Dave geram luar biasa dengan apa yang telah dilakukan Maura. Sikapnya yang langsung meninggalkan ruang kerja Dave tanpa sepatah kata pun dianggapnya tidak sopan. Dave juga sebal karena menurutnya Maura sok jual mahal. Dave pun memikirkan sebuah rencana untuk memberi pelajaran pada Maura. Dave menekan nomor Matt dan sejurus kemudian laki-laki itu sudah muncul di hadapannya.
“Aku mau kamu mengawasi Maura.”
“Siapa dia, Boss?” Matt mengerutkan kening. Nama yang terdengar asing di telinganya.
“Mahasiswa yang kemarin menghentikanku setelah kuliah umum. Entah, ada hubungan apa dia dengan dekan sehingga dia bisa leluasa meminta janji bertemu denganku.” Mata Dave menatap salah satu sudut kantornya. Ingatannya kembali saat dia selesai memberi kuliah umum kemudian dihentikan oleh seorang gadis berpenampilan biasa, Maura.
Matt mencoba mengingat sosok yang dimaksud Dave. “Kenapa dia, Boss? Anda terganggu dengannya?” Matt bertanya penuh selidik. Dave kemudian menatap Matt, “Dia minta bantuan untuk membayar kuliahnya. Beaiswanya tak lagi dibayarkan penuh.”
“Ah… kasihan sekali gadis itu. Pantas dua kali bertemu dengannya, wajahnya selalu kusut dan terlihat lelah.” Matt bergumam sendiri, namun didengar jelas oleh Dave.
Dave menyeringai penuh makna pada Matt, “Cabut beasiswanya!”
“Tapi kenapa, Boss?” Matt bertanya-tanya, tidak paham dengan jalan pikiran Dave.
“Dia menghinaku, Matt.”
Matt ingin bertanya lebih detail, tapi tampaknya Dave tidak berkenan meladeni Matt.
*
Hari berikutnya, Matt sudah beada di kampus sejak pagi. Dia tidak tahu harus memulai pengintaian dari mana karena dia lupa wajah Maura. Dilihatnya jam di pergelangan tangannya, pukul delapan tepat.
Seharusnya dekan sudah ada di ruangannya. Pikir Matt.
Suasana kampus begitu sibuk di pagi hari. Saling bersenggolan karena terlambat menghadiri kelas sudah biasa terjadi. Matt pun entah sudah berapa kali bertabrakan dengan mahasiswa yang berlarian menuju kelas.
Dasar pemuda. Rutuknya sambil bergegas menuju ruang dekan.
“Fuih.” Matt mendesah ketika akhirnya ia sampai di depan ruang dekan. Dua kali Matt mengetuk pintu sampai akhirnya terdengar suara yang mengizinkannya masuk.
“Matt… tumben sepagi ini.”
“Oh…. Ayolah, Dean. Ini sudah jam 8.” Matt memasang ekspresi lucu. Mereka pun tertawa bersamaan dan saling memeluk.
“Apalagi yang membawamu ke sini, Matt?” Dekan melangkah kembali ke mejanya diikuti Matt yang duduk di seberangnya.
“Maura.” Jawab Matt singkat. Dekan mengernyitkan dahi.
“Apa dia berulah?” Kali ini dekan memasang ekspresi penuh tanda tanya, penasaran. Matt mengedikkan bahu.
“Belum tahu. Boss belum mengatakan apa pun.”
“Kupikir kemarin gadis itu menemui Dave.” Dekan masih menatap Matt penuh rasa ingin tahu. Matt mengangguk, “Ya, tapi kulihat dia di luar gedung sambil menangis.”
“Kenapa?”
“Entahlah, Dean. Setelah gadis itu keluar Boss memanggilku dan menyuruhku untuk mengawasi dia. Dan… Boss juga menyebut tentang mencabut beasiswanya.”
Dekan membelalak tak percaya dengan penuturan Matt. Dia mencoba menyimpulkan sendiri berdasarkan cerita Matt.
Kenapa Dave sekeji itu pada Maura? Apa kesalahan gadis itu? Dekan sibuk bertanya pada dirinya sendiri. Ditatapnya Matt dalam-dalam.
“Apa yang akan kamu lakukan, Matt?”
“Mengintainya… errr…. Maksudku mengamati kegiatannya di kampus dan luar kampus selama beberapa hari.”
“Apa yang kamu butuhkan?” tanya dekan lagi.
“Apakah Anda mempunyai foto gadis itu, Dean?”
