Share

3. Cha Sung Jae

Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.

Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.

Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.

Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong sejak tiga tahun lalu. Rumah nomor 001 yang ada di lantai bawah ditempati oleh Park Hae Ra, gadis berusia 24 tahun yang saat ini sedang bepergian ke luar negeri. Sedangkan rumah utama ditempati oleh Kakek dan Nenek Cho—pemilik bangunan sekaligus merupakan kakek dan neneknya.

Sebelum pergi kerja, seperti biasa Ae Ri menyempatkan diri menemui Kakek dan Nenek Cho. Kalau ia pergi begitu saja tanpa menyapa mereka lebih dulu, kakek dan neneknya itu akan mengomel seharian.

“Ah, kau datang tepat pada waktunya, Sayang. Ayo kita sarapan!” ajak Nenek Cho ketika Ae Ri tengah melepas sepatunya.

“Aku sudah sarapan, Nek,” kata Ae Ri sembari berjalan ke meja makan dan duduk di samping tempat duduk Kakek Cho.

“Sarapan apa?” tanya Kakek Cho.

“Donat,” sahut Ae Ri seraya menuangkan teh hangat ke cangkir Kakek Cho. “Tiga buah.”

“Donat? Makanan itu tidak akan membuat perutmu bertahan hingga tengah hari, Ae Ri. Kau bilang hari ini ada rapat penting di kantormu, kan?” tegur Kakek Cho, penuh perhatian. “Makanlah nasi. Jangan sampai kau pingsan di tengah-tengah rapat. Itu memalukan.” Kakek Cho menyodorkan mangkuk kosong kepada Ae Ri.

“Baiklah, baiklah, aku akan makan nasi.” Ae Ri tersenyum lebar, lalu menerima mangkuk itu dan mengisinya dengan nasi. Ia tidak ingin terlalu lama berdebat dengan kakeknya itu dan terlambat pergi ke kantor.

“Ngomong-ngomong, bosmu itu laki-laki yang baik. Dia sangat sopan,” ujar Kakek Cho tiba-tiba.

“Ya, dia memang baik,” sahut Ae Ri sekenanya sambil menyendok nasi di mangkuknya dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Jangan lupa, dia juga tampan seperti artis.” Nenek Cho menambahkan sambil duduk di kursi depan Kakek Cho. Bibirnya mengulas senyum aneh, namun Ae Ri tidak memedulikannya.

“Dan, Kakek berani bertaruh dia menyukaimu, Ae Ri.”

“Uhuk! Uhuk!” Mendengar perkataan kakeknya itu, Ae Ri langsung terbatuk, membuat sebagian makanan yang ada di dalam mulutnya berhamburan ke luar.

“Ah, Kakek, aku baru mau berkata demikian,” ujar Nenek Cho sambil tertawa kecil. Kakek Cho bukannya membantu Ae Ri meredakan batuknya malah ikut tertawa dengan sang istri. Mereka tertawa terkikik-kikik seperti sedang menonton acara komedi favorit mereka.

“Hampir pukul delapan. Aku harus segera berangkat.” Setelah berhasil mengatasi batuknya, dengan acuh tak acuh Ae Ri bangkit dari kursi dan berjalan ke dapur membawa mangkuk bekas makannya untuk diletakkan di bak cuci piring.

“Letakkan saja di situ. Tidak perlu dicuci, biar Nenek saja,” perintah Nenek Cho.

Ae Ri mengangguk. Lalu, ia mencuci tangan dan mulutnya. Setelah itu, ia kembali ke meja makan untuk mengambil ransel dan tabung gambarnya. Sebelum pergi, ia menyempatkan diri mencium pipi Kakek dan Nenek Cho.

“Aku pergi! Sampai jumpa nanti sore!” pamitnya.

