Share

Bab 2

 Andre menemui Cika di Apartemennya, memasukkan kode dengan mudah, tidak perlu menunggu hingga Cika membuka pintu. 

"Kau sudah lama?" Andre langsung memeluk Cika dari belakang. 

 Cika meletakkan gelasnya di atas meja. "Kau lama sekali, Andre. Membuatku takut," ucap Cika lembut. 

"Apa yang kau takutkan saat aku berada dalam genggamanmu, Sayang?" Andre menyandarkan dagunya di pundak Cika, menghirup aroma wangi dari leher jenjang gadis itu. 

"Kau mengganti parfum lagi?" Akhir-akhir ini Cika sering bergonta-ganti parfum. Hingga Andre tidak bisa mengingatnya satu persatu. 

"Kau suka wanginya?" 

"Tunjukkan jika itu pantas untuk aku sukai."

 Andre langsung menggendong Cika ke atas tempat tidur, melakukan ritual kesukaan mereka. Bahkan saat hari masih petang. 

"Andre, kau gila," ucap Cika ditengah-tengah perpaduan. 

"Kau yang membuatku gila, Cika. Aku tidak bisa membayangkan sehari saja tanpa melakukannya denganmu."

 Andre adalah tipe pria yang haus, mudah merasa panas, juga keinginannya yang tak kenal waktu. Bagi Andre sendiri, Cika adalah pelampiasan yang tepat, berbeda dengan Azzel yang tidak pernah membiarkan tubuhnya dijamah. 

 Wanita itu, Andre tidak bisa memahaminya. Setiap kali meminta, Azzel akan dengan lembut menolak. Meskipun Andre memakai alasan sebentar lagi akan bertunangan, maka Azzel akan menjawabnya dengan menunggu pernikahan.

 Sudah lama sejak mereka berhubungan, Andre selalu ingin merasakan semuanya. Bahkan melihat lekuk tubuh Azzel pun, Andre belum memiliki kesempatan. Itu membuatnya hampir gila, setiap hari membayangkan keindahan yang tertutup dengan pakaian. Azzel benar-benar menjaganya dengan baik, bahkan saat dia menjadi model, sesuatu yang seharusnya ditutup, belum pernah terekspos kamera.

 Andre tersenyum puas setelah melakukannya berjam-jam dengan Cika. Tidak ada penyesalan dari raut wajahnya, yang ada hanya kesenangan. Andre sangat menikmatinya, dan tidak jarang, dia selalu membayangkan wajah Azzel selama berhubungan. 

"Kapan kau akan bertunangan, Andre?" tanya Cika masih dalam posisi berdua, berbagi selimut. 

"Secepatnya, kita masih memilih tanggal yang tepat."

"Lalu bagaimana denganku? Apa setelah ini kau akan membuangku ke tempat sampah?" 

 Sebenarnya Cika sangat mengkhawatirkan hubungannya dengan Andre. Biar bagaimanapun, setelah Andre menikah dengan Azzel, itu artinya segala keinginan Andre akan terpenuhi bersama Azzel. Tidak terkecuali, dirinya akan dicampakkan begitu saja. Sadar hanya untuk pelampiasan semata, Cika sangat ingin memisahkan Azzel dan Andre. 

"Kenapa kau begitu khawatir, sayang. Bukankah aku belum memulai apapun dengan, Azzel? Kau tetap satu-satunya yang istimewa, jadi tenanglah." Andre tersenyum, meyakinkan Cika. 

 Pukul 11 malam, Andre berencana untuk pulang, tanpa membangunkan Cika yang sedang ketiduran. Andre hanya menulis beberapa kalimat di atas secarik kertas, lalu meletakkan di atas meja, di bawah ponsel Cika.

 Tiba di bawah, Andre berpas-pasan dengan seorang pria pengantar makanan. Karena tidak melihat, Andre malah menabrak pria tersebut. 

"Woi, punya mata nggak sih loe. Mau cari mati ya!?" bentak Andre. 

"Maaf, Mas, saya nggak sengaja," ucap pria itu menyembunyikan wajahnya di balik topi merah. 

 Andre memandang pria itu penuh kebencian. "Sial! Mau gue kirim ke Neraka lu." Lantas dia pun segera berlalu dengan merapikan pakaiannya. 

 Dalam perjalanan, Azzel menghubunginya. Andre langsung mengangkat panggilan tersebut. 

"Iya, Sayang?"

"Kamu di mana sih, Ndre. Aku dari tadi cape hubungi kamu] omel Azzel kesal. 

"Maaf, sayang, urusanku baru kelar."

[Ya udah, kamu sebenarnya jadi nggak sih datangnya?]

"Oh, ya ampun, sayang maaf banget ya. Aku lupa." Karena terlalu bahagia dengan Cika, Andre sempat melupakan jika pukul 12 nanti, dia dan Azzel punya rencana. 

[Tuh, kan]

"Iya deh, sekarang aku jemput kamu ya."

[Nggak perlu, aku udah tiba di sini sejak setengah jam yang lalu]

"Benarkah? Baiklah, kalau begitu tunggu aku di sana ya."

