Share

7. Mimpi-Mimpi Buruk yang Kembali Hadir

“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.

Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.

“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya,  Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.

“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia terbesar Lee Joon yang seharusnya tidak diketahui orang lain.

Dengan perlahan, Ae Ri memberanikan diri melihat ke arah Lee Joon yang kini tak terdengar lagi suara tawanya. Laki-laki itu ternyata tengah menatap tajam ke arah Ae Ri. Wajahnya mengeras. Aura kemarahannya menguar memenuhi ruangan, membuat Ae Ri diserang rasa takut.

“Bagaimana ... kau bisa tahu soal itu?” Joon bertanya dengan suara tertahan seraya meletakkan sumpit di tangannya dengan kasar. Lalu, ia berjalan pelan ke arah Ae Ri layaknya harimau yang sedang mengincar mangsanya.

Alarm tanda bahaya di kepala Ae Ri langsung menyala. Ia segera bangkit dari sofa dan berniat lari ke pintu. Namun, belum sempat kakinya bergerak, Joon sudah lebih dulu mencekal lengannya dan menghempaskannya kembali ke sofa.

“Bagaimana kau bisa tahu soal itu?” Joon mengulangi pertanyaannya. Laki-laki itu merendahkan tubuhnya dan mencondongkan wajahnya ke wajah Ae Ri. Kedua tangannya diletakkan di samping kanan dan kiri kepala Ae Ri. Berada dalam posisi seperti itu membuat jantung Ae Ri berhenti berdetak untuk beberapa saat. Kilasan ingatan masa lalu membanjiri ingatannya saat itu juga.

“So-soal apa?” Ae Ri pura-pura tak mengerti sambil berusaha untuk tidak menatap langsung ke wajah Joon yang berada tepat di depan wajahnya. Tubuhnya mulai menggigil. “Aku tidak mengerti apa maksudmu,” ucapnya sambil mencoba bangkit, tetapi Joon mendorong bahunya hingga terduduk lagi.

“Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan! Cepat katakan!” Joon membentak hingga membuat Ae Ri makin mengerut ketakutan.

Tidak. Kamu tidak boleh takut, Cho Ae Ri. Hadapi dia! Hadapi dia! Ae Ri menghirup udara sebanyak-banyaknya, berusaha menguatkan diri.

Joon meraih bagian depan baju Ae Ri dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Apa kau tuli, hah? Cepat katakan!” bentaknya lagi.

Baiklah. Apa boleh buat, putus Ae Ri dalam hati. Lalu, ditatapnya Joon tajam. Menantang laki-laki itu. Sorot matanya yang semula ketakutan berubah penuh kebencian.

“Kim Hana ....” Ae Ri menjeda ucapannya, “... kau mencintainya, ‘kan? Tapi, kau tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Selama bertahun-tahun kau hidup dengan memendam perasaan cintamu kepadanya hingga akhirnya dia jadi adik tirimu. Dan kau ....” Bibir Ae Ri menyunggingkan senyum mengejek, “hancur.”

Mata Joon melebar. Ia tampak sangat terkejut. Melihat hal itu senyum Ae Ri semakin terkembang. Ia sangat menikmati ekspresi terkejut laki-laki itu.

“Kau ...,” Joon menjauh dari Ae Ri dengan langkah limbung, “siapa sebenarnya?”

Ae Ri bangkit. “Entahlah. Menurutmu siapa?” katanya sambil merapikan pakaiannya yang kusut. Lalu, ia melenggang ke pintu. Sebelum keluar, Ae Ri menyempatkan diri berbicara lagi pada Joon. “Ah iya, kalau kau mau menuntutku, silakan saja. Aku tidak takut. Aku akan mengungkapkan rahasia terbesarmu itu ke publik sebagai gantinya. Bukankah hal itu yang paling tidak ingin orang lain tahu dari sekian banyak rahasiamu?”

Tubuh Joon menegang. Bola mata laki-laki itu bergerak-gerak gelisah. “Kau ....” Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Baiklah, aku pergi. Semoga kita tidak bertemu lagi,” ucap Ae Ri seraya membuka pintu dan keluar dari ruang rawat Joon. Meninggalkan laki-laki itu yang masih terlihat sangat syok.

Setelah ada di luar dan menutup pintu rapat-rapat, Ae Ri menyandarkan punggungnya ke dinding. Napasnya memburu seperti habis melakukan lari maraton. Seluruh tubuhnya lemas. Kedua kaki dan tangannya gemetaran.

Apa yang dilakukannya tadi benar-benar nekat. Ia tidak tahu dari mana datangnya kenekatannya itu. Padahal, ia sudah bertekad tidak mau terlibat dan ikut campur dalam urusan pribadi Lee Joon, sekalipun ia membenci laki-laki itu. Ah, ini benar-benar buruk!

Semoga saja kami tidak pernah bertemu lagi, doa Ae Ri seraya melangkahkan kakinya pergi dari klinik itu.

