Share

2. Tidak Mudah Melupakanmu

April 2019.

“Cut! Oke, cukup untuk hari ini!”

Seruan lantang Sutradara Ahn langsung disambut helaan napas lega oleh Lee Joon. Ia pun segera meninggalkan tempat pengambilan gambar di tepi pantai dan menghampiri Hwang Mi Kyung yang sedang duduk di kursi kayu di bawah payung besar.

“Haahhh ....” Joon membuang napas panjang seraya mengempaskan diri di kursi di hadapan Mi Kyung. Kepalanya terkulai di sandaran kursi. Tangan kanannya memijat pelan kening.

Tiga hari menjalani syuting di Incheon, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan melakukan adegan-adegan yang menguras tenaga membuatnya merasa sangat lelah. Seluruh tulangnya serasa remuk dan kepalanya pun terasa berat. Untung saja, syuting terakhir hari ini selesai masih pagi, jadi ia bisa cepat pulang ke Seoul dan tidur sepuasnya.

“Cokelat panas.” Mi Kyung menyodorkan cangkir kertas berisi cairan warna cokelat pekat ke hadapan Joon.

Aroma cokelat yang menguar dari cangkir di hadapannya langsung membuat Joon menegakkan punggungnya dan meraih cangkir itu. Dihirupnya dalam-dalam aroma itu sambil menutup mata. Seluruh sarafnya yang menegang perlahan mengendur. Kemudian, disesapnya minuman itu perlahan, menikmati sensasi manis dan sedikit pahit yang menyentuh permukaan lidahnya.

Cokelat panas, minuman favoritnya ini memang selalu menjadi senjata paling ampuh untuk mengusir lelah dan penatnya.

“Ponselmu.” Mi Kyung meletakkan ponsel berwarna biru metalik ke atas meja dan mendorongnya ke arah Joon. “Kau harus segera mengaktifkannya. Siapa tahu ada orang penting yang hendak menghubungimu. Sudah dua hari kau menonaktifkannya, bukan?”

Joon bergeming. Hanya melirik sekilas dengan ujung mata sambil terus menyesap minumannya.

“Joon-a!” Mi Kyung menegur.

Joon meletakkan cangkirnya yang sudah kosong ke meja dan mengernyit. “Orang penting? Siapa?”

“Ibumu,” sahut Mi Kyung. “Beberapa hari ini dia menghubungiku terus, menanyakan keadaanmu. Dia benar-benar khawatir. Aku rasa, sebaiknya kau segera menghubunginya.”

Wajah Joon langsung muram. “Aku sedang tidak mau mengobrol dengan siapa pun saat ini. Kepalaku sakit sekali. Aku ingin cepat pulang ke Seoul dan tidur pulas di ranjangku,” katanya dingin.

Mi Kyung mendesah berat dan memilih untuk diam. Percuma bicara panjang lebar dengan Joon soal ibunya. Mau dibujuk dan dinasehati ribuan bahkan jutaan kali pun ia tidak akan mau mendengar. Joon sangat keras kepala. Terutama jika menyangkut ibu dan keluarga barunya.

“Ah iya, aku lupa memberitahumu.” Mi Kyung kembali bicara setelah keduanya sempat terdiam beberapa saat.

“Soal apa?” Joon membenarkan posisi duduknya dan menatap Mi Kyung lekat-lekat. Ekspresi serius manajernya itu membuatnya penasaran.

“Seorang gadis—fans fanatikmu—menyusup ke Golden Residence dan hendak meng-hack password pintu apartemenmu semalam,” lapor Mi Kyung. “Untung saja petugas keamanan segera menangkapnya sebelum dia sempat membuka pintu apartemenmu. Semalam, aku langsung kembali ke Seoul untuk mengurusi masalah itu.”

Mwo[1]?!” seru Joon terkejut. “Kenapa Noona[2] tidak langsung memberitahuku?”

Mian[3]. Semalam kulihat kau sudah tertidur pulas. Aku tidak tega membangunkanmu. Jadi, aku pikir, cukup aku saja yang menyelesaikannya. Lagi pula, jika kau ada di sana, fansmu itu akan semakin menggila.”

Joon manggut-manggut. Mi Kyung benar, semuanya akan semakin rumit kalau ia ada di sana saat itu.

“Tapi, bagaimana dia bisa masuk ke Golden Residence yang setahuku keamanannya sangat ketat?” tanya Joon. Ekspresinya terlihat kebingungan sekaligus tak tenang.

“Pihak Golden Residence dan polisi sedang menyelidikinya. Besar kemungkinan ada peran orang dalam, mengingat gadis itu bukan anak orang sembarangan,” terang Mi Kyung panjang lebar.

“Bukan anak orang sembarangan? Maksudnya?"

“Dia anak anggota dewan. Orang tuanya memohon-mohon agar kasus tersebut tak diperpanjang dan meminta kita tidak membocorkannya kepada pihak luar, terutama wartawan. Tapi, aku ingin proses penyelidikan tetap berjalan. Apa yang dilakukan anaknya sudah termasuk kejahatan berat.”

Joon mendesah berat, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan menyilangkan kedua tangan di dada. “Jadi, aku harus mencari tempat tinggal baru lagi?”

