Share

4. Maura: Proposal

Aku menghentikan langkahku di depan sebuah bangunan kantor dengan tulisan “Peters Corp.” pada pelat baja. Kemudian pandanganku beralih ke selembar kertas kecil berisi nama dan alamat seseorang yang sedari tadi kupegang di tangan kiri. David Peters adalah pemimpin perusahaan Peters Corp. yang harus kutemui hari ini atas saran dari dekan. 

Benar, ini.’ Batinku. Aku pun melangkah masuk ke dalam gedung dan langsung menuju resepsionis yang berada tepat di depan pintu masuk.

“Selamat pagi.” Sapa petugas resepsionis dengan keramahan yang khas. Wajahnya yang oval dengan potongan rambut sebahu dan kacamata yang membingkai sepasang matanya membuat ia terlihat menarik, meskipun bersahaja. 

“Pagi.” Kubalas sapanya dan tak lupa kuhadirkan seulas senyum.

“Bisakah saya bertemu Tuan David Peters?” Lanjutku.

“Anda dari mana dan sudah membuat janji?” resepsionis itu menanyaiku lagi. 

“Saya Maura. Kemarin setelah mengisi kuliah umum di kampus saya, Tuan David Peters meminta saya bertemu dengannya hari ini.”

Resepsionis itu mengangguk tanda mengerti. Ia kemudian menelepon dan berbicara sesuai informasi yang kuberikan.

“Silakan, Nona Maura. Tuan David sudah menunggu Anda di ruangannya.” Resepsionis itu menggeser tempat duduk lalu mendekat padaku. Ia pun menunjukkan arah yang harus kulalui untuk menuju ruangan David Peters sambil sesekali menggerakkan tangannya. Aku mengangguk tanda mengerti. Setelah mengucap terima kasih, aku pun berjalan mengikuti arah yang telah ditunjukkan tadi.

Tok… tok….

Terdengar jawaban dari dalam yang mengizinkanku masuk. Aku membuka pintu perlahan, masuk, dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Begitu berbalik, kulihat David Peters di mejanya sambil menatapku.

“Nona Maura, kau sangat lama.” Ujarnya. Kurasakan kakiku gemetar, takut karena telah membuatnya menungguku. 

‘Apa maksudnya lama?’ 

‘Apakah aku terlambat?’

‘Kurasa aku datang tepat waktu.’

Berbegai pertanyaan bernada pembelaan menjejali pikiranku. Aku sangat yakin aku tidak datang terlambat.

“Maaf, Tuan….” Aku menjawab lirih sambil menunduk. Tidak ada kata lain yang bisa kusampaikan selain maaf. Aku berada dalam posisi membutuhkan bantuan David Peters. Jadi sebisa mungkin aku tidak membuat kesalahan dalam bersikap atau bertutur kata.

‘Anggap saja ini sebagai ujian, Maura.’ Aku menghibur diriku sendiri.

‘Kalau kamu lulus, bisa dipastikan studimu aman.’ Imbuhku lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, namun dengan perlahan. Aku takut David Peters tahu dan akan membuatnya memberi peniaian salah lagi tentangku.

“Oke. Katakan apa maumu sekarang!”

Belum hilang gemetar pada sepasang kakiku, sekarang David Peters memintaku untuk segera menyampaikan tujuanku datang padanya. Aku kembali menarik napas dalam-dalam.

“Beasiswa yang saya peroleh tidak lagi menanggung semua biaya, Tuan. Saya membutuhkan €20.000 untuk membayar tuition fee.” Kubeberkan semuanya secara langsung. Aku sengaja tidak berbasa-basi dulu karena itu bukan sifatku. Dan aku juga khawatir jika aku berlama-lama bicara, dia akan marah.

“Kamu pikir saya akan memberimu pinjaman?” Nada bicara David Peters semakin tajam dan meninggi. Aku tecengang mendengar kalimatnya. Untuk beberapa saat aku bingung memikirkan jawaban untuk pertanyaannya. 

“Saya harap iya, Tuan.” Aku menjawab takut-takut. David Peters tidak berkata apa-apa lagi. Aku pun berpikir untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai ini. Aku benar-benar tidak ingin membuat David Peters menganggapku mengemis padanya.

“Saya tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Gaji dari pekerjaan paruh waktu yang saya kumpulkan masih sedikit. Ketika kemarin saya hadir ke kuliah umum Tuan, tiba-tiba saya terpikir untuk meminta bantuan pada Tuan.” Kurasakan kalimat yang kusampaikan berbelit-belit, tapi aku tidak peduli. Aku sengaja tidak mengatakan pada David Peters kalau pergi menemuinya dan mengajukan pinjaman adalah saran dari dekan. 

