Aku menghentikan langkahku di depan sebuah bangunan kantor dengan tulisan “Peters Corp.” pada pelat baja. Kemudian pandanganku beralih ke selembar kertas kecil berisi nama dan alamat seseorang yang sedari tadi kupegang di tangan kiri. David Peters adalah pemimpin perusahaan Peters Corp. yang harus kutemui hari ini atas saran dari dekan.
‘Benar, ini.’ Batinku. Aku pun melangkah masuk ke dalam gedung dan langsung menuju resepsionis yang berada tepat di depan pintu masuk.
“Selamat pagi.” Sapa petugas resepsionis dengan keramahan yang khas. Wajahnya yang oval dengan potongan rambut sebahu dan kacamata yang membingkai sepasang matanya membuat ia terlihat menarik, meskipun bersahaja.
“Pagi.” Kubalas sapanya dan tak lupa kuhadirkan seulas senyum.
“Bisakah saya bertemu Tuan David Peters?” Lanjutku.
“Anda dari mana dan sudah membuat janji?” resepsionis itu menanyaiku lagi.
“Saya Maura. Kemarin setelah mengisi kuliah umum di kampus saya, Tuan David Peters meminta saya bertemu dengannya hari ini.”
Resepsionis itu mengangguk tanda mengerti. Ia kemudian menelepon dan berbicara sesuai informasi yang kuberikan.
“Silakan, Nona Maura. Tuan David sudah menunggu Anda di ruangannya.” Resepsionis itu menggeser tempat duduk lalu mendekat padaku. Ia pun menunjukkan arah yang harus kulalui untuk menuju ruangan David Peters sambil sesekali menggerakkan tangannya. Aku mengangguk tanda mengerti. Setelah mengucap terima kasih, aku pun berjalan mengikuti arah yang telah ditunjukkan tadi.
Tok… tok….
Terdengar jawaban dari dalam yang mengizinkanku masuk. Aku membuka pintu perlahan, masuk, dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Begitu berbalik, kulihat David Peters di mejanya sambil menatapku.
“Nona Maura, kau sangat lama.” Ujarnya. Kurasakan kakiku gemetar, takut karena telah membuatnya menungguku.
‘Apa maksudnya lama?’
‘Apakah aku terlambat?’
‘Kurasa aku datang tepat waktu.’
Berbegai pertanyaan bernada pembelaan menjejali pikiranku. Aku sangat yakin aku tidak datang terlambat.
“Maaf, Tuan….” Aku menjawab lirih sambil menunduk. Tidak ada kata lain yang bisa kusampaikan selain maaf. Aku berada dalam posisi membutuhkan bantuan David Peters. Jadi sebisa mungkin aku tidak membuat kesalahan dalam bersikap atau bertutur kata.
‘Anggap saja ini sebagai ujian, Maura.’ Aku menghibur diriku sendiri.
‘Kalau kamu lulus, bisa dipastikan studimu aman.’ Imbuhku lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, namun dengan perlahan. Aku takut David Peters tahu dan akan membuatnya memberi peniaian salah lagi tentangku.
“Oke. Katakan apa maumu sekarang!”
Belum hilang gemetar pada sepasang kakiku, sekarang David Peters memintaku untuk segera menyampaikan tujuanku datang padanya. Aku kembali menarik napas dalam-dalam.
“Beasiswa yang saya peroleh tidak lagi menanggung semua biaya, Tuan. Saya membutuhkan €20.000 untuk membayar tuition fee.” Kubeberkan semuanya secara langsung. Aku sengaja tidak berbasa-basi dulu karena itu bukan sifatku. Dan aku juga khawatir jika aku berlama-lama bicara, dia akan marah.
“Kamu pikir saya akan memberimu pinjaman?” Nada bicara David Peters semakin tajam dan meninggi. Aku tecengang mendengar kalimatnya. Untuk beberapa saat aku bingung memikirkan jawaban untuk pertanyaannya.
