Share

Bab 5. Ragu

Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu yang kutahu.

Namun kenyataan memang tak selalu berpihak.

Aku... meragu.

_Ragu_

Matahari sudah mulai naik ke peraduannya ketika aku baru saja menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Hari ini tidaklah terlalu sibuk untukku jadi aku bisa sedikit lebih siang untuk pergi ke kampus.

Lagipula tadi pagi sekali, Alvin memberiku kabar jika dirinya tidak bisa mengantar dan menjemputku seperti kemarin. Laki-laki itu bilang jika dia memiliki urusan penting yang harus segera ditanganinya.

Aku menuruni anak tangga menuju ruang makan rumahku. Kamarku memang berada di lantai dua rumah ini sementara kamar Ibu dan Ayah berada di lantai satu bersama dengan ruangan-ruangan lainnya. Di lantai 2 ini aku merasa bebas karena hanya berisi perpustakaan, kamar adik laki-lakiku serta kamarku. Adikku jarang bermain di lantai 2, dia hanya akan berada di kamarnya ketika tidur di malam hari.

“Pagi, Bu.” Sapaku pada Ibu yang tengah merapikan piring-piring sisa sarapan tadi.

Dia menoleh padaku lalu tersenyum. “Pagi, Kak. Baru bangun? Gak kesiangan?”

Aku menggeleng kemudian memilih duduk di salah satu kursi di meja itu untuk memulai sarapan. “Hari ini aku masuk kelasnya agak siang jadi bisa sedikit lebih santai.” Jelasku.

“Yaudah sarapan dulu. Nih ada nasi goreng buatan Bibi. Kalau gak mau, kamu bisa makan roti sama selainya.” Aku meraih roti dengan selai cokelat kesukaanku yang Ibu tunjuk sebelumnya. Beliau tahu jika aku tidak akan memakan nasi goreng buatan orang lain selain buatan dirinya.

Ibu berdecak kecil. “Sekali-kali cobain nasi goreng buatan Bibi, Kak. Gak kalah enak kok sama buatan Ibu. Kasian Bibi udah masak banyak.” Nasihatnya.

Aku tersenyum. “Iya, Bu. Nanti, kapan-kapan.”

“Kamu tuh, ya! Eehh iya, semalam kamu pulang jam berapa? Diantar Alvin, kan?”

Aku menelan kunyahan roti yang berada di mulutku sebelum mengangguk menjawab pertanyaan Ibu. “Iya, diantar Alvin. Aku pulang sekitar jam 10. Semua udah pada tidur, jadi gak enak kalo bangunin cuma buat salam.”

Ibu mengangguk. Beliau menaruh piring-piring itu di wastafel lalu duduk di kursi yang berada di depanku. Matanya menyipit penuh selidik kearahku.

Aku berdehem. “Ada apa, Bu? Kenapa ngeliatinnya gitu banget?” Tanyaku.

Matanya menyipit. “Kamu yakin Alvin laki-laki yang terbaik buat kamu?” Tanyanya penuh selidik.

Aku terdiam sejenak. Tidak biasanya Ibu membicarakan laki-laki itu seperti ini. Ibu dan Ayah bukan orang yang memaksakan kehendak mereka kepada anak-anaknya. Aku dan Ryan, adikku diberikan kebebasan untuk menentukan jalan kami masing-masing termasuk pilihan untuk urusan pasangan kami.

Aku mengambil segelas air yang telah disiapkan Ibu lalu meminumnya. “Dia laki-laki yang baik kok.” Jawabku mencoba bijak dengan pertanyaannya.

Ibu menghela nafas lalu memilih bangkit dari kursi. “Yaudah terserah kamu. Semoga kamu sama Alvin bisa bahagia nantinya.” Ucapnya sambil berlalu.

Ucapan Ibu membuatku kembali mengingat acara makan malam bersama keluarga laki-laki  itu semalam. Ada sedikit kejadian tidak mengenakan yang terjadi hingga makan malam itu berakhir dengan kecanggungan antara diriku dengan keluarganya. Kecanggungan yang terjadi karena ucapan Alvin padaku dan keluarganya.

“Rania..” Panggil seorang wanita paruh baya kepadaku.

“Iya, Bu?” Jawabku sopan.

Wanita itu menatapku lalu Alvin bergantian. Wanita itu adalah Ibu dari Alvin, laki-laki yang menjadi tunanganku.

“Kamu tuh, Ra! Dibilang panggil Mama aja, kamu tuh udah Mama anggap anak sendiri.” Sewot wanita paruh baya itu. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi kalimatnya.

