Share

5. Rencana

Dave geram luar biasa dengan apa yang telah dilakukan Maura. Sikapnya yang langsung meninggalkan ruang kerja Dave tanpa sepatah kata pun dianggapnya tidak sopan. Dave juga sebal karena menurutnya Maura sok jual mahal. Dave pun memikirkan sebuah rencana untuk memberi pelajaran pada Maura. Dave menekan nomor Matt dan sejurus kemudian laki-laki itu sudah muncul di hadapannya.

“Aku mau kamu mengawasi Maura.”

“Siapa dia, Boss?” Matt mengerutkan kening. Nama yang terdengar asing di telinganya.

“Mahasiswa yang kemarin menghentikanku setelah kuliah umum. Entah, ada hubungan apa dia dengan dekan sehingga dia bisa leluasa meminta janji bertemu denganku.” Mata Dave menatap salah satu sudut kantornya. Ingatannya kembali saat dia selesai memberi kuliah umum kemudian dihentikan oleh seorang gadis berpenampilan biasa, Maura.

Matt mencoba mengingat sosok yang dimaksud Dave. “Kenapa dia, Boss? Anda terganggu dengannya?” Matt bertanya penuh selidik. Dave kemudian menatap Matt, “Dia minta bantuan untuk membayar kuliahnya. Beaiswanya tak lagi dibayarkan penuh.”

“Ah… kasihan sekali gadis itu. Pantas dua kali bertemu dengannya, wajahnya selalu kusut dan terlihat lelah.” Matt bergumam sendiri, namun didengar jelas oleh Dave.

Dave menyeringai penuh makna pada Matt, “Cabut beasiswanya!”

“Tapi kenapa, Boss?” Matt bertanya-tanya, tidak paham dengan jalan pikiran Dave.

“Dia menghinaku, Matt.”

Matt ingin bertanya lebih detail, tapi tampaknya Dave tidak berkenan meladeni Matt.

*

Hari berikutnya, Matt sudah beada di kampus sejak pagi. Dia tidak tahu harus memulai pengintaian dari mana karena dia lupa wajah Maura. Dilihatnya jam di pergelangan tangannya, pukul delapan tepat. 

Seharusnya dekan sudah ada di ruangannya. Pikir Matt. 

Suasana kampus begitu sibuk di pagi hari. Saling bersenggolan karena terlambat menghadiri kelas sudah biasa terjadi. Matt pun entah sudah berapa kali bertabrakan dengan mahasiswa yang berlarian menuju kelas. 

Dasar pemuda. Rutuknya sambil bergegas menuju ruang dekan.

“Fuih.” Matt mendesah ketika akhirnya ia sampai di depan ruang dekan. Dua kali Matt mengetuk pintu sampai akhirnya terdengar suara yang mengizinkannya masuk.

“Matt… tumben sepagi ini.”

“Oh…. Ayolah, Dean. Ini sudah jam 8.” Matt memasang ekspresi lucu. Mereka pun tertawa bersamaan dan saling memeluk.

“Apalagi yang membawamu ke sini, Matt?” Dekan melangkah kembali ke mejanya diikuti Matt yang duduk di seberangnya.

“Maura.” Jawab Matt singkat. Dekan mengernyitkan dahi.

“Apa dia berulah?” Kali ini dekan memasang ekspresi penuh tanda tanya, penasaran. Matt mengedikkan bahu.

“Belum tahu. Boss belum mengatakan apa pun.” 

“Kupikir kemarin gadis itu menemui Dave.” Dekan masih menatap Matt penuh rasa ingin tahu. Matt mengangguk, “Ya, tapi kulihat dia di luar gedung sambil menangis.”

“Kenapa?”

“Entahlah, Dean. Setelah gadis itu keluar Boss memanggilku dan menyuruhku untuk mengawasi dia. Dan… Boss juga menyebut tentang mencabut beasiswanya.”

Dekan membelalak tak percaya dengan penuturan Matt. Dia mencoba menyimpulkan sendiri berdasarkan cerita Matt.

Kenapa Dave sekeji itu pada Maura? Apa kesalahan gadis itu? Dekan sibuk bertanya pada dirinya sendiri. Ditatapnya Matt dalam-dalam. 

“Apa yang akan kamu lakukan, Matt?”

“Mengintainya… errr…. Maksudku mengamati kegiatannya di kampus dan luar kampus selama beberapa hari.”

“Apa yang kamu butuhkan?” tanya dekan lagi.

“Apakah Anda mempunyai foto gadis itu, Dean?” 

Dekan mengangguk sambil membuka folder berisi data mahasiswa. Setelah menemukannya, dekan menyodorkan pada Matt. 

“Wajahnya sangat biasa, tapi senyumnya manis.” Matt tanpa sadar mengomentari foto Maura. Dekan berdeham dua kali. Matt pun menyeringai lucu.

“Di mana aku bisa melihatnya sekarang?” 

Dekan mengedikkan bahu, “Kalau sekarang aku tidak tahu, tapi besok pagi pukul 9 dia akan masuk kelasku, membantuku memberi kuliah tentang Indonesia.”

“Ahh… dia pintar rupanya, Dean.” Terdengar nada kagum dari suara Matt. Dekan mengangguk mengiyakan.

“Itulah kenapa aku mengarahkan dia pada Dave dengan harapan agar Dave mau membantunya sehingga studinya bisa selesai dengan baik.”

“Oke. Untuk aktivitas di luar kampus apakah Anda mengetahuinya, Dean?” Kali ini Matt mencatat detail informasi dari dekan.

“Dari awal kuliah dia sudah berkerja part time. Alasannya untuk membantu orang tuanya. Tapi hasil akademiknya selalu memuaskan.” Dekan bertutur dengan perasaan bangga.

