Dave yang tengah menekuni tumpukan berkas di depannya tidak sadar jika Matt sudah muncul di hadapannya.
“Bos…” Sapa Matt dengan suara pelan. Dave mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas. Tampak kekesalan menghiasi wajahnya.
“Kau tidak mengetuk pintu!” ujar Dave tegas. Matt membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah beberapa kali mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Dave pun mengangguk pertanda memaafkan Matt.
“Besok pagi Maura akan menggantikan dekan mengisi kuliah tentang Indonesia.” Matt memilih informasi itu untuk dismpaikan pertama kali pada Dave. Bagi Matt, itu adalah informasi besar. Matt memang tidak mengenal Maura, tapi mengingat semua cerita dekan tadi ia sangat berharap agar Dave tidak terlalu kejam pada gadis itu. Dan tentu saja, yang terpenting menurut Matt, Dave mau membantu Maura dengan tulus.
“Hmm… Dia cukup pintar.” Komentar Dave membuat Matt mengangguk antusias.
“Bisa dibilang dia menjadi asisten dekan, Bos.”
“Apa lagi info yang kau peroleh?”
“Maura mengambil kerja paruh waktu setiap hari karena pengurangan beasiswa itu. Semua pekerjaan paruh waktu dilakoninya termasuk menjadi pengasuh anak dan bayi.”
Mata Dave membola. Ekspresi wajahnya berubah, namun sulit diartikan apa maksudnya. Matt tidak heran dengan pemandangan ini. Bukan baru kali ini saja Dave memasang wajah dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Dan…” Matt tampak menimbang, apakah akan menyampaikan atau tetap menyimpan rapat sebuah informasi lainnya tentang Maura.
“Ada lagi?” Dave memandang Matt sembari menautkan jemarinya kemudian diposisikannya di dekat mulut dan dagunya.
“Mahasiswa memanggilnya Grossy, si kotor, hanya karena gadis itu pernah bekerja sebagai petugas kebersihan dan… gemuk.”
Mendadak Dave tertawa cukup keras sehingga membuat Matt kaget.
“Grossy…. Nama yang pantas untuknya. Hahaha….”
*
Maura membenamkan diri dalam tumpukan buku dan laptopnya di perpustakaan. Besok ia akan memberi kuliah Sejarah Kerajaan di Indonesia. Untuk pertemuan pertama dalam topik ini, Maura memilih materi tentang kerajaan di Jawa Timur periode kuno.
Suara jemari yang beradu dengan kibor laptop menjadi hiburan tersendiri bagi Maura. Jika sudah bekerja seperti ini, Maura bisa lupa diri. Termasuk, lupa bahwa hari ini ia harus bekerja. Kemarin Maura telah menyanggupi untuk menjaga anak dari keluarga Andrews selama tiga jam dengan upah yang cukup menggiurkan, €30.
Beep….
Sebuah pesan masuk ke ponsel Maura. Buru-buru dilihatnya pesan itu dan tak lama kemudian Maura menepuk jidatnya. Nyonya Andrews bertanya kenapa ia belum muncul. Maura bergegas mengemasi laptopnya. Buku-buku yang telah dipakainya diletakkan pada keranjang buku. Setelah menyapa petugas, Maura bergegas keluar perpustakaan dengan setengah berlari.
*
“Besok aku akan ke kampus. Aku ingin melihat gadis itu memberi kuliah.” Kalimat Dave membuat Matt terkesima. Matt menatap Dave keheranan.
“Kapan kuliahnya berlangsung.” Kalimat Dave yang diucapkan secara datar terdengar seperti bukan pertanyaan. Matt membuka catatannya kemudian mengucapkan angka sembilan.
“Kosongkan jadwalku untuk besok.” Instruksi Dave membuat Matt memberi beberapa tanda silang pada agenda yang selalu ditentengnya.
“Jadi semua rapat ditunda?”
“Ya.”
Hening beberapa saat.
