Share

4. Yang Masih Terpatri di Hati

Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.

Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.

“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.

Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.

“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.

“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi di hadapan Ae Ri dengan kasar. “Jadi, mana gambar Joon Oppa-ku?” todongnya.

Ae Ri mengedikkan dagu dengan malas ke arah tabung gambarnya yang diletakkan di atas meja. Eun Jung langsung menyambar benda itu dan dengan tergesa-gesa membukanya.

Jjangiya[1]!” serunya dengan mata berbinar. “Joon Oppa pasti sangat senang menerimanya.” Eun Jung memeluk gambar itu. Sudut-sudut matanya berair. Ck, drama queen! Gomawo[2], Ae Ri~ya!” Senyumnya begitu lebar, berbeda dengan saat Ae Ri baru masuk tadi.

“Em,” sahut Ae Ri dengan nada enggan. “Tapi, sekali lagi aku tegaskan, lain kali aku tak akan membuatkannya lagi. Meski kau merengek-rengek sampai menangis darah atau mogok makan selama sebulan.”

“Iya, iya. Ini untuk yang pertama dan terakhir kali. Kau tenang saja,” kata Eun Jung santai. Matanya kembali menatap lekat pada gambar Lee Joon yang dipegangnya. Ae Ri buru-buru membuang muka. Binar kebahagiaan di mata Eun Jung membuatnya muak.

“Ah iya, kau mau minum apa? Sudah makan?” tanya Eun Jung kemudian seraya menggulung gambar Lee Joon dan memasukkannya kembali ke dalam tabung.

“Teh bunga krisan saja,” jawab Ae Ri. “Aku tidak akan lama-lama. Aku harus menyiapkan beberapa ilustrasi untuk presentasi hari Senin.”

“Ck, kau ini. Besok itu hari Minggu. Hari libur. Kenapa masih memikirkan kerjaan, sih? Kau ini benar-benar tidak asyik!” Eun Jung menggerutu sambil bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke pantri tak jauh dari tempat Ae Ri duduk. Ae Ri tidak menanggapinya dan pura-pura mengecek ponsel.

Tak lama, Eun Jung pun kembali lagi dengan secangkir teh bunga krisan dan sepiring kue kering. Setelah meletakkan bawaannya ke atas meja, ia duduk kembali dan mengeluarkan ponsel. Selama beberapa menit, Eun Jung tampak serius menatap layar ponselnya. Sambil menikmati teh dan cemilan, Ae Ri memperhatikan gerak-gerik temannya itu.

“Remaja zaman sekarang memang sudah gila! Apa dia tidak berpikir kalau perbuatannya justru bisa membawa masalah bagi fans lainnya? Ah, aku jadi ingin mendatanginya dan memarahinya habis-habisan. Sebagai fans aku benar-benar malu!” Eun Jung tiba-tiba mengomel panjang lebar. Ae Ri pura-pura tak mendengar ocehan gadis itu dan berusaha menikmati tehnya.

“Awas saja! Aku harus mencari tahu identitas anak itu. Joon Oppa terlalu baik. Seharusnya anak itu dilaporkan saja ke polisi dan biarkan dia menginap di kantor polisi barang sehari agar tahu rasa,” omel Eun Jung lagi.

Ya[3]! Kang Eun Jung!” teriak Ae Ri sambil meletakkan cangkir yang dipegangnya ke meja dengan kasar. “Hentikan omelan tak jelasmu itu! Mendengarnya membuat telingaku sakit.”

Eun Jung cemberut. “Siapa yang mengomel tak jelas, huh?” Ae Ri mendengkus tak percaya. Anak ini sepertinya mulai gila! “Aku baru saja membaca berita kalau tadi malam ada seorang gadis SMA menyusup ke Golden Apartement dan hendak membobol password pintu apartemen Joon Oppa. Masih belum tahu bagaimana caranya dia bisa dengan mudah masuk ke sana. Dicurigai dia bekerja sama dengan orang dalam. Benar-benar gila!” Gigi Eun Jung bergemeletuk. Kedua tangannya terkepal kuat-kuat. “Dan, pihak Joon Oppa malah melepaskannya begitu saja. Menyebalkan, bukan? Anak seperti itu harus diberi pelajaran agar jera!”

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Ae Ri. Ia meletakkan cangkir yang isinya tinggal seperempat, lalu mencomot sekeping kue kering di piring.

“Cuma ... ‘oh’?” Eun Jung melotot.

Ae Ri mengangkat bahu tak acuh. “Memangnya aku harus bilang apa? Itu risiko Lee Joon sebagai seorang artis yang dipuja banyak orang, ‘kan?” balasnya sambil mengunyah.

