Share

Bab 4. Mengantarmu

It’s fine, you don’t have to say sorry.

It’s enough just having you by myside.

You don’t need to say it.

_Take You Home_

Aku menatap gerbang kampusku yang sudah mulai sepi. Duduk sendirian di sebuah halte tanpa kegiatan berarti membuatku terlihat bodoh.

Matahari pun sudah mulai tenggelam untuk berganti tempat dengan sang rembulan. Hari sudah kian sore tapi belum ada tanda-tanda Alvin akan datang menjemputku seperti yang dia katakan satu setengah jam yang lalu.

Aku menghela nafas, semakin hari bersamanya semakin besar pula aku menyadari kebodohanku. Mengapa aku harus selalu menunggu jika bersama Alvin? Tidakkah laki-laki itu juga berpikir bahwa hubungan kami terlihat seperti dipaksakan?

Padahal kenyataannya, sama sekali tidak ada paksaan diantara kami.

Alvin, pria dengan sejuta pesona dan segudang misteri. Mengapa aku harus jatuh cinta pada laki-laki itu?

Alvin adalah teman masa kecilku. Kami bersahabat ketika masih duduk di bangku sekolah dasar hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama. Kami sangat dekat pada saat itu, setiap saat selalu bermain bersama. Bahkan tak jarang Alvin mengajariku mengenai soal-soal yang tidak kumengerti.

Alvin memiliki otak yang lebih cerdas di bandingkan aku hingga pada saat lulus, dengan mudahnya dia bisa masuk kedalam sekolah favorit meninggalkan aku yang masuk Sekolah Menengah Atas biasa.

Dan mulai saat itu, hubungan pertemanan kami agak sedikit merenggang. Kami menjadi semakin jarang bertemu karena kesibukan kami masing-masing, bahkan aku sempat lost contact dengannya hingga 4 tahun yang lalu kami bertemu kembali.

Rasanya benar-benar seperti mimpi ketika dia memintaku menjadi kekasihnya tepat disaat usiaku menginjak 25 tahun. Hari itu, Alvin tiba-tiba saja datang menjemputku ke rumah lalu mengajakku dinner bersamanya dengan alasan ingin merayakan hari ulang tahunku seperti yang selalu kami lakukan bersama.

Saat itu, Alvin benar-benar terlihat tampan dengan tuxedo nya, laki-laki itu membuat hatiku kembali berdegup kencang setelah sekian lama aku berpikir bahwa perasaanku padanya mungkin hanya sekedar cinta monyet ala anak kecil.

Alvin berhasil membuatku menatapnya kembali, laki-laki itu berhasil membuatku mencintainya.

Tinn...Tinn..

Aku tersentak ketika suara klakson mengejutkanku. Seorang laki-laki duduk diatas motor sport-nya dan menatap kearahku. Aku tidak bisa mengenali wajahnya karena dia menggunakan helm fullface, yang terlihat hanya sorot matanya yang nampak tidak asing untukku.

“Rania! Belum pulang?” Teriaknya.

Dia tahu namaku?

“Ini aku, Aldo.” Ucapnya. Laki-laki itu membuka helm dan turun dari motornya menghampiriku. Dia tersenyum dan menatap ke sekelilingku.

“Kok belum pulang, Ran?” Tanyanya kembali.

Aku baru menyadarinya jika dia menyingkat namaku menjadi panggilan yang berbeda dari semua orang.

“Kenapa Ran?” Tanyaku.

Aku melotot ketika dia mengacak rambutku, dengan spontan aku menepis telapak tangannya dari kepalaku.

Dia terkekeh. “Kamu tuh kebiasaan, ya. Orang nanya apa dijawabnya apa..”

“Kalo aku kayak kamu, udah kena keplak sama emakku. Orang ditanya malah tanya balik.” Lanjutnya lagi.

Aku tertawa melihatnya bergidik ketika membayangkan wajah Ibunya. Aku tahu, dia laki-laki yang menyayangi Ibunya. Kata Ibu, laki-laki yang menyayangi Ibunya adalah laki-laki yang baik. Dia tidak mungkin menyakiti hati wanita karena dia tahu, wanita itu berjasa dalam kehidupan.

“Kenapa ketawa?”

“Gak apa-apa.” Jawabku.

“Ayo! Pulang bareng aku aja, Ran. Udah hampir malem, emang gak takut duduk sendirian di halte? Nanti ada setannya lho...” Ucapnya dengan ekspresi takut yang dibuat-buat.

Aku tertawa kecil.

“Mau gak?” Tanyanya kembali.

Aku bimbang. Jika aku memilih pulang bersama Aldo lalu bagaimana dengan Alvin? Aku takut dia marah padaku, tapi menunggu Alvin sendirian di halte tanpa bisa menghubungi laki-laki itu juga bukan pilihan bijak untukku.

“Mikirnya lama banget, Mbak.” Cibir Aldo.

Aku mengangguk. “Yaudah deh, biar irit ongkos.” Putusku.

Baru saja Aldo menaiki motornya kembali, sinar terang menyorot kearah kami berdua. Aku menyipitkan mata untuk melihat dari mana sinar itu berasal. Tepat tidak jauh dari arah kami, sebuah mobil yang sangat kukenal berhenti. Sinar lampu mobil itu mati ketika sang pengemudi mematikan mesin mobilnya.

Aku terpaku melihat Alvin yang baru saja turun dari mobilnya, ia berjalan mendekat kearahku. Matanya menyorot tajam dengan wajah marahnya. Oke, Alvin mungkin salah paham melihat aku dan Aldo. Aku harus menjelaskannya.

“Alvin? Al.. emm.. ini gak kayak apa yang kamu liat kok. Aldo cuma_”

“Masuk mobil, Ra.” Perintahnya memotong kalimatku.

