendiri yang akan mengantarku ke kampus.

Jujur saja, aku senang mendengarnya tapi ternyata saat di jalan, dia mengeluh karena belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi supirku. Aku tersenyum bodoh mendengarnya, kukira memang inisiatif dia untuk menjemputku.

“Hei.. ngeliatin siapa?”

Aku menoleh menatap laki-laki yang berada di sampingku. Tertegun sejenak melihat kehadirannya di sini. Sudah hampir 3 tahun aku berada di kampus ini, tapi aku tidak pernah melihatnya.

“Kenapa? Kaget, ya?” Tanyanya disertai cengiran khas.

Aku mengangguk menyetujui.

“Kamu kenapa disini? Kuliah disini, ya? Jurusan apa? Kali aja kita satu jurusan tapi beda kelas.” Tanyanya beruntun.

“Kamu ngapain?” Tanyaku balik.

Dia menghela nafas. “Kamu tuh ya, orang ditanya malah nanya balik.” Keluhnya.

Aku tersenyum. Masih memilih untuk menutup mulut sampai ia menjawab.

“Aku mahasiswa baru disini. Kamu ngapain?”

“Saya kerja di sini.” Jawabku. Aku pun berjalan meninggalkannya. Sebentar lagi aku ada kelas untuk mengajar dan aku tidak ingin terlambat untuk itu.

“Serius, Ran? Berarti kamu lebih tua dari aku dong?!” Teriak Aldo yang masih terdengar olehku.

Aku tersenyum. Tidak berniat berhenti untuk menjawab pertanyaannya. Bukankah sudah jelas jika usiaku memang lebih tua di bandingkan dirinya? Kira-kira, usiaku terpaut berapa tahun ya dengannya?

***

Tiga jam pun telah selesai, kini aku bisa sedikit bersantai sembari menunggu jam mengajar berikutnya. Aku melihat ponselku yang sedari tadi tidak pernah berhenti bergetar. Aku memang selalu membuat mode silent pada ponselku ketika aku tengah mengajar. Aku benci jika harus mengangkat panggilan telepon ketika tengah berada di kelas.

15 pesan dari ‘Let’s Get It’

Tumben sekali grup chat yang biasanya sepi kini aktif di jam sibuk. Grup itu hanya terdiri dari 3 orang, aku dan para sahabatku. Dan biasanya mereka tidak akan berkomentar apapun di dalamnya ketika hari sibuk. Grup itu hanya akan aktif pada malam hari serta weekend.

Dewi :

Ra.. gawat!

Raniaaaa.. jawab!!!

Masa gue liat cowok lo jalan sama cewek lain!

Sumpah deh!

Nissa :

Jangan sembarangan ngomong! Tuan wajah lempeng kayak dia

gak mungkin selingkuh!

Dewi :

Seriusss..Nissaa. Cowok Rania kan kerja di rs yang sama kayak gue

Masa gue salah liat sih.

Nissa :

Mungkin rekan kerjanya.

Atau pasiennya?

Dewi :

Heh.. dia itu dokter spesialis anak, mana mungkin pasiennya

mbak-mbak.

Nissa :

Ada buktinya gak? Gak ada, hoax!

Dewi :

Yahh.. gue lupa foto mereka.

Tapi gue berani sumpah, mereka keliatan akrab banget

Nissa :

Fix lo salah liat.

Mangkanya kacamata tuh rajin dibersihin biar gak burem!

Dewi :

Sialan lo!! Nanti kalo gue bersihin kacamata gue bilang lo deh!

Nissa :

Sipp..

Bu dosen sibuk. Jangan ganggu. @Rania

Dewi :

Bodo amat.

Aku tertegun. Benarkah orang yang dilihat Dewi itu Alvin? Tapi.. siapa perempuan yang bersamanya?

Sudah belasan tahun aku mengenal pria itu dan setahuku, Alvin bukanlah pria yang dapat akrab dengan orang lain kecuali jika orang itu memang telah cukup lama dikenalnya. Alvin berbeda dengan Aldo, pria itu tidak akan banyak bicara jika memang pembicaraannya tidak cukup penting. Karakternya hampir mirip denganku tapi dengan versi laki-laki.

Jika memang benar Alvin bersama perempuan lain, tidakkah laki-laki itu memikirkan perasaanku?