“Yah ... setidaknya kau merasa simpati.”

“Ingat, aku ini antifansnya. Jadi, itu bukan urusanku,” tukas Ae Ri sambil mengangkat cangkirnya kembali dan meminum isinya sampai tandas. “Tapi, aku punya nasihat untukmu.” Ae Ri melanjutkan setelah meletakkan kembali cangkir di tangannya ke meja.

Eun Jung langsung memasang tampang malas. Tampak tak tertarik dengan apa yang akan dikatakan Ae Ri. Namun, ia tetap bertanya, “Nasihat apa?”

Ae Ri membenarkan posisi duduknya, menatap Eun Jung dengan tampang serius, lalu berkata, “Sebaiknya kau berhenti melakukan kegiatan menguntitmu. Aku rasa, setelah ada kejadian ini pengamanan di sekitar gedung itu akan semakin diperketat. Kau tidak mau, kan, berakhir di dalam penjara?”

“Tidak mau!” seru Eun Jung, agak histeris. “Aku tidak akan pernah berhenti. Melihat Joon Oppa dari dekat sudah menjadi bagian dari kehidupanku sehari-hari. Lagi pula, yang aku lakukan tidak merugikan siapa pun. Aku hanya pura-pura duduk di taman depan Golden Apartement, menunggu Joon Oppa keluar untuk jogging di taman dan kalau ada kesempatan aku mengambil fotonya diam-diam. Aku sama sekali tidak mengganggu kegiatannya. Aku juga tidak menyebarkan fotonya di media sosial. Itu menjadi koleksi pribadiku saja.” Ia bersikeras membela diri.

Ae Ri melongo mendengar perkataan Eun Jung. Ia tidak percaya Eun Jung akan senekat itu. Sampai sekarang, Ae Ri bahkan tak tahu bagaimana perempuan itu bisa tahu tempat tinggal Lee Joon.

“Terserah kau saja. Aku sudah memperingatkanmu. Jadi kalau terjadi apa-apa, aku tidak mau tahu!” kata Ae Ri dengan nada setengah mengancam. “Lagi pula, kau itu sudah dua puluh tujuh tahun. Demi Tuhan! Kau sudah tidak pantas melakukan hal-hal konyol seperti itu.”

“Baik. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah meminta bantuanmu,” tegas Eun Jung penuh percaya diri. “Lagi pula, memang tidak akan ada yang terjadi. Aku yakin karena aku melakukan semua itu dengan penuh perhitungan.”

“Hahahaha.” Ae Ri tertawa kencang, membuat Eun Jung langsung memberengut sebal. Ya Tuhan! Temannya ini otaknya sudah konslet, rupanya. “Oke. Kita lihat saja nanti.” Ia lantas mencangklong ranselnya. “Jangan lupa tabungnya besok harus sudah kaukembalikan. Aku tunggu! Dan, tolong sampaikan salamku pada paman dan bibi.” Lalu, Ae Ri berjalan ke pintu tanpa memedulikan tampang jengkel Eun Jung.

“Dasar Cho Ae Ri menyebalkan!” teriak Eun Jung.

Ae Ri berbalik sebentar dan melambai singkat sambil tersenyum mengejek pada Eun Jung. Eun Jung membalasnya dengan mengacungkan kepalan tangan. Ae Ri tergelak lalu melanjutkan langkahnya menuju skuter kuning miliknya. Tak lama, ia menjalankan kendaraan kesayangannya itu meninggalkan King’s Tteokkbuki menuju rumahnya.

++++

Musim panas, 2015

“Joon~a, ayo ke sini!” Suara nyaring tetapi lembut itu merambat dengan cepat ke telinga Joon dan menyadarkannya dari lamunan panjang tentang mendiang sang ayah. Ia terdiam beberapa saat, mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan kesadarannya yang masih berserakan di mana-mana, dan mengalihkan tatapannya kepada orang yang memanggilnya.

Di sana, di tepi pantai—hanya berjarak dua meter dari tempatnya duduk, berdiri seorang gadis berbalut dress putih selutut bercorak bunga mawar merah tengah melambaikan sebelah tangannya ke arah Joon. Rambutnya yang ikal panjang sewarna madu berkibar pelan diterpa angin laut. Senyuman lebar yang selalu membuat Joon merindu tercetak di bibirnya. Di belakang gadis itu, matahari perlahan terbenam.

Menakjubkan. Indah. Kata-kata itu mungkin tak cukup untuk melukiskan apa yang tengah disaksikan Joon. Ia meraba-raba ponsel di saku celananya dan ketika menariknya keluar, ia mendesah kecewa. Ia lupa kalau sejak satu jam yang lalu ponselnya mati karena kehabisan baterai. Sayang sekali, padahal ia ingin sekali mengabadikan pemandangan indah itu.