“Jika aku membantumu, dengan apa kau akan membayarku?” Nada bicaranya masih tajam, meskipun mulai melunak. 

Melunak?’ Kurasa itu hanya versi dari diriku saja. David Peters tidak lagi bicara dengan nada tinggi padaku. 

“Saya akan bekerja pada Tuan sampai hutang saya lunas.” Kulontarkan kalimat itu tanpa berpikir panjang. 

“Kau yakin?”

“Iya, Tuan.”

“Pekerjaan apa yang bisa kaulakukan untukku?”

Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam sambil berusaha mencari jawaban di antara ujung-ujung sepatuku .

“Maaf, saya tidak tahu pastinya Tuan. Mungkin melakukan pekerjaan rumah tangga….” Kalimatku yang belum selesai serta-merta dipotongnya,

“Aku sudah punya banyak pelayan.”

“Mungkin pekerjaan administrasi di kantor ini atau menjadi office girl.” Aku menawarkan alternatif pekerjaan yang mungkin bisa kulakukan. David Peters tertawa terbahak, 

“Aku sudah mempunyai orang-orang yang mengerjakan semuanya.”

Aku kembali menunduk. Sudah tidak ada lagi jenis pekerjaan yang bisa kupikirkan. 

“Bagaimana, menyerah?” kudengar suara David begitu dekat. Kudongakkan wajahku. Ternyata dia sudah berdiri di depanku.  Pandnagan matanya yang tajam terasa sangat mengintimidasi. Aku mengangguk pelan.

“Ada satu pekerjaan yang belum kau tawarkan.” 

“Apa, Tuan?” Kutatap David Peters penuh harap.

“Bercinta denganku. Setelahnya kuberi kau dua kali lipat dari proposalmu. Dan… kau tak perlu mengembalikannya.”

Kurasakan kakiku lemas. Tidak, aku tidak boleh jatuh sekarang. Aku mengeluh pada Tuhan. ‘Haruskah jalan ini yang kupilih demi studiku?’ Ingin rasanya aku menangis sekencang-kencangnya. Terbayang riset yang hampir selesai dan proses menulis tesis yang sudah separuh jalan. Sekuat tenaga kutahan air mata agar tidak jatuh. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan David Peters.

David masih menatapku tajam. Kali ini seringai tampak menghiasi wajahnya. “Bagaimana?”

Aku terdiam cukup lama. Hingga akhirnya kuberanikan diriku untuk menjawabnya, “Saya….”

Belum kuselesaikan kalimatku, David tertawa terbahak-bahak. Tawanya terdengar sangat mengerikan di telingaku.

“Kau tak perlu menerimanya.”

Aku terlonjak mendengarnya. Apa maksudnya?

“Kau tak perlu bercinta denganku karena kau bukan seleraku!” setalah mengatakan itu, David berjalan kembali ke mejanya. 

Aku masih mematung di tempatku. Bingung, apa yang harus kulakukan. Apa ini artinya aku tidak berhasil mendapat pinjaman. Lalu ke mana lagi aku harus mencari bantuan. Ahh…. Ingin rasanya aku segera kembali ke kampus dan mengadu kepada dekan. 

David masih terbahak-bahak di mejanya. Entah apa yang dianggapnya lucu sehingga ia tidak bisa berhenti tertawa. Dengan langkah gontai aku menuju pintu. Kuraih gagang pintu dengan perlahan.

“Tunggu!”

Suara di belakangku menghentikanku mendorong gagang pintu.

Ada apa lagi? Apakah dia berubah pikiran? Tanyaku dalam hati. Kubalikkan lagi badanku, menghadap ke arahnya. 

“Kamu masih perawan?” Pertanyaannya mengagetkanku. 

Duh, kenapa ia justru menanyakan hal itu?

Apakah hal itu ada hubungannya dengan pinjaman yang kuajukan?

Berbagai pertanyaan yang tidak bisa langsung kujawab berkelebat dalam otakku.

“Ya.” Jawabku lirih. 

Seringai itu terlihat lagi. “Penawaranku masih berlaku.”

Aku masih diam sambil menatapnya dalam. David juga balas menatapku.

“Meskipun kau bukan seleraku, tapi aku menginginkanmu.”

Kali ini air mataku sukses jatuh tanpa mampu kutahan. Betapa rendahnya dia menilaiku. Masih tetap membisu, aku kembali memegang gagang pintu, mendorongnya sekuat tenaga, dan meninggalkan ruangan David Peters tanpa berkata-kata.

Di luar gedung, aku pun menangis sejadi-jadinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status