Sedikit tidak adil atas perlakuannya itu. Alvin selalu menjadi laki-laki yang acuh saat bersamaku walau aku tidak menampik bahwa masih ada sedikit perhatian yang dia berikan padaku. Namun benarkah orang yang dilihat Dewi itu Alvin, tunanganku?

Aku menghela nafas keras. Aku tidak boleh berfikir negatif tentang dirinya. Bagaimana pun aku belum tahu kebenarannya. Bisa saja itu hanya Ibu atau saudari perempuan dari pasiennya, kan?

Aku akan terus percaya padanya. Selama aku belum tahu kebenarannya, aku hanya harus selalu percaya padanya bahwa dia mencintaiku sama seperti yang sering diucapkannya.

“Ngelamun, Mbak?”

Aku menoleh menatap laki-laki berjaket abu-abu di sampingku, masih laki-laki yang sama seperti yang tadi pagi aku temui di depan gerbang. Aku heran, mengapa dia sering sekali muncul didepanku? Lalu menyapaku seolah-olah kami memang teman akrab.

“Mbak?” Tanyaku tak suka. Dia tersenyum dan duduk tepat di kursi di depanku. Aku memperhatikan dia yang menaruh tas ranselnya di atas meja kantin yang ku tempati.

“Aku rasa umur kamu jauh lebih tua dari aku. Gak enak kalo panggil nama doang tanpa embel-embel pembahasaan di depannya.” Jelasnya. Aku rasa aku tidak setua itu seperti gambarannya. Hah.. laki-laki ini benar-benar.

“Berapa umur kamu?” Tanyaku.

“Emm.. kalo gak salah, tahun ini kayaknya ke-25 deh.”

Kalo gak salah katanya? Usianya sendiri saja dia ragu? Dasar gila.

Dan aku terlihat lebih gila karena berteman dengannya. Ya Tuhan, aku baru sadar jika aku menjadi aneh sejak bertemu laki-laki ini.

“Hei? Halooo? Tuh kan ngelamun lagi. Seneng banget ngelamun sih, Mbaknya.” Tangannya melambai-lambai di depan wajahku.

Aku menepis telapak tangannya. “Berhenti panggil saya Mbak.” Desisku. Oh ayolah, usia kami hanya terpaut 2 tahun. Walau memang aku lebih tua, tetap saja aku tidak bisa mendengar dia memanggilku seperti itu.

Dia tertawa sembari menatap wajahku. Tolong katakan, apa ada yang lucu disini? Atau mungkin ada sesuatu di wajahku hingga laki-laki ini tertawa?

“Kamu lucu deh, Ran.” Jawabnya seolah dirinya dapat membaca pikiranku.

Aku mengernyit. Baru kali ini ada seseorang yang mengatakan aku lucu. Kebanyakan dari mereka selalu mengatakan bahwa aku tidak asik, terlalu serius, bahkan ada yang bilang aku datar. Tapi nyatanya laki-laki aneh yang sayangnya tak kalah tampan dari Alvin ini mengatakan aku orang yang lucu? Oh ya ampun, benar-benar suatu kejutan untukku.

Mau tak mau, aku ikut tersenyum lebar mendengarnya.

Raut wajahnya yang geli langsung berubah terkejut. “Kamu bisa senyum, Ran?! Ya ampun.. mimpi apa aku semalem sampai liat kamu senyum?” Tanyanya mendramatisir.

Aku mendelik. Baru tadi aku dibuatnya senang, sekarang dia malah membuat moodku anjlok.

“Kamu fikir saya manekin yang gak bisa senyum gitu?” Tanyaku sinis.

“Ohh.. ini kalimat terpanjang yang pernah aku dengar sejak kemarin kita ketemu.” Hebohnya. Kedua telapak tangannya bertepuk-tepuk kecil yang terlihat sangat kekanakan untukku.

Boleh aku mengumpat? Apa aku seburuk itu kemarin? Laki-laki ekspresif ini membuatku kehabisan kata-kata dengan tingkah ajaibnya.

Hening menghampiri kami. Aku lebih memilih menyibukkan diri dengan melihat hampa telepon genggamku. Berharap satu notifikasi pesan dari Alvin bertengger di layar ponsel.

“Jadi.. kamu mau dipanggil Ibu gitu?” Dia  membuka suara kembali.