“Berpakaianlah layaknya mahasiswa, Bos. Karena ini adalah penyamaran.” Matt mengingatkan Dave. Dave merespon kalimat Matt dengan seringai lebar yang menghiasi wajahnya.
“Kau pun sama, Matt. Berpenampilanlah layaknya mahasiswa.”
Detik berikutnya, mereka berdua tertawa bersamaan, tapi tentu saja Matt tidak berani bersuara keras karena Dave bisa saja melemparinya dengan benda-benda dari atas mejanya.
*
Ini bukan pertama kalinya bagi Maura mengisi kuliah, tapi entah kenapa hari ini ia merasa sangat gugup. Tak terhitung sudah berapa kali Maura mematut diri di depan cermin.
‘Ayolah Maura, tidak ada yang istimewa hari ini. Bersikaplah biasa saja.’ Maura menggumamkan kalimat itu berualng-ulang.
“Baju apa yang kupakai, terusan atau jins dan kaus plus jaket blazer.” Maura bertanya pada dirinya sendiri. Cukup lama Maura memutuskan satu di antara keduanya. Akhirnya ia memilih terusan dengan panjang selutut berwarna biru tua dengan potongan model kimono. Tak ketinggalan jam tangan melingkar di tangan kirinya. Maura bergegas mengunci kamarnya. Setelah keluar dari asrama dan menyeberangi taman kecil yang menjadi perantara antara bangunan asrama dengan kampusnya, ia akan sampai.
‘Masih ada waktu setengah jam lagi.’ Maura memutuskan langsung menuju ruang kelas. Dikeluarkannya laptop serta beberapa buku yang nanti akan digunakannya untuk mengajar. Tak ketinggalan buku catatan yang akan digunakannya untuk mencatat setiap hal yang terjadi selama perkuliahan.
Sepuluh menit sebelum kelas dimulai, dekan hadir dan langsung mengambil tempat di deretan bangku mahasiswa. Disusul kemudian dua laki-laki dengan penampilan cukup rapi, meskipun memakai kaos dan jins. Tak ketinggalan topi bisbol yang ditarik lebih dalam sehingga menutupi separuh wajah mereka. Maura dan dekan menatap dua orang itu bersamaan. Maura mengamati sampai dua orang itu duduk di dekat dekan. Setelahnya Maura kembali fokus dengan laptopnya.
“Dave…” dekan membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang David Peters masuk ke kelasnya. Dan yang lebih mengherankan, penampilannya yang sangat berbeda dari biasanya justru membuat dekan takjub. Pandangan dekan beralih ke sosok lainnya. Merasa ditatap penuh rasa ingin tahu, laki-laki itu mengangkat sedikit topinya. Dan dekan kembali terbelalak, “Matt…”
Dave dan Matt serempak menempelkan telunjuk mereka ke bibir, mengkode dekan untuk tidak membuka penyamaran mereka. Selanjutnya, mereka bertiga bicara dengan bahasa kode berupa gerakan bahu, alis, mata, dan dagu.
Sesekali Maura melirik jam tangannya. Sudah lima menit berlalu, tapi mahasiswa yang memprogram mata kuliah ini belum muncul. Maura menatap dekan, bertanya apa yang harus dia lakukan. Dekan mencoba menenangkannya melalui tatapan mata juga. Maura menghela napas dalam-dalam. Untunglah, tak lama kemudian pintu kelas terbuka diikuti mahasiswa yang berhamburan masuk dan mengambil tempat duduk.“Grossy, jangan lama-lama memberi kuliah. Kami bisa mati bosan.” Celetuk seorang mahasiswa berambut blonde ikal memakai kaus dan kemeja flannel kotak-kotak yang tidak dikancing. Bibir Maura bergerak membentuk kata “oke”, tapi tanpa suara.
