Share

5. Menjemput Luka

Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.

Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek n***l “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.

Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.

“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Karena kesal, Ae Ri akhirnya mengangkat telepon itu.

“Ada apa lagi, Kang Eun Jung? Aku sedang sibuk,” kata Ae Ri tanpa basa-basi.

“Ae Ri~ya ....” Suara Eun Jung di seberang sana terdengar sangat lemah, membuat Ae Ri mengernyit keheranan. Hei! Ke mana Kang Eun Jung yang selalu bersuara nyaring dan berapi-api setiap meneleponnya?

“Kang Eun Jung, aku sedang tidak mood bercanda, oke? Jadi, tolong—” Kalimat Ae Ri terpotong begitu mendengar suara isak tangis Eun Jung. “Hei, ada apa? Kenapa kau menangis?”

“Ae Ri ... sakit ... hiks ....” Suara Eun Jung terdengar sayup-sayup. Lalu, detik berikutnya sambungan telepon terputus.

Kali ini Ae Ri menjadi panik. Ia menelepon balik Eun Jung. Lama ia menunggu. Namun yang terdengar hanya bunyi dengungan panjang, kemudian muncul suara operator telepon yang memberi tahu kalau nomor yang ia tuju tidak dapat dihubungi.

Tak menyerah, Ae Ri mencoba sekali lagi. Sayangnya, hasilnya tetap sama. Ketika hendak mencoba menelepon untuk keempat kalinya, tiba-tiba saja ponselnya lebih dulu berdering dan di layarnya menampilkan nama Eun Jung. Dengan sigap Ae Ri segera menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

Ya[1]! Kang Eun Jung! Kau ini kenapa? Jangan membuatku takut! Apa yang sakit, hah? Kau di mana sekarang? Sudah pulang atau masih di kedai? Jangan coba-coba menutup teleponnya sebelum kau menjawabku!” cerocos Ae Ri disertai ancaman. “Aku mohon jangan membuatku khawatir seperti ini. Gara-gara kau menyuruhku menggambar Lee Joon saja sudah membuat kepalaku mau pecah. Jangan memberiku masalah lagi. Ya Tuhan ... aku bisa gila! Kau ini benar-benar—”

“Ehm!” Dehaman keras dari seberang telepon menghentikan kalimat Ae Ri berikutnya. Ae Ri langsung mengernyit heran.

Eh? Kenapa dehaman Eun Jung terdengar seperti laki-laki?

“Maaf, saya memotong kata-kata Anda, Nona. Tapi, perlu saya beri tahu, saya bukan orang yang Anda maksud.” Suara renyah itu merambat dengan sangat cepat ke telinga Ae Ri. Suara laki-laki.

Untuk berapa saat, Ae Ri tertegun. Entah kenapa suara orang ini sangat familierv di telinganya. Namun, Ae Ri buru-buru membuang dugaannya. Di dunia ini banyak orang yang memiliki jenis suara yang sama, ‘kan?

Tunggu! Laki-laki? Lalu, di mana Eun Jung?

“Siapa kau?!” hardik Ae Ri. “Di mana Eun Jung? Kenapa ponselnya ada padamu? Apa yang terjadi padanya? Apa kau menculiknya? Apa kau­—”

“Nona, bisakah kau biarkan aku menyelesaikan kata-kataku dulu? Kalau kau terus bercerocos tak jelas, aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya dan kau tidak akan pernah tahu di mana Eun Jung-mu ini berada.” Orang di seberang telepon menyela dengan kesal. Kata-katanya pun tidak seformal sebelumnya. Ae Ri langsung bungkam. “Dengar, aku bukan penculik. Eun Jung, orang yang kau maksud, kutemukan pingsan di taman depan gedung apartemenku. Aku akan membawanya ke klinik di daerah Gangnam. Kalau kau mau datang kemari, aku akan memberitahukan alamat lengkapnya lewat pesan teks.”

Ae Ri menelan ludah. Lalu menjauhkan ponselnya dari telinga dan bergumam sendiri, mengutuki kebodohannya karena sudah menuduh yang tidak-tidak.

“Hei, apa kau masih di sana?” Orang itu bersuara lagi. Nada suaranya sedikit meninggi.

“I-iya.”

“Jadi, kau mau datang ke sini, tidak? Kalau tidak, aku benar-benar akan menculik Eun Jung-mu ini dan menjualnya ke luar negeri.”

Hajima[2]! Aku akan datang. Aku pasti datang. Tolong, jangan jual dia ke luar negeri!” seru Ae Ri panik.

Suara kekehan terdengar samar di ujung telepon. “Aku hanya bercanda. Baiklah, aku tutup teleponnya sekarang dan akan segera kukirimkan alamat kliniknya. Aku harap, kau secepatnya datang karena aku sangat sibuk.”

“Baik. Terima kasih dan maaf soal—”

Tut ... tut ... tut ...

Sambungan telepon diputus dari seberang. Ae Ri memberengut. Lalu, beberapa menit kemudian, muncul pesan teks dari laki-laki itu—masih menggunakan nomor ponsel Eun Jung—berisi alamat klinik tempat Eun Jung dibawa. Tanpa pikir panjang lagi, Ae Ri berlari keluar rumah, menuruni tangga dengan cepat, dan mengambil skuternya di garasi.