Dekan mengangguk sambil membuka folder berisi data mahasiswa. Setelah menemukannya, dekan menyodorkan pada Matt.
“Wajahnya sangat biasa, tapi senyumnya manis.” Matt tanpa sadar mengomentari foto Maura. Dekan berdeham dua kali. Matt pun menyeringai lucu.
“Di mana aku bisa melihatnya sekarang?”
Dekan mengedikkan bahu, “Kalau sekarang aku tidak tahu, tapi besok pagi pukul 9 dia akan masuk kelasku, membantuku memberi kuliah tentang Indonesia.”
“Ahh… dia pintar rupanya, Dean.” Terdengar nada kagum dari suara Matt. Dekan mengangguk mengiyakan.
“Itulah kenapa aku mengarahkan dia pada Dave dengan harapan agar Dave mau membantunya sehingga studinya bisa selesai dengan baik.”
“Oke. Untuk aktivitas di luar kampus apakah Anda mengetahuinya, Dean?” Kali ini Matt mencatat detail informasi dari dekan.
“Dari awal kuliah dia sudah berkerja part time. Alasannya untuk membantu orang tuanya. Tapi hasil akademiknya selalu memuaskan.” Dekan bertutur dengan perasaan bangga.
“Sekarang, karena pengurangan jatah beasiswa, maka dia mengambil kerja part time setiap hari. Kalau dulu hanya di week end atau hari libur.” Lanjutnya. Matt terus menulis pada buku catatannya.
“Di mana dia bekerja?” Matt menatap dekan, seolah meminta jawaban segera. Dekan menangkap ketidaksabaran Matt, kemudian ia tersenyum.
“Kamu bisa menjumpai Maura di seluruh kota ini, Matt. Informasi terakhir yang kudengar, Maura menjadi nanny paruh waktu pada sebuah keluarga dengan tiga anak yang super aktif.”
Matt menggerakkan kedua alisnya, takjub. Otaknya sibuk berpikir, menyusun strategi yang tepat agar kerjanya bisa lebih efisien.
Matt menggigit alat tulisnya, berpikir tentang pertanyaan apalagi yang akan dia lontarkan pada dekan. Tapi, tampaknya Matt sudah merasa cukup dengan informasi yang diperolehnya.
“Ada lagi yang ingin kau ketahui, Matt?” Dekan seolah bisa membaca pikiran Matt. Matt hanya menggeleng, “Cukup, Dean. Terima kasih.” Matt kemudian beranjak dan menyalami dekan.
“Matt…” panggilan dekan membuat Matt menahan diri untuk membuka pintu.
“Datanglah besok pagi ke kelasku. Dan lihatlah kemampuan Maura. Kuharap kamu bisa objektif dalam menilai Maura sehingga Dave bisa membantu gadis itu. Dan satu lagi,….”
“Apa, Dean?”
“Semua mahasiswa di sini memanggilnya grossy, si kotor. Hanya karena salah satu dari mereka pernah melihat Maura bekerja sebagai petugas kebersihan.”
Matt tampak mengerucutkan bibirnya. Luar biasa. Pujinya dalam hati. Matt berpamitan lagi pada dekan kemudian keluar dari ruangannya.
Sebentar lagi waktu istirahat siang. Gumam Matt setelah melirik arlojinya. Dia tahu ke mana sebaiknya dia pergi sekarang untuk memulai pengintaiannya.
*
Jam istirahat siang pun tiba. Matt yang telah berada di kantin sejak tiga puluh menit yang lalu tampak sedikit terkejut dengan suasana kantin yang berubah seratus delapan puluh derajat. Dari lengang menjadi gaduh. Dari rapi menjadi berantakan.
Dasar mahasiswa barbar. Kelakuannya sangat tidak mencerminkan posisinya sebagai orang terpelajar. Matt terkekeh sendiri dengan pikirannya. Matanya mantap satu-satunya akses keluar masuk kantin, berharap sosok yang menjadi targetnya muncul. Tapi hasilnya nihil. Maura belum juga menampakkan diri di kantin. Dan sialnya, beberapa mahasiswi dengan penampilan dan aroma wewangian yang menggoda justru menghampirinya dan berebut untuk duduk di sampingnya.
“Hai, kamu bukan mahasiswa sini ya?” tanya seorang berambut pirang. Matt mengangguk. Ia malas membuka mulut.
“Dari fakultas apa?” tanya yang lainnya. Seorang gadis berambut hitam legam. Matt tetap memilih bungkam.
“Kamu tuli? Bisu? Atau…. Keduanya?” ujar seorang yang tampak seperti leader pada kelompok itu. Matt meliriknya sekilas.