“Iya, Grossy. Kuharap kamu juga tidak memberi tugas. Otakku bisa kram karenanya.” Timpal seorang mahasiswi yang berpenampilan seperti laki-laki. Lagi-lagi bibir Maura mengatakan oke tanpa bersuara.
Matt yang melihat itu semua menjadi geram. Ingin rasanya ia menggebrak meja dan menyumpal mulut dua mahasiswa itu dengan topinya. Tapi tangan Dave yang dengan sigap mencengkeram lengannya membuat Matt harus mengurungkan niatnya. Dekan pun menggeleng melihat apa yang terjadi. Ini bukan yang pertama kalinya, para mahasiswa itu bertindak sangat kurang ajar.
“APA KALIAN SEMUA TIDAK PUNYA SOPAN SANTUN. DIA BERDIRI DI SANA MENGGANTIKANKU. AKU MENUNJUK DIA KARENA KEMAMPUANNYA, TAPI KALIAN MENGHINANYA DENGAN SANGAT BERLEBIHAN. KURASA HUKUMAN HARUS MENGULANG MATA KULIAH INI TAHUN DEPAN AKAN SETIMPAL!” Dekan meledak amarahnya. Semua yang berada di ruangan itu terdiam. Mengulang mata kuliah dekan sama artinya mengundang mimpi buruk. Tak ada satu pun yang menginginkan itu.
“Jangan berulah lagi, atau aku akan benar-benar menerapkan ancamanku!” Telunjuk dekan teracung ke depan seolah memindai satu per satu mahasiswa yang masih membisu. Setelahnya dekan meninggalkan kelas sambil memijit pelipisnya. Dekan terpaksa meninggalkan kelas lebih awal karena sekretarisnya mengirim pesan bahwa ada tamu yang ingin menemuinya.
Matt dan Dave saling pandang. Sejurus kemudia Matt, melalui gerakan alis dan matanya, seolah memberi penekanan pada Dave, tentang apa yang menimpa Maura. Melalui isyarat matanya, Matt memohon pada Dave agar bosnya itu tidak mempersulit Maura lagi. Ide mencabut beasiswa Maura sangatlah kejam dan gila, menurut Matt.
*
“Oke… mari kita mulai kuliah hari ini.” Maura mencoba mencairkan suasana. Maura mengeklik salah satu file presentasi yang sudah dipersiapkan.
“Kerajaan Daha di Kediri.” Maura membuka kuliah dengan menampilkan gambar beberapa candi yang dibangun pada masa kerajaan Daha.
“Kediri atau Kadiri merupakan wilayah yang berada di Jawa Timur. Wilayah ini berkembang karena dekat dengan aliran sungai, yaitu Brantas. Sama seperti wilayah-wilayah di belahan dunia lainnya, wilayah dengan peradaban paling berkembang biasanya terletak di tepian sungai.” Bergantian Maura menampilkan gambar kepulauan Indonesia, Pulau Jawa, Jawa Timur, dan wilayah Kediri. Penjelasan Maura yang mengalir membuat Dave, mau tidak mau, terpukau.
‘Gadis pandai.’ Puji Dave. Matt pun tak kalah asyik menikmati narasi Maura sambil membayangkan ia berada di Jawa Timur, mengunjungi berbagai candi yang kabarnya masih kokoh berdiri.
Tiga puluh menit berlalu. Maura bermaksud melanjutkan materinya tentang Kerajaan Singhasari, namun kegaduhan mulai tercipta. Entah siapa yang memulainya, mendadak kelas menjadi gaduh dan sangat tidak kondusif. Maura terdiam seketika. Ini adalah kode baginya untuk segera mengakhiri kelas, sebelum dirinya kembali menjadi sasaran perundungan. Tidak butuh waktu lama bagi Maura untuk mengemasi barang-barangnya dan segera keluar kelas. Dave dan Matt segera berdiri untuk mengejar Maura, tapi sial dua mahasiswi centil meraih topi bisbol mereka dan….