“Sekarang, karena pengurangan jatah beasiswa, maka dia mengambil kerja part time setiap hari. Kalau dulu hanya di week end atau hari libur.” Lanjutnya. Matt terus menulis pada buku catatannya.

“Di mana dia bekerja?” Matt menatap dekan, seolah meminta jawaban segera. Dekan menangkap ketidaksabaran Matt, kemudian ia tersenyum.

“Kamu bisa menjumpai Maura di seluruh kota ini, Matt. Informasi terakhir yang kudengar, Maura menjadi nanny paruh waktu pada sebuah keluarga dengan tiga anak yang super aktif.”

Matt menggerakkan kedua alisnya, takjub. Otaknya sibuk berpikir, menyusun strategi yang tepat agar kerjanya bisa lebih efisien.

Matt menggigit alat tulisnya, berpikir tentang pertanyaan apalagi yang akan dia lontarkan pada dekan. Tapi, tampaknya Matt sudah merasa cukup dengan informasi yang diperolehnya.

“Ada lagi yang ingin kau ketahui, Matt?” Dekan seolah bisa membaca pikiran Matt. Matt hanya menggeleng, “Cukup, Dean. Terima kasih.” Matt kemudian beranjak dan menyalami dekan. 

“Matt…” panggilan dekan membuat Matt menahan diri untuk membuka pintu. 

“Datanglah besok pagi ke kelasku. Dan lihatlah kemampuan Maura. Kuharap kamu bisa objektif dalam menilai Maura sehingga Dave bisa membantu gadis itu. Dan satu lagi,….”

“Apa, Dean?”

“Semua mahasiswa di sini memanggilnya grossy, si kotor. Hanya karena salah satu dari mereka pernah melihat Maura bekerja sebagai petugas kebersihan.”

Matt tampak mengerucutkan bibirnya. Luar biasa. Pujinya dalam hati. Matt berpamitan lagi pada dekan kemudian keluar dari ruangannya. 

Sebentar lagi waktu istirahat siang. Gumam Matt setelah melirik arlojinya. Dia tahu ke mana sebaiknya dia pergi sekarang untuk memulai pengintaiannya. 

*

Jam istirahat siang pun tiba. Matt yang telah berada di kantin sejak tiga puluh menit yang lalu tampak sedikit terkejut dengan suasana kantin yang berubah seratus delapan puluh derajat. Dari lengang menjadi gaduh. Dari rapi menjadi berantakan. 

Dasar mahasiswa barbar. Kelakuannya sangat tidak mencerminkan posisinya sebagai orang terpelajar. Matt terkekeh sendiri dengan pikirannya. Matanya mantap satu-satunya akses keluar masuk kantin, berharap sosok yang menjadi targetnya muncul. Tapi hasilnya nihil. Maura belum juga menampakkan diri di kantin. Dan sialnya, beberapa mahasiswi dengan penampilan dan aroma wewangian yang menggoda justru menghampirinya dan berebut untuk duduk di sampingnya.

“Hai, kamu bukan mahasiswa sini ya?” tanya seorang berambut pirang. Matt mengangguk. Ia malas membuka mulut. 

“Dari fakultas apa?” tanya yang lainnya. Seorang gadis berambut hitam legam. Matt tetap memilih bungkam.

“Kamu tuli? Bisu? Atau…. Keduanya?” ujar seorang yang tampak seperti leader pada kelompok itu. Matt meliriknya sekilas. 

Sebenarnya cantik, tapi lidahnya membuat kecantikannya langsung menguap. Matt menyeringai pada gadis itu. 

Tampaknya ketiga gadis yang diabaikan oleh Matt merasa kesal. Hingga datanglah salah satu mahasiswa dengan gaya tengil, menurut Matt, mengenali dirinya.

“Heyy Bro, bukankah kamu asistennya David Peters?” Matt menatap mahasiswa itu tajam. Sementara ketiga mahasiswi, seolah mendapat durian runtuh, mereka kembali antusias menempel Matt.

“Benarkah?”

“Tolong bantu aku berkencan dengan Tuan David Peters.” Si leader tanpa rasa malu langsung menodong Matt. Matt yang muak kemudian berdiri dan hendak keluar dari kantin. Namun hal itu dia urungkan karena melihat Maura, dengan ransel besar serta beberapa buku dalam dekapan, masuk.

“Awass… ada Grossy.” Ketiga gadis di dekat Matt memekik serentak. Matt menoleh pada mereka kemudian kembali melihat ke arah Maura. 

“Gempa bumi…. Gempa bumi….” Kali ini giliran mahasiswa yang menyapa Matt berteriak. Provokasi mereka berempat berhasil menciptakan suasana kantin yang lebih gaduh. Gelak tawa menyebar dari seluruh penjuru kantin. 

Gila! Matt mengumpat dalam hati. Tanpa sadar dadanya naik turun dengan cepat. Matt sangat marah dengan apa yang dilihatnya. Mengapa kelakuan mereka sangat berbeda dengan dirinya dan mahasiswa di masanya dulu. Tidak ada hinaan yang menjurus pada fisik seseorang atau hidup seseorang. Kenapa mereka seolah tidak punya kesibukan lain selain mengurusi hidup seseorang. 

Ahh… Matt benar-benar marah luar biasa. Sebelum meledak, Matt bergegas keluar kantin. Ia seolah melupakan apa tujuannya datang ke kampus ini setelah mendapati pemandangan yang menyedihkan dan memprihatinkan.

***

Halo? 

Ada yang membaca cerita ini?

Bagaimana menurut kalian? 

Yuk ah, tinggalin review untuk novel ini.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Cahaya Anugrah
Seperti apa sih penampakan Maura? Segendut apA thor?
goodnovel comment avatar
Kaka Berty
mantap ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status