Sebenarnya cantik, tapi lidahnya membuat kecantikannya langsung menguap. Matt menyeringai pada gadis itu.
Tampaknya ketiga gadis yang diabaikan oleh Matt merasa kesal. Hingga datanglah salah satu mahasiswa dengan gaya tengil, menurut Matt, mengenali dirinya.
“Heyy Bro, bukankah kamu asistennya David Peters?” Matt menatap mahasiswa itu tajam. Sementara ketiga mahasiswi, seolah mendapat durian runtuh, mereka kembali antusias menempel Matt.
“Benarkah?”
“Tolong bantu aku berkencan dengan Tuan David Peters.” Si leader tanpa rasa malu langsung menodong Matt. Matt yang muak kemudian berdiri dan hendak keluar dari kantin. Namun hal itu dia urungkan karena melihat Maura, dengan ransel besar serta beberapa buku dalam dekapan, masuk.
“Awass… ada Grossy.” Ketiga gadis di dekat Matt memekik serentak. Matt menoleh pada mereka kemudian kembali melihat ke arah Maura.
“Gempa bumi…. Gempa bumi….” Kali ini giliran mahasiswa yang menyapa Matt berteriak. Provokasi mereka berempat berhasil menciptakan suasana kantin yang lebih gaduh. Gelak tawa menyebar dari seluruh penjuru kantin.
Gila! Matt mengumpat dalam hati. Tanpa sadar dadanya naik turun dengan cepat. Matt sangat marah dengan apa yang dilihatnya. Mengapa kelakuan mereka sangat berbeda dengan dirinya dan mahasiswa di masanya dulu. Tidak ada hinaan yang menjurus pada fisik seseorang atau hidup seseorang. Kenapa mereka seolah tidak punya kesibukan lain selain mengurusi hidup seseorang.
Ahh… Matt benar-benar marah luar biasa. Sebelum meledak, Matt bergegas keluar kantin. Ia seolah melupakan apa tujuannya datang ke kampus ini setelah mendapati pemandangan yang menyedihkan dan memprihatinkan.
***
Halo?
Ada yang membaca cerita ini?
Bagaimana menurut kalian?
Yuk ah, tinggalin review untuk novel ini.
Dave yang tengah menekuni tumpukan berkas di depannya tidak sadar jika Matt sudah muncul di hadapannya.“Bos…” Sapa Matt dengan suara pelan. Dave mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas. Tampak kekesalan menghiasi wajahnya.“Kau tidak mengetuk pintu!” ujar Dave tegas. Matt membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah beberapa kali mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Dave pun mengangguk pertanda memaafkan Matt.“Besok pagi Maura akan menggantikan dekan mengisi kuliah tentang Indonesia.” Matt memilih informasi itu untuk dismpaikan pertama kali pada Dave. Bagi Matt, itu adalah informasi besar. Matt memang tidak mengenal Maura, tapi mengingat semua cerita dekan tadi ia sangat berharap agar Dave tidak terlalu kejam pada gadis itu. Dan tentu saja, yang terpenting menur
Maura menghentikan langkah dan memasang pendengarannya baik-baik. Ya, benar, para mahasiswa menyebutkan nama David Peters.Apa yang membuat David Peters datang lagi ke kampus? Maura bertanya pada diri sendiri. Ingin rasanya ia menanyai semua mahasiswa yang berlalu-lalang, tapi diurungkannya. Maura mencoba menekan rasa ingin tahunya kuat-kuat. Ia tidak mau menjadi bahan ejekan lagi karena bertanya tentang keberadaan David Peters di kampus.Maura mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Sesampainya di persimpangan koridor arah perpustakaan dan ruang kelas, Maura melihat David Peters melintas. Sontak ia memekik tertahan melihat apa yang baru saja ditangkap matanya. Seorang laki-laki dengan kaos polo, jins, dan topi bisbol
Maura bertekad menemui David Peters sekali lagi. Ia akan memohon agar David Peters mau membantunya. Bekerja paruh waktu setap hari ternyata sangat melelahkan. Hal ini berdampak pada produktivitasnya dalam mengerjakan tesis. Tadi pagi sebelum keluar kamar, Maura menyempatkan diri melihat kalender duduk di atas meja belajarnya. Ia mendapati tiga tanda silang pada kalender, artinya sudah tiga hari tesisnya tidak tersentuh.Maura tengah memikirkan rencana untuk menemui David Peters lagi. Tiba-tiba terlintas dalam benak Maura untuk meminta bantuan Matt. Berdasarkan pengamatan Maura, Matt bukanlah orang yang sulit untuk dimintai tolong.Apakah sebaiknya aku meminta nomor telepon Matt pada dekan?Maura sangat berharap Matt bisa membantunya, menjadi perantara dirinya unt