++++

“Kim Hana .... Kau mencintainya, bukan? Tapi, kau tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Selama bertahun-tahun kau hidup dengan memendam perasaan cintamu kepadanya hingga akhirnya dia jadi adik tirimu. Dan kau hancur.”

Perkataan Ae Ri tadi terngiang lagi dan lagi di telinga Joon, membuat hati Joon seperti dihantam martil berkali-kali.

“Siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa dia bisa tahu sampai sejauh itu?” gumam Joon sambil memijat-mijat pelipisnya. Ia berusaha menggali ingatannya. Mungkin saja, dulu, ia pernah mengenal Ae Ri. Namun, dari sekian banyak ingatan yang menempel di kepalanya, Joon tak menemukan ingatan pernah mengenal atau bertemu dengan Ae Ri sebelumnya.

“Aku harus mencari tahu siapa dia sebenarnya. Harus!” tekad Joon.

++++

Ae Ri terduduk di atas kasurnya dengan wajah bersimbah peluh. Air mata meleleh dari kedua sudut matanya. Dengan tangan gemetaran, ia meraih sesuatu dari bawah bantal. Sebuah foto dalam pigura kayu.

Dipandanginya foto itu dengan tatapan penuh kerinduan lalu memeluknya erat-erat. Ia menangis tersedu-sedu.

“Hyuk-a, Hyuk-a ....” Ae Ri menyebut nama itu berkali-kali di sela tangisnya. “Mianhae, mianhae ....”

++++

Yeoboseyo[1]!” Ae Ri menyapa dengan suara serak. Matanya masih setengah terpejam.

“Ae Ri-ssi, aku sudah ada di kedai yang kau maksud. Kapan kau akan datang? Aku sudah menunggu setengah jam di sini.”

Kedai? Ae Ri berpikir sejenak. Tunggu! Suara ini kan ....

Mata Ae Ri membelalak dan segera dilihatnya nama yang tertera di layar ponselnya. Pak Im?!!

“Ma-maafkan saya, Sajangnim. Sa-saya baru bangun. Saya akan segera ke sana. Tolong tunggu sebentar lagi!” jawab Ae Ri.

Cha Sung Jae tertawa di seberang sana. “Baiklah, aku akan menunggumu sebentar lagi. Tapi, kau harus membayar atas keterlambatanmu ini, oke?”

“Ba-baik.” Ae Ri mengiakan.

Lalu, sambungan telepon diputus oleh Sung Jae. Ae Ri melempar ponselnya ke atas kasur dan melesat keluar dari kamarnya untuk mandi.

Di kedai tteokkbukki, Sung Jae duduk tak jauh dari pintu masuk. Ia memilih tempat duduk dekat jendela. Di mejanya sudah ada cangkir kosong bekas teh krisan yang ia pesan saat baru datang, segelas air putih dingin yang tinggal setengah, dan kue kering. Sambil menopang dagu, ia menatap ke luar jendela. Wajah Ae Ri berkelebatan di benaknya.

Cho Ae Ri. Gadis sederhana itu telah memikat hatinya sejak kali pertama Sung Jae melihatnya dua tahun silam. Sosoknya yang sedang menggambar sendirian di bangku taman begitu memukau.

Awalnya, Sung Jae tak sengaja lewat taman itu setelah pulang dari apartemen temannya yang berada tak jauh dari sana. Lalu, ia melihat seorang gadis tengah duduk sendirian di bangku taman. Sung Jae mengernyit. Heran kenapa ada orang yang mau duduk di sana dalam kondisi cuaca sedingin ini.

Semakin diperhatikan, semakin Sung Jae merasa tertarik. Ia pun menghampiri gadis itu. Saat sudah dekat, Sung Jae baru bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan gadis berjaket merah itu. Sung Jae tidak buru-buru menyapa. Dengan hati-hati ia duduk di samping gadis itu dan memperhatikannya dalam diam.

Kemudian, perasaan asing itu pun menyelusup ke dalam hatinya. Menciptakan kehangatan yang menjalari seluruh tubuhnya, mengalahkan rasa dingin yang dirasakannya tadi.

Karena gadis itu tak menyadari kehadirannya, Sung Jae memutuskan untuk menyapanya. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja ia punya ide untuk mengajak gadis itu bergabung di penerbitan miliknya.

Sung Jae tersenyum mengingat pertemuan pertama mereka itu. Tak terasa hari demi hari berlalu dari kali pertama mereka bertemu dan perasaannya terhadap Ae Ri semakin besar. Namun, gadis itu belum menyadarinya juga, meski Sung Jae berusaha keras menunjukkannya. Dan juga, selama mengenal Ae Ri, Sung Jae melihat gadis ituseolahmembangun dinding tak kasat mata pada setiap laki-laki yang berusaha mendekatinya. Sung Jae tidak tahu kenapa Ae Ri harus repot-repot melakukan hal itu.

Kendati demikian, Sung Jae tetap tak gentar untuk meluluhkan hati Ae Ri. Setebal apa pun dinding yang dibangun gadis itu, ia akan berusaha meruntuhkannya.

++++

[1]‘Halo!’ Sapaan ketika menerima telepon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status