“Mama tuh bingung sama kalian berdua. Kamu sama Alvin itu udah saling kenal dari dulu, udah hampir satu tahun lebih tunangan, tapi gak pernah ada omongan kapan hubungan kalian mau diresmikan ke jenjang yang lebih serius. Umur kalian udah cukup buat nikah. Hubungan kalian ini serius, kan?” Tanyanya.

Kedua orang tua Alvin, dan adik laki-lakinya melihat kearahku menunggu jawaban. Semua mata menatap kearahku, kecuali mata laki-laki itu. Dia masih setia untuk terus fokus pada piring makannya. Mungkin pertanyaan itu memang harus aku yang menjawabnya.

“A_”

Baru saja aku membuka mulut untuk berbicara, Alvin telah lebih dulu menyela ucapanku.

“Aku serius, tapi Rania gak seserius itu untuk hubungan ini.” Selanya membuat semua orang termasuk diriku mengernyitkan kening kebingungan.

Apa maksud kalimat itu?

Aku menatapnya penuh pertanyaan sementara laki-laki itu lebih memilih menatap semua orang dan berakhir menatapku. Laki-laki itu tersenyum kecil yang lebih mirip seringai.

“Iya kan, Rania?” Tanyanya sinis.

“Huh?” Hanya itu yang bisa kuucapkan dengan wajah bodoh. Apa yang laki-laki ini bicarakan? Tidak seserius itu katanya? Tidakkah dia tahu bahwa hatiku seperti ingin meledak ketika dia melamarku tahun lalu?

Bahkan aku masih bisa merasakan euphoria-nya sampai sekarang.

“Benar begitu, Rania?” Suara penuh wibawa itu mengejutkanku. Seorang pria paruh baya yang duduk di kursi pertama memberikan pertanyaan padaku.

Aku menarik nafas lalu menghembuskannya pelan. “Saya seserius Alvin untuk hubungan ini.” Jawabku mantap.

 Alvin berdecih setelah mendengar jawaban dariku. Ada apa sebenarnya dengan laki-laki ini? Dia terlihat seperti mengibarkan bendera perang denganku. Di depan keluarganya sendiri.

“Kamu mau kemana, Al?” Tanya Ibunya ketika melihat laki-laki itu pergi menjauh dari meja makan.

“Kamar.” Singkatnya.

Aku menunduk menatap piring dengan tatapan kosong. Alvin kini berubah menjadi sosok yang tidak kukenali. Alvin-ku telah berubah. Jika saja aku tidak mengingat dimana tempat kuberada, mungkin aku telah menangis karena perlakuan dinginnya padaku.

“Rania..”

Aku menatap sang kepala keluarga dengan mata yang berkaca-kaca. Setidaknya aku masih bisa menahan tangis walau mataku menunjukkan sebaliknya.

“Lanjutkan makannya.” Perintahnya yang langsung kulakukan.

Selepas kepergian laki-laki itu, tidak ada satu pun orang yang membuka suaranya. Kecanggungan benar-benar terasa mewarnai makan malam ini. Alvin tidak kembali sampai acara makan malam selesai. Ia bahkan baru muncul kembali ketika Ibunya menyuruhnya mengantarku pulang. Perjalanan menuju rumahku pun benar-benar terasa menyesakkan untukku.

“Heh!”

Suara Ibu membuatku sadar dari lamunanku. Ia menatapku dengan heran. “Pagi-pagi udah ngelamun. Mikirin apa sih, Kak?” Tanyanya.

Aku menggeleng. “Aku berangkat ya, Bu.” Pamitku kemudian mencium telapak tangannya.

“Ya.. hati-hati di jalan.” Pesannya.

“Oke, Assalamualaikum..”

“W*’alaikumsalam.”

***

Hari sudah semakin siang ketika aku memasuki cafe tempatku bertemu dengan kedua sahabatku. Semalam kami memang membuat janji untuk makan siang bersama disebuah cafe yang sering kami kunjungi.

Aku tersenyum ketika menemukan mereka yang melambaikan tangannya kearahku. Ahh... sudah lama sekali aku tidak bertemu mereka.

“Rania!!!” Heboh Nissa. Perempuan berhijab itu langsung memelukku erat.

“Hai, Tiara.. apa kabar? Tante kangen deh sama kamu..” Ucapku sembari memeluk seorang anak perempuan berusia dibawah 6 tahun setelah Nissa melepaskan pelukannya kepadaku.

Anak itu tersenyum memperlihatkan lesung dikedua pipinya. “Baik.. Tiara juga kangen sama Tante.” Ucap gadis manis itu membuatku tersenyum lebar.

“Paling juga kamu kangen dibeliin mainan sama Tante Rania.” Cibir Nissa pada puteri kecilnya.

