Share

6. Laki-Laki dari Masa Lalu

“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.

Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.

“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.

Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan, siapa dia yang dibicarakan kedua orang itu?

Joon berusaha mengingat apa yang terjadi. Terakhir kali yang diingatnya adalah ia sedang berada di ruang rawat klinik, menunggui Eun Jung, gadis yang ia temukan pingsan di taman depan gedung apartemennya. Saat itu, tiba-tiba Eun Jung mengingau. Ia berniat menyentuh keningnya untuk memastikan panas tidaknya badan gadis itu. Namun, tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap dan ia tidak ingat apa pun lagi.

Tak berapa lama, terdengar suara pintu ditutup dan diikuti oleh suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Lalu, suara berikutnya yang Joon dengar adalah bunyi derit kursi dari arah samping bersamaan dengan terciumnya aroma khas bayi.

“Haahhh ....” Orang yang duduk di samping Joon mengeluarkan desahan panjang. “Kenapa semuanya jadi begini? Kenapa pula dari sekian banyak orang di Seoul ini malah orang ini yang aku tinju? Ya Tuhan ... sampai kapan kesialanku ini akan berlanjut?!”

Mendengar gerutuan orang itu Joon tersenyum dalam hati. Ia kenal suara ini. Suara gadis di telepon, Ae Ri.

“Lee Joon-ssi, bisakah kau siuman sekarang? Aku tidak punya banyak waktu untuk menungguimu di sini.” Ae Ri mengomel lagi. “Lagi pula, semakin lama aku bersamamu, aku malah semakin ingin meninjumu. Aku tidak mau lepas kendali.”

Hei, dia mengenalku? Tunggu, tunggu! Apa maksud perkataannya itu? Memangnya apa yang sudah aku perbuat padanya hingga dia mau meninjuku lagi? Aku rasa, aku tidak pernah mengenalnya. Mendengar suaranya pun baru kali ini, gumam Joon dalam hati.

Hening. Gadis bernama Ae Ri itu tidak bicara lagi, sedangkan Joon sibuk berpikir dan mengingat-ingat. Mungkin saja ia mengenal gadis ini dan pernah melakukan kesalahan padanya. Kalau memang seperti itu, ia harus meminta maaf. Namun, yang terpenting sekarang adalah ia harus bangun dulu.

Oke, Lee Joon, ayo bangun! Bangun! Satu ... dua ... tiga ....

++++

Ae Ri mengentak-entakkan sebelah kakinya ke lantai. Gugup, kesal, benci, tegang, dan cemas berkumpul jadi satu di hatinya. Ia menatap sekali lagi laki-laki yang tengah terbaring di ranjang tepat di hadapannya. Mata Ae Ri mengerjap-ngerjap untuk kesekian kalinya, masih belum percaya kalau laki-laki ini adalah Lee Joon.

Benar. Tak salah lagi, orang ini Lee Joon si aktor itu. Lee Joon yang dibencinya selama bertahun-tahun. Namun, bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini? Rasanya baru tadi pagi ia memandangi sketsa wajah laki-laki ini dengan penuh kebencian. Dan sekarang, ia malah dihadapkan dengan sosok aslinya.

Apakah ini lelucon? Apakah seseorang sedang mempermainkannya? Menjebaknya?

Embusan napas keras keluar dari  lubang hidung Ae Ri. Oke, ia memang membenci Lee Joon. Namun, melihatnya terbaring tak berdaya seperti ini—dan itu pun karena ulahnya—membuat Ae Ri merasa tak tega. Lagi pula, mau tak mau, ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.

Sungguh, saat itu pikirannya sedang kacau. Ketika melihat wajah Lee Joon begitu dekat dengan wajah Eun Jung, Ae Ri kalap dan langsung meninju perut laki-laki itu. Namun, ia benar-benar tidak menduga kalau satu pukulan dari tangan kurusnya bisa membuat orang langsung pingsan seperti ini.

Tatapan Ae Ri semakin lekat ke wajah Lee Joon. Wajah itu, bibir itu, hidung itu, masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah. Ia masih terlihat tampan dan menarik.

Ae Ri tertegun, kaget dengan pemikirannya sendiri. Tidak! Ia tidak boleh seperti ini! Ia tidak boleh menjadi lemah. Lee Joon adalah luka dan ia harus segera menjauhinya.

Ae Ri lantas bangkit dari duduknya dengan hati-hati, mencoba tidak menimbulkan suara. Ia bertekad untuk pergi dari tempat itu. Toh, ia sudah tidak punya urusan lagi di sana. Eun Jung sudah dibawa oleh pamannya beberapa saat lalu. Soal masalahnya dengan Lee Joon, biarkan saja. Lagi pula, Lee Joon tidak tahu wajah dan alamatnya. Jadi, laki-laki itu tidak bisa menuntutnya.

“Mau lari setelah membuat orang cidera, hm?” Suara itu terdengar dari arah ranjang ketika Ae Ri hendak menyentuh kenop pintu. Tubuh Ae Ri berputar cepat. Matanya melotot begitu melihat sosok Lee Joon yang sudah sadar dan terduduk di ranjang.

Glek! Ae Ri menelan ludah.

“Ka-kau ... siuman?” tanyanya tergagap.

“Ya. Kenapa? Kau berharap aku tidur lebih lama lagi agar bisa kabur begitu saja?” kata Lee Joon sarkastis.

“A-aku tidak berniat kabur. Aku mau ke ... ke toilet. Ya, ke toilet,” elak Ae Ri. Kegugupan terpancar jelas di wajahnya.

“Oh ... benarkah?” Joon menyilangkan tangan di dada. Matanya menatap galak pada Ae Ri, membuat Ae Ri merasa tak nyaman.

