Share

BAB 3: TILL THEY MET AGAIN

Kota bagian timur laut Eropa bernama Ełlona terletak ditengah-tengah antara Rusia, Estonia dan Latvia. Bahasa umum yang  digunakan antara lain : Russian, Latvian, dan English. Populasi di Ełlona cukup banyak untuk kota yang kecil dan setiap bulan kota ini menerima turis dengan total empat ratus orang baik dari luar kota maupun luar negeri untuk melihat keindahan alam dan taman bunga - plus Ełlona juga merupakan asal keluarga Amerika-Eropa terkaya di dunia yang terkenal karena gen ketampanannya.

OK, bagian terakhir hanyalah pendapatku sendiri dan bukan dari Wikipedia. Setelah aku dan ayahku duduk di interior mewah limusin berwarna hitam yang mengantar kami dari landasan pribadi West. Aku menghabiskan sembilan jam di langit pagi dari JFK ke langit malam Rusia ke bandara Sheremetyevo, plus satu jam di pesawat pribadi menuju Ełlona, aku googling tentang apa saja yang tidak aku ketahui tentang kota ini - yang mana cukup banyak. Di setiap kesempatan ayahku mengintip teleponku dan menyuarakan pendapatnya dengan keras tentang tuan rumah kami seminggu ini. 

"Ayah Albert mungkin sedikit brengsek," Aku berkata dengan suara pelan. "Tapi Dad, hanya satu minggu ini saja, please bersikap baiklah." 

Dia memberengut padaku, seperti anak kecil umur lima tahun, walaupun ini adalah anak kecil umur lima tahun yang menyukai celana panjang dan kaus polo "Tentu saja, Mylady." Katanya menggunakan aksen British yang dibuat-buat dengan wajah yang datar dan aku tidak bisa menolong diriku sendiri untuk tertawa. 

"Kau benar-benar konyol. Penjinak binatang pun kurasa tidak akan bisa menjinakkanmu." 

Ayahku mendengus, mengalihkan pandangannya ke jendela. Sekarang matahari mulai mendekati horizon, kami akhirnya bisa menikmati pemandangan Ełlona yang bersalju. Ada kumpulan kabut asap yang tidak terlalu tebal, tanah terutupi salju dengan sempurna yang tampak bermil-mil jauhnya dan pepohonan gundul berjajar di sepanjang jalan seperti barisan tentara. Sangat mudah untuk mengagumi tempat ini. Ini sangat damai namun juga begitu jauh dari sentuhan. 

Tiga puluh menit kemudian, mansion keluarga West terlihat dari puncak bukit, mengalahkan bangunan lainnya di kota, dan aku tiba-tiba saja mengalami deja vu. Mengeratkan genggaman tanganku, aku mencoba mengumpulkan diriku sendiri. Aku bukan lagi remaja delapan belas tahun yang halusional dan naif yang berpikir seks dengan pria yang sempurna adalah cara yang terbaik untuk mengobati patah hati. 

Berbulan-bulan berikutnya, aku menyadari bahwa aku tidak pernah mencintai Kyle dan 'patah hati' ku mungkin memiliki hubungan dengan fantasi ku akan cinta sejati. 

Gee, aku menyalahkan Charlotte untuk itu, pikirku dengan senyum terpatri di bibirku. Setelah masa kecil yang berantakan, kepalaku terisi dengan romantisme dan dongeng dan bunga ketika dia datang, hal-hal yang tidak dia percaya  — sampai dia jatuh cinta dengan ayahku, tentu saja. 

"Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu?" 

Suara pria yang menanyaiku menembus otak jetlag ku. "Apakah senyum juga termasuk kejahatan sekarang?" Aku menjulurkan lidahku padanya ketika dia memberiku tatapan yang gelap. 

"Hanya karena kau berusia dua puluhan, tidak berarti aku tidak akan menghukummu." 

"Kurasa itu kata lainnya adalah ancaman disertai tindakan fisik, Dad." Aku membalas, memutar mataku sembari mencabut charger ponselku. Ketika aku melihat keluar jendela, kita ada di gerbang masuk yang terbuat dari besi tempa yang rumit dan begitu detail yang berada di pintu masuk mansion. Sumpah aku kadang merasa tempat ini lebih seperti kastil. 