“Saya harap iya, Tuan.” Aku menjawab takut-takut. David Peters tidak berkata apa-apa lagi. Aku pun berpikir untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai ini. Aku benar-benar tidak ingin membuat David Peters menganggapku mengemis padanya.
“Saya tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Gaji dari pekerjaan paruh waktu yang saya kumpulkan masih sedikit. Ketika kemarin saya hadir ke kuliah umum Tuan, tiba-tiba saya terpikir untuk meminta bantuan pada Tuan.” Kurasakan kalimat yang kusampaikan berbelit-belit, tapi aku tidak peduli. Aku sengaja tidak mengatakan pada David Peters kalau pergi menemuinya dan mengajukan pinjaman adalah saran dari dekan.
“Jika aku membantumu, dengan apa kau akan membayarku?” Nada bicaranya masih tajam, meskipun mulai melunak.
‘Melunak?’ Kurasa itu hanya versi dari diriku saja. David Peters tidak lagi bicara dengan nada tinggi padaku.
“Saya akan bekerja pada Tuan sampai hutang saya lunas.” Kulontarkan kalimat itu tanpa berpikir panjang.
“Kau yakin?”
“Iya, Tuan.”
“Pekerjaan apa yang bisa kaulakukan untukku?”
Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam sambil berusaha mencari jawaban di antara ujung-ujung sepatuku .
“Maaf, saya tidak tahu pastinya Tuan. Mungkin melakukan pekerjaan rumah tangga….” Kalimatku yang belum selesai serta-merta dipotongnya,
“Aku sudah punya banyak pelayan.”
“Mungkin pekerjaan administrasi di kantor ini atau menjadi office girl.” Aku menawarkan alternatif pekerjaan yang mungkin bisa kulakukan. David Peters tertawa terbahak,
“Aku sudah mempunyai orang-orang yang mengerjakan semuanya.”
Aku kembali menunduk. Sudah tidak ada lagi jenis pekerjaan yang bisa kupikirkan.
“Bagaimana, menyerah?” kudengar suara David begitu dekat. Kudongakkan wajahku. Ternyata dia sudah berdiri di depanku. Pandnagan matanya yang tajam terasa sangat mengintimidasi. Aku mengangguk pelan.
“Ada satu pekerjaan yang belum kau tawarkan.”
“Apa, Tuan?” Kutatap David Peters penuh harap.
“Bercinta denganku. Setelahnya kuberi kau dua kali lipat dari proposalmu. Dan… kau tak perlu mengembalikannya.”
Kurasakan kakiku lemas. Tidak, aku tidak boleh jatuh sekarang. Aku mengeluh pada Tuhan. ‘Haruskah jalan ini yang kupilih demi studiku?’ Ingin rasanya aku menangis sekencang-kencangnya. Terbayang riset yang hampir selesai dan proses menulis tesis yang sudah separuh jalan. Sekuat tenaga kutahan air mata agar tidak jatuh. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan David Peters.
David masih menatapku tajam. Kali ini seringai tampak menghiasi wajahnya. “Bagaimana?”
Aku terdiam cukup lama. Hingga akhirnya kuberanikan diriku untuk menjawabnya, “Saya….”
Belum kuselesaikan kalimatku, David tertawa terbahak-bahak. Tawanya terdengar sangat mengerikan di telingaku.
“Kau tak perlu menerimanya.”
Aku terlonjak mendengarnya. Apa maksudnya?
“Kau tak perlu bercinta denganku karena kau bukan seleraku!” setalah mengatakan itu, David berjalan kembali ke mejanya.
Aku masih mematung di tempatku. Bingung, apa yang harus kulakukan. Apa ini artinya aku tidak berhasil mendapat pinjaman. Lalu ke mana lagi aku harus mencari bantuan. Ahh…. Ingin rasanya aku segera kembali ke kampus dan mengadu kepada dekan.
David masih terbahak-bahak di mejanya. Entah apa yang dianggapnya lucu sehingga ia tidak bisa berhenti tertawa. Dengan langkah gontai aku menuju pintu. Kuraih gagang pintu dengan perlahan.