“A-aku akan memanggil dokter. Kau harus diperiksa lebih lanjut lagi untuk memastikan tidak ada yang salah dengan lambungmu,” ujar Ae Ri. Ia kembali memutar tubuhnya, hendak membuka pintu, tetapi Joon kembali mencegahnya.

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin pulang dan makan sesuatu,” kata laki-laki itu. “Aku benar-benar lapar hingga rasanya seperti mau mati.”

“Kau yakin?” Ae Ri menatap Joon lekat, memastikan kalau ucapan laki-laki itu bukan candaan.

“Ya.” Joon mengangguk mantap.

“Kalau begitu, cepat hubungi orang terdekatmu untuk membawamu pulang. Aku tidak punya banyak waktu lagi. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” kata Ae Ri sambil mendekat ke ranjang.

“Aku tidak bawa ponsel,” sahut Joon enteng.

Ae Ri mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan menyodorkannya pada Joon. “Pakai ponselku.”

“Aku tidak ingat nomor-nomor orang terdekatku. Lagi pula, kenapa tidak kau saja yang mengantarku pulang? Kau sudah membuatku begini. Jadi, kau harus bertanggung jawab sampai akhir.” Joon menatap lekat ke wajah Ae Ri, menantangnya.

Ae Ri membuang napas berat. Memang benar ia harus bertanggung jawab. Namun, kalau harus mengantar Lee Joon ke rumahnya dan berdekatan dengan laki-laki ini lebih lama lagi .... Tidak! Ia tidak bisa!

Nan motae[1].”

Joon memiringkan kepalanya. “Wae[2]?”

“Karena ... karena aku tidak mau terlibat skandal denganmu.”

++++

“Jadi, kau tahu siapa aku?” tanya Joon sambil menyunggingkan senyum misterius.

“Tentu saja tahu. Fotomu ada di mana-mana. Nyaris setiap hari kau selalu muncul di acara infotainment di televisi,” jawab Ae Ri dengan nada ketus. “Dan, kalau kau berpikir aku ini fans-mu, kau salah. Aku ini anti-fansmu, oke?”

“Oh, baguslah kalau begitu,” kata Joon santai sambil membenarkan posisi duduknya.

“Bagus apanya?!” seru Ae Ri, semakin terlihat kesal.

“Ya ... bagus karena kau anti-fansku. Aku aman. Fans-ku justru lebih membahayakan dibandingkan anti-fansku.”

Ae Ri mendesis. Tangannya teracung ke udara, hendak memukul, tapi kemudian ia menurunkannya kembali.

“Oke, kembali ke permasalahan kita,” kata Joon kemudian. “Aku tetap menuntut pertanggungjawabanmu. Kau harus tetap mengantarku pulang dan kau tak bisa menolaknya. Soal skandal atau apa pun itu, aku bisa mengatur agar tidak ada yang melihat kita.” Joon bersikukuh, membuat raut wajah Ae Ri mengeras.

“Dengar, Lee Joon-ssi ....” Ae Ri menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. “Kau pikir, karena kau seorang artis terkenal, kau bisa memerintah orang lain seenaknya? Kau pikir, aku akan senang menuruti perintahmu, hah? Mungkin orang lain begitu—terutama para fans konyolmu itu—tetapi aku tidak!” Suara Ae Ri  naik beberapa oktaf.

“Tunggu, tunggu! Kenapa kau marah-marah? Yang seharusnya marah itu aku. Kau yang telah meninjuku hingga aku nyaris sekarat. Aku ini korbanmu dan kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu.” Emosi Joon terpancing. “Kau cukup mengantarku pulang. Itu tidak susah, ‘kan? Atau ... kau mau aku laporkan ke polisi?”

Wajah Ae Ri memucat. Gadis itu kemudian terdiam.

“Aku bisa dengan mudah menjebloskanmu ke penjara, lho,” kata Joon dengan nada bangga.

“Baik, aku akan mengantarmu pulang,” putus Ae Ri beberapa menit kemudian. Nada suaranya terdengar tidak ikhlas.

Senyum Joon langsung terkembang. “Gamsahamnida[3]. Tapi, sebelum itu, belikan aku makanan. Aku sangat lapar.” Ia menepuk-nepuk perutnya.

“Hah?!” Ae Ri melotot.

“Kenapa terkejut begitu? Aku kan menyuruhmu membelikan makanan, bukan menyuruhmu buka baju.” Joon nyaris menyemburkan tawa melihat ekspresi wajah Ae Ri. Ia sudah tidak kuat lagi berpura-pura bersikap tenang seperti ini. Gadis mungil ini benar-benar membuat Joon ingin tertawa, mencubit pipinya yang menggembung karena menahan marah, dan mengacak-acak rambut sebahunya yang tergerai tanpa aksesoris apa pun.

Sebenarnya Joon bisa saja meminta Mi Joon untuk mengantarnya pulang. Ia juga tidak memberi tahu Ae Ri kalau ia mengenal dokter klinik ini. Ia ingin mengerjai Ae Ri. Siapa suruh gadis ini membuatnya pingsan dan mengoceh tak jelas tentang dirinya?

“Oke. Aku akan membelikanmu makanan,” kata Ae Ri kemudian. “Kau mau makan apa?”

“Daging sapi asap.”

Joon melihat Ae Ri menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya lagi dengan sekali embusan. “Baik. Aku akan membelikannya,” katanya dengan nada ketus, lalu berjalan ke pintu dengan langkah lebar-lebar.

++++

[1]Aku tidak bisa.

[2]Kenapa?

[3]Terima kasih (formal)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status