 Andre mematikan panggilan tersebut, dia berpikir keras bagaimana caranya agar bisa cepat sampai di sana. 

"Sial! Aku lupa mandi lagi di Apartemen Cika."

 Akhirnya Andre harus berhenti di sebuah Mall, membeli pakaian ganti juga membersihkan diri. Setelah siap, dia langsung menemui Azzel. 

"Semoga aja aku nggak terlambat."

 Tidak seperti yang diharapkan, Andre tiba pukul 12 lewat. Azzel merasa kesal, karena Andre telah melewatkan momen spesial mereka bersama dua sahabat lainnya. Malam ini, sahabat Azzel - Vino, ulang tahun. Padahal dia dan Andre sudah membelikan cincin untuknya sejak pagi tadi, harusnya cincin tersebut diserahkan sejak tadi pada Vino untuk diberikan pada pacarnya. 

"Sayang!" panggil Andre setelah setengah berlari. 

"Kamu telat," ucap Azzel kesal.

"Aku kan udah minta maaf, sayang. Jangan marah lagi, ya." Andre meraih tangan Azzel dan menciumnya beberapa kali. Azzel pun tersenyum. 

"Nah, gitu dong. Ya udah, ayo kita temui mereka."

 Keduanya menyusul Vino ke sungai. Begitu melihat Azzel, Gandis langsung mendorong kursi roda Vino ke hadapan mereka. Keduanya tersenyum menyambut dua orang tersebut, ide perayaan ulang tahun Vino juga Azzel yang merencanakannya. 

"Selamat ulang tahun, Vino," ucap Azzel tersenyum. "Sayang, kamu bawa hadiahnya kan?" bisik Azzel di telinga Andre. 

"Hadiah?" Andre mengernyitkan dahinya. 

"Iya, cincin untuk lamaran Gandis. Kamu bawa kan?"

"Cincin?" Andre memeriksa jasnya, juga saku celana. "Sial! Aku sudah berganti pakaian," ucap Andre dalam hati. 

"Maaf, sayang. Aku lupa, hadiahnya ada di mobil." Segera Andre berlari, membongkar pakaian yang ia ganti tadi. "Argh, kemana cincin itu?" Andre menjadi panik. "Oh, iya …."

 Andre baru ingat, cincin tersebut terbawa bersamanya ke Apartemen Cika. "Pasti tertinggal di sana," ucapnya kian kesal. 

 Tiba-tiba Azzel menghampirinya. "Tertinggal? Di mana?" tanya Azzel yang sempat mendengar ucapan Andre. 

"Azzel." Andre gelagapan. "Iya, cincinnya ketinggalan, sayang. Pasti di tempat itu tadi, maaf ya."

 Azzel langsung cemberut. "Padahal kita sudah mempersiapkannya dengan sangat baik. Pasti Vino akan kecewa," lirih Azzel. 

 Membayangkan betapa bahagianya Vino saat Azzel menyurunya untuk segera melamar Gandis, kini dia merasa bersalah karena Andre sudah menghilangkan cincin tersebut. Mereka berdua kembali menemui Vino dan Gandis. Melihat raut wajah Azzel, Vino yakin ada sesuatu yang terjadi. 

"Tidak apa-apa, Azzel. Aku tidak akan marah," ucap Vino. 

"Ada apa, Mbak Azzel? Kenapa wajah Mbak terlihat sedih?" tanya Gandis heran. 

"Tidak apa-apa kok, Gandis." Azzel berusaha untuk tersenyum. 

 Azzel tidak kuasa menatap wajah kecewa Vino, lantas dia melepaskan cincin di jemarinya dan memberinya pada Vino. 

"Ini hadiah ulang tahun dariku, Vino. Lamarlah Gandis," ucap Azzel penuh haru. 

 Andre tidak menyangka dengan apa yang Azzel lakukan, demi Vino dia rela melakukannya, bahkan saat barang berharga dilepas dari dirinya. 

"Azzel …." Tenggorokan Vino tercekat, mamandang cincin indah di tangannya, membuat dia kehabisan kata. "Ini terlalu berlebihan, Azzel." Vino mengembalikan cincin tersebut.

 Azzel menolak menerimanya. "Ini tidak seberapa dibanding dengan apa yang kamu lakukan untuk hidupku, Vin. Aku bahkan berhutang nyawa padamu." Isak Azzel mengingatkannya pada kejadian 5 tahun yang lalu. Jika bukan karena, Vino, maka Azzel tidak akan pernah bisa berdiri di atas panggung lagi. 

 Semua orang tahu apa yang terjadi waktu itu, termasuk Andre. Jadi sudah sewajarnya Azzel melakukan apa yang terbaik untuk Vino. Termasuk melamar gadis pujaan hatinya yang sampai saat ini masih setia mendampingi Vino. 

"will you marry me?" ucap Vino melamar Gandis. 

"Ya, tentu saja, Vino."

 Cincin tersebut langsung disematkan di jari manis Gandis, membuat mereka semua bahagia. 

"Kapan kalian menyusul?" 

"Secepatnya," sahut Andre tersenyum. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status