“Tunggu!”
Suara di belakangku menghentikanku mendorong gagang pintu.
Ada apa lagi? Apakah dia berubah pikiran? Tanyaku dalam hati. Kubalikkan lagi badanku, menghadap ke arahnya.
“Kamu masih perawan?” Pertanyaannya mengagetkanku.
Duh, kenapa ia justru menanyakan hal itu?
Apakah hal itu ada hubungannya dengan pinjaman yang kuajukan?
Berbagai pertanyaan yang tidak bisa langsung kujawab berkelebat dalam otakku.
“Ya.” Jawabku lirih.
Seringai itu terlihat lagi. “Penawaranku masih berlaku.”
Aku masih diam sambil menatapnya dalam. David juga balas menatapku.
“Meskipun kau bukan seleraku, tapi aku menginginkanmu.”
Kali ini air mataku sukses jatuh tanpa mampu kutahan. Betapa rendahnya dia menilaiku. Masih tetap membisu, aku kembali memegang gagang pintu, mendorongnya sekuat tenaga, dan meninggalkan ruangan David Peters tanpa berkata-kata.
Di luar gedung, aku pun menangis sejadi-jadinya.
***
Dave geram luar biasa dengan apa yang telah dilakukan Maura. Sikapnya yang langsung meninggalkan ruang kerja Dave tanpa sepatah kata pun dianggapnya tidak sopan. Dave juga sebal karena menurutnya Maura sok jual mahal. Dave pun memikirkan sebuah rencana untuk memberi pelajaran pada Maura. Dave menekan nomor Matt dan sejurus kemudian laki-laki itu sudah muncul di hadapannya.“Aku mau kamu mengawasi Maura.”“Siapa dia, Boss?” Matt mengerutkan kening. Nama yang terdengar asing di telinganya.“Mahasiswa yang kemarin menghentikanku setelah kuliah umum. Entah, ada hubungan apa dia dengan dekan sehingga dia bisa leluasa meminta janji bertemu denganku.” Mata Dave menatap salah satu sudut kantornya. Ingatannya kembali saat dia selesai memberi kuliah umum kemudian dihentikan oleh seorang gad
Dave yang tengah menekuni tumpukan berkas di depannya tidak sadar jika Matt sudah muncul di hadapannya.“Bos…” Sapa Matt dengan suara pelan. Dave mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas. Tampak kekesalan menghiasi wajahnya.“Kau tidak mengetuk pintu!” ujar Dave tegas. Matt membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah beberapa kali mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Dave pun mengangguk pertanda memaafkan Matt.“Besok pagi Maura akan menggantikan dekan mengisi kuliah tentang Indonesia.” Matt memilih informasi itu untuk dismpaikan pertama kali pada Dave. Bagi Matt, itu adalah informasi besar. Matt memang tidak mengenal Maura, tapi mengingat semua cerita dekan tadi ia sangat berharap agar Dave tidak terlalu kejam pada gadis itu. Dan tentu saja, yang terpenting menur
Maura menghentikan langkah dan memasang pendengarannya baik-baik. Ya, benar, para mahasiswa menyebutkan nama David Peters.Apa yang membuat David Peters datang lagi ke kampus? Maura bertanya pada diri sendiri. Ingin rasanya ia menanyai semua mahasiswa yang berlalu-lalang, tapi diurungkannya. Maura mencoba menekan rasa ingin tahunya kuat-kuat. Ia tidak mau menjadi bahan ejekan lagi karena bertanya tentang keberadaan David Peters di kampus.Maura mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Sesampainya di persimpangan koridor arah perpustakaan dan ruang kelas, Maura melihat David Peters melintas. Sontak ia memekik tertahan melihat apa yang baru saja ditangkap matanya. Seorang laki-laki dengan kaos polo, jins, dan topi bisbol