Aku mengangguk. Membantah perintah Alvin disaat laki-laki itu tengah marah sama dengan cari masalah. Aku melihat kearah Aldo, memberikannya isyarat lewat mata jika aku harus pergi sekarang dan laki-laki muda itu mengangguk mengerti.

Aku masuk ke dalam mobil Alvin meninggalkan laki-laki itu yang masih berada diluar berdua dengan Aldo. Mereka terlihat membicarakan sesuatu yang tidak kuketahui.

Tidak, bukan, hanya Alvin yang berbicara dan Aldo terlihat diam saja tanpa membalas sepatah kata pun hingga Alvin selesai berbicara.

Alvin kemudian berbalik dan berjalan menuju mobil. Wajahnya masih terlihat sangar seperti sebelumnya. Ia membanting pintu mobil ketika menutupnya lalu menjalankan mobil tanpa berbicara sedikitpun padaku bahkan menoleh pun tidak. Keheningan terjadi diantara kami. Aku tidak suka seperti ini, melihat Alvin yang diam saja padahal aku tahu laki-laki itu tengah marah padaku.

“Al.. a-aku bisa jelasin. Aku.. dia.. emm.. maksudku, kita beneran cuma temen. Tadi dia liat aku duduk sendirian di halte pas nungguin kamu datang, dia nawarin aku buat pulang bareng karena hari udah mulai malam. Karena aku pikir kamu mungkin lupa dan hp kamu juga gak bisa dihubungin jadi aku mau pulang bareng dia tapi pas liat kamu_”

“Cukup!”

Aku terkejut ketika Alvin membentakku. Biasanya dia tidak pernah seperti ini padaku. Dia tidak pernah membentakku. Dia tahu jika aku tidak suka dibentak oleh siapapun. Aku menutup mulut ketika isak tangis hampir keluar dari mulutku.

Alvin mengatur nafasnya perlahan, laki-laki itu menoleh sekilas melihat wajahku yang memerah. “Sekarang kamu cuma perlu jawab jujur pertanyaanku.” Lanjutnya.

Aku mengangguk kecil memberi jawaban tanpa membuka suara.

“Ngapain dia disana?” Tanyanya yang mulai mengintrogasiku.

“Di..dia kuliah disana.” Jawabku terbata. Aku memperhatikannya yang tengah menyetir. Matanya menyipit tajam setelah mendengar jawaban yang keluar dari mulutku.

“Kamu tau dia kuliah disana?”

Aku menggeleng. Aku benar-benar tidak tahu Aldo kuliah disana. Kami saja baru saling mengenal kemarin. Tidak mungkin aku tahu tentang dia.

“Kalau gitu pindah.” Ucap Alvin seenaknya.

Aku mengernyit mendengarnya. “Pindah?” Tanyaku pura-pura tak mengerti.

Alvin mengangguk. “Ya, kamu pindah ke universitas lain.” Matanya masih fokus pada jalan beraspal di depannya.

 “Gak bisa gitu, Al!” Sentakku. Dia tidak bisa berlaku semaunya. Laki-laki ini harus belajar jika apa yang dia inginkan tidak selalu bisa dia dapatkan.

Dia menoleh sekilas kearahku. “Kenapa? Kamu gak mau pisah sama dia?” Tanyanya sinis.

“Oke... aku bakal pindah ke Universitas lain, ... kalau kamu juga pindah ke RS lain.” Putusku.

Alvin mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus pindah? Aku udah punya banyak pasien di sana, mereka jelas butuhin aku buat bantu anak-anaknya.”

“Kenapa aku harus pindah kalau aku punya banyak mahasiswa yang harus aku ajar di sana? Karena Aldo? Cih.. aku fikir kamu orang yang profesional.” Balasku diakhiri dengan mencibirnya.

Setelah itu Alvin memilih diam tak membalas ucapanku. Wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya tapi justru itu yang membuatku takut. Tidak biasanya dia memilih untuk mengalah saat kami tengah beradu pendapat. Dibalik wajahnya yang tenang itu, aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.

Tiba-tiba saja aku teringat chat dari Dewi yang melihat Alvin bersama perempuan lain. Hatiku berseru bahwa aku harus bertanya padanya namun logikaku justru menentang ide tersebut. Tidak mau ambil pusing, aku memilih menatap jalanan lewat kaca mobil. Keheningan lebih baik daripada pertengkaran yang dapat membahayakan keselamatan kami berdua.

“Alvin.. kita mau kemana? Ini bukan jalan ke rumahku, ini jalan... ke rumah kamu?” Tanyaku. Laki-laki itu menoleh sekilas padaku lalu pandangannya kembali fokus pada jalanan didepannya. Aku pikir dia tidak akan menjawabku.

“Mama nyuruh kamu makan malam di rumah.” Jawabnya tenang.

Aku terkejut mendengarnya. “Kamu kok gak bilang?”

“Emang, ya?” Tanyanya disertai senyuman. Bukannya tadi dia marah? Aku malah jadi semakin takut atas sikap anehnya.

“Iihh... kamu gak bilang, Al.” Kesalku.

“Aku lupa, tadi siang Mama telepon aku nyuruh kamu dateng ke rumah buat makan malam bareng.”

Aku memilih diam tak menjawab. Biasanya dia selalu bilang padaku jika Ibunya memang menyuruku untuk main ke rumahnya jadi aku bisa menyiapkan sedikit buah tangan sebagai hadiah dariku. Atau paling tidak aku bisa pulang sebentar untuk mandi dan berganti baju, tidak seperti sekarang, malah terlihat seperti gembel yang ditemukan Alvin di jalan.

Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku, Alvin?

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status