Share

8. Barter

Maura bertekad menemui David Peters sekali lagi. Ia akan memohon agar David Peters mau membantunya. Bekerja paruh waktu setap hari ternyata sangat melelahkan. Hal ini berdampak pada produktivitasnya dalam mengerjakan tesis. Tadi pagi sebelum keluar kamar, Maura menyempatkan diri melihat kalender duduk di atas meja belajarnya. Ia mendapati tiga tanda silang pada kalender, artinya sudah tiga hari tesisnya tidak tersentuh.

Maura tengah memikirkan rencana untuk menemui David Peters lagi. Tiba-tiba terlintas dalam benak Maura untuk meminta bantuan Matt. Berdasarkan pengamatan Maura, Matt bukanlah orang yang sulit untuk dimintai tolong. 

Apakah sebaiknya aku meminta nomor telepon Matt pada dekan?

Maura sangat berharap Matt bisa membantunya, menjadi perantara dirinya untuk bertemu David Peters. Maura memutuskan akan menemui dekan besok pagi untuk meminta nomor Matt.

*

Maura sudah sampai di kampus lebih awal dari biasanya. Jam dinding di lobi kampus baru menunjuk pukul enam empat lima. Maura bergegas menuju ruangan dekan. Ia yakin dekan sudah ada di ruangannya saat ini. Sesampainya di depan ruangan dekan, pintunya terbuka sehingga Maura dengan mudah dapat melihat ke dalam ruangan, memastikan dekan sudah datang atau belum. Senyum semringah menghiasi wajah Maura tatkala sosok yang dicarinya ternyata sudah berada di dalam ruangannya, terlihat sedang serius membaca.

Dua ketukan perlahan pada pintu sudah cukup membuat dekan mengangkat wajahnya dari kertas-kertas yang ada di atas meja.

“Ada apa sepagi ini, Maura?”

Dean, bolehkah saya meminta nomor telepon Matt?” Maura langsung mengutarakan tujuannya. Ia selalu suka mengatakan segala sesuatu secara terus terang, tidak perlu berbelit-belit atau basa-basi.

“Saya akan menemui Tuan David Peters sekali lagi. Saya masih sangat berharap Tuan David Peters akan membantu saya.”

Dekan mengangguk paham. Kemudian ia mengambil selembar kertas berukuran kartu nama dan menuliskan nomor Matt di sana.

Semoga beruntung.” Ujar dekan seraya menyodorkan kertas itu. Maura menerimanya dengan mata berbinar. Buru-buru ia mohon diri dan segera mengirim pesan pada Matt.

Beep. Ponsel Maura menyala. Satu pesan diterima. Dari Matt. Buru-buru Maura membuka pesan itu dan membacanya. Seulas senyuman yang kemudian berganti tawa menghiasi bibir Maura. Matt bersedia membantunya, memberi akses padanya untuk bertemu David Peters. 

Hari ini pukul 10.00. Jangan terlambat.

Isi pesan terakhir Matt. Maura membalas pesan itu dengan “Ok” diikuti “thanks”. 

Maura melihat jam tangannya, masih tiga jam lagi menuju pukul sepuluh. Mendadak Maura merasa sangat gugup. Maura teringat dengan kalimat terakhir yang diucapkan David Peters sebelum ia meninggalkan kantor lelaki itu. Maura terus berdoa agar David Peters tidak memberinya persyaratan yang tidak masuk akal. Tentu saja syarat melepas keperawanan demi uang untuk biaya kuliah adalah tidak masuk akal menurut Maura. 

Berusaha mengatasi kegugupannya yang kian menjadi, Maura menuju salah satu bangku yang ada di taman kampus. Meskipun otaknya sedang tidak mau diajak bekerja sama untuk menulis tesis, setidaknya Maura ingin membaca draft tesisnya, mencoba menyegarkan ingatannya tentang apa yang terakhir kali ia tulis.

*

Lima belas menit sebelum pukul sepuluh, Maura sudah sampai di kantor David Peters. Di lobi Maura bertemu Matt yang terlihat menunggunya. Mereka berdua lantas menuju ruangan David Peters bersama-sama. Berkali-kali Maura menggosok telapak tangannya seolah ia sangat kedinginan. Matt melirik gadis itu sambil terseyum.

“Gugup?”

