Share

3. Kuliah Umum

Sejak pagi, kesibukan yang luar biasa tampak di kampus Maura. Semua orang seolah-olah punya tugas yang berkaitan dengan kuliah umum David Peters. Di salah satu sudut koridor menuju auditorium, berjejer gadis-gadis cantik nan populer yang sibuk mematut diri. Sesekali mereka berbisik gaduh menyebut nama David Peters.

Pemandangan yang sangat asing bagi Maura. Selama hampir dua tahun belajar di kampus ini, belum pernah Maura melihat kehebohan yang terkesan berlebihan. Semua orang menyebut-nyebut nama David Peters. Sebagian mahasiswa mengelu-elukannya sebagai sosok milyarder dan berpengaruh. Sedangkan mahasiswi, hanya satu bahasan yang sangat menarik mereka, ketampanan David Peters.

Maura mengetuk pintu ruang dekan yang terbuka. Dekan yang tengah sibuk menekuni berkas di mejanya mengalihkan pandang ke arah Maura kemudian mengangguk. Maura pun melangkah masuk dan segera meraih kursi di depan meja dekan.

“Boleh saya bertanya, Dean?”

“Hmm…” Dekan menjawab tanpa melihat Maura. Ia terlihat sangat sibuk membaca. Sesekali telunjuknya ikut menyusuri tulisan-tulisan dalam berkas yang dihadapinya.

“Siapa sebenarnya David Peters, Dean? Kenapa semua orang terlihat antusias menyambutnya.”

Dekan menghentikan kegiatannya kemudian menatap Maura. Maura merasa aneh dengan tatapan dekan yang sulit ditafsirkan.

“Dia segalanya bagi kampus ini, Maura.”

Wow. Maura berdecak kagum dengan klaim dekan yang terdengar luar biasa. Tanpa diminta dekan melanjutkan ceritanya.

“Pertama, dia adalah milyarder yang paling berpengaruh di kota, bahkan negara ini. Kedua, dia merupakan alumnus fakultas kita. Dia belajar sejarah. Selesai meraih doktoralnya di sini, dia melanjutkan ke fakultas ekonomi. Tahun lalu dia meraih gelar doktor bidang manajemen.”

Mata Maura membola mendengar semua penuturan dekan. Yang paling membuatnya antusias adalah latar belakang Pendidikan sejarah David Peters. 

Kuharap hasil mempelajari ilmu humaniora membuatnya lebih humanis. Maura menggumam pelan, namun tampaknya dekan mendengar apa yang dia katakana.

“Sayangnya tidak seperti itu, Maura.” Dekan menatap Maura penuh arti. Ekspresi wajah Maura langsung berubah. Asa yang dirajutnya lenyap.

“David Peters dibesarkan di lingkungan yang kesemuanya laki-laki. Tidak ada sosok ibu. Yang ada hanyalah ayah serta seorang saudara laki-laki. Ayahnya berperangai sangat keras, cenderung kasar. Perangai saudara laki-lakinya berbanding terbalik dengan ayahnya. Karena tidak tahan dengan ayahnya, dia keluar dari rumah. Entah di mana dia sekarang.”

“Bagaimana dengan David Peters? Kuharap dia tidak seperti ayahnya.” Nada bicara Maura sedikit gentar. Tentu saja nyalinya ciut. 

“Selama ini, yang dia perlihatkan adalah perangai seperti ayahnya.” Dekan menatap Maura penuh simpati.

“Tapi aku yakin kamu bisa menaklukkannya, Maura.” Imbuhnya. 

Hah! Memangnya aku pawang. Maura memprotes dalam hati. Dirinya membayangkan seandainya ia seorang pawang harimau yang sedang menghadapi harimau terganas yang haus darah. Maura bergidik dan buru-buru mengenyahkan bayangan itu.

“Apa Anda akan membantuku, Dean?” Maura memohon penuh harap. Dekan mengangguk sambil tersenyum. 

“Tentu, aku akan membantumu.” Janjinya.

*

Maura dan dekan menoleh bersamaan ke arah pintu begitu terdengar ketukan. Laki-laki yang kemarin tidak sengaja terkena pintu ruang dekan yang dibuka Maura.

“Matt, masuklah!” Dekan menyuruh laki-laki itu masuk. Maura refleks berdiri kemudian menggeser kursi untuk laki-laki tersebut. Namun Matt mengabaikan sikap baik Maura.