“Oh My God, David Peters!” Pekik seorang mahasiswa. Kontan saja mahasiswi lainnya di kelas itu juga histeris. Dave merebut kembali topinya dan bergegas keluar kelas.
Di depan kelas, lagi-lagi, sudah berkumpul para mahasiswi yang berusah untuk memikat dan mengejar Dave.
“MATT…. MATT…” Dave memekik panik. Ia merasa risih dengan perlakuan para mahasiswi.
“David Peters… Maukah kau berkencan denganku?” Dave menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang gadis semampai berambut coklat panjang sebatas punggung dengan aroma wewangian segar menyapanya dengan genit. Gadis itu maraih tangan Dave, namun segera dikibaskannya dengan kasar.
“Enyahlah!”
***
Maura menghentikan langkah dan memasang pendengarannya baik-baik. Ya, benar, para mahasiswa menyebutkan nama David Peters.Apa yang membuat David Peters datang lagi ke kampus? Maura bertanya pada diri sendiri. Ingin rasanya ia menanyai semua mahasiswa yang berlalu-lalang, tapi diurungkannya. Maura mencoba menekan rasa ingin tahunya kuat-kuat. Ia tidak mau menjadi bahan ejekan lagi karena bertanya tentang keberadaan David Peters di kampus.Maura mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Sesampainya di persimpangan koridor arah perpustakaan dan ruang kelas, Maura melihat David Peters melintas. Sontak ia memekik tertahan melihat apa yang baru saja ditangkap matanya. Seorang laki-laki dengan kaos polo, jins, dan topi bisbol
Maura bertekad menemui David Peters sekali lagi. Ia akan memohon agar David Peters mau membantunya. Bekerja paruh waktu setap hari ternyata sangat melelahkan. Hal ini berdampak pada produktivitasnya dalam mengerjakan tesis. Tadi pagi sebelum keluar kamar, Maura menyempatkan diri melihat kalender duduk di atas meja belajarnya. Ia mendapati tiga tanda silang pada kalender, artinya sudah tiga hari tesisnya tidak tersentuh.Maura tengah memikirkan rencana untuk menemui David Peters lagi. Tiba-tiba terlintas dalam benak Maura untuk meminta bantuan Matt. Berdasarkan pengamatan Maura, Matt bukanlah orang yang sulit untuk dimintai tolong.Apakah sebaiknya aku meminta nomor telepon Matt pada dekan?Maura sangat berharap Matt bisa membantunya, menjadi perantara dirinya unt
Bunyi notifikasi pesan membangunkan Maura dari tidurnya. Sepagi ini siapa yang mengiriminya pesan. Maura melihat penunjuk waktu di ponselnya. Pukul enam tepat. Rasanya Maura ingin menunda membaca pesan itu dan melanjutkan tidurnya. Tapi itu tidak dilakukannya setelah membaca nama pengirim pesan. Dekan.Maura, jangan lupa menghadiri malam inaugurasi. Tahun lalu kamu tidak hadir karena belum datang. Jadi untuk tahun ini kamu tidak punya alasan untuk tidak datang. Jangan lupa, pukul tujuh tepat!Maura melempar ponselnya ke salah satu sudut tempat tidurnya. Rasa malas kembali menyelimutinya. Padahal hari ini, ia sudah merencanakan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan sebelum bekerja pada pukul enam sore. Maura yang tersadar dengan jadwal kerjanya pun segera bangun dan mencari ponselnya. Tak lama jemari Maura pun bergerak dengan lincahnya di atas
“Aku tidak bisa menari, Tuan David.” Maura mencoba meyakinkan Dave. Dave hanya diam, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Maura. Maura mengulangi kalimatnya dengan berteriak di dekat telinga Dave.“Aku tidak bisa menari, Tuan David. Kumohon carilah partner lain.” Maura mencoba menggerakkan tangannya agar terlepas cari cengkeraman Dave.“Tidak akan. Kamu tidak bisa ke mana-mana.” Dave semakin mengeratkan cengkeramannya. Maura meringis kesakitan.“Apa yang Anda inginkan, Tuan?” tanya Maura lagi. Dave menyeringai aneh sehingga Maura bergidik melihatnya.“Anda menerorku!”