“Sangat.”

“Kenapa?”

“Takut.”

“Takut ditolak proposalnya.” Maura melengkapi kalimatnya. Matt mengangguk paham.

Matt mengetuk pintu ruangan Dave. Setelah terdengar sahutan dari dalam, Matt meraih pegangan pintu dan mendorongnya. Dengan kode gerakan dagu, Matt meminta Maura untuk duduk di sofa dan menunggu.

“Bos, Nona Maura ada di sini.”

Mata Maura membelalak mendengar Matt menyebut namanya dengan didahului kata nona. Setelahnya Maura melihat David Peters yang menatap ke arahnya.

“Ada apa lagi?” Suara David Peters yang dingin semakin menciutkan nyali Maura. Mati-matian Maura berusaha mengenyahkan perasaan yang bisa melemahkan dirinya itu. 

Aku harus mencoba lagi. Siapa tahu dia berubah pikiran, tidak lagi mengajukan syarat yang tidak masuk akal. Maura berusaha menyemangati diri sendiri. Maura kemudian berjalan mendekat ke arah meja David Peters.

“Tolong bantu saya, Tuan David Peters.” Ujarnya langsung tanpa berbasa-basi. Maura memang tidak suka basa-basi. Lebih tepatnya, ia tidak bisa melakukan itu.

“Sekeras apa pun saya bekerja, uang sejumlah itu sangat susah saya kumpulkan. Dan tesis saya jadi terbengkalai karenanya.” 

“Tawaranku tetap sama!” Kalimat Dave membuat Maura menunduk. Dave memberi kode pada Matt untuk keluar dari ruangannya. Sebelum keluar, Matt melihat ke arah Maura dengan perasaan iba. 

“Bagimana?” Dave mengubah posisi duduknya menjadi bersandar pada kursinya. Tangan kanannya memainkan pulpen yang sedari tadi dipegangnya. 

“Jangan pernah berpikir aku mau bercinta denganmu karena aku tertarik padamu. Kamu bukan seleraku! Ini lebih seperti barter. Dan…. Kupastikan dalam barter ini kamu tidak dirugikan.” Dave tampak menarik salah satu sudut bibirnya. Ingin rasanya Maura segera keluar dari ruangan itu. Lagi-lagi dirinya direndahkan oleh Dave. Dave menganggap Maura tengah menjual  dirinya demi uang untuk membayar kuliah.

“Bahkan aku sudah menyiapkan rencana yang akan membuatmu tidak bisa berkata tidak.” Demi mendengar kalimat Dave, Maura menegakkan kepalanya. Ia menatap Dave dalam-dalam, mencoba mencari tahu maksud dari kalimat laki-laki itu.

“Aku akan mencabut beasiswamu. Tak ada lagi tunjangan hidup dan asuransi.”

Maura menutup mulutnya dengan satu tangan. Air mata sudah tergenang di pelupuk matanya. Detik berikutnya, Maura tidak peduli apakah air matanya telah jatuh atau belum. Sementara Dave melihat Maura dengan menarik salah satu sudut bibirnya. Senyum sinisnya menunjukkan kepuasan yang teramat sangat. Puas karena berhasil membuat Maura tidak berdaya.

Dengan suara bergetar, Maura mencoba mengatakan apa yang mengganjal di hatinya, “Tuan bilang saya bukan selera Anda, tapi mengapa Anda menginginkan tubuh saya?”

Dave tertawa terbahak, “Karena kamu menyimpan sesuatu yang berharga dan aku sangat menginginkannya."

"Asal kau tahu, Nona. Tidak ada satu pun keinginanku yang tidak tercapai.” Dave menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Air mata Maura mengalir lebih deras. Otaknya tidak berhenti menggaungkan kata pelacur berulang-ulang. 

“Kau tidak harus menjawabnya sekarang, tapi kudengar deadline pembayaran tuition fee sampai akhir bulan ini. Artinya, masih ada dua pekan untuk memberi keputusan.”

Maura masih berdiri mematung sambil terus menangis. 

“Dan sekarang kamu bisa keluar!” Usir Dave. Lelaki itu berkata sambil kembali menegakkan badannya, menekuni kembali berkas-berkas di hadapannya.

Maura menyeka air matanya sebelum keluar dari ruangan Dave. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status