Bunyi notifikasi pesan membangunkan Maura dari tidurnya. Sepagi ini siapa yang mengiriminya pesan. Maura melihat penunjuk waktu di ponselnya. Pukul enam tepat. Rasanya Maura ingin menunda membaca pesan itu dan melanjutkan tidurnya. Tapi itu tidak dilakukannya setelah membaca nama pengirim pesan. Dekan.Maura, jangan lupa menghadiri malam inaugurasi. Tahun lalu kamu tidak hadir karena belum datang. Jadi untuk tahun ini kamu tidak punya alasan untuk tidak datang. Jangan lupa, pukul tujuh tepat!Maura melempar ponselnya ke salah satu sudut tempat tidurnya. Rasa malas kembali menyelimutinya. Padahal hari ini, ia sudah merencanakan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan sebelum bekerja pada pukul enam sore. Maura yang tersadar dengan jadwal kerjanya pun segera bangun dan mencari ponselnya. Tak lama jemari Maura pun bergerak dengan lincahnya di atas
“Aku tidak bisa menari, Tuan David.” Maura mencoba meyakinkan Dave. Dave hanya diam, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Maura. Maura mengulangi kalimatnya dengan berteriak di dekat telinga Dave.“Aku tidak bisa menari, Tuan David. Kumohon carilah partner lain.” Maura mencoba menggerakkan tangannya agar terlepas cari cengkeraman Dave.“Tidak akan. Kamu tidak bisa ke mana-mana.” Dave semakin mengeratkan cengkeramannya. Maura meringis kesakitan.“Apa yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Maura lagi. Dave menyeringai aneh sehingga Maura bergidik melihatnya.“Anda menerorku!”
“Finally….” Suara Tim mengejutkan Matt. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Alisnya terangkat kala Maura tidak juga keluar. Tim menepuk jidatnya, masuk kembali ke dalam.“Ada apa lagi, Mauraaa…” Tim mencoba menahan emosi. Maura nyengir kuda, “Aku malu.” Tim meraih tangan Maura dan menggandengnya keluar.“Tadaaa….” Kali ini Maura, Tim, dan Kim muncul di hadapan Matt. Mata Matt berbinar melihat sosok di depannya. Maura benar-benar terlihat sangat berbeda. Tak akan ada yang menyangka jika gadis ini adalah korban bullying, perundungan, di kampus. Sebutan grossy, si kotor, label abadi yan
Maura merasa Matt terlalu lama menjemputnya sehingga begitu sosok Matt berdiri di depannya, Maura sengaja memanyunkan bibirnya. Berpura-pura marah pada Matt. Matt terkekeh melihat sikap Maura. Hatinya sangat senang. Maura yang cantik sekarang sedang marah padanya.“Lama sekali, Matt. Kamu sengaja ya?”“Maaf, aku harus berdandan dulu sebelum menjemput princess.” Maura menonjok bahu Matt pelan. Yang ditonjok pura-pura mengaduh kesakitan. Kemudian mereka berdua terbahak bersama.“Mau pulang sekarang?” Maura hanya mengangguk. Matt berjalan menuju mobil diiringi Maura.“Bagaimana pestanya?” pertanyaan Matt memecah keheningan di antara keduanya
Maura menyapukan pandangannya ke seluruh sudut kamar pribadi Dave. Kamar yang sangat luas dengan dominasi warna hitam dan putih. Sebuah set meja kerja terletak di salah satu sudut kamar yang berdekatan dengan rak buku setinggi dinding. Sepasang meja kecil dengan lampu tidur yang bertengger manis di atasnya mengapit tempat tidur berukuran super. Di seberang tempat tidur, menempel pada dinding, terdapat cermin seukur dinding. Terdapat dua pintu di dalam kamar itu, entah apa yang ada di baliknya. Decak kagum tak jarang terdengar dari bibir Maura. Sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Dave sudah masuk ke dalam kamar, memandangi Maura dengan pandangan yang susah ditafsirkan. Yang pasti, sorot mata Dave menunjukkan bahwa laki-laki sedang dalam pengaruh alkohol.Dave berjalan mendekati Maura. Dilihatnya gadis itu terkejut dengan kehadirannya. Maura mundur perlahan untuk menghindari Dave. Dengan sigap, Dave merai