“Yeah, aku rasa begitu. Kita harus melakukannya dengan sembunyi-sembunyi lagi.” Mi Kyung menekankan kata ‘lagi’. Wajah wanita itu tampak kelelahan.

Ini sudah ketiga kalinya dalam kurun waktu dua bulan Joon terpaksa pindah tempat tinggal akibat ulah fans fanatiknya yang sangat brutal. Dan tidak mudah untuk mendapatkan tempat tinggal yang tidak terendus media ataupun para fans. 

“Tapi, untuk sementara, sampai aku mendapatkan apartemen baru untukmu, kau harus bertahan di sana dulu. Aku akan meminta pengamanannya diperketat,” kata Mi Kyung lagi.

“Berapa lama aku harus bertahan?”

“Dua hari.”

“Baiklah.” Joon bangkit dari kursinya dan sambil mengenakan jaket yang sejak tadi tersampir di sandaran kursi, ia menambahkan, “Aku mau pulang sekarang. Akan lebih tenang beristirahat di rumah sendiri.” Lalu, ia menguap panjang.

Mi Kyung ikut bangkit. “Tunggu sebentar. Aku yang akan mengantarmu pulang. Biar Jang dan Yi Hyun pulang belakangan setelah membereskan barang-barangmu di sini,” katanya.

Joon tidak mengatakan apa pun, hanya mengangkat bahu dan meninggalkan pantai lebih dulu. Hari sudah semakin siang dan para pengunjung pantai mulai berdatangan. Akan merepotkan kalau ada orang yang mengenalinya. Saat ini, ia tidak ingin meladeni siapa pun. Ia sangat lelah dan benar-benar butuh tidur.

Segera.

++++

“Kau sudah menyelesaikannya?” Suara Kang Eun Jung yang kelewat bersemangat di seberang telepon terdengar seperti lengkingan serine di telinga Ae Ri. Buru-buru ia meletakkan ponselnya di atas meja makan dan mengaktifkan loundspeker, mencegah gendang telinganya rusak akibat suara setereo Eun Jung.

“Sudah,” jawab Ae Ri datar seraya memasukkan donat bertoping kacang almond yang tinggal setengahnya ke dalam mulut.

Jinjja[4]?!” seru Eun Jung, terdengar senang.

“Iya. Sesuai permintaan,” sahut Ae Ri. Ia meraih poci porselen berisi air teh dan menungkannya ke cangkir, lalu meminumnya perlahan. “Dan bayarannya sangat mahal.”

Lawan bicaranya tertawa lepas. “Tidak ada diskon?”

“Tidak.”

“Ayolah, kita kan teman. Ya, ya?” Eun Jung merayu.

“Bisnis tetap bisnis. Tidak memandang teman atau keluarga. Lagi pula, kau telah membuatku menggambar apa yang tidak ingin aku gambar. Jadi tidak ada diskon. Titik.”

Terdengar desahan napas berat Eun Jung. “Baiklah,” putusnya dengan nada suara tak rela.

“Kalau begitu, sepulang aku kerja kita bertemu di kedai. Dan pastikan sebelum kita bertemu uangnya sudah kau transfer. Aku akan mengirimkan nomer rekening plus nominal yang harus kau transfer lewat pesan teks,” tukas Ae Ri panjang lebar. Kedai yang ia maksud adalah King’s Tteokkbukki, tempat Eun Jung bekerja sekaligus bekas tempat Ae Ri bekerja selama beberapa tahun.

Ne[5] ....” Eun Jung menyahut dengan suara lesu, membuat Ae Ri nyaris menyemburkan tawa kalau saja ia tidak ingat sedang berakting tegas dan judes pada temannya itu.

“Oke, silakan tutup teleponnya. Sampai jumpa nanti!”

Klik!

Begitu Ae Ri selesai bicara, tanpa babibu lagi Eun Jung langsung memutuskan sambungan teleponnya. Ae Ri tersenyum puas. Menghadapi Kang Eun Jung yang tukang paksa dan selalu bersikap seenaknya memang harus seperti ini. Tegas, tanpa kompromi. Dengan begitu, temannya itu tidak akan memintanya lagi membuat sesuatu yang tidak ingin Ae Ri buat. Cukup sekali ia melakukannya dan ia pastikan hal seperti ini tak akan terulang lagi.

Ae Ri bangkit lalu mengambil tabung panjang berwarna hitam yang ia letakkan di atas meja kerjanya. Perlahan, ia membuka tutupnya dan mengeluarkan isinya; sebuah kertas gambar ukuran A3. Di kertas itu tergambar seraut wajah seorang laki-laki yang sedang tersenyum lembut. Senyum yang walau hanya sebuah garis tipis sukses membuat jutaan perempuan di dalam maupun luar Korea Selatan meleleh seperti es krim dan rela melakukan apa saja demi bisa melihat dan mengabadikan senyum itu. Senyum malaikat, begitu kata Eun Jung.

“Hh!” Ae Ri mendengkus keras. Mulutnya terkatup rapat sementara matanya menatap sosok yang tersenyum itu penuh kebencian.