Tiara langsung cemberut. “Biarin aja, Tante Ran kan baik.” Balas anak itu tak mau kalah dari Ibunya.

“Sama Tante Dewi tadi gak bilang kangen.” Ucap Dewi.

“Kalo sama Tante Dewi mah Tiara gak kangen. Abis setiap ketemu pasti Tiara dikasih obat vitamin, Tiara kan gak suka minum obat.” Jelas Anak itu penuh kejujuran.

Aku tertawa melihat Dewi yang cemberut. Dewi dan Nissa sudah menikah lebih dulu dibandingkan diriku. Berbeda dengan Nissa, Dewi dan suaminya belum diberikan kepercayaan untuk memiliki seorang anak ditengah pernikahan mereka.

“Duduk sini, Ra.” Ucap Dewi sembari menepuk pelan kursi disebelahnya. Aku mengangguk dan duduk di sampingnya.

“Apa kabar, Ra? Gue pikir lo lupa sama kita.” Ucap Dewi. Perempuan dengan kaca matanya itu meminum minuman yang telah dipesannya.

“Udah sih, biar si Rania pesen makan dulu. Lo gak liat badannya kurus kering gitu kayak orang kurang gizi? Padahal cowoknya dokter juga.” Cibir Nissa.

“Hahaha.. iya bener, Niss. Dari jaman kita sekolah sampai udah pada tua begini, badan si Bu dosen emang yang paling rata. Triplek aja kalah ratanya sama dia..” Timpal Dewi. Lalu mereka berdua pun tertawa dengan bahagianya.

“Sialan!” Makiku. Tidak ada kegiatan lain yang kami lakukan jika berkumpul selain mengejek satu sama lain. Namun mereka lebih sering mengejekku, mereka bilang aku lebih mudah untuk diejek dibandingkan mereka. Sialan memang!

Aku pun memanggil seorang pelayan dan memesan makanan yang akan menjadi menu makan siangku kali ini.

“Eh iya, Ra. Gue punya sesuatu buat lo, tapi janji ya jangan marah atau kesel sama gue?” Ucap Dewi setelah pelayan tadi pergi dari meja kami.

Aku melihat kearah Nissa namun perempuan itu memilih mengendikkan bahunya. Ada apa sebenarnya? Wajah Dewi terlihat sangat cemas.

“Oke, lo kayak gak kenal gue aja, Wi.” Jawabku mencoba santai.

Perempuan berkaca mata itu mengeluarkan ponsel canggihnya dari dalam tas lalu memainkannya sebentar sebelum memberikannya padaku.

“Maaf sebelumnya, Ra. Lo liat aja videonya sendiri.” Ucapnya tidak enak.

Aku pun menekan tanda play pada video tersebut. Video yang berdurasi kurang lebih 1 setengah menit. Video yang menampilkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tengah berbicara disebuah tempat makan.

“Alvin?” Gumamku ketika menyadari siapa laki-laki yang ada pada video tersebut.

Nissa mendekat kearahku meninggalkan puteri kecilnya yang tengah asik menyantap makanannya. Gadis berhijab biru dongker itu merapat kearahku demi melihat video tersebut.

“Jujur Vin, aku masih suka sama kamu.” Ucap perempuan dalam video itu.

Oke, ini hanya sekedar pernyataan. Perasaan seseorang tidak berhak orang lain tentukan. Tenangkan dirimu, Rania!

“Tolong, Vin. Kamu mau ya balikan lagi sama aku demi Papa?” Lanjutnya.

Aku tertegun. Permintaan bodoh macam apa itu? Apa wanita itu tidak bisa melihat cincin yang jelas-jelas melingkar di jari tengah tangan kanan Alvin? Laki-laki tidak mungkin memakai perhiasan jika tidak memiliki suatu ikatan asmara dibaliknya.

Laki-laki itu diam tak bereaksi. Perempuan berambut hitam sepunggung itu meraih tangan Alvin untuk digenggamnya. “Tolong aku, Vin..” Lirihnya semakin memohon.

Alvin menatap perempuan itu dengan tatapan yang sulit kuartikan. Dia tidak pernah menatapku dengan pandangan itu sebelumnya.

Nafasku tercekat seolah ada beban berat yang menimpa tubuh, hatiku terasa sesak melihat Alvin yang mengangguk menyetujui permintaan wanita dalam video itu.

“Oke, aku mau.” Jawabnya mantap.

Detak jantungku seolah berhenti seketika. 

Alvin, ia mengkhianatiku?

* * * 

Haii... Rii disini~~

Ini cerita pertama Rii yang di publish di GoodNovel.

Semoga kalian suka... ^^

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status