“Finally….” Suara Tim mengejutkan Matt. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Alisnya terangkat kala Maura tidak juga keluar. Tim menepuk jidatnya, masuk kembali ke dalam.“Ada apa lagi, Mauraaa…” Tim mencoba menahan emosi. Maura nyengir kuda, “Aku malu.” Tim meraih tangan Maura dan menggandengnya keluar.“Tadaaa….” Kali ini Maura, Tim, dan Kim muncul di hadapan Matt. Mata Matt berbinar melihat sosok di depannya. Maura benar-benar terlihat sangat berbeda. Tak akan ada yang menyangka jika gadis ini adalah korban bullying, perundungan, di kampus. Sebutan grossy, si kotor, label abadi yan
Maura merasa Matt terlalu lama menjemputnya sehingga begitu sosok Matt berdiri di depannya, Maura sengaja memanyunkan bibirnya. Berpura-pura marah pada Matt. Matt terkekeh melihat sikap Maura. Hatinya sangat senang. Maura yang cantik sekarang sedang marah padanya.“Lama sekali, Matt. Kamu sengaja ya?”“Maaf, aku harus berdandan dulu sebelum menjemput princess.” Maura menonjok bahu Matt pelan. Yang ditonjok pura-pura mengaduh kesakitan. Kemudian mereka berdua terbahak bersama.“Mau pulang sekarang?” Maura hanya mengangguk. Matt berjalan menuju mobil diiringi Maura.“Bagaimana pestanya?” pertanyaan Matt memecah keheningan di antara keduanya
Maura menyapukan pandangannya ke seluruh sudut kamar pribadi Dave. Kamar yang sangat luas dengan dominasi warna hitam dan putih. Sebuah set meja kerja terletak di salah satu sudut kamar yang berdekatan dengan rak buku setinggi dinding. Sepasang meja kecil dengan lampu tidur yang bertengger manis di atasnya mengapit tempat tidur berukuran super. Di seberang tempat tidur, menempel pada dinding, terdapat cermin seukur dinding. Terdapat dua pintu di dalam kamar itu, entah apa yang ada di baliknya. Decak kagum tak jarang terdengar dari bibir Maura. Sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Dave sudah masuk ke dalam kamar, memandangi Maura dengan pandangan yang susah ditafsirkan. Yang pasti, sorot mata Dave menunjukkan bahwa laki-laki sedang dalam pengaruh alkohol.Dave berjalan mendekati Maura. Dilihatnya gadis itu terkejut dengan kehadirannya. Maura mundur perlahan untuk menghindari Dave. Dengan sigap, Dave merai
Maura bergegas menuju kamarnya. Dalam hati Maura bersyukur karena lingkungan asrama sedang sepi. Sesampainya di dalam kamar, Maura menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ditatapnya langit-langit kamar selama beberapa saat. Maura mengubah posisi tidurnya, menelungkup dengan membenamkan wajah ke dalam bantal miliknya. Sejurus kemudian, tangisnya pun pecah lagi. Maura menumpahkan semua perasaannya melalui tangisan. Ia teringat ibunya. Membayangkan ibunya ada di sampingnya. Menyuruhnya merebahkan kepala di pangkuan lalu dengan pelan dan penuh sayang, ibunya akan membelai rambutnya. Sambil sesekali mengatakan hal-hal yang bisa menenangkan hatinya. Tapi di sini, di negeri yang sangat jauh dari rumahnya, Maura harus berjuang sendiri. Mengatasi kesedihan sendiri.Entah sudah berapa lama Maura menangis, tapi ia tidak peduli. Tadi ia sempat tertidur karena kelelahan. Begitu bangun, ia menangis lagi, meskipun k