“Tuan Dave sudah datang dan menunggu di auditorium.” Matt berkata dengan nada suara datar. 

Tuan Dave? Apakah yang dimaksud David Peters? Maura bertanya-tanya dalam hati. Dilihatnya dekan berkemas dan meraih blazer yang ada di kursinya. “Ayo, Maura!”

Susah payah Maura melangkah mengimbangi langkah kaki Matt dan dekan. Sesekali ia merutuki dirinya yang tidak memiliki kaki sejenjang mereka. Peluh mulai menitik di kening Maura. Buru-buru disekanya dengan punggung tangan. Sesampainya di auditorium, Maura mengedarkan pandang. Matanya menyapu seluruh bagian auditorium, mencari sosok bernama David Peters. Pandangan Maura terhenti pada sosok yang duduk di barisan paling depan dan didampingi oleh mahasiswi-mahasiswi cantik yang tadi dilihatnya di koridor. Apakah itu David Peters? Maura menduga-duga. Sosok yang menjadi fokus penglihatannya terlihat menarik, meskipun ia baru menatap punggungnya saja. 

“Maura, Ayo!” Dekan membuyarkan pikirannya yang masih sibuk menaksir usia David. Maura mengangguk kemudian mengekor dekan. 

“Tuan David Peters, mohon maaf membuat Anda menunggu.” Dekan menyalami David Peters sambil berbasa-basi. Yang diajak bicara hanya mengangguk dan kemudian duduk lagi.

Gila, orang seperti ini yang akan aku hadapi nanti. Oh Tuhan…. Kepercayaan diri Maura lenyap seketika. 

Tapi tunggu, kalau kutaksir usianya tidak jauh beda denganku, mungkin hanya beda dua atau tiga tahun. Maura sibuk mereka-reka usia orang yang akan dia hadapi nanti demi pinjaman untuk tuition fee

Beberapa staf kampus tampak mengusir mahasiswi-mahasiswi yang duduk di sekitar David Peters. Dekan mengambil duduk di sisi kanan David dan Maura di sisi kanan dekan. Sekilas, David melirik ke arah samping kanan, memastikan penglihatannya pada sosok yang duduk di samping dekan. 

*

David berbicara mengenai dua keilmuan yang dipelajarinya, sejarah dan manajemen berkaitan dengan bisnis yang dimilikinya. Betapa pengetahuan dan pemahaman sejarah suatu masyarakat dapat membawa dampak yang signifikan bagi pemasaran dan penjualan suatu produk. Bahasan berikutnya tidak terlalu menarik bagi Maura karena hampir seluruhnya berhubungan dengan manajemen dan seni berbisnis.

Maura menanti akhir kuliah umum ini dengan debaran jantung tak biasa. Beragam pertanyaan tanpa jawaban berloncatan di kepalanya.

Bagaimana jika dia menolak membantuku?

Apa dia akan mempermalukanku di depan umum karena berhutang padanya?

Apa dia akan…. Begitu banyak pertanyaan yang dipikirkan membuat Maura kehilangan konsentrasi. Dekan menyenggolnya perlahan, memberi tahu jika David Peters sudah mengakhiri kuliah umumnya.

*

“Maaf, Tuan David…” Suara Maura menghentikan langkah David. Laki-laki itu menoleh ke arah sumber suara. Maura berjalan mendekat sambil menunduk.

“Ya…”

“Bolehkah saya bicara dengan Tuan sebentar?”

“Siapa dia?” Maura membuka mulutnya hendak menjawab pertanyaan David, tapi diurungkannya karena dekan sudah lebih dulu angkat bicara. Ia berbisik pada David, 

“Salah satu mahasiswa yang membutuhkan bantuan. Dia sedang menulis tesis dan melanjutkan penelitian yang masih tertunda.”

David tidak menjawab. Dia sangat paham dengan maksud dari perkataan dekan. Sebelum pergi, David berkata pada Matt dan dekan, “Besok dia bisa menemuiku.”

“Terima kasih, Dave.” Dekan berkata dengan wajah semringah. Dilihatnya Maura yang masih terpaku di tempatnya. Dengan kode senyuman dan gerakan dagu, Maura tanggap dengan maksud dekan. 

“Terima kasih, Tuan David.” Maura membungkukkan badannya berkali-kali sambil mengucap terima kasih. Baginya ini awal yang, mungkin, akan berakhir baik.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status