Share

Bab 1. Peduli

Seseorang yang menurunkan egonya untuk peduli selalu jauh lebih menarik dibandingkan seseorang yang berusaha terlihat sempurna.

_Peduli_

Riuh suara hujan benar-benar terdengar jelas ditelingaku. Aku menatap tetesan air hujan yang turun dari balik dinding kaca cafe tempatku menunggu seseorang untuk datang. Semua orang di luar terlihat kalang kabut ketika hujan langsung turun dengan derasnya.

Beberapa pengendara motor memilih turun demi memasang jas hujan di tubuhnya, namun sebagian lagi memilih untuk mempercepat laju kendaraannya dan menerjang hujan.

Aku tersenyum ketika melihat seorang Bapak diseberang jalan sana memaki pengendara mobil yang lewat. Meski tidak jelas apa yang dia bicarakan, namun ekspresinya tertangkap dengan jelas bahwa Bapak itu kesal karena genangan air menyimprat kearahnya dan motornya yang tengah meneduh.

Di samping si Bapak itu, duduk satu keluarga kecil yang terdiri dari Ibu dan dua anaknya terdiam menata kosong tetesan air hjan yang jatuh. Mereka yang sering disebut “Orang Jalanan” oleh kebanyakan orang itu tengah menatap hujan dengan sedih.

Aku berdecak, jika saja aku tidak takut untuk menyeberang jalan, mungkin mereka sudah duduk di dalam cafe ini bersamaku. Aku benar-benar bersimpati melihat mereka.

Tidak, aku hanya bersimpati melihat kedua anak itu.

Mungkin untuk sebagian orang yang baru mengenalku, aku bukanlah gadis yang menyenangkan dan penuh dengan senyuman.

Pembawaanku sangat tenang dan cenderung sulit untuk berekspresi. Ucapanku amat sangat sarkas kepada orang-orang yang tidak kusukai, tapi sebaliknya, aku akan sangat peduli dan penuh kasih sayang kepada orang-orang yang kuanggap baik untukku.

Aku menghela nafas, kembali melihat arloji yang ada di tanganku untuk kesekian kalinya. Sudah hampir 2 jam aku menunggu kedatangannya.

Apa dia sesibuk itu hingga tidak bisa menemuiku?

Padahal dirinya sendiri yang membuat janji. Atau..., hujan menjadi penyebab keterlambatannya ini? Mungkin, aku memang harus lebih bersabar. Tapi biarku beritahu, Aku Benci Menunggu.

Aku menatap secangkir kopi yang telah mendingin dimakan waktu.

Haruskah aku memesan sesuatu kembali untuk menjadi temanku di meja ini?

Aku menatap ke sekeliling cafe, ahh.. tadi, 2 jam yang lalu, cafe tidak seramai ini. Hujan datang membawa maksud tersendiri bagi setiap orang. Ada yang mensyukuri kedatangannya dan tak jarang ada yang memaki kehadirannya.

“Ice Coffe satu dan ini satu.” Ucapku sembari menunjuk salah satu gambar keik yang ada di buku menu.

Aku tidak tahu namanya dan aku tidak terlalu menyukai jenis makanan manis itu. Aku hanya menginginkannya untuk menjadi penghias meja dan teman di sela waktuku menunggu.

“Ada lagi?” Tanya pelayan itu. Aku menggeleng dan dia pun pergi berlalu dari hadapanku.

Sekarang, apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar mati kebosanan di tempat ini. Aku kurang suka memainkan ponsel seperti orang kebanyakan, lalu aku harus apa?

Aku merogoh ponsel yang tersimpan didalam tas kecil yang kubawa. Lebih baik memainkan benda ini daripada terlihat menyedihkan dengan hanya memandangi hujan yang turun.

Aku berharap, ada satu notifikasi yang berasal darinya tentang kejelasaan pertemuan kami ini. Jadi aku bisa tahu, harus pulang atau.. tetap menunggu.

Tapi harapan memang hanya sekedar harapan, layar ponselku tidak menunjukkan notifikasi apapun.

Aku tidak ingin menghubunginya, biarkan dia saja yang menghubungiku. Aku hanya ingin melihat keseriusan dia terhadap diriku dan hubungan kami. Apa dia tidak sepeduli itu padaku? Apa hanya aku yang menatap serius hubungan kami yang telah berjalan hampir 2 tahun ini? Lalu untuk apa dia memberikan cincin yang dia bilang sebagai tanda ‘pertunangan’ kami?