Maura bertekad menemui David Peters sekali lagi. Ia akan memohon agar David Peters mau membantunya. Bekerja paruh waktu setap hari ternyata sangat melelahkan. Hal ini berdampak pada produktivitasnya dalam mengerjakan tesis. Tadi pagi sebelum keluar kamar, Maura menyempatkan diri melihat kalender duduk di atas meja belajarnya. Ia mendapati tiga tanda silang pada kalender, artinya sudah tiga hari tesisnya tidak tersentuh.Maura tengah memikirkan rencana untuk menemui David Peters lagi. Tiba-tiba terlintas dalam benak Maura untuk meminta bantuan Matt. Berdasarkan pengamatan Maura, Matt bukanlah orang yang sulit untuk dimintai tolong.Apakah sebaiknya aku meminta nomor telepon Matt pada dekan?Maura sangat berharap Matt bisa membantunya, menjadi perantara dirinya unt
Bunyi notifikasi pesan membangunkan Maura dari tidurnya. Sepagi ini siapa yang mengiriminya pesan. Maura melihat penunjuk waktu di ponselnya. Pukul enam tepat. Rasanya Maura ingin menunda membaca pesan itu dan melanjutkan tidurnya. Tapi itu tidak dilakukannya setelah membaca nama pengirim pesan. Dekan.Maura, jangan lupa menghadiri malam inaugurasi. Tahun lalu kamu tidak hadir karena belum datang. Jadi untuk tahun ini kamu tidak punya alasan untuk tidak datang. Jangan lupa, pukul tujuh tepat!Maura melempar ponselnya ke salah satu sudut tempat tidurnya. Rasa malas kembali menyelimutinya. Padahal hari ini, ia sudah merencanakan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan sebelum bekerja pada pukul enam sore. Maura yang tersadar dengan jadwal kerjanya pun segera bangun dan mencari ponselnya. Tak lama jemari Maura pun bergerak dengan lincahnya di atas
“Aku tidak bisa menari, Tuan David.” Maura mencoba meyakinkan Dave. Dave hanya diam, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Maura. Maura mengulangi kalimatnya dengan berteriak di dekat telinga Dave.“Aku tidak bisa menari, Tuan David. Kumohon carilah partner lain.” Maura mencoba menggerakkan tangannya agar terlepas cari cengkeraman Dave.“Tidak akan. Kamu tidak bisa ke mana-mana.” Dave semakin mengeratkan cengkeramannya. Maura meringis kesakitan.“Apa yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Maura lagi. Dave menyeringai aneh sehingga Maura bergidik melihatnya.“Anda menerorku!”
“Finally….” Suara Tim mengejutkan Matt. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Alisnya terangkat kala Maura tidak juga keluar. Tim menepuk jidatnya, masuk kembali ke dalam.“Ada apa lagi, Mauraaa…” Tim mencoba menahan emosi. Maura nyengir kuda, “Aku malu.” Tim meraih tangan Maura dan menggandengnya keluar.“Tadaaa….” Kali ini Maura, Tim, dan Kim muncul di hadapan Matt. Mata Matt berbinar melihat sosok di depannya. Maura benar-benar terlihat sangat berbeda. Tak akan ada yang menyangka jika gadis ini adalah korban bullying, perundungan, di kampus. Sebutan grossy, si kotor, label abadi yan
Maura merasa Matt terlalu lama menjemputnya sehingga begitu sosok Matt berdiri di depannya, Maura sengaja memanyunkan bibirnya. Berpura-pura marah pada Matt. Matt terkekeh melihat sikap Maura. Hatinya sangat senang. Maura yang cantik sekarang sedang marah padanya.“Lama sekali, Matt. Kamu sengaja ya?”“Maaf, aku harus berdandan dulu sebelum menjemput princess.” Maura menonjok bahu Matt pelan. Yang ditonjok pura-pura mengaduh kesakitan. Kemudian mereka berdua terbahak bersama.“Mau pulang sekarang?” Maura hanya mengangguk. Matt berjalan menuju mobil diiringi Maura.“Bagaimana pestanya?” pertanyaan Matt memecah keheningan di antara keduanya