“Ae Ri~ya, kau mau ke mana? Sebentar lagi kan makan malam.” Nenek Cho keluar dari rumahnya ketika Ae Ri menyalakan skuter.

“Aku mau menemui Eun Jung dulu. Penting,” sahut Ae Ri. “Aku pasti akan pulang telat. Jadi, kalian makan saja duluan. Jangan menungguku!” tambahnya. Lalu, tanpa menunggu jawaban dari Nenek Cho, Ae Ri menjalankan skuternya.

Semoga Eun Jung baik-baik saja, doa Ae Ri dalam hati sambil menambah kecepatan skuternya.

++++

“Kenapa lama sekali, sih?” gumam Joon mulai kesal. Ia menyandarkan punggungnya ke kosen jendela sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Pandangannya menerawang ke luar jendela beberapa saat, lalu kembali menatap gadis yang tengah terbaring tak sadarkan diri di ranjang ruang rawat klinik milik Jang Mi Joon, kekasih Mi Kyung.

Sudah setengah jam sejak ia menemukannya, tetapi gadis ini belum juga sadar. Mi Joon bilang tidak ada yang perlu dicemaskan. Pencernaan gadis ini terganggu. Mungkin karena terburu-buru makan. Tetapi, tetap saja, melihatnya tak sadarkan diri sampai saat ini membuat Joon sedikit cemas. Terlebih lagi, teman gadis ini belum datang juga.

Krukkk ...!

Joon mendengar bunyi keras dari dalam perutnya. Ah iya, tadi ia belum sempat pergi ke mini market untuk membeli ramyun karena lebih dulu menemukan gadis bernama Eun Jung ini pingsan di taman depan apartemennya.

Krukkk ... Krukkk ...

Perutnya kembali mengeluarkan bunyi. Kini disertai rasa sakit yang melilit. Kepalanya pun mulai terasa pening.

Haruskah ia meninggalkan ruangan ini sebenar untuk mencari makan? Tapi, bagaimana kalau teman gadis ini datang? Joon tidak mau dianggap tak bertanggung jawab karena menelantarkan orang yang sudah ditolongnya.

Aku mohon, cepatlah datang! Joon terus berdoa dalam hati sementara kepalanya semakin berputar-putar seperti sedang naik rolecoster. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Ia harus mencari Mi Joon. Ah, ia lupa. Mi Joon tadi mendapat panggilan mendadak dari rumah sakit.

Kenapa aku tidak menelepon Mi Kyung Noona saja? Dasar bodoh! Joon menepuk keningnya lalu meraba saku jaketnya. Ponselnya tidak ada di sana. Di saku celana juga tidak ada. Shit! Ia kan tidak bawa ponsel. Kemudian, mata Joon menangkap ponsel milik Eun Jung yang tergeletak di meja. Ia segera mengambil ponsel itu. Tetapi ketika hendak mengetik nomor ponsel Mi Kyung, tiba-tiba saja pikirannya blank. Nomor Mi Kyung yang sudah ia hafal di luar kepala beterbangan begitu saja dari memori otaknya.

Arghhh! Sial! Sial! Joon mengumpat dalam hati sambil menjambak-jambak rambutnya. Ia lantas mendudukkan diri di kursi samping ranjang. Ini benar-benar buruk, keluhnya.

“Sepertinya, setelah ini aku yang akan terbaring di ranjang ini menggantikanmu, Eun Jung-ssi,” katanya pelan sambil menatap lekat ke wajah Eun Jung.

“Aku mohon jangan membuatku khawatir seperti ini. Menggambar Lee Joon saja sudah membuat kepalaku mau pecah, jangan memberiku masalah lagi. Ya Tuhan... aku bisa gila! Kau ini benar-benar—”

Kata-kata yang diucapkan teman Eun Jung itu tiba-tiba terngiang lagi di telinga Joon. Senyum tipis terukir di bibirnya. Lee Joon yang gadis itu maksud ... apakah dirinya? Atau Lee Joon yang lain? Kalau yang dimaksud itu dirinya, memang apa masalahnya sampai menggambar dirinya saja membuat gadis itu begitu frustasi? Ah, Joon jadi penasaran seperti apa tampang gadis bernama Ae Ri itu.

Oppa ... Oppa ....” Eun Jung tiba-tiba mengigau, membuat Joon tersentak dari duduknya.

“Hei! Kau tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?” tanya Joon panik seraya mendekatkan diri pada Eun Jung. Ia meneliti wajah gadis itu dengan saksama, takut-takut ada luka yang tak terlihat.

Ketika tangan Lee Joon hendak menyentuh kening Eun Jung, tahu-tahu dari arah belakang ada yang menarik dirinya dengan kasar. Lalu, Joon merasakan hantaman keras di perutnya, membuatnya merasakan nyeri yang begitu hebat dan jatuh berlutut di lantai. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, Joon merasakan sekelilingnya berputar cepat, pandangannya menggelap, dan di detik berikutnya kesadarannya hilang.

++++

[1] Hei!

[2]Jangan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status