“Ae Ri-ya, sudah waktunya kau berkencan. Aku dan kakekmu sangat setuju kalau kau berkencan dengan pemuda itu!” Di depan pintu Ae Ri mendengar neneknya berseru. Ae Ri pura-pura tidak mendengarnya dan segera melangkahkan kakinya keluar dari rumah Kakek dan Nenek Cho.

Ah, mereka itu ada-ada saja, gumam Ae Ri dalam hati sambil geleng-geleng kepala. Dari mana mereka bisa tahu kalau Cha Sajangnim[1] menyukaiku? Mereka terlalu banyak menonton drama televisi.

Cha Sung Jae. Laki-laki itu adalah CEO Sirius Publishing, tempat Ae Ri bekerja sebagai ilustrator. Bosnya itu memang sangat baik dan perhatian. Beberapa kali, ketika Ae Ri hendak pulang dan terjebak hujan, laki-laki itu selalu menawarkan diri untuk mengantar pulang. Namun, saat itu bukan hanya Ae Ri yang diantarnya pulang. Ada beberapa teman Ae Ri juga. Lagi pula, setahu Ae Ri, Cha Sung Jae memang selalu baik dan perhatian pada semua karyawannya. Jadi, bagaimana bisa kakek dan neneknya berpendapat kalau laki-laki itu menyukainya?

“Ae Ri-ya, sudah waktunya kau berkencan ....”

Kencan? Ae Ri tersenyum kecut. Hal seperti itu tidak pernah ada lagi dalam daftar hidupnya sejak belasan tahun lalu. Bahkan,ia sudah tak percaya lagi dengan yang namanya cinta.

Cinta hanya melukainya, bukan membuatnya bahagia.

++++

Pukul setengah sembilan tepat Ae Ri sampai di gedung Sirius Publishing yang terletak di kawasan Hongdae. Setelah memakirkan skuternya di area parkir khusus karyawan yang ada di sebelah kanan gedung, Ae Ri berjalan ke pintu masuk. Namun, ia tidak buru-buru masuk. Ia berdiri di selasar sambil menatap pintu kaca di hadapannya penuh kekaguman. Rasa bangga membuncah di dadanya. Ia benar-benar beruntung bisa bergabung dengan salah satu penerbit besar di Korea ini.

Genap dua tahun. Ae Ri bergumam dalam hati. Jantungnya berdegup kencang karena bahagia. Bagi Ae Ri, tempat ini adalah rumah kedua dan tempatnya mengukir impian.

“Sedang bernostalgia?” tanya seseorang dari balik punggungnya. Ae Ri memutar tubuhnya dan mendapati sang CEO tersenyum ramah padanya.

Sajangnim?” Ae Ri terkejut dan buru-buru membungkukkan badan. “A-anyeonghaseyo[2]!” ucapnya terbata-bata.

Cha Sung Jae membalasnya dengan anggukan kepala dan menyejajarkan diri dengan Ae Ri. Sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, ia menatap pada apa yang tadi ditatap Ae Ri.

“Hari ini genap dua tahun kau bergabung dengan Sirius, bukan?” katanya. Ae Ri mengangguk. “Ternyata sudah cukup lama, ya? Rasanya baru kemarin aku bertemu denganmu di Taman Namsan sedang serius menggambar,” sambungnya seraya menoleh ke arah Ae Ri dan tersenyum lembut.

“Iya,” jawab Ae Ri pelan. Ingatannya pun kembali terbawa ke masa pertama kali mereka bertemu.

Hari itu salju turun perlahan dan ia duduk sendirian di kursi Taman Namsan sambil menggambar tanpa memedulikan rasa dingin yang perlahan menggerogoti seluruh saraf di tubuhnya. Setengah jam kemudian, seorang laki-laki duduk di sampingnya. Awalnya, Ae Ri tak mengacuhkannya sampai kemudian laki-laki itu memuji gambarnya.

“Gambarmu bagus,” ucapnya dengan nada riang, “Mau tidak bergabung dengan perusahaan penerbitan milikku? Kau bisa menjadi ilustrator di sana.”

