AKU akan abadi. Tidak bisa mati maupun terluka. Semuanya menjadi seperti ini karena dua saudara bodoh yang telah mengubah nasibku tanpa bertanya lebih dulu.
"Kau masih menyesali semuanya?" pertanyaan itu membuatku mendengkus keras.
Menyesal? Tentu saja.
Manusia biasa pasti akan mati suatu hari nanti, tapi kematian itu terabaikan saat vampir ini menanamkan racun ke dalam tubuhku melalui gigitan dan juga darahnya.
Racun yang mengubahku menjadi vampir pengisap darah yang mengerikan.
"Maafkan aku, aku benar-benar tidak ingin mengubahmu."
"Tapi kau tetap mengubahku juga," balasku seraya berlalu.
Daniel mengikuti langkahku dengan tergesa-gesa. "Jika aku tak me
"APA yang akan aku lakukan sekarang?"Aku mengembuskan napas panjang, melemparkan dompetku ke atas meja, dan lantas menyandarkan punggung ke sofa.Sial, benar-benar sial.Jika aku tidak bisa pulang bulan depan, aku akan mati mengenaskan di tempat ini. Bukannya apa atau kenapa, hanya saja, lockdown mendadak dari pemerintah sejak satu minggu yang lalu sukses membuatku tidak berkutik.Duduk diam di apartemen sempit dan berakhir mati kelaparan karena kehabisan uang. Aku hanya memindahkan beberapa dolar ke VISA sebelum terbang kemari, dan kalau keadaan seperti ini tetap berlanjut, mau diam atau keluar dari sini pun aku akan tetap mati."Kau terlihat sedih." Bahasa Jepang dengan aksen khas orang luar negeri menyahut.
DANIEL memejamkan mata. "Mungkin, aku sedikit berlebihan."Dia membuka pintu unit apartemennya. Aroma asing lantas membuatnya mengernyit. Dia melirik pintu dan mendapati engselnya telah bergeser dari tempat asalnya.Matanya menatap waspada. Daniel menelisir sekitar ruangan dan sosok pria bermata sipit dengan seragam kebanggaannya terlihat oleh netra birunya. Daniel menghela napas kasar, matanya memejam."Kau berlebihan, Shin.""Hm."Shinji Akira, salah seorang petinggi kepolisian di Akita. Lelaki berusia tiga puluh tahun yang terkenal dengan prestasi hebatnya dalam memecahkan masalah. Otaknya yang licik, cenderung manipulatif, dan ia tanpa ragu melakukan pekerjaan kotor jika diperlukan, membuatnya menjadi salah satu sosok paling menakutkan di sana."Aku kemari untuk mengorek semua informasi yang kau miliki, Pangeran."Daniel mendengkus, kakinya m
"APA tidak apa-apa kita keluar seperti ini?" tanyaku pada gadis Jepang yang sangat manis.Dia ini tipe waifu ideal bagi anak-anak otaku. Tubuhnya ramping, kulit wajahnya mulus, dengan rambut lurus panjang sepunggung berwarna hitam, matanya yang sipit berwarna senada, dan jangan lupakan senyumannya.Aku bahkan sampai ragu, jika sampai sekarang dia masih menjomlo."Hm, benar juga." Yuki berhenti melangkah, matanya menatapku. "Tempat tinggal Onee-chan ada di mana?"Aku tersenyum. "Di sebelah unit apartemen polisi rendahan satu itu."Aku mendengkus, benar-benar tidak yakin dia seorang polisi rendahan. Apa jangan-jangan dia membohongiku? Demi men
"VAMPIR itu ada dan aku salah satu dari mereka."Daniel hanya memikirkan cara ini agar mereka bisa mempercayai kata-katanya, tapi sepertinya, cara ini saja tidak akan cukup."Ma-matamu ... berubah warna." Rieki kesulitan mengutarakan kalimat.Daniel tersenyum tipis, manusia biasa tidak akan mungkin bisa mengubah warna iris matanya."Kau punya penyakit, Tuan? Apa itu namanya ... sindrom wesdeburg, apa, ya?" ujar Rieki lagi."Sindrom Waardenburg," ralat Shinji. Namun, matanya memperhatikan Daniel dengan sangat baik. "Tapi kurasa, dia tidak memiliki penyakit langka itu."Daniel tersenyum miring. "Aku abadi, aku tidak bisa mati apalagi sakit. Aku vampir, kau bisa menyadarinya, kan?"