Keringat muncul di alisku walaupun cuacanya dingin dan aku menyumpah dibawah napasku. Ini konyol. Setelah lima tahun lamanya, Dean - Dean West - mungkin sudah lupa tentang ku dan jika dia tidak lupa, dia hanyalah pria tua yang jarang mendapatkan wanita. Hell, aku bahkan tidak pernah menyebutkan namaku padanya. Aku khawatir pada hal yang tidak perlu. Hal yang perlu aku lakukan hanyalah melewati minggu ini tanpa mengingat kalau aku pernah tidur dengan paman dari mempelai pria. 

Ini tidak begitu sulit kan? 

*~*

Suite ku berukuran seperti apartemenku dan tetanggaku digabung - yang merupakan arsitektur abad ke depalan belas yang tidak perlu dan dekorasi abad dua puluh satu yang suka pamer - dan sejauh ini aku hanya melihat ruang tamunya saja. Temboknya berwarna ivory dengan garis garis membungkus ruang tamu - slash - perpustakaan mini. Seriously, dengan inspeksi yang lebih dekat, rak buku berjajar di tembok memegang buku-buku tebal yang kurasa berbahasa German; seperti koleksi puisi Woedsworth, Lord Byron, Edgar Allen Poe dan Cummings; dan edisi pertama dari Stephen King - mimpi basah setiap kutu buku. 

Setidaknya aku tahu apa yang akan aku lakukan di malam hari. Pikirku, sesudah menggeser Carrie ke pinggiran. 

Aku berputar dan menaruhnya di meja kopi kaca yang diapit oleh dua kursi cokelat yang ditata di seberang TV yang setidaknya empat kali lebih besar daripada punyaku dan digantung di tembok seperti lukisan, penampilan capek-perjalanan ku terpantul dari kaca hitamnya yang mengingatkanku kalau aku perlu mandi. 

Menendang sepatu flatku, aku menarik koperku melewati beberapa tangga yang memisahkan antara ruang tamu dan kamar, sekali lagi aku terpana dengan luasnya ruangan ini. Seluruhnya berpusat pada ranjang besar bertiang empat. Kain jaring tipis ditata sedemikian rupa di empat tiang ya hingga terlihat menutupi kasur seperti kabut. Duvetnya merah tua dan hitam dan bantal-bantalnya tebal dan putih seperti marshmallow yang seolah memanggilku untuk mengetes keempukannya. Furnitur antik mengelilingi ranjang. Gorden tebal merah tua digantung di jendela, mengimbangi kemewahannya, karpet putih digelar di seluruh suite. 

Kamar mandinya pun tidak beda jauh, semuanya porselen putih-tulang dan kacanya benar-benar spotless, lantainya berwarna arang-dan-putih gading dan jacuzzi yang berada di tengah. Kulit ku mendamba untuk ditenggelamkan di air panas yang setara dengan delapan tub tapi sepertinya tidur dulu akan lebih baik? Aku tidak pernah bisa tidur di pesawat (sesuatu tentang takut akan tidur dan tidak bisa bangun lagi karena pesawat memutuskan untuk terbang menukik ke laut)  jadi aku sedikit kehabisan tenaga mengingat disini siang dan malam di lain tempat, aku seharusnya memaksa diriku untuk tetap terjaga untuk terbiasa dengan waktu di sini tapi begitu kepalaku menyentuh bantal, it was lights out dan ketika aku bangun, ada bau sarapan yang lezat. Seseorang menaruh trolley makanan ke kamarku dan meninggalkannya di samping ranjang. Perutku berbunyi, aku membuka tutupnya, menampilkan bacon yang masih berasa, sosis, dan toast ditata dengan hati-hati hingga membentuk masterpiece. 

“Sweet Jesus,” Aku bergumam senang, melepas jaket yang kubawa tidur dan melepasnya. "Mereka sangat memahamiku." 

Setelah sarapan dan berendam di tub terlama di sepanjang sejarah, aku merasa segar untuk ... melakukan apapun yang seharusnya dilakukan oleh tamu pernikahan setelah tiba. Seseorang sudah menata barang-barang di koperku ketika aku tertidur - sesuatu yang tidak enak bagiku - dan ketika aku keluar dari kamar mandi trolleynya sudah tidak ada. Talk about invasion of privacy. 