Saat itu, Ae Ri hanya menatap datar pada laki-laki itu sebagai balasan atas tawarannya. Ia mengira kalau orang itu sedang bercanda. Seakan tahu apa yang dipikirkan Ae Ri, laki-laki itu kemudian mengeluarkan kartu nama dari saku jaketnya dan mengangsurkannya pada Ae Ri.

“Ini kartu namaku. Aku serius lho mengajakmu bergabung,” katanya sambil menggoyang-goyangkan kartu nama itu. “Ayo diambil!” Walaupun masih merasa sangsi, Ae Ri menerima kartu nama itu. “Hubungi aku, ya, kalau kau mau bergabung. Aku tunggu.” Lalu, laki-laki itu bangkit dari duduknya dan pergi dari hadapan Ae Ri sambil melambai singkat.

“Cha Sung Jae. CEO Sirius Publishing.” Ae Ri membaca tulisan yang tertera di kartu nama yang dipegangnya. “Si-Sirius Publishing?” Mata Ae Ri membulat. “I-ini tidak salah, ‘kan?”

“Ae Ri-ssi?” Sung Jae memanggil, membuat kesadaran Ae Ri kembali pada tempatnya.

“Oh, maaf,” ucap Ae Ri salah tingkah.

“Ayo masuk! Sebentar lagi rapatnya dimulai,” ujar Sung Jae.

“Ah, iya.”

Ae Ri kemudian mempersilakan bosnya itu berjalan lebih dulu dan ia mengikutinya dari belakang. Cha Sung Jae, jujur saja Ae Ri sangat mengagumi laki-laki ini. Namun hanya sebatas kagum, tidak lebih. Sung Jae adalah orang pertama yang percaya pada kemampuan Ae Ri tanpa memandang tingkat pendidikannya. Sung Jae juga orang pertama yang memberinya kesempatan untuk unjuk diri dan mengikis semua rasa rendah diri yang selalu dirasakan Ae Ri. Sung Jae membuat Ae Ri merasa dibutuhkan.

“Ah!” Tiba-tiba saja Sung Jae menghentikan langkahnya dan berbalik. Kening Ae Ri berkerut dalam melihat tingkah bosnya itu. “Sepertinya kau melupakan sesuatu yang penting,” kata Sung Jae dengan tatapan misterius.

“Melupakan sesuatu yang penting?” gumam Ae Ri sambil berusaha mengingat-ingat apa benar ia melupakan sesuatu.

“Iya. Kau lupa tidak menawariku traktiran. Hari ini bisa dibilang anniversary­-mu, ‘kan? Jadi, kau harus mentraktirku.” Sung Jae nyengir lebar, membuat Ae Ri langsung mengeluarkan desahan lega.

“Ck, Anda ini membuat saya kaget saja,” keluh Ae Ri. Lalu, kedua sudut bibirnya terangkat samar. “Baiklah. Saya akan mentraktir Anda. Tapi, mungkin saya hanya bisa mentraktir makan tteokkbukki atau ramyun, bukan makanan mewah. Bagaimana?”

Sung Jae mengangkat bahu. “Tidak masalah. Aku tidak pernah pilih-pilih makanan. Bagiku, makan dengan seseorang jauh lebih nikmat dibandingkan dengan makan makanan mahal. Kau tahu, aku tidak suka makan sendirian.”

“Kalau begitu ... ng ... sebentar ....” Ae Ri mengeluarkan buku agenda kecil dan pena, menuliskan sebuah alamat pada salah satu halamannya, menyobeknya, dan memberikannya pada Sung Jae. “Saya tunggu besok hari Minggu pukul sepuluh di kedai itu.”

Sung Jae semringah. “Oke,” katanya seraya melipat kertas pemberian Ae Ri dan menyimpannya di dompet.

++++

Catatan:

[1] Panggilan untuk seorang CEO/Kepala Perusahaan/Direktur Utama

[2] Selamat pagi!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status