Benar-benar pria menyebalkan yang sayangnya, aku cintai.

Aku sadar, cinta itu membuat sebagian orang menjadi bodoh jika mereka salah mengartikannya. Aku termasuk salah satu korban dari hal itu.

Rela menunggu hampir belasan tahun hanya demi satu orang laki-laki yang aku sendiri saja meragu bahwa dia menatap kearahku.

Aku benar-benar bodoh, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menyudahi kebodohanku ini.

“Boleh numpang duduk di sini?” Pertanyaan seseorang membuyarkan lamunanku yang ternyata hanya menatap layar ponsel sedari tadi. Bahkan kedua pesananku sudah tersaji di depan meja entah sejak kapan.

Aku menatap laki-laki itu tanpa senyuman. Kenapa harus di sini jika masih banyak kursi yang lain?

“Semua kursi udah keisi, di sini doang yang kosong.” Jelasnya seakan membaca pikiranku.

Aku mengangguk dan dia pun duduk di kursi di depanku.

11.35 A.M

Bahkan jam pun sebentar lagi menunjukkan waktu makan siang. Kemana dia sebenarnya? Apa dia lupa jika dirinya sudah membuat janji denganku?

Ya Tuhan.. ternyata mencintai seseorang bisa semenyakitkan ini. Jika bisa memilih, aku tidak ingin rasa ini dalam hidupku.

“Hujan kayak gini minum es, gak takut sakit, Mbak?” Tanya laki-laki itu memulai . percakapan denganku.

“Jangan panggil Mbak, saya bukan Mbak kamu.” Aku lebih tertarik membahas hal tersebut dibanding menjawab pertanyaannya.

Aku lebih suka orang-orang memanggil namaku tanpa embel-embel pembahasaan di depannya, karena mereka membuatku tidak nyaman mendengarnya.

Dia tertawa kecil. Dia pria yang manis, pikirku terpesona.

“Oke, oke.. sorry, jadi.. kita kenalan?” Ajaknya sambil mengulurkan tangan kanannya..

Aku menyambutnya, “Rania.”

Anggap aku gila, biasanya aku tidak semudah ini untuk memperkenalkan nama kepada orang asing. Jika kedua sahabatku ada disini, mereka pasti akan membullyku dan mengatakan yang tidak-tidak.

“Aldo.” Jawabnya.

Kami terdiam. Aku sibuk memperhatikan hujan yang turun semakin deras, sementara laki-laki itu, aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Aku tidak berani melirik kearahnya.

“Lagi nunggu hujan berhenti atau nunggu orang?” Tanyanya lagi.

Baru saja aku ingin menjawab, suara dering ponsel membuatku mengurungkan niatku sebelumnya.

Alvin is Calling...

Akhirnya seseorang yang kutunggu hampir 2 jam lebih lamanya menghubungiku. Aku tidak ingin tersenyum mengingat ulahnya yang membuat diriku menunggu lama, namun nyatanya bibirku malah tersenyum lebar karena senang.

Semoga kabar baik yang akan kudengar.

“Halo...”

“Halo, Ra..”

“Kamu jadi dateng, kan?” Tanyaku tanpa basa-basi.

“Ya ampun, Ra.. kamu masih nungguin aku? Maaf ya Ra, aku gak bisa dateng..”

“Kenapa?” Tanyaku kecewa.

“Ada urusan disini, maaf ya..”

Aku terdiam. Semudah itu dia bicara setelah hampir 2 jam lebih aku menunggu kedatangannya. Dia berhasil membuat mood-ku jatuh hingga ke dasar.

“Ra? Kamu masih disitu, kan?”

Aku mengangguk. “Iya.”

“Aku suruh supir ya buat jemput kamu?”

“Gak usah, aku bisa pulang sendiri.”

“Bener nih?”

“Iya.”

“Yaudah, langsung pulang, ya.. Jangan kemana-mana. Nanti malem aku main ke rumah kamu.”

“Iya.”

“See you, Ra..”

“Hmm..”

Aku meletakan kembali ponselku di atas meja dan menatap layarnya dengan miris. Ternyata baginya, aku memang tidak seberharga itu untuk dipedulikan.

Hah.. Haruskah aku kecewa dengan hasil yang kudapat setelah belasan tahun menunggu?