Aku menggunakan setelah celana hitam dan sweater kasmir soft-pink sebelum pergi ke suite ayahku. Sebagai bagian dari tamu pengantin pria, kita ditempatkan di sayap timur dan kamar ayahku hanya beberapa pintu dariku. Aku mengetuk pintunya sebelum masuk dan sangat kecewa melihatnya masih tertidur, masih dengan pakaian yang dia pakai saat di pesawat. Membangunkannya sama saja dengan menjadi sadistic, dengan dia yang biasanya hanya tidur selama empat jam - di malam yang tenang. 

Ponselku memilih waktu yang tepat untuk berbunyi ketika aku berusaha keluar dari kamar ayahku tanpa suara. Sebelum Harlem Shake benar-benar berbunyi aku segera memencet tombol hijau. "Yeah?" 

"Aku ada di kamarmu, Cass." Kata suara mulus bersiul di telingaku. "Dimana kau?" 

*~*

Diluar di rooftop mansion, dilindungi dengan pavilion tinggi berwarna putih, Albert mengadakan acara reuni SMA mini sebelum makan malam, komplit dengan wine dan snack. 

"Jadi kau benar-benar tahu siapa yang kau nikahi, Vanya?" Sam bertanya pada calon mempelai wanita yang memerah pipinya, memperjelas B nya. Dia merangkul Sarah dan berhati-hati agar tidak menjatuhkan segelas merlot di tangannya. 

Vanya - wanita menawan dengan mata hijau dan rambut sehitam burung gagak dengan kaki yang jenjang - menyesal Wine nya, memberikan Sam wajah terhiburnya. "Apa kau akan memberitahuku kalau dia pembunuh berantai?" Dia bertanya, aksen Bostonnya terlalu biasa dengan nama eksotisnya. Dia memberikan Albert tatapan malu-malu. "Karena aku sudah tahu itu. Dia membunuh makanan tidak seperti orang lain!" 

Aku tertawa. "Kau saharusnya melihatnya saat SMA. Dia memenangkan kompetisi gila makan hotdog dan tidak ada yang akan percaya kalau King Hot Dawg ini pewaris kerajaan bisnis terbesar di Eropa." 

Albert tersenyum. "Yeah, tapi kau juara kedua, kan?" 

"Hanya karena kau curang, Albert West" Vanya menaikkan alisnya padaku. 

"Really? Tapi kau begitu -" 

"Kecil." Aku melanjutkan ketika dia mengangguk. "Aku suka makan sebanyak orang di sebelahku ini. Faktanya, jika aku bisa mendapatkan uang untuk makan, aku akan melakukannya." 

"Dan bagaimana dengan akting?" Sesudah Sarah menanyakan pertanyaan main-main itu, aku sedikit menyusut di tempat dudukku. Bad move karena sahabatku tahu semuanya tentangku. "Cassandra?" Matanya melebar penuh khawatir. "Kau OK?" 

Aku mengangguk, wine yang mengalir di dalam sistemku membuat gerakan kecil yang menyiksa. "Hanya sedikit jetlag," Aku berbohong. 

"Maaf soal itu," Albert berkata, seperti dia adalah orang yang bertanggung jawab atas perbedaan waktu dan pola tidurku. Itulah pria yang menjadi sahabatku - baik. Baik tapi tidak sempurna. Tidak ada yang 'sempurna' dan orang-orang yang mengatakan sebaliknya sudah jelas pembohong. Ini rasanya lucu - aku melihat Albert dan tidak merasakan apapun selain persahabatan dan bahagia untuknya. Aku mungkin telah menempatkannya di standar yang konyol setelah putus dengan Kyle bertahun-tahun lalu dan sekarang aku melihatnya untuk orang yang sesungguhnya. Ridiculous Alby yang manis, salah satu sahabatku dan dia akan menikah di akhir pekan dengan orang yang dia cintai. Vanya sepertinya orang yang down-to-earth sama seperti Albert. Dia lahir di Boston, orang tuanya sama-sama Russian dan mempelajari fisioterapi. Albert, yang masih di sekolah medis, jelas memuja tanah yang dia injak. 