Aku melotot kearahnya. Jika panggilan ‘Mbak’  saja aku menolak apalagi ini?! Jelas, TIDAK!

Dia terkekeh. “Biasa aja matanya, nanti ngegelinding keluar gimana?” Candanya.

Aku memukul kepalanya menggunakan buku yang kubawa sebelumnya. “Jangan ngomong sembarangan! Emang mata saya bola yang bisa gelinding sesukanya?” Sahutku malas.

“Hehe.. maaf, becanda doang, Bu.”

Aku menghela nafas. “Saya sudah bilang panggil Rania aja. Gak usah pake embel-embel segala, saya gak nyaman dengarnya.”

“Tapi kamu dosen di sini, umur kamu juga lebih tua.” Kekehnya.

Oh ya ampun, bisakah dia tidak membahas mengenai usia? Kata ‘tua’ jadi terdengar aneh di telingaku sekarang ini.

“Saya bukan dosen kamu.” Sahutku asal.

“Satu..dua..tiga..empat.. empat kata doang? Kamu harus sering ngomong, gratis ini. Kenapa harus pelit ngomong coba?”

Whatever.” Kesalku.

“Kamu dosen bahasa Inggris, ya? Itu buktinya ngomong Inggris.” Tanyanya polos.

Ingin rasanya aku tenggelamkan laki-laki ini di sungai A****n, lalu melihatnya merenggang nyawa karena dimakan hewan buas penghuni sungai itu. Hahaha... betapa senangnya aku jika hal tadi menjadi kenyataan!

“Hoohhoo... kamu ketawa sendiri?!”

___---___

“Rania jelek! Rania jelek! Rania jelek! Hhuuu....”

Rania, gadis berusia 8 tahun itu menangis dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Kunciran yang sudah susah payah dibuatkan Ibunya pagi tadi ditarik lepas hingga membuat rambutnya berantakan.

“Rania sombong... Masa mau mainnya sama Alvin doang!” Sahut temannya.

“Sok pinter!” Balas yang lain tak mau kalah.

Rania semakin terpojok. Jam istirahat membuat semua murid keluar dari kelas hingga meningggalkan dirinya sendirian bersama dengan ketiga temannya yang jahat. Tangisnya telah berhanti, namun dirinya memilih untuk terus menutupi wajahnya.

Merasa tak ada lagi suara, gadis gembul itu memberanikan diri untuk melihat keadaan sekitar. Tidak ada siapapun di kelas, hanya dirinya sendirian. Ia mengernyit heran, kemana perginya ketiga temannya itu?

“Ini..”

Gadis kecil itu terkejut saat sebuah es krim cokelat kesukaannya berada persis di depan matanya.

“Alvin?”

Bocah laki-laki itu tersenyum kemudian memilih duduk di samping si gadis. “Ini ambil, buat kamu.” Ia menyodorkan kembali es krim di tangan kirinya itu.

Tangan Rania terulur menerimanya. Dia tersenyum lantas membuka bungkus es krim itu dan mulai memakannya. Alvin pun melakukan hal yang sama.

“Jangan nangis.”

“Huh?”

Alvin menoleh kearahnya. “Kalo mereka nakal, laporin ke guru. Jangan nangis!” Ucapnya. Laki-laki itu menjilati es krim yang meleleh ke tangannya.

Rania melakukan yang sama, dia memakan es krimnya kembali sebelum menjawab ucapan teman beda kelasnya itu. “Nanti Rania malah makin dijauhin sama mereka. Rania pengen punya temen banyak kayak Alvin.”

“Kan Alvin temennya Rania.” Jawab si bocah laki-laki.

“Jangan gampang percaya sama orang asing kayak mereka. Mereka jahat, nanti kamu nangis lagi kayak tadi.” Pesan Alvin.

Rania mengangguk. “Iya. Rania mau main sama Alvin aja, mereka jahat. Nyebelin!”

Alvin, bocah laki-laki itu tersenyum membalas senyuman Rania. Sisa jam istirahat itu mereka habiskan untuk berada di dalam kelas berdua dan berbagi cerita bersama.

* * *

Jangan lupa tinggalin jejak kalian, yaa... 

Biar Rri tau kalo cerita ini ada yang baca. ^^

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status