“Nunggu orang, ya?” Tebaknya.

Aku menoleh. Ternyata aku melupakan kehadiran seseorang yang semeja denganku.

“Tadinya. Sekarang nunggu hujan reda.” Aku memandang air hujan yang turun dengan deras, lalu menghembuskan nafas pelan. Mungkin butuh waktu yang lama hingga hujannya berhenti.

“Berarti kita jodoh.”

Aku mengernyit mendengarnya. Aku menoleh melihat laki-laki yang tengah tersenyum lebar itu.

“Aku juga lagi nunggu hujan reda kok, kita nunggu bareng aja biar gak terlalu boring.” Ajaknya.

Aku tersenyum. Sepertinya tidak buruk.

___---___

“Hai.. Nama aku Alvin.” Ucapnya memperkenalkan namanya kepada seorang gadis kecil di depannya. Tangan kanannya terulur kearah gadis itu dengan tangan kiri yang masih menggenggam sebuah gelang tali berhias seekor kartu kucing yang berwarna warni.

Gadis kecil itu terdiam menatap wajah si bocah laki-laki yang terasa asing baginya. Sudah sebulan lebih dia pindah kesini, namun baru kali ini ia melihat wajah si bocah itu.

“Gelangnya..” Ucap gadis itu pelan.

Bocah laki-laki bernama Alvin itu melihat gelang tali digenggaman tangannya, lalu mengulurkan tangannya untuk memberikan gelang itu.

“Eeittss..! Kalo mau gelang ini, ayo kita kenalan dulu!” Ucapnya sembari menarik kembali tangannya.

Gadis kecil itu menatap sebal bocah di depannya. Wajah gembul dengan rambut sebahu berponi itu cemberut, membuatnya terlihat semakin lucu di mata sang bocah laki-laki.

“Ngapain nolongin kalo ujung-ujungnya pamrih?” Ucap si gadis kecil sebal.

Bocah laki-laki itu terkekeh lalu menyengir lebar. “Cuma mau tau nama, gak boleh, ya?” Tanyanya kembali dengan uluran tangan. Berharap si gadis kecil itu menjawab pertanyaannya.

“Gak!” Sentak si gadis kecil dengan galak.

Alvin mengejar sang gadis dengan panik ketika sepasang kaki mungil itu berlari meninggalkannya.

“Tunggu!” Cegahnya. Tangan kanannya memegang erat tangan si gadis kecil yang manis itu.

“Iihh.. Apalagi sih? Kembaliin gelangnya, kalo gak saya laporin guru!” Ancam si gadis.

Alvin melongo di tempatnya. Bukannya takut, tawa lebar justru keluar dari mulutnya setelah mendengar serentetan kalimat itu.

Saya katanya? Yang benar saja! Mereka masih duduk di bangku sekolah dasar dan si gadis justru berbicara begitu? Seformal itu?

Bahkan kemarin dia masih menyaksikan teman sekelasnya yang mengompol, dan sekarang dia bertemu dengan anak kecil ‘sedewasa’ ini?

Tawanya kembali meledak. Yang benar saja..

Dunia benar-benar ajaib!

“Kenapa ketawa?! Gak lucu tau nggak!”

Kedua telapak tangannya terulur mencubit pipi si gadis gembul itu dengan gemas.

“Lucu tau..” Ucapnya.

Gadis gembul itu menyentak telapak tangan si bocah itu dengan kasar.

“Ngapain pegang-pegang pipi Rania?!” Ucapnya semakin galak.

Alvin terkekeh. “Jadi nama kamu Rania, ya? Ini gelangnya aku balikin.”

Gadis kecil bernama Rania itu langsung menyambar gelangnya dengan cepat. Wajahnya yang semula cemberut kini tersenyum lebar sembari memakai kembali gelang kesayangannya. Gelang pemberian dari sepupunya yang sudah lama pergi meninggalkannya.

Senyum menular di wajah Alvin. “Jadi sekarang kita temenan, ya?” Tanya bocah tampan itu. Matanya berbinar penuh harap jika si gadis dengan pipi gembul itu mau menjadi temannya.

Rania tersenyum sinis. “Gak!” Ucapnya lalu pergi meninggalkan Alvin si bocah tampan yang tengah terkekeh sambil memandangi kepergian si gadis gembul itu.

Lihat saja nanti, mereka pasti akan menjadi teman. Batinnya tak peduli dengan penolakan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status