Nah cinta yang seperti itu, pikirku saat pertama kali aku melihat mereka bersama, adalah jenis cinta yang hanya tumbuh semakin kuat seiring waktu. 

Dan pemikiran itu membuatku melamun dan percakapan berikutnya terasa seperti lebah yang berdengung dia telingaku. Aku sadar akan fakta bahwa aku satu-satunya yang single di sini. Sarah dengan suaminya, Sam, Julian dan Albert bersama tunangan mereka. Menyedihkannya aku yang memeras ayahku agar mau menjadi plus-one dan dia bahkan meninggalkanku untuk bermain di kolam renang dengan tamu undangan yang tua di suatu tempat. Tidak bekerja, jomblo dan sexually frustrated. Bisa menjadi plot yang bagus. 

"Apa yang sedang kita bicarakan?" 

Suara ringan yang dalam datang dari belakang Albert dan Vanya, yang berdiri di depanku; jadi tentu saja, aku adalah orang pertama yang melihat siapa yang berbicara. Jika panas yang merambat di pipiku bukanlah reaksi yang cukup jelas, cicitan kecil yang aku keluarkan membuat semuanya menjadi jelas. 

"Guys, kalian ingat pamanku, kan?" Albert tersenyum lebar, senyum yang seolah mengatakan kalau Dean adalah hadiah dari Tuhan untuk manusia dan memberkati kita umat biasa dengan kehadirannya. 

Jika aku fan-girl lebay, aku pasti sudah meleleh ke tanah saat melihatnya dengan setelan formalnya. Tapi karena aku bukan fan-girl lebay, aku hanya sedikit meleleh. Aku memiliki soft-spot untuk pria yang menggunakan setelan. Mereka bisa saja menjadi monyet tak berotak yang masih berpikir kalau bumi itu datar tapi jika mereka menggunakan setelan Armani dengan bagus, aku akan pingsan di dalam pikiranku. Itu adalah kelemahanku dan kumpulan otot setinggi enam-koma-empat kaki Dean West mengisi setelah hitamnya dengan sempurna. Rambut gelapnya dibiarkan begitu saja dan beberapa helai jatuh di dahinya. Dean memiliki bulu mata paling panjang yang pernah aku lihat. Mereka hampir terlihat girly, itu juga berlaku untuk bibir merah mudanya yang tebal. Mereka membuat bibir Angelina Jolie terlihat kerempeng. 

Dan kenapa juga aku membandingkan bibir pria dengan wanita? 

Karena mereka begitu ... mengundang. Mereka seperti berkata, "jika kita menciummu - di atas atau bawah, jauh di bawah - kau akan menyukainya. Inilah yang kami lakukan, karena kami adalah bibir Dean West, mesin pencium èlit yang terbuat dari jutaan sel dengan satu tujuan yaitu membawa kenikmatan" masih saja, semua kecantikan itu diimbangi dengan postur besarnya, lebih maskulin jagi dengan rahangnya yang tajam dan hidungnya yang sedikit bengkok, pernah patah, aku yakin.  

"... dan ini Cassandra, yang berbakat." Aku tersipu mendengar bagian terakhir dari kata-katanya. Lagi. 

Dean memberikanku tatapan intens yang mengatakan aku pernah melihatmu sebelumnya tapi aku tidak tahu dimana. Sial, ini akan terus menggangguku sampai aku ingat! 

Aku tidak akan membantunya.

"Senang bertemu denganmu, Mr. West." Aku memulai, bangga pada diriku sendiri yang tidak terpengaruh sedikitpun. "Albert bercerita tentangmu di setiap kesempatan."

Well, setidaknya dia berusaha - sampai aku mengubah topiknya. 

Senyum perlahan muncul di wajahnya, membuatnya terlihat beberapa tahun lebih muda. "Hal baik, kuharap." Katanya dengan riang, mengulurkan tangannya. Dengan ragu aku menjabat tangannya, terganggu dengan caranya mengusap jemariku dengan ibu jarinya. Bagaimana itu bisa membuatku turn on? "Kau bisa memanggilku Dean, häschen." Aku menarik tanganku setelah etika memperbolehkanku. 