“Joon~a! Sini, sini!” Gadis itu kembali memanggil. Joon tersenyum simpul, lalu bangkit berdiri dan berjalan menghampiri gadis itu. “Kau sedang apa sih dari tadi? Berkali-kali aku memanggilmu, tetapi kau tidak menyahut-nyahut,” cerocos gadis itu sambil memberengut kesal.

Joon nyengir lebar. “Mianhae[4]. Aku tadi melamun,” akunya sambil menggaruk tengkuknya salah tingkah.

Gadis itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala, tetapi tidak mengatakan apa pun.  Pandangannya kemudian beralih ke Matahari yang masih bergerak  menenggelamkan diri ke batas cakrawala. Semburat jingganya membias di air laut juga di matanya.

“Indahnyaaa!!” seru gadis itu riang.

“Ya, memang indah,” timpal Joon. Kau juga indah, tambahnya dalam hati. Lalu, ditatapnya lekat-lekat wajah gadis itu dan tentu saja si gadis tak menyadarinya sama sekali.

Sudah enam tahun .... Joon berbisik pada dirinya sendiri.

Ya, sudah enam tahun diam-diam ia mencintai gadis ini dan masih saja belum berani mengungkapkan perasaannya.

Pengecut? Yah ... mungkin bisa dibilang begitu.

Sebenarnya, sudah berpuluh-puluh kali ia berniat untuk mengungkapkan perasaannya. Namun, ia selalu takut. Bukan takut ditolak, tetapi takut gadis itu malah akan membencinya dan tidak mau berteman lagi dengannya. Joon tidak ingin hubungan pertemanan mereka yang sudah lama terjalin hancur berantakan. Itu akan jauh lebih menyakitkan daripada ditolak cinta.

“Kapan-kapan ... kita ke sini lagi, ya?” Gadis itu menoleh, membuat Joon buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah laut. “Tapi yang aku ingin lihat Matahari terbit.”

Joon mengangguk dan berkata dengan mantap, “Tentu.”

++++

Joon terbangun dalam keadaan linglung. Bola matanya bergerak-gerak gelisah memindai sekeliling ruangan. Begitu menyadari tempatnya terbaring adalah kamarnya sendiri, ia mendesah lega dan menggerakkan tubuhnya untuk duduk. Kepala Joon berputar ke arah jam dinding. Pukul lima sore. Berarti ia sudah tidur selama delapan jam dan kini perutnya berteriak-teriak meminta diisi.

Perlahan-lahan, Joon turun dari ranjangnya. Ia sempat melirik ponselnya yang mati di atas meja kecil di samping ranjang. Ada niatan untuk menyalakan benda itu. Namun segera disingkirkan niatnya itu. Jika benda itu menyala, Mi Kyung, ibunya, atau Hana pasti akan terus menerornya. Ia sedang tidak mood berurusan dengan ketiga orang itu.

Krukkk!!!

Perutnya berbunyi lagi, membuat Joon bergegas keluar dari kamar menuju dapur. Ia membuka lemari es, tetapi di dalamnya tak ada apa pun kecuali air mineral, sebatang cokelat, dan bir. Joon mendesah berat lalu beralih pada lemari kabinet yang tertempel di dinding. Dibukanya pintu lemari itu satu per satu, mencari ramyun instan, tetapi tak ada makanan di sana. Yang ada hanya gelas, piring, dan toples-toples kecil berisi cokelat bubuk dan gula.

“Sial!” Joon merutuk sambil mengelus perutnya yang semakin ramai. Lalu, ia teringat kembali pada sebatang cokelat di lemari es. Diambilnya cokelat itu dan segera dimakannya dengan lahap. Cokelat itu tidak cukup untuk membuatnya kenyang, memang. Akan tetapi, setidaknya bisa membuatnya bertahan hingga lima belas menit ke depan. Ia akan keluar untuk membeli ramyun di mini market tak jauh dari gedung apartemennya. Inginnya sih memesan makanan dari restoran. Namun, ia juga harus membeli obat sakit kepala. Ternyata obatnya sudah habis, jadi sekalian saja. Lagi pula jaraknya tidak begitu jauh.

Setelah berpikir demikian, Joon segera kembali ke kamarnya. Ia memakai jaket katun berwarna merah bergaris tepi putih dan topi yang juga berwarna putih. Wajahnya ia tutupi masker. Puas dengan penampilannya, Joon pun keluar dari apartemen.

++++

[1]Keren!

[2]Terima kasih (informal)

[3]Hei!

[4]Maaf (informal)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status