Rasa dongkol kembali menyelimuti hatinya. Butuh waktu berjam-jam untuk bisa menyelesaikan gambar ini tadi malam. Ia juga harus berjuang ekstra menahan rasa muak yang terus menari-nari di benaknya setiap menggoreskan mata pensilnya membentuk wajah laki-laki dalam gambarnya itu.

Tangan Ae Ri yang memegang kertas gambar itu tiba-tiba bergetar. Sebuah suara bergaung di kepalanya, menyuruhnya untuk merobek gambar itu. Tangannya sudah hendak melakukan apa yang diperintahkan ketika bayangan wajah cemberut Eun Jung yang dihiasi air mata tiba-tiba saja berkelebat di depan matanya.

Ae Ri tersentak dan buru-buru memasukkan kembali kertas gambar itu ke dalam tabung. Setengah dilempar, Ae Ri meletakkan kembali benda itu ke atas meja. Ia sendiri berderap ke dapur dan memuntahkan isi perutnya ke bak cuci piring.

Ah, sial! Ae Ri terus mengumpat sambil mencuci mulut dan wajahnya dengan air.

Oke, seharusnya ia tidak perlu merasa dongkol dan muak seandainya saja yang diminta Eun Jung bukanlah sketsa wajah Lee Joon. Kalau saja kemarin temannya itu tidak mengemis-ngemis dan mogok makan seharian, Ae Ri tak sudi membuatnya. Ia sangat membenci Lee Joon.

Sangat ... sangat membencinya.

++++

“Shhh ....” Joon mendesis kesakitan sambil memegangi keningnya ketika turun dari mobil Mi Kyung.

“Ada apa?” tanya Mi Kyung khawatir dari dalam mobil.

“Hanya sakit kepala sedikit,” jawab Joon.

“Mau aku belikan obat sakit kepala? Atau mau kupanggilkan Shin Woo untuk memeriksamu?” tawar Mi Kyung.

“Tidak usah. Cadangan obat sakit kepalaku masih ada. Setelah minum obat dan tidur, sakit kepalaku pasti hilang,” tolak Joon halus, masih memijat keningnya. “Lagi pula, Shin Woo Hyeong[6] sedang sibuk, aku tidak mau merepotkannya. Kalau memang sakitnya belum hilang juga, aku akan menghubunginya sendiri.”

“Ya sudah, kalau begitu aku pergi. Kalau ada apa-apa hubungi aku dan jangan lupa nyalakan ponselmu agar aku bisa menghubungimu untuk memastikan kau baik-baik saja. Oke?”

“Oke,” sahut Joon malas, membuat Mi Kyung langsung melototinya. “Oke, oke. Aku pasti akan melaksanakan perintahmu. Noona tidak perlu khawatir. Puas?” Joon segera meralat.

“Bagus,” ucap Mi Kyung sambil tersenyum lebar. “Kalau begitu, sampai jumpa nanti malam!” Lalu, wanita itu menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran parkir gedung apartemen Joon.

Setelah mobil Mi Kyung tak terlihat lagi, Joon melangkah masuk ke gedung, berhenti sejenak di lobi untuk mengobrol dengan petugas keamanan di sana mengenai kejadian kemarin malam, lalu berjalan dengan lunglai ke lift di sudut terdalam gedung.

Beberapa menit kemudian, ia sudah sampai di depan apartemennya yang berada di lantai empat. Tanpa membuang waktu, Joon menekan password pintu apartemennya (yang semalam sudah Mi Kyung ganti) dengan cepat, lalu masuk. Ia sudah tak tahan ingin tidur.

Kringgg!!!

Pesawat telepon tiba-tiba berdering ketika Joon mengempaskan diri di sofa ruang tengah. Ia bergeming. Membiarkan benda itu terus berbunyi beberapa kali sampai akhirnya berhenti dan muncul sebuah pesan suara.

<“Oppa[7], jika kau sudah kembali dari Incheon, bisakah kita kau berkunjung ke rumah untuk makan malam bersama? Semenjak pernikahan ayahku dan ibumu kita tidak pernah makan malam bersama sebagai satu keluarga, bukan? Aku dan Ibu akan membuatkan makanan favoritmu. Jadi usahakan datang, ya? Kami menunggumu!”>

Tut ... tut ... tut ...

Pesan suara itu berakhir. Joon membeku. Jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik.

“Hana ...,” desis Joon dengan kedua tangan yang mengepal erat. Giginya bergemeletuk menahan rasa nyeri di dada. Rasa nyeri karena amarah dan rasa rindu yang menggebu.

Kenapa? Kenapa kau selalu muncul di saat yang tidak tepat, Kim Hana? jerit Joon dalam hati.

++++

Catatan:

[1] Mwo? : Apa?

[2] Noona : Kakak perempuan (diucapkan oleh laki-laki yang lebih muda) 

[3] Mian : Maaf (informal)

[4] Jinjja? : Benarkah?

[5] Ne : Iya

[6] Hyeong : Kakak laki-laki (diucapkan oleh laki-laki yang lebih muda)

[7] Oppa: Kakak laki-laki (diucapkan oleh perempuan muda)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status