SHINJI dan temannya telah keluar dari apartemen Daniel saat kami sampai. Ekspresi laki-laki bertopi itu terlihat buruk, wajahnya yang merah, bibirnya yang pucat, dan tatapannya yang sayu membuatku iba."Kau kenapa?" tanyaku seraya mendekat, tapi Yuki ternyata ikut melangkah di sampingku."Apa yang terjadi?" tanya Yuki serius."Ah ... tidak apa-apa, aku hanya membayangkan sesuatu yang menjijikkan."Shinji dan Daniel tersenyum miring."Kalian yang membuatnya seperti ini? Tega sekali," komentarku."Kau salah sangka, Alin. Aku tak melakukan apa pun," sangkal Daniel cepat-cepat."Benarkah?" Aku semakin curiga. Pasti dia telah melakukan sesuatu sampai laki-laki itu menjadi begitu."Dia bohong." Shinji bersiul pelan, tangannya masuk ke saku celana, sedang kepalanya mendongak. "Yuki, Rieki, ayo kita pulang, sepertinya Daniel ingin berduaa
MALAM ini terasa begitu dingin. Bahkan untuk seorang vampir seperti Daniel, ia merasakan dingin itu memasuki tubuh dan mulai memeluk relung hatinya. Daniel juga merasakan firasat buruk yang sejak tadi terus mengganggu, seperti tengah mengintai mereka.Daniel melirik Alin yang tertidur lelap di atas ranjang. Pria itu ingin pergi, tapi ia merasa enggan. Ada sedikit ketakutan meninggalkan Alin malam ini, tapi ada rasa penasaran yang membuatnya harus segera pergi.Daniel melompat, dia berdiri di atas pagar pembatas balkon, sedang wajahnya menghadap bulan purnama yang berwarna merah."Malam yang begitu sempurna," ujarnya bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi.Daniel tidak suka memakai ponsel, tapi ia memang memilikinya. Dia bahkan jarang mengeluarkan benda itu, karena tak ada seorang pun yang akan menghubunginya, kecuali satu orang ... Shinji Akira."Apakah sudah ada perkembanga
UNTUK pertama kalinya setelah tinggal beberapa hari di sini, aku bisa bangun siang. Biasanya Daniel akan membangunkanku—lebih tepatnya mengganggu tidur dan memaksa untuk segera memasak sarapan untuk kami berdua.Namun, entah apa yang terjadi dengannya pagi ini. Dia tidak muncul sama sekali. Aku berniat mencarinya setelah memasak dan mandi, tetapi niatku urung saat bel apartemen berbunyi, tepat setelah aku selesai mengenakan pakaian ganti."Fukumi-san, doushita?"Fukumi mengulum senyum, dia menyodorkan sebuah kantung plastik padaku. "Untuk sarapanmu.""Harusnya, kau tidak perlu repot-repot." Aku tetap menerima pemberian darinya, karena memang Fukumi adalah orang yang baik. Bukan hanya kali ini dia berbagi sarapan denganku maupun Daniel, tapi sudah beberapa kali."Daniel ... apa kau melihatnya?"Aku menggeleng. Jujur saja, tidak melihatnya di pag
DANIEL kehilangan semua rencana awalnya setelah apa yang terjadi tadi malam. Mata pria itu terpejam, kepalanya masih terngiang-ngiang oleh kalimat yang dilontarkan salah seorang vampir yang nyaris ia tangkap hidup-hidup."Daniel!" panggilan itu membuatnya menoleh. "Kau tidak mau mengganti pakaian sebelum pulang?"Daniel menatap pakaiannya semalam yang kini dipenuhi bercak darah mengering. Darah dari para vampir yang ia bunuh dengan kedua tangannya sendiri. Ia masih ingat, bagaimana kuku-kuku tajamnya menembus dada mereka dan meraup jantung vampir yang hanya bisa membelalak menatapnya."Tidak.""Kau tidak takut ... Alin akan mencurigaimu?"Daniel terdiam. Dia tidak mau Alin tahu, tapi sampai kapan semua ini akan berlangsung? Sampai kapan ia harus menyembunyikan identitasnya dari wanita itu?"Itu bisa kupikirkan nanti."Daniel bangkit, dia sudah me