"Häschen?" Aku bertanya di antara napasku. "Apa itu Russian?" 

"Bukan," Vanya menjawab. "Itu bahasa Jerman untuk kelinci." 

"Oh well, jangan panggil aku itu lagi," Aku menujukan itu pada Dean membuat raut wajahnya melongo padaku dan seringai yang samar setelahnya. "Aku bukan kelinci." 

"Dia hanya bercanda, Cass." Sarah bergumam. 

"Yeah. Hiraukan saja dia. Dia memiliki banyak gestur romantis untuk setiap wanita yang dia temui." Kata Albert, membelitkan tangannya di sekitar pinggang tunangannya. "Ini dulu pernah menjadi penjinaknya."

"Penjinak?" Dean terkekeh, mengambil gelas dan menuangkan minuman ya sendiri. "Apa yang kamu isyaratkan, Alby?" 

"Kalau kau biasanya mendapatkan tamparan untuk setiap percobaanmu untuk menjadi romantis?" Albert melepaskan Vanya dan matanya memancarkan sesuatu yang familiar dimana dia akan menceritakan sesuatu yang nakal. "Wanita itu dulu pernah menjinakkanmu - dan aku ingat dengan baik karena itu di ulang tahun ke sembilan belas ku - kita pergi ke club di Vegas dan dia menggoda penari berambut pirang -" 

"Dan mencoba mendapatkan STD, ku tebak," Aku bergumam. 

"Apa itu tadi, Cass," Albert memotong. 

"Nothing, Albert. Lanjutkan." 

"Right. Jadi dia menjemputnya dan membawanya ke kamar hotelnya, dia berkata kalau mulai dari sekarang, itu, um, kejantanannya akan jadi satu-satunya yang dia hisap." Albert tersipu dan yang dia katakan adalah biblical word untuk penis. "Dia berkata, 'Big Tits, aku akan menyelamatkanmu dari club. Itu bukanlah tempat untuk seseorang yang berbakat di bagian kelenjar susunya'." Albert tertawa dengan keras melihat ketidaknyamanan Dean. 

"Sayangnya, Julia bersekolah di sekolah hukum, dia tidak mengapresiasi dilabeli dengan mesum atau panggilan sayang Gio yang merendahkan, dan memiliki dia anger issue yang serius. Dia menerima memar dan dompetnya dirampok untuk usahanya menjadi romantis." 

Dean bergumam dengan keras,"Dia itu stripper dan a total waste of money.

"Kau membayar untuk seks?" Aku tidak bermaksud mengatakannya dengan keras tapi karena sudah kulakukan, tidak bisa kutarik lagi, terutama ketika mata hijau menembus melaluiku, seperti dia masih berusaha mengenali wajahku. 

"Aku membayar untuk seks. Dulu." 

"Kenapa orang sepertimu butuh melakukannya?" Itu tadi Sarah, selalu blak-blakan. Dia sudah menyuarakan apa yang kita berdua pikirkan. 

"Hey!" Sam mengeluh, menyoroti istrinya dengan mata cokelatnya. "Aku di sini, wifey." 

"Dan itulah kenapa aku memanggilnya a fucking manwhore," Dia membalas dengan berbisik. Aku yang cukup dekat untuk mendengarnya tertawa. 

"Well, apapun yang terjadi di Vegas ... Itukan yang selalu mereka katakan?" Dean mengangkat bahunya sekali, meminum winenya. "Aku dulu juga pernah remaja. Dan kau, häschen" Dia menatapku dengan intens. "Aku mengenal mu." 

"Excuse me?" Tertegun, aku mengambil satu langkah ke belakang, berpikir jika dia akan mengatakan sesuatu tentang malam itu di depan keponakannya; di depan teman-temanku. 

"Kau yang ada di serial TV itu," Dia berkata sambil menjentikkan jarinya. "Yang tentang pemburu hantu yang seksi itu? Apa judulnya? Ghost hunters? Bukan, The Hunt, itu benar - Cassandra Prince." 

TO BE CONTINUED

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Dean masih jomblo gak ni? Cassy